CHAPTER 7
Cast :
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
Mi Shil : Go Hyun Jung
Se Jong : Go Young Jae
Sohwa : Park Young Hee
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Yong Soo : Kim Jung Chul
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Alcheon : Lee Seung Hyo
Choon Choo : Yoo Seung Ho
Bo Ryang : Yoo Eun Bin
Young Mo : Qri
Jook Bang : Lee Moon Shik
---------------------------------------------
- Kim Nam Gil - 24 Desember 2010 -
Ternyata perbaikan panggung dan properti lainnya yang diperlukan dalam pementasan drama ini tidak selama yang diperkirakan. Kemarin semua persiapan sudah beres, dan malam ini kami akan mengadakan pertunjukan.
Wajah anggota kelompokku terlihat tegang. Tentu saja, karena latihan kami sangat singkat, kami agak tidak yakin hasilnya nanti akan memuaskan. Akan memalukan sekali bila membuat kesalahan di depan begitu banyak orang. Tidak hanya para siswa, tapi juga orangtua mereka yang turut diundang dalam acara ini.
Sebenarnya sejak kemarin sekolah sudah diliburkan—dalam rangka natal dan tahun baru—dan baru akan dimulai lagi setelah tahun baru, tapi aku dan semua pemeran yang dipilih oleh Qri, tidak dapat libur seperti yang lain karena harus berlatih keras tiap harinya bahkan di hari sabtu dan minggu.
“Tidak!” aku menoleh pada Yo Won saat mendengar gadis itu setengah membentak pada seseorang lewat ponselnya. “tidak perlu. Aku yang akan menemuimu. Hari minggu aku akan ke sana. Tidak, tidak bisa besok. Kali ini aku benar-benar akan kesana. Aku janji,” kata gadis itu tegas untuk terakhir kalinya sebelum memutus percakapannya.
“Ada masalah?” tanyaku. Semenjak Yo Won mengajakku makan siang bersama minggu lalu, kami menjadi lebih akrab, dan semakin akrab dengan latihan drama yang kami lakukan setiap harinya.
Yo Won menggeleng dengan senyum masam tersungging di bibirnya. “Tidak, hanya… seseorang yang memintaku menepati janji,” jawabnya.
“Seorang lelaki?” tanyaku curiga.
Yo Won melirikku, lalu tersenyum geli. “Ya, tapi tidak seperti yang kau pikirkan.”
“Apa—“
“Kim Nam Gil, Lee Yo Won,” panggilan Qri memotong pertanyaan yang ingin kulontarkan pada Yo Won. “Ayo naik ke panggung. Saatnya kalian muncul!”
Huff… ini saatnya. Drama ini berkisah tentang seorang ratu cantik dan baik hati—yang diperankan Yo Won—tetapi sangat kesepian karena sang raja, suami yang dicintainya, tak lagi memperdulikannya karena setelah berkali-kali hamil sang ratu terus keguguran. Raja sangat menginginkan keturunan, dan melihat “kegagalan” istrinya, membuat sang raja berpaling pada selir-selirnya dan tidak lagi memperdulikan ratu. Tapi walaupun diperlakukan tak adil, sang ratu tetap cinta dan setia pada raja. Hingga suatu ketika sang raja dengan licik berusaha menyingkirkan ratu karena ingin menjadikan selir kesayangannya—yang telah melahirkan seorang putra untuknya—menjadi ratu yang baru. Raja mengutus beberapa prajuritnya mengawal ratu pergi ke rumah peristirahatan keluarga kerajaan di desa, dengan alasan agar ratu dapat beristirahat dengan tenang di sana untuk sementara waktu karena semakin hari ratu terlihat semakin lemah dan sakit-sakitan.
Tentu saja sebenarnya itu hanya kedok belaka. Alasan raja mengirim ratu pergi jauh dari istana adalah untuk membunuh istrinya itu. Raja akan membuat seolah-olah rombongan ratu diserang segerombolan perampok di tengah jalan menuju rumah peristirahatan dan akhirnya peristiwa itu menewaskan sang ratu. Tapi raja tak memperhitungkan kemungkinan munculnya seorang pemuda pengelana yatim piatu yang ahli pedang akan melewati jalur yang dilewati rombongan ratu juga. Itulah peranku.
Singkatnya, setelah diselamatkan olehku, ratu yang diperankan Yo Won pun mulai tertarik padaku. Apalagi setelah ratu mengenali wajah salah seorang perampok yang sudah mati sebagai orang kepercayaan suaminya sendiri, dan akhirnya bisa menebak rencana busuk raja untuknya. Kejadian demi kejadiaan membawa peranku dan peran Yo Won akhirnya saling jatuh cinta. Tapi, kemudian karena ulah Qri—tentu saja itu salahnya, dan bukan salah takdir, karena gadis itu yang menulis naskah jelek ini—tokohku mati saat berusaha menyelamatkan ratu yang dikurung oleh raja di istananya. Ratu yang sebenarnya berhasil memoloskan diri dan bersiap kabur untuk menemuiku, sangat terkejut saat melihatku berada di halaman istana dan tengah berusaha melawan seluruh pasukan yang dikerahkan oleh suaminya untuk membunuhku. Begitulah, akhirnya—sesuai keinginan Qri—aku mati setelah menerima tembakan anak panah, tebasan pedang, dan tusukan tombak bertubi-tubi—dasar gadis kejam. Ratu yang begitu mencintaikupun akhirnya mati saat berusaha menghalangi tebasan pedang terakhir yang diarahkan padaku yang sudah sekarat. Begitulah, akhir yang tragis yang menurut Qri merupakan tren cerita jaman sekarang. Hah… yang benar saja!
Tapi… ada hal aneh yang terjadi setiap berlatih adegan menjelang kematianku. Beberapa kali Qri marah-marah karena tiba-tiba aku terdiam bagai patung dan tak melanjutkan dialogku. Bukan karena aku sengaja melamun, tetapi kilasan-kilasan kejadian itu muncul begitu saja. Dalam kilasan-kilasan itu aku melihat pria-pria berpakaian prajurit kuno mengepung dan menyerangku. Tapi, yang paling menggangguku adalah sosok wanita bermahkota emas yang sangat mirip dengan Yo Won. Dalam kilasan itu aku melihatnya menangis. Aku berusaha mendekatinya dan mengapus air mata itu, tetapi setiap kali hampir sampai padanya, aku akan segera kembali ke dunia nyata. Yah, setidaknya bukan hanya aku yang sering diomeli Qri. Yo Won pun belakangan semakin sering terlihat melamun dan lupa melanjutkan dialognya sepertiku. Entah apa alasannya.
Tak seperti yang kucemaskan sebelumnya, ternyata pertunjukan kami berjalan cukup lancar. Tak ada hal memalukan seperti lupa dialog atau apapun.
“Kau tak pantas disebut raja!” aku berteriak marah pada si pemeran raja. Rasanya paling mudah berakting marah seperti ini.
“Bunuh dia!” seru si pemeran raja pada anak-anak buahnya.
Anak-anak panah bohongan di tembakkan ke arahku, lalu Moon Shik yang berperan sebagai panglima, maju untuk menyerangku dengan pedangnya. Aku suka adegan berkelahi ini—yah, saat aku masih bisa melawan dan belum sekarat. Tapi adegan kematianku itu tidak mungkin dihilangkan. Akhirnya tibalah saatnya aku harus mendapat serangan bertubi-tubi dari para prajurit, kemudian Yo Won muncul dengan ekspresi sedih dan takut yang terlihat meyakinkan.
“Jangan!” teriaknya. “Hentikan!”
Lalu kilasan itu membutakanku lagi. Dari kejauhan aku melihat sosok wanita anggun bermahkota emas yang mirip dengan Yo Won. Entah kenapa ada desakan dalam diriku yang membuatku bertekad mendatanginya. Aku terus menerobos maju melewati pasukan berpakaian perang yang mengepungku, tanpa kenal takut. Aku harus mendekatinya. Aku harus.
Tujuh puluh langkah… dan aku bisa bersamanya. Siapapun yang menghalangiku, akan kuhabisi.
Tiba-tiba mereka menyerbuku dengan tembakan anak panah bertubi-tubi. Aku terus berusaha menghindar, dan menarik seorang prajurit untuk menjadi tamengku, tapi akhirnya beberapa anak panah berhasil mengenaiku. Aku tidak akan menyerah! Walaupun luka-luka di tubuhku terasa amat menyakitkan, tapi aku tidak boleh menyerah sekarang. Tidak. Aku terus maju dengan langkah terseok-seok.
Tiga puluh langkah… dan aku bisa bersamanya. Beberapa prajurit kembali mencoba menyerangku, tapi aku berhasil membunuh mereka. Aku harus bertahan. Empat orang pria lain berusaha menghalangi jalanku, tapi aku masih mampu mengatasi mereka walaupun luka di tubuhku semakin banyak dan parah. Aku menatap wanita bermahkota itu, dan melihat kecemasan membayang di wajahnya. Aku harus menemuinya. Dengan bertumpu pada pedangku yang berlumuran darah, aku berusaha bangkit berdiri.
Sepuluh langkah… dan aku bisa bersamanya. Aku harus bisa bertahan sedikit lagi. Tak jauh. Sebentar lagi. Dua orang pria lain lagi berusaha menghalangiku. Anehnya wajah mereka… sangat mirip dengan Tae Wong dan Seung Hyo. Aku kelelahan, dan seluruh tubuhku terasa sakit, tapi aku harus melawan mereka. Aku harus menemui wanita itu. Harus.
Pria yang mirip dengan Tae Wong menusuk perutku. Sekuat tenaga aku menahan rasa sakit yang menyebar ke seluruh tubuhku. Aku masih bisa bergerak… harus… aku harus. Aku terus melangkah maju dengan langkah yang semakin terseok-seok dan napas tersendat-sendat. Sedikit lagi…
Tapi pria itu kembali berusaha menghalangiku dengan pedangnya. Aku tidak perduli. Aku harus mendatangi wanita itu. aku menatap wanita itu lagi, dan melihatnya meneteskan air mata. Kenapa dia menangis? Apakah air mata itu untukku? Aku harus mendatanginya… aku harus menghapus air mata itu. aku sadar tubuhku terlalu lemah untuk melawan pria yang menghalangiku ini, karenanya aku memohon padanya lewat sorot mataku. Aku tidak berniat buruk. Aku hanya ingin… hanya ingin bicara dengan wanita itu… ingin menghapus air matanya. Pria itu menolak permintaanku. Tapi aku tidak boleh menyerah begitu saja. aku terus maju dan berusaha meraih wanita itu… tapi kemudian rasa sakit yang tak tertahankan seolah merobek dan mencabik-cabik tubuhku saat pria itu menikamku dalam-dalam dengan pedangnya.
Sampai disini saja… aku tidak kuat lagi… rasanya begitu menyakitkan. Bukan hanya karena tusukan ditubuhku, yang lebih menyakitkan adalah tusukan tajam yang kurasakan di jantungku… rasanya sakit sekali melihat air mata yang mengalir turun di wajah wanita itu, tapi aku tidak bisa menghapusnya. Aku tidak bisa. aku tidak kuat lagi. Saat pria itu menarik kembali pedangnya, tubuhku pun roboh ke tanah tanpa daya. Tanganku terentang, masih mencoba menggapai wanita itu, walaupun aku tahu itu tidak mungkin, aku tetap mencoba untuk terakhir kalinya. Lalu semua berubah gelap.
Suara seruan perang menyadarkanku kembali ke kenyataan. Aku benar-benar sedang terbaring di atas panggung, dengan panah bohongan menempel di tubuhku. Astaga, apakah aku melakukan kesalahan tadi?
Aku mendongak dan melihat Yo Won melakukan aksi penutupnya, yaitu menghalangi seorang prajurit yang ingin menikamku. Yo Won roboh tepat di sebelahku. Untungnya aku cepat teringat harus melakukan apa selanjutnya.
“Jang… Ra…” erangku dengan suara parau, menyebut nama peran Yo Won. Tanganku terulur untuk menggenggam tangan gadis itu.
“Ryu Jun…” desah Yo Won penuh penghayatan. Dia meremas pelan tanganku yang menggenggam tangannya sambil menyunggingkan senyum sedih. “Aku… mencintaimu…”
Aku tahu itu hanya dialog rancangan Qri, tapi jantungku tetap berdebar kencang mendengar ucapan lembutnya.
“…aku… juga mencintaimu…” ucapku. Kemudian aku memejamkan mata, menanti pemeran lain menggotong tubuhku dan Yo Won pergi, untuk melanjutkan penutupan cerita yang mengisahkan kehancuran sang raja yang baru menyadari bahwa selama ini ternyata dia masih mencintai ratu yang sempat ingin disingkirkannya. Raja begitu menderita melihat istrinya mati di depan matanya demi pria lain, dan sangat menyesali semua perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dulu.
“Astaga, aku sangat lega semua ini akhirnya selesai juga,” desahku saat berada di balik panggung, menunggu panggilan untuk berpamitan pada para penonton setelah pemain lain menyelesaikan adegan mereka.
“Iya, tapi tadi kau dan Yo Won hampir mengacaukan pertunjukan kita,” gerutu Moon Shik. “Lagi-lagi kalian melamun. Untung saja itu bertepatan dengan adegan penyerangan Ryu Jun yang membuatmu langsung didorong hingga terjatuh, dan Jang Ra yang terkejut melihat kekasihnya diserang, sehingga kejanggalan kalian masih bisa ditutupi,”
“Kau ini—“
“Sudah, sudah, jangan berkelahi. Kita memang salah. Akui saja” kata Yo Won, mencoba meleraiku dan Moon Shik. Yah, dia benar juga.
Aku bersandar di dinding sambil memejamkan mata. aku semakin tidak mengerti dengan semua keanehan yang kualami ini. Kenapa kilasan-kilasan itu sering kali datang mengganggu? Begitu juga mimpi-mimpi yang tak kalah anehnya mengenai wanita itu. wanita yang amat mirip dengan Yo Won. Apakah aku sudah mulai gila? Apakah itu hanya sekedar halusinasiku? Tapi kenapa? apa karena aku tergila-gila pada Yo Won? Rasanya tidak mungkin. Yah, kuakui aku tertarik padanya, tapi tidak hingga tahap sangat tergila-gila. Jadi apa penyebab munculnya semua kilasan kejadian tak masuk akal itu?
“Nam Gil,” sapa Ibu, mengejutkanku.
“Ibu? Kenapa kau bisa ada di sini?” tanyaku heran. Dari sudut mataku aku melihat Yo Won yang tampak jauh lebih terkejut dariku saat melihat kedatangan Ibu.
Senyum palsu yang sebelumnya tersungging di wajah Ibu segera menghilang. Aku baru tersadar apa alasannya saat melihat Yo Won membelalakkan mata kepadaku. Aku begitu terkejut melihat kehadiran Ibu hingga lupa memanggilnya Bibi. Untungnya tidak ada yang berada terlalu dekat dengan kami selain Yo Won. Aku tidak terlalu khawatir bila Yo Won yang mendengar, karena aku tahu Yo Won dapat dipercaya untuk tidak menyebarkan gosip. Lagi pula, aku masih bisa meralatnya nanti. Menambah tumpukan dosaku dengan satu kebohongan kecil bukan masalah, kan?
***
- Lee Yo Won - 24 Desember 2010 -
“Ibu? Kenapa kau bisa ada di sini?”
Belum hilang keterkejutanku melihat kehadiran Go Hyun Jung, Nam Gil membuatku semakin terperangah dengan mendengarnya memanggil wanita itu “Ibu”. Bukankah Nam Gil keponakan Go Hyun Jung?
“Kenapa Bibi datang kemari?” aku mendengar Nam Gil bertanya lagi. Apakah tadi aku hanya salah dengar? Ataukah Nam Gil yang salah bicara?
“Apakah aku tidak boleh datang melihat pertunjukan keponakanku sendiri?” sahut Go Hyun Jung tenang. Di wajah cantiknya tersungging senyum dingin. “Aku anggota dewan pengawas sekolah ini, Nam gil. kepala sekolahmu yang mengundangku.”
“Oh, begitu,” sahut Nam Gil kaku.
“Pertunjukkanmu cukup bagus,” puji Go Hyun Jung.
Aku melihat keterkejutan di wajah Nam Gil. Mungkin dia tak menduga akan mendapat pujian dari bibinya.
“Emm… terima kasih,” gumam Nam Gil.
Go Hyun Jung akhirnya menyadari keberadaanku. “Yo Won,” sapanya dengan keramahan menipu. “Aku melihat aktingmu tadi, dan kurasa kau cukup berbakat,” pujinya.
Aku membencinya. “Terima kasih,” sahutku dengan suara parau. Kucoba menyembunyikan tanganku yang gemetaran. Sulit sekali rasanya untuk berusaha menahan diri agar tidak menyerangnya.
“Besok di rumahku akan diadakan pesta,” kata Go Hyun Jung. “Datanglah. Kita sudah lama tidak berbincang-bincang. Ayahmu pun sudah kuundang. Ah, sudahkah kalian bertemu?”
Aku menjaga raut wajahku sedatar mungkin. Dasar munafik. Dia pasti tahu sekali kalau aku dan Ayah belum pernah bertemu. Tak mungkin dia berhubungan dengan Ayah tanpa mengetahui kabar tentang kami.
“Maaf,” kataku tanpa rasa sesal. “aku tidak bisa datang.”
“Sayang sekali—“
“Semua! Ayo naik ke atas panggung!” seru Qri bersemangat.
Untunglah. Dengan senang hati aku menjauh dari wanita itu. aku benar-benar tidak tahan dengannya. Setiap melihatnya aku teringat wajah sedih Ibu. Terutama ingatan ketika Ibu terbaring lemah karena sakit jantungnya. Aku sangat membenci Go Hyun Jung.
Setelah memberi hormat pada para penonton dan dihadiahi tepuk tangan meriah, aku masuk ke ruang ganti wanita untuk melepas kostumku dan menggantinya dengan pakaian yang kubawa dari rumah. Begitu keluar ruangan, kak Ye Jin sudah menantiku.
“Kau sangat mengagumkan!” puji kakak.
Tak ingin membuatnya kecewa, aku memaksakan diri untuk tersenyum. “Terima kasih,” sahutku.
“Ayah dan Ibu sudah menunggu di luar. Kita akan makan malam di restoran favoritmu untuk merayakan penampilanmu malam ini,” kata kak Ye Jin gembira. “Ayo,” ajaknya dengan menarik tanganku
Kakak terlihat begitu bersemangat sekali merayakan malam ini, aku tidak tega untuk mengatakan bahwa aku sedang tidak nafsu makan. Kakak, Paman, dan Bibi pasti akan khawatir bila aku memilih tidak ikut dan langsung pulang ke rumah, jadi kurasa aku harus menahan kemarahan dan kesedihanku selama beberapa jam lagi.
Karena terburu-buru, saat hampir mencapai aula kakak menabrak seorang pria. Rasanya aku pernah melihat pria ini… tapi dimana?
“Rambutku,” erang kak Ye Jin kesakitan. Rupanya rambut panjang kak Ye Jin terlilit di kancing kemeja pria itu.
“Pelan-pelan saja, Nona, kalau tidak rambutmu akan putus,” saran pria itu.
Seketika kakak menghentikan usahanya menarik lepas rambutnya dari belitan. Dia menengadahkan kepala menatap pria itu. keduanya berpandangan cukup lama tanpa memperdulikan sekeliling mereka. Menonton keduanya seperti ini entah kenapa aku merasa seperti sedang mengganggu sesuatu yang sangat intim.
“Kak Jung Chul!?” seru Nam Gil sambil berlari mendekat. “Kenapa kakak kemari?” tanyanya pada pria yang bersama kak Ye Jin itu.
Dengan kikuk kak Ye Jin dan pria itu saling menjauhkan diri setelah berhasil melepas lilitan rambut kakak terlebih dulu. “Tadi aku menelepon kerumah Go Young Jae untuk bicara denganmu, dan dia memberitahuku bahwa kau sedang melakukan pertunjukan malam ini. Maka aku langsung kemari,” jawab pria itu.
“Oh, begitu,” komentar Nam Gil. “Ah, kak, perkenalkan, mereka teman-temanku, Lee Yo Won dan Park Ye Jin. Ini kakakku, Kim Jung Chul,” katanya, memperkenalkan kami.
Aku tersenyum ramah dan menjabat tangan Kim Jung Chul. Jadi inilah kakak Kim Nam Gil. Orang yang membantu pembebasan murid-murid SMU Chongjan dari kantor polisi waktu itu. ah, ya, pantas saja rasanya aku mengenali wajahnya. Dia pria yang kak Ye Jin tabrak hingga jatuh di hari pertamanya masuk sekolah.
Saat kakak dan Kim Jung Chul bersalaman, lagi-lagi aura intim itu kembali muncul. Bahkan mereka berpegangan tangan cukup lama hingga Nam Gil dengan sengaja berdeham mengingatkan mereka.
“Bibiii!” aku menoleh ke arah datangnya suara teriakan itu, dan melihat Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin berlari mendekat dengan membawa rangkaian bunga berwarna-warni.
“Selamat atas pertunjukannya,” kata kedua anak itu bersamaan. “Kami benar-benar meneteskan air mata saat melihat adegan kematianmu,” lanjut Yoo Seung Ho.
“Terima kasih,” sahutku tulus.
Keduanya tersenyum manis padaku, tapi kemudian melirik takut-takut ke arah Nam Gil, dan segera menunduk saat pemuda itu membalas tatapan mereka. Aku merasa geli melihat tingkah pasangan peramal ini. Apa yang sudah Nam Gil lakukan hingga keduanya begitu takut?
“Ini bunga untuk Bibi,” kata Yoo Eun Bin sambil menyerahkan rangkaian bungan warna-warni yang dipegangnya kepadaku.
“Terima kasih. Tapi… tolong berhentilah memanggilku bibi,” pintaku. “Aku merasa tua sekali dipanggil seperti itu. namaku Lee Yo Won.”
Pasangan peramal itu mengangguk bersemangat. “Baik, Bibi Yo Won,” sahut mereka.
Ya Tuhan… sudahlah.
“Ah, Ibu, selamat malam,” sapa mereka pada kak Ye Jin . “Kami merindukan Ibu,” lanjut mereka sambil memeluk kakak bersamaan.
Kim Jung Chul terlihat geli menonton keanehan kedua anak itu. “Di umur berapa kau melahirkan mereka?” godanya pada kakak yang merona malu.
“Ah, sudah malam, kami harus cepat pulang karena sebentar lagi gerbang kuil akan dikunci,” kata Yoo Seung Ho tiba-tiba. “Sampai jumpa nanti Ibu, sampai jumpa nanti Bibi,” serunya dan Yoo Eun Bin kompak sambil berlari pergi.
“Ye Jin! Yo Won!” panggil bibi Young Hee dari arah tempat parkir.
“Maaf, kami harus pulang juga. Permisi,” pamit kak Ye Jin pada Nam Gil dan kakaknya.
“Sampai jumpa,” sahut Kim Jung Chul dengan senyum menggoda yang membuat kakak tersipu malu.
Aku melambaikan tangan pada Nam Gil, yang kemudian dibalasnya dengan lambaian dan senyuman lebar khasnya. Setelah ini kami akan lama tak bertemu, hingga nanti liburan usai di bulan januari.
Pria berpakaian serba hitam itu memiliki wajah yang sangat mirip dengan Nam Gil. Hatiku serasa diremas kuat saat melihat kondisinya yang terluka parah seperti ini. Kenapa? kenapa dia nekat terus maju menerobos begitu banyak pasukan?
Aku ingin berteriak menyuruhnya lari, tapi mulutku seolah terkunci. Aku ingin bergerak maju menolongnya, tapi tubuhku tak dapat digerakkan.
Ketika anak panah menancap di tubuhnya, akupun ikut merasakan sakitnya. Setiap kali dia menerima serangan, aku ikut merasa tercabik. tapi aku tak berdaya menghentikan orang-orang yang menyerangnya. Aku tak berdaya untuk membantunya.
Pria itu begitu berani. Tanpa kenal takut dia terus melangkah maju walaupun dengan langkah terseok-seok… menuju ke arahku. Mata kami sempat saling berpandangan, dan aku melihat keteguhan tekad di sana. Kenapa? kenapa dia mencelakai dirinya sendiri seperti ini? Kenapa dia bertekad mendatangiku? Apa yang begitu penting hingga ia rela mengorbankan nyawanya?
Beberapa prajurit lain datang menghadangnya, dan tanpa memperdulikan luka di sekujur tubuhnya, pria itu kembali bertarung dengan gagah berani. Aku benar-benar merasa frustasi. Aku ingin berteriak menghentikan penyiksaan terhadap pria itu, tapi aku tak bisa. ada apa dengan mereka? Tidakkah mereka lihat dia sudah terluka parah? Kenapa mereka begitu tega?
Pria itu kembali berhasil mengatasi orang-orang yang menghadangnya, tapi kondisinya semakin lemah. tanpa sadar air mataku sudah menetes saat melihatnya berjuang sekuat tenaga untuk bangkit berdiri dengan bertumpu pada pedangnya. Tolong, hentikanlah… kau sudah terluka.
Dengan gigih pria itu melangkah semakin mendekatiku, tapi kembali dihadang dua prajurit lain yang tak begitu jelas kulihat wajahnya. Aku sangat ketakutan saat melihat salah seorang dari prajurit itu menusuk perut si pria yang sudah terluka itu dengan pedangnya. Tapi pria itu benar-benar gigih. Dia terus saja bergerak maju, walau dengan terhuyung-huyung, ke arahku. Aku tahu dia sangat kesakitan, tapi kenapa dia terus melawan? Kenapa dia tidak menyerah saja?
Saat pria itu semakin dekat dan berusaha meraihku, ingin sekali rasanya aku berlari memeluknya, tapi sebelum dapat melakukannya, seseorang menusuk pria itu dengan pedangnya lagi. Tidak! Ingin rasanya aku berteriak menghentikannya. Tapi aku tidak bisa! Kenapa!?
Hatiku terasa remuk ketika melihat pria itu roboh ke tanah dengan lengan masih terentang ke arahku. seluruh keberaniannya, tekadnya, kegigihannya mempertaruhkan nyawa untuk mendekatiku… semua berakhir sia-sia. Dia mati di hadapanku.
“Tidak!!!” aku menjerit dengan napas terengah-engah.
Seketika ruangan menjadi terang saat kak Ye Jin menyalakan lampu nakas. “Ada apa, Yo Won? Kau bermimpi buruk?”
Mimpi? Ya… ini hanya mimpi… tapi kenapa terasa begitu nyata? Aku menyentuh pipiku, dan menghapus air mata yang masih saja terus mengalir.
Ini kedua kalinya aku melihat kejadian tadi dalam semalam. Sebelumnya adalah saat di atas panggung. Melihat Nam Gil di serang oleh pemeran-pemeran lain, tiba-tiba saja kilasan kejadian yang sama persis dengan mimpi burukku tadi, muncul dan melumpuhkanku selama beberapa saat—dan nyaris saja mengacaukan pertunjukan.
“Yo Won?” desak kakak.
“Eh, iya,” jawabku dengan suara parau. “Aku bermimpi buruk. Maaf membangunkan kakak,” kataku.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Tidurlah lagi,” saran kak Ye Jin, kemudian mematikan lampu.
Dalam kegelapan kamar aku merenungkan semua keanehan yang sering kualami, dan tak menemukan jawaban kenapa hal seperti itu bisa terjadi. Apakah aku menjadi gila? Apakah aku hanya berhalusinasi? Karena apa? Kenapa yang sering menghantuiku adalah pria yang berwajah amat mirip dengan Nam Gil? Apa mungkin aku begitu tergila-gila pada Nam Gil? Tapi tidak mungkin. Ya, kuakui aku tertarik padanya, tapi masih dalam tahap ketertarikan biasa.
Hah… sudahlah, masih banyak hal lain yang harus kupikirkan selain hal yang tak ada penjelasannya seperti mimpi-mimpi dan kilasan-kilasan pengelihatan itu. contohnya janjiku pada Ayah untuk bertemu dengannya hari minggu nanti. Selama ini aku terus mengulur-ulur waktu pertemuan kami karena aku belum siap untuk bertatap muka dengannya. Sebenarnya hingga sekarang pun masih belum siap, tapi aku tak bisa lagi menghindar. Dan memang sebaiknya segera di selesaikan. Aku tidak tahu apa pembelaan Ayah atas perbuatan tak bermoralnya, tapi aku yakin semua itu hanya kebohongan untuk menutupi kebejatannya.
“Aku sendiri bukan orang suci. Kalau aku berbuat salah dan menyesali perbuatanku di masa lalu, pastinya aku berharap orang yang kukecewakan akan memaafkanku.” Aku kembali teringat pada perkataan Nam Gil waktu itu.
Memang benar apa katanya, tapi aku tidak yakin aku bisa sebaik itu. setidaknya tidak dalam waktu dekat ini. Mungkin… mungkin pada akhirnya aku akan memaafkannya, tapi tidak sekarang ataupun hari minggu nanti.
Ibu, apa yang akan Ibu katakan dan lakukan bila sekarang kau masih hidup dan mendengar Ayah ingin bertemu kita dan bicara? Apakah Ibu akan memaafkan Ayah? Ataukah Ibu akan terus mendendam pada Ayah? Ibu, kuharap kau tak menyalahkanku karena membenci Ayah.
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar