Jumat, 21 Januari 2011

THE THIRD ROOM part 4

Judul : THE THIRD ROOM part 4



Genre : Thriller, Horror, Romance

Rated : General

Cast :
Kang Hea In (author)
Noh Min Woo
Kim Nam Gil
Special appearance : Choi Yeon Rin

*************************

Jam 22.17

Aku membuka mataku perlahan, pandanganku masih kabur, tapi aku merasakan bahwa aku tidak berada di ruangan yang gelap itu tadi. Dan setelah beberapa saat, aku kini bisa melihat bahwa aku berada di atas sofa tamuku, di kamar apartmentku. Dan ada Nam Gil-shi di sampingku duduk dengan tatapan cemas.

“Kau sudah sadar sekarang Hea In, ini minumlah..” katanya sambil menyodorkan secangkir teh hangat. Aku bangkit duduk, rasa mual ringan dan sedikit pusing masih mengangguku. Aku menerima cangkir itu dan meminumnya pelan, tegukan teh yang bercampur sedikit jahe dan kayu manis, membuatku lebih nyaman. Dan aku sungguh-sungguh berterima kasih padanya.

“Gamsahamnida, neomu gamsahamnida..” ucapku, memegang cangkir erat agar hangatnya teh yang menyesap ke permukaan cangkir dapat menghangatkan dinginnya tanganku. Dia hanya menganguk pelan dan tersenyum.

“Hea-In, bolehkah aku memanggilmu Hea-In?” tanyanya, tanpa sadar aku mengangguk.

“Sebenarnya apa yang kau lakukan di dalam kamar itu? Aku menemukanmu pingsan dan langsung membawamu kemari?” lanjutnya.


Apa perlu aku menjawabnya, jawaban apa yang harus aku berikan…kau pun tahu bagaimana reaksi Min Woo setelah kau ceritakan padanya tentang hal yang kau lihat. Tentu dia ---Nam Gil-shi---akan menganggapmu gila, apalagi dia orang asing, begitu pikirku.

“Entahlah… aku juga tidak mengerti” jawabku pendek. Dia menghela nafas, kentara sekali tidak puas akan jawabanku. Dan dia pindah, duduk di sofa, di sampingku. Mulanya aku agak risih tapi, diurungkan karena mendengar perkataannya…

“Kau tahu, kamar itu, kamar no 603, adalah kamar yang seharusnya tidak kau masuki, karena kamar itu terkunci dan hanya pengelola gedung yang memiliki kuncinya. Lantas bagaimana kau bisa masuk?”

“mwo?”

“Apa terjadi sesuatu?”

“Kau tidak akan percaya”

“Coba saja”

Aku menatapnya sungguh-sungguh mencari kesalahan atas ucapannya, apa benar dia mau mendengarkan ceritaku yang aneh itu tanpa menganggapku gila. Ahh.. tidak, Apakah kau bodoh Hea-In? Apa kau mau dianggap pembual? Dia hanya akan mencapmu sebagai horror freaks. Kau harus menjaga image mu, sudah seharusnya kau begitu…

“Sudah malam sebaiknya, anda pulang Nam Gil-shi, karena sebentar lagi suamiku akan datang” elakku, aku bangkit berdiri dan akan berjalan menuju pintu tapi tiba-tiba Nam Gil-shi menarik lenganku, aku terkejut.

“aku hanya ingin tahu, apa kau melihat sesuatu disana?” selidiknya dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi.

“aku sudah bilang, kau tidak akan percaya…” bantahku keras kepala.

Pintu depan membuka dan ternyata Min Woo sudah pulang, dia terkejut melihat Nam Gil-shi ada di rumah kami dan ---memegang lenganku---. Nam Gil-shi segera melepaskan genggamannya.

“apa yang dia lakukan disini? Kupikir ini bukan waktu yang pantas untuk bertamu, bukan?” sindir Min Woo tajam.

“Selamat malam, Hea In-shi” ucapnya dengan melemparkan pandangan tidak puas ke arahku. Dia lalu berjalan ke arah pintu tapi dicegah oleh Min Woo karena ia ingin tahu mengapa Nam Gil-shi ada di rumah kami selarut ini. Nam Gil-shi mendengus pelan.

“aku hanya menolong istrimu, dia kutemukan pingsan di lorong, dan aku hanya membantunya” jawab Nam Gil-shi sambil lalu. Min Woo mengernyitkan keningnya.

“pingsan…?? Jagiyy..” kini pandangan Min Woo beralih padaku dengan raut muka cemas. Sementara Nam Gil-shi pun keluar dari apartment kami.

Min Woo mendekatiku dan memeriksa suhu tubuhku dengan menyentuh kening dan pipiku. Tapi tentu saja, suhu tubuhku normal dan aku pingsan bukan karena aku sakit.

“Sudahlah..” sergahku, aku memang sedikit kesal. Pertama karena pekerjaanku terhambat. Kedua karena kebodohanku dan rasa penasaranku untuk memasuki kamar 603. Ketiga karena aku takut, ketakutan, sekaligus jenggah mengapa sosok itu selalu menghantuiku. Dan terakhir, keempat karena tidak ada tempat untuk aku bercerita mengenai kejadian ini.

Aku langsung menuju mejaku, menuju laptopku dan mencoba kembali meneruskan pekerjaanku. Tapi pikiranku kalut dan beku, aku tidak bisa konsentrasi yang kulakukan hanya menatap layar monitor kosong sementara jari tanganku sedikit gemetar.

“Aku tanya..apakah kau sakit hingga pingsan begitu? Kau kelihatan sangat aneh akhir-akhir ini” tanya Min Woo tegas, berdiri di sampingku. Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku, dan menghela nafas dalam-dalam.

“Berjanjilah padaku, kau tidak akan menganggap aku gila dan mengada-ada” kataku menatap Min Woo. Min Woo hanya mengangguk pelan.
“Aku tidak tahu harus mulai darimana tapi yang jelas aku pingsan karena melihat hantu itu lagi, Minu. Katakan padaku, aku harus bagaimana? Aku ingin…aku ingin pindah!!” ucapku, hanya kata-kata ini yang bisa aku keluarkan, ingin pindah? Yaa benar, aku dihantui sejak pindah ke apartemen ini dan aku tahu sumber hantu itu berasal --- dari kamar 603. Mungkin pindah rumah adalah jalan keluar terbaik agar aku tidak terganggu, tapi mungkinkah?

“Pindah?” gumam Min Woo, aku mengangguk-angguk pasti.

“Hea In-ah, kita baru pindah kemari sebulan yang lalu. Dan kita sudah membayar penuh selama 6 bulan, apa memang kita harus pindah?” keluh Min Woo.

Aku tahu, aku sangat tahu. Permintaan yang sangat mustahil untuk dipenuhi, bila kupikirkan secara logika dan akal sehat, memang keinginanku seperti anak yang manja. Hanya karena gangguan kecil lantas kami harus minggat, itu yang pasti dipikirkan Min Woo, aku bisa melihat jelas di raut wajahnya.

“sudah lupakan saja permintaanku..”aku meralat, karena aku tidak mau membebaninya.

“Apa benar kau memang dihantui, jagiy?”

“apa kau percaya padaku”

“kau yakin ini bukan halusinasimu, atau...”

“stop! Lupakan saja…! Aku sudah mengatakan padamu dan ini bukan halusinasiku, bayanganku, atau imajinasiku. Bila kau menganggap aku mengada-ada, lebih baik lupakan saja. Aku akan mengatasinya sendiri” sergahku ---frustasi. Sampai kapanpun Min Woo tidak akan percaya, aku sendirian sekarang dan itu membuatku berada di sudut kotak Pandora yang terabaikan.

“Hea-In, aku benar-benar tidak memahamimu…” keluh Min Woo. Min Woo pergi meninggalkan aku menuju kamar, kecewa.

Aku menatap punggungnya dengan perasaan kalut, tapi segera setelah itu jari-jariku menari dengan lincah di atas keyboard, meneruskan pekerjaanku yang tertunda. Demi menyelesaikan tugasku aku harus menepis jauh-jauh kejadian tadi dan juga kekecewaan Min Woo padaku.

*************

“Bagaimana?” tanya teman kantorku, Shin Yuri, seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang menyelesaikan skripsinya dengan bekerja magang di kantorku. Dia adalah keponakan bossku --Mr. Goh, ibunya adalah adik bossku.

Aku melempar ringan map dokumen ke atas mejaku.

“Mr. Goh akan menggunakan draft replik-ku karena uraian penyanggahannya lebih detail” jawabku puas.

“Benarkah, aku akan mengcopynya kalau begitu. Biar aku saja yang membuat dokumen resminya”

“Ya..terima kasih. Kau banyak membantuku” Yuri hanya tersenyum pelan.

“Yuri, Mr. Goh sudah memerikan izin agar aku bisa mengambil jam makan siang lebih lama karena aku akan ke klinik” ujarku sambil merapikan barang dan bersiap pergi, menyambar longcoat dan tasku.

“aku ikut” sergahnya lalu menyusulku buru-buru.

“kau mau menemaniku ke klinik?” tanyaku. Dia mengangguk mantap.

“Selamat agasshi, anda benar-benar hamil. Usia kandungan anda sudah mencapai 3 bulan” kata dokter yang memeriksaku. Tadi pagi karena mual selalu melandaku setiap paginya, aku mulai curiga apakah aku hamil? Dan ternyata hasil di test pack menyatakan positif. Aku merasa heran karena setiap bulan aku rutin mendapat siklus datang bulan, dan akhirnya aku pergi ke klinik untuk memastikannya. Tentu tanpa memberitahu Min Woo.

“Tapi mengapa saya selalu mendapat siklus rutin setiap bulannya. Dokter?” tanyaku masih terkejut dengan pernyataan dokter tadi. Sementara Yuri yang duduk di sebelahku menatapku dengan antusias. terlihat jelas perasaan ikut gembira terlukis di wajahnya.

“Karena Pil KB yang agasshi konsumsi membuat stabilitas hormon progesterone dan estrogen menjadi labil, dan ada kemungkinan anda pernah lupa 2 atau 3 hari tidak meminumnya jadi merubah system kerja pil” papar dokter itu, aku hanya diam dan berusaha mengingat kapan aku pernah lupa meminumnya. Tapi itu tidak penting sekarang, yang jelas aku memang hamil dan kandunganku baik-baik saja. Hanya saja bagaimana aku memberitahukan pada Min Woo, bagaimana reaksinya? Karena kami benar-benar belum siap? Terutama saat sekarang, aku benar-benar belum siap.

---------

Aku menatap hp-ku, menimang-nimang apa harus aku menghubungi Min Woo untuk memberitahukan hal ini padanya sekarang.

“Ya.. eonni, makanlah! Jangan melamun terus” kata Yuri, membuyarkan lamunanku. “kita harus kembali ke kantor bukan?” lanjutnya lagi sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

“ahh..ya” akupun mulai makan.
---------

(Author POV)
Di dalam kafe yang sama, tempat Hea In dan Yuri sedang makan siang. Di sudut meja yang terletak jauh dari meja Hea In dan sedikit tersembunyi karena dihalangi oleh tanaman hias yang dipajang di kafe itu, seorang pria ---Kim Nam Gil--- duduk memandangi meja Hea In. Tidak lama kemudian datang seorang pria lain yang membawa map, tampaknya kedatangan pria itu memang sudah dinantikan oleh Nam Gil-shi.

“Maaf terlambat Tuan” sapa si pria yang baru datang memberi hormat, lalu duduk berhadapan dan menyerahkan map pada Nam Gil-shi yang duduk di seberangnya. Dia meraih map itu dan membaca beberapa lembar dokumen.

“Kang Hea In, putri tunggal dari pasangan Kang Seob Ji dan Hwang Bit Na, lahir dan besar di Cheongsam, kemudian mereka pindah ke Seoul dan Hea In meneruskan SMU dan kuliah di Universitas Hansung jurusan hukum, 2 tahun yang lalu mengalami kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya, setelah itu menikah dengan Noh Min Woo putra pengusaha kaya Noh Tae Won” gumamnya dan diakhiri dengan nada tidak puas, “Apa ada data yang lainnya?” tanyanya.

“Ada di map yang satunya, sebenarnya ini rahasia Tuan” jawab si pria itu. Kemudian Nam Gil-shi membuka map yang satunya dan matanya terbelalak membaca isi dari dokumen itu.

(end Author POV)
------------

Jam 19.52
Aku sudah sampai di basement gedung apartemenku, kuparkirkan mobilku dan memasukkan beberapa barang termasuk hp-ku ke dalam tas, bersiap hendak keluar mobil.
Namun ada yang ganjil ketika ku lirik kaca spion depan dan melihat pantulan sosok itu yang sedang duduk di jok belakangku. Hawa di sekitar mobilku pun berubah, menjadi dingin membekukan tulang, aku sudah mengenal kondisi ini, dan mencoba terbiasa tapi bagaimana bisa? Jantungku terasa berhenti berdetak dan seolah isi tubuhku dipenuhi oleh air es yang dingin. Aku membeku!! Dalam sepersekian detik, aku bisa merasakan sosok itu mendekatiku dengan desahan nafasnya yang ringkih dan aura dingin yang menyeruak keluar dari setiap udara yang kuhisap. Aku tidak sanggup melawan ketakutanku….

Tiba-tiba aku merasakan udara yang hangat dan keadaan di sekitarku terang, aku membuka mataku dan aku telah berdiri di dalam rumah ini lagi, masih hanya 3 warna yang kulihat disini ---hitam, putih, abu--- aku berjalan pelan menyusuri setiap detail di rumah ini. Keterbatasan dan kemiskinan sangat kental terlihat dari seluruh isi rumah. Dari temboknya yang terkelupas, dan warna yang kusam di setiap tembok dan kusen kayunya. Aku melirik sebuah kalender yang jelas tertulis disitu dengan huruf besar ---1963---. Astaga…apakah aku berada di tahun ini, 1963, tidak heran karena bangunan rumah ini memang mencirikan rumah tempo dulu.

Lalu aku masuk ke dalam sebuah ruangan yang kutebak adalah dapur, karena aku bisa melihat asap yang mengepul dari tungku yang membara, menjilat-jilat bagian bawah panci berukuran sedang. Aku melihat si gadis itu dengan mata yang kuyu dan lelah serta raut wajah sedih dan tubuh yang rapuh yang hanya dibungkus pakaian sederhana. Matanya menatap api yang bergerak liar kemerahan dengan nanar, aku mengenal tatapan itu, tatapan yang kosong tanpa ada jiwa di dalamnya, seolah kau enggan hidup tapi tidak bisa mati. Karena aku pernah mengalaminya saat aku tahu kedua orang tuaku meninggal dan aku bisa merasakannya.

Tiba-tiba dia tersentak, dan melihat ke arahku dengan wajah ketakutan. Aku terkejut dengan perubahan rautnya dan segera aku menyadari bahwa penglihatannya bukan ditujukan padaku tapi pada pria tinggi besar yang kukenali sebagai pria yang kalah pada mimpiku sebelumnya. Dia  berdiri di belakangku, secara spontan aku mengeserkan kakiku ke pinggir, tampak si pria itu baru bangun dari tidurnya, dengan tampang kusut semberawut tanpa bercukur, mengacungkan teko kuningan arak besar dan melemparkannya ke arah kaki si gadis dan kemudian uang koin berhamburan memenuhi kaki si gadis lalu dia memungut koin satu persatu dengan meneteskan air mata. Sementara si pria itu masuk kembali ke dalam ruangan lain.

Seakan diriku dihisap ke dimensi lain, aku sudah berada di dalam ruangan yang berbeda di rumah ini, keadaan di luar sudah gelap, aku bisa mengetahuinya karena warna dalam penglihatanku meremang, tapi aku masih bisa melihat dengan jelas. Aku melihat si gadis tengah duduk sambil memandangi foto tua, yang kuamati dari dekat di dalam foto itu. Sebuah foto yang berisikan potret bahagianya sebuah keluarga kecil, Si ibu berdiri di sisi anak perempuan cantik yang kuperkirakan berumur 12 tahun, anak itu berada di tengah dan diapit oleh seorang pria --kukira itu adalah ayahnya--. Mereka bertiga tersenyum bahagia, tapi tunggu dulu… aku mengenal wajah pria itu… dan setelah kuamati dengan cermat ternyata wajah pria di foto itu mirip dengan pria yang kalah dan yang melempar teko kuningan barusan. Pria itu adalah AYAH SI GADIS…

DUG..DUG..DUG…

Suara gedoran keras membangunkan aku, perlahan aku membuka mataku dan menyadari bahwa aku masih berada di dalam mobilku. Aku melirik ke arah suara gedoran keras itu berasal, ternyata berasal dari kaca pintu mobilku yang dipukul-pukul keras oleh Nam Gil-shi. Dia mengumamkan sesuatu yang tidak bisa aku dengar tapi tampak nyata sekali wajahnya terlihat panic. Tapi kenapa tubuhku lemah begini, seolah oksigen enggan mengalir dalam darahku dan aku merasa dadaku sesak, serta kepalaku sakit sekali.

Dengan lemah aku membuka kunci pintu mobilku dan segera Nam Gil-shi menarik lengan dan tubuhku keluar. Aku berusaha menguatkan kakiku untuk berdiri tapi pening masih menguasai kepalalu, aku bersandar pada mobilku sementara Nam Gil-shi mematikan mesin mobil dan mencabut kuncinya.

“Apa kau mau mati??” tanyanya dengan nada kesal.

“…??” sungguh aku tidak mengerti dengan ucapannya.

“kau membiarkan mesin mobil dan AC menyala, tanpa ada celah udara luar yang masuk, sementara kau tertidur selama 1 jam. Apakah kau tidak tahu, bila kau membiarkan keadaan seperti itu selama ½ jam lagi, kau akan keracunan gas CO! dan kau akan mati perlahan-lahan” paparnya dengan nada seolah-olah aku adalah orang yang bodoh.

Aku tertidur selama 1 jam?? Apa aku sudah gila, aku tidak terlalu lelah dan letih untuk tertidur di mobil dengan kondisi yang tidak nyaman seperti itu. Bukankah aku ini pingsan? Karena aku benar-benar tidak ingat apa-apa kecuali mimpiku di rumah si gadis itu dan juga kemunculan sosok gadis hantu itu….. aku baru menyadari mungkin saja si hantu itu adalah gadis dalam mimpiku!!

Aku mencoba berjalan, tapi baru selangkah aku merasa pusing, mungkin Nam Gil-shi memang benar otakku telah terkontaminasi gas CO, kemudian tas ku terjatuh dan isinya bertebaran kemana-mana. Aku berjongkok dan membereskan isi tasku, Nam Gil-shi membantuku dan dia mengambil kertas yang berisi hasil test kehamilanku, ia membacanya sekilas dan memberikannya padaku, aku buru-buru menjejalkannya ke dalam tas. Aku baru melihat ada kunci inggris berukuran besar tergeletak disana, jelas benda itu bukan milikku.

“itu untuk apa?” tanyaku, berusaha memecahkan kebisuan.

“maaf, seandainya kau tidak membuka pintu dalam hitungan 5 menit kemudian, aku akan memecahkan kaca pintu mobilmu” jawabnya tenang.

“Nam Gil-shi, gomawoyo, terima kasih banyak atas pertolonganmu saat ini, juga untuk yang kemarin malam” ucapku tulus. Dia hanya mengangguk sebagai balasan.

Kami, aku dan Nam Gil-shi pergi meninggalkan basement dan menuju ke lantai 6, tempat kami tinggal.

“selamat atas kehamilannya” ucap Nam Gil-shi tiba-tiba saat kami berada di dalam lift.

“terima kasih, ehh…Nam Gil-shi, apa yang sebenarnya terjadi di kamar 603?”

“itulah yang ingin aku dengar darimu, karena aku sangat tidak percaya dengan desas desus di luar”

“desas desus apa?”

“kau belum mendengarnya?” Nam Gil-shi mendelik heran, aku menggelengkan kepala ---jujur.

“menurut yang kudengar…..”


~ T B C ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar