CHAPTER 13
Cast :
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Alcheon : Lee Seung Hyo
Yong Choon : Do Yi Sung
Yeom Jong : TETAP
San Tak : TETAP
Jook Bang : Lee Moon Shik
Go Do : Ryu Dam
-----------------------------------------------------
- Kim Nam Gil - 2 Februari 2011 -
Aku meringis menahan tusukan rasa sakit di punggungku sambil terus berjalan mengikuti Yeom Jong melintasi lorong menuju bagian belakang bar pamannya ini. Sekarang sudah jam 1 pagi. San Tak sudah diantar pulang oleh Yeom Jong sebelum kami kemari, jadi kini hanya kami berdua.
“Lewat sini,” kata Yeom Jong sambil berbelok ke kiri, kemudian menaiki tangga besi yang melingkar menuju lantai dua.
Di lantai dua dipenuhi pria-pria berpakaian serba hitam. Mereka berbeda—tentu saja—tapi memiliki aura pengacau dan berbahaya yang sama. Ada yang bertubuh tinggi besar dan penuh tonjolan otot, ada juga yang wajahnya penuh parut—yang dalam komunitas seperti ini biasa dianggap sebagai penghargaan atas keberanian dan keberhasilan orang tersebut melewati pertempuran yang membuatnya terluka namun tetap bertahan hidup—dan ada juga yang terlihat normal, dengan senyum ramah selalu tersungging di bibirnya. Tapi justru menurutku tipe seperti yang terakhir inilah yang paling berbahaya. Mereka menyembunyikan kekejaman dibalik kesopanan. Kutebak, mereka semua pastilah anggota organisasi paman Yeom Jong.
Yeom Jong mengetuk sebuah pintu di ujung ruangan lantai dua ini, dan berseru, “Paman, kami datang!”
Tak ada sahutan, tapi kemudian pintu terbuka. Seorang pria bertubuh pendek dengan tato di kepala plontosnya, mengamati kami sedetik, kemudian melangkah mundur untuk mempersilakan kami masuk. Berbeda dengan gaya ruangan di luar yang terkesan berantakan, ruangan milik Tuan Oem ini justru sangat mewah. Yah, sang bos pasti menginginkan yang terbaik.
“Kemarilah. Silakan duduk!” panggil Tuan Oem dari balik meja kerjanya. “Kim Nam Gil. aku sudah sering mendengar mengenai kemampuan berkelahimu. Bakat yang bagus, kan?” katanya saat aku dan Yeom Jong duduk di hadapannya.
Aku hanya diam saja. sejujurnya, bila tidak terpaksa, ingin sekali aku langsung pulang ke rumah dan beristirahat. Sekujur tubuhku rasanya sakit sekali. sial. Karena terlalu emosi pada pria mesum itu, aku tidak bisa berkonsentrasi melawan para penjaga keamanan sehingga mereka berhasil menghajarku hingga babak belur seperti sekarang.
Tuan Oem bersandar di kursi berlapis kulitnya sambil menghisap cerutunya lagi. “Apa kau tahu berapa kerugian yang kudapat malam ini akibat perkelahianmu?” tanyanya. “Barang-barang yang rusak, pelanggan yang kabur karena takut terkena masalah, menyogok polisi yang menahanmu, dan yang terpenting, biaya pengobatan dan uang tutup mulut untuk pria yang kau hajar tadi. Menurutmu berapa banyak itu?”
Jadi sudah dimulai. Sekarang waktunya dia meminta imbalan dariku. “Banyak,” sahutku singkat.
Tuan Oem tersenyum. “Benar. Tapi aku terkenal dengan kedermawananku pada anak-anak buahku,” katanya. “Sekarang tergantung dirimu. Bila kau mau masuk menjadi anggotaku, semua hutangmu padaku kuanggap lunas. Tapi bila tidak—“
Terdengar suara ketukan lagi. Si botak beranjak dari tempat duduknya dan membukakan pintu. Aku tidak melihat, tapi aku mendengarnya terkesiap kaget. Si botak dengan cepat mendekati Tuan Oem dan membisikkan sesuatu di telinganya. Aku tidak mendengar terlalu jelas, tapi aku sempat menangkap nama “Do Yi Sung”. Bagiku, nama itu rasanya familiar, tapi aku tak begitu pasti karena banyak orang bernama sama. Namun, jelas Tuan Oem sangat mengenal, dan dilihat dari ekspresi wajahnya, dia juga segan pada pria bernama Do Yi Sung tersebut.
Terdengar ketukan tak sabar lagi, tapi sebelum si botak sempat membukakan, pintu tersebut sudah terhempas membuka, dan seorang pria perlente menerobos masuk dengan diiringi beberapa pria berjas yang sepertinya bawahan pria tersebut.
“Tuan Do!” seru Tuan Oem dengan keriangan dipaksakan.
“Oem Hyo Soeb,” sapa Do Yi Sung. “Sepertinya aku mengganggu pembicaraan pentingmu,” katanya dengan nada tak perduli, sambil mengamatiku dan Yeom Jong.
Wajahnya… rasanya…
Do Yi Sung tersentak kaget saat kembali menatap ke arahku. “Kim Nam Gil!?” tanyanya tak percaya.
Astaga! Ya, dia Do Yi Sung yang itu!
- Lee Yo Won - 2 Februari 2011 -
“Selamat pagi,” sapa kak Ye Jin. “Kenapa kau mondar-mandir di sini?” tanyanya, mengomentari diriku yang sejak baru datang tadi terus saja gelisah menunggu kedatangan Nam Gil di depan kelas.
“Aku menunggu Nam Gil,” jawabku.
“Kim Nam Gil? kenapa kau menunggunya?”
“Aku… mengkhawatirkannya.”
Kak Ye Jin mengerutkan kening dengan bingung. “Sebenarnya ada apa?”
“Tanpa sengaja aku mencelakakannya. Tadinya aku berencana memanfaatkan Nam Gil untuk mencari skandal keluarga Go, tapi gara-gara niat burukku, semalam dia babak belur dihajar orang. Salahku. Semua salahku. Seandainya aku tidak memaksa untuk mengikutinya ke bar. Seandainya dia tidak memukul pria itu. sekarang dia bermasalah dengan pria pemilik bar. bagaimana kalau dia malah mencelakakan Nam Gil? Bagaimana—“
Kak Ye Jin mengguncang-guncang tubuhku. “Yo Won. Hei, Lee Yo Won! Tenanglah,” perintah kak Ye Jin. “Kau bicara begitu cepat. Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.”
“Aku—“ sadar diriku masih terlalu tegang untuk bercerita, aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Saat akan mulai bercerita kembali, aku melihat kak Ye Jin tiba-tiba mengalihkan perhatiannya dariku ke pada sesuatu di belakangku. Dengan penuh harap aku menengok dan berharap melihat Nam Gil, tapi malah melihat Yeom Jong berjalan mendekati kami.
Saat melihat lebam-lebam di wajah pemuda itu, aku semakin panik. Semalam, terakhir kali kulihat, Yeom Jong masih baik-baik saja. apa yang terjadi? Kalau Yeom Jong yang tadinya baik-baik saja jadi begini, lalu bagaimana dengan…
“Dimana Nam Gil?” tanyaku padanya.
Yeom Jong menampakkan ekspresi kesal. “Aku kemari justru ingin mencarinya,” sahutnya sedikit ketus. “Bila dia datang, katakan tadi aku kemari mencarinya,” pesannya, lalu berjalan pergi.
“Tunggu! Bagaimana Nam Gil? bagaimana keadaannya? Dia tidak apa-apa, kan?” desakku.
Yeom Jong tertawa sumbang. “Setan cilik itu bersaudara dengan malaikat pencabut nyawa, jadi tak usah kau perdulikan. Tak semudah itu dia dibuat mati,” jawabnya.
Apa maksudnya itu? jadi Nam Gil dipukuli atau tidak?
“Yo Won, ayo masuk,” ajak kak Ye Jin. “dan ceritakan lebih rinci. Karena aku benar-benar tidak mengerti perkataanmu tadi.”
Setelah sekali lagi mengawasi koridor dan tidak melihat tanda-tanda kemunculan Nam Gil, akupun menuruti saran kak Ye Jin. Di dalam kelas aku menceritakan segalanya. Dimulai dari ide yang muncul tiba-tiba setelah mendengar berita keluarga Go dari kak Tae Wong, dan berakhir semalam, saat aku memaksa ikut ke bar lalu membuat Nam Gil terluka dan terlibat masalah.
“Kau pergi ke bar!?” seru kak Ye Jin tak percaya. “Astaga, Yo Won…”
Aku mendesah frustasi. “Ya. Dan aku benar-benar menyesalinya sekarang. Gara-gara aku memaksa ikut, Nam Gil jadi celaka.”
“Sudah pernah kukatakan padamu, dendam itu hanya—“
“Ya, aku tahu. Kau benar,” kataku. “Ya Tuhan, seandainya bisa kuputar waktu, tak akan kulakukan. Aku benar-benar menyesal…”
Selama beberapa saat terjadi keheningan diantara kami. “Kau menyukainya,” kata kak Ye Jin sambil mengamatiku. Itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan. Kakak sangat mengenalku. Aku tak perlu menyuarakan isi hatiku, dan dia langsung bisa menebaknya.
Saat pelajaran sudah berlangsung selama lima belas menit, tiba-tiba seisi kelas menjadi ribut. Penyebabnya adalah Nam Gil yang berjalan masuk ke dalam kelas dalam keadaan terpincang-pincang, dan wajahnya yang lebam dan dihiasi luka.
“Nam Gil!” tanpa sadar aku sudah berdiri dari kursiku dan menyerukan nama pemuda itu.
Pak Baek Sung Hoo melayangkan tatapan memperingatkan padaku, yang membuatku segera duduk kembali. “Hmm, apa lagi yang kau lakukan kali ini, Kim Nam Gil?” desah guruku itu. “Lihat saja wajahmu itu… ck, ck, ck, hah… sudahlah. Kau membuatku tidak tega menyuruhmu keluar kelas. Duduk sana! Tapi temui aku saat jam istirahat,” katanya.
Nam Gil mengangguk pada pak Baek, lalu mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku tersenyum geli. Hah… aku lega sekarang. Setidaknya lukanya tidak bertambah dari yang terakhir kali kulihat semalam. Walaupun begitu aku tetap mencemaskannya… juga merasa bersalah.
Saat melihat pak Baek memunggungi murid-muridnya untuk menulis di papan tulis, aku langsung mengendap-endap mendekati meja Nam Gil tanpa memperdulikan peringatan dari kak Ye Jin, dan mengusir Ryu Dam agar sementara pindah ke mejaku.
Nam Gil tersenyum geli. “Nekat sekali,” komentarnya. “Kau penasaran dengan ceritaku, atau rindu padaku?” godanya.
Aku duduk di kursi Ryu Dam sambil mencondongkan tubuhku ke arah Nam Gil. “Bagaimana lukamu? Pasti sakit sekali, ya? Lalu apa yang terjadi semalam? Paman Yeom Jong benar-benar tidak menghajarmu? Jadi apa yang diinginkan—“
Rentetan pertanyaanku terhenti begitu mendengar Nam Gil terkekeh geli. “Tenang saja. aku sudah pernah terluka seperti ini sebelumnya,” katanya, seolah penjelasan itu bisa menghilangkan kekhawatiranku. “Dan, bukankah sudah kukatakan padamu semalam, paman Yeom Jong tidak berniat menghajarku.”
“Jadi bagaimana? Ayo ceritakan!” desak San Tak dari kursinya.
Senyum Nam Gil memudar saat dia mendelik kesal pada San Tak. “Aku sedang bicara dengan Yo Won. jangan mengganggu!” omelnya.
Dengan bersungut-sungut San Tak memutar tubuhnya hingga menghadap ke depan lagi.
“Lalu apa?” tanyaku.
“Dia ingin merekrutku ke dalam organisasinya.”
San Tak kembali berputar secepat gasing menghadap Nam Gil. “Apa kubilang!” serunya takjub. “Ingat, saat di festival—“
“Diam,” perintah Nam Gil, membuat San Tak seketika tak bersuara.
“Organisasi? Maksudmu… ah, astaga, apakah dia… semacam… mafia?” bisikku.
“Tentu saja,” sahut San Tak. “Paman Yeom Jong itu bos mafia.”
“Kau rindu pada kepalan tanganku, ya?” desis Nam Gil sambil menyeringai mengancam temannya itu.
“Jadi? Sekarang kau menjadi anggotanya?” tanyaku khawatir. “Astaga!” tanpa sadar aku berseru nyaring.
“Ssstttttttt!!!” desis pak Baek dari depan kelas sambil terus menulis penjelasan pelajarannya di papan tulis.
Nam Gil ikut mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Tidak. Nyaris saja, tapi tidak jadi. Dan itu berkat bantuan bos Tuan Oem sendiri,” jawabnya dengan berbisik.
“Bosnya? Maksudmu paman Yeom Jong bukan bos?” tanya San Tak terkejut.
“Dalam organisasi mereka, Tuan Oem bukanlah bos besar. Do Yi Sung lah yang paling berkuasa,” kata Nam Gil. jelas dia sudah malas memperingatkan San Tak.
“Siapa Do Yi Sung? Kenapa dia mau membantumu?” tanyaku.
“Dia sahabat kakakku semasa SMU, dan sesama anggota di clubhouse tempat Ayahku menjadi anggota,” jawab Nam Gil. “Baru sabtu lalu aku bertemu dengannya di lapangan golf dan diperkenalkan Ayahku padanya.”
“Sahabat kakakmu, dan kenalan ayahmu? Kebetulan sekali,” komentar San Tak.
“Sahabat kakakmu? Berarti dia masih muda, bagaimana bisa menjadi bos organisasi seperti itu?” tanyaku.
“Dia mewarisi posisi itu dari ayahnya,” jawab Nam Gil. “Aku beruntung semalam kak Yi Sung sedang kesal pada Tuan Oem yang menggelapkan uangnya, sehingga dia mendatangi pria itu ke barnya. Kalau dia tidak ada, mungkin aku terpaksa setuju menjadi anak buah Tuan Oem. Aku sudah membuatnya merugi banyak.”
“Padahal kan tidak ada ruginya masuk organisasinya,” komentar San Tak. “Mereka penguasa Seoul!”
“Kau saja yang mengajukan diri pada mereka,” gerutu Nam Gil.
Tusukan rasa bersalah itu kembali menyesakkan dadaku. “Maafkan aku,” gumamku.
“Hei, aku tidak menyalahkanmu,” kata Nam Gil. “Lagi pula, semua sudah lewat.”
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Nam Gil tidak tahu. Kalau dia tahu aku sempat terpikir untuk memanfaatkannya… dia pasti akan kecewa dan membenciku. “Kau benar,” akhirnya aku berkomentar.
Selama beberapa saat kami terdiam dalam posisi saling mencondongkan tubuh dari meja masing-masing dan berpandangan. Sorot mata Nam Gil seolah menembus hingga ke jiwaku, dan seketika getaran manis itu kembali merambati dadaku.
Kami baru tersadar setelah mendengar seseorang berdeham dan kemudian diiringi tawa anak-anak lain. Dengan salah tingkah aku membalas tatapan tajam pak Baek Sung Hoo yang diarahkan padaku dan Nam Gil. “Kurasa ini bukan tempat dudukmu, Nona Lee,” tegurnya. “Dan kau, Kim Nam Gil, perhatikan pelajaranku, atau kau akan benar-benar kuusir keluar kelas.”
- Kim Nam Gil - 2 Februari 2011 -
Aku menutup pintu ruang guru di belakangku dengan lega. Untungnya cerita karanganku mengenai keterlambatan dan luka-lukaku dapat diterima.
“Aku mencari-carimu sejak tadi,” kata Yeom Jong sambil berjalan menghampiriku.
“Ada apa dengan wajahmu?” tanyaku.
“Ini karena kau. Kau membuat Pamanku merugi, tapi kemudian dia tidak bisa menjadikanmu anak buahnya. Akibatnya, dia melampiaskan kemarahannya padaku,” katanya marah.
“Seharusnya kau lawan dia,” sahutku enteng, lalu berjalan pergi.
“Kau gila!?” bentaknya. “Jika saja kau tidak membuat ulah dengan menghajar pria itu! semua ini tidak akan terjadi!”
Dengan cepat aku berbalik menghadapnya. “Pria itu berani menyentuh Yo Won. dia pantas menerima pukulanku,” desisku tepat di depan wajah Yeom Jong.
“Benarkah?” tanya Yeom Jong sambil tertawa sinis. “kau begitu membelanya. Kau sangat menyukainya?”
“Bukan urusanmu.”
“Tapi apakah kau sudah yakin perasaannya sama denganmu?” sindirnya.
“Apa maksudnya itu?” tanyaku dengan nada tajam.
Yeom Jong mengangkat bahu acuh tak acuh. “Mungkin saja dia memperalatmu,” katanya, kemudian pergi sambil tertawa.
Omong kosong apa ini? Apa maksudnya Yo Won memperalatku? Untuk apa? Dasar bodoh! Aku melihat sendiri bagaimana Yo Won menatapku saat di kelas tadi. Dia terlihat benar-benar mengkhawatirkanku. Perasaannya terlihat tulus, tidak dibuat-buat. Hah… untuk apa juga aku memikirkan omongan si bodoh itu?
- 14 Februari 2011 -
“Ah… ini hari senin paling indah dalam sejarah,” desah San Tak sambil bersandar di lokernya.
“Kenapa?” tanyaku sambil membuka lokerku dan memasukan beberapa buku.
San Tak menyeringai dan melambai-lambaikan kotak kecil dengan pita merah muda yang dipegangnya ke hadapan wajahku. “Cokelat valentine,” sombongnya.
Aku tersenyum lebar. “Oh, aku mengerti maksudmu. Seperti ini?” aku pura-pura bertanya dan mengambil sekantung besar kotak-kotak cokelat dari dalam tasku.
“Itu… kau yakin tidak membeli semua itu sendiri?” tuduhnya dengan ekspresi kesal.
“Aku menemukan semua itu di laci mejaku, lalu kukumpulkan di dalam kantung plastik,” sahutku. “Ambillah, aku tidak perlu,” lanjutku sambil menyerahkan bungkusan itu padanya.
“Hah… gadis-gadis bodoh. Untuk apa mereka memberimu kalau pada akhirnya akan kau sia-siakan begini?” gerutunya ketika menerima bungkusan dariku.
Aku menyeringai lebar. “Karena aku tampan,” godaku.
San Tak mendengus keras seperti kuda. “Oh ya, Yo Won sudah memberimu?” tanyanya tiba-tiba.
Seringaiku segera memudar. Yah, sebenarnya sejak pagi aku mengharapkannya, tapi tidak terlihat tanda-tanda Yo won akan memberiku cokelat.
“Belum,” sahutku berlagak tak perduli. “Ayo ke kafetaria,” ajakku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Nam Gil!” panggil Yo Won setelah aku dan San Tak memilih makanan. “Di sini!” serunya sambil melambai-lambaikan tangan mengajakku bergabung di mejanya.
Dengan bersemangat aku menyeret San Tak mendekati meja Yo Won, dan sedikit kecewa saat mendapati di meja itu juga ada Ryu Dam, Moon Shik, Seung Hyo, dan Tae Wong, selain Park Ye Jin yang memang selalu bersama dengan Yo Won. ada apa dengan mereka berempat? Memangnya tidak ada meja lain? Kenapa harus mengerubungi Yo Won?
Untungnya aku tetap bisa duduk di sebelah Yo Won. “Hai,” sapaku.
Yo Won membalas senyumku. “Oh ya, aku lupa memberikan ini,” katanya sambil membungkuk dan mengambil sesuatu dari tas plastik bergambar bintang-bintang berwarna biru yang di taruhnya di dekat kakinya. “Ini untukmu,” katanya ceria.
Aku menerima kotak yang dibungkus kertas kado berwarna putih dan hiasan pita biru muda itu dengan hati gembira. Ternyata Yo Won memberiku cokelat valentine!
“Terima kasih,” kataku riang.
“Aku harap kau suka,” kata Yo Won. “Aku membuatnya sendiri.”
Aku menatap cokelat pemberian Yo Won dengan perasaan terharu. Yo Won membuatnya sendiri. Khusus untukku. “Kau—“
“Dan ini untuk kak Tae Wong—mungkin tidak seenak pemberian kak Ye Jin, tapi kuharap kakak mau menerimanya,” lanjut Yo Won, sebelum aku sempat berkata-kata. “Ini untuk kak Seung Hyo, ini untuk Moon shik, ini untuk Ryu Dam, dan ini untukmu, San Tak,” katanya sambil terus membagi-bagikan cokelat.
“Wah, untukku juga ada?” seru San Tak takjub, tapi dengan segera dia menghapus ekspresi senang dari wajahnya setelah melihatku kesal.
Kulirik wajah ceria Yo Won. apakah dia benar-benar hanya menganggapku sebagai teman? Sama seperti Tae Wong, Seung Hyo, Moon Shik, Ryu Dam dan San Tak? Apakah aku tidak istimewa baginya, seperti dia yang istimewa bagiku? Napsu makanku langsung hilang. Apalagi saat melihat pemuda-pemuda lain yang diberi cokelat oleh Yo Won itu langsung membuka bungkusannya dan dengan antusias mencoba potongan-potongan kecil cokelat berbentuk bulat dan kotak buatan Yo Won.
“Enak!” puji mereka.
“Benarkah? Terima kasih,” sahut Yo Won ceria.
“Sebenarnya aku juga ingin mencoba cokelat buatanmu,” kata Tae Wong pada Park Ye Jin. “Tapi kau melarangku membukanya sekarang.”
Park Ye Jin tersipu malu. “Dicoba nanti saja, saat sudah di rumah.”
“Wah, apakah itu artinya cokelat untuk Tae Wong istimewa?” goda Seung Hyo, membuat rona merah di wajah Park Ye Jin semakin menjadi.
“Aku harus pergi,” kataku sambil bangkit. “Terima kasih untuk cokelatnya.”
Wajah Yo Won terlihat kecewa. “Tapi makananmu belum tersentuh sama sekali,” katanya.
“Aku baru sadar kalau tidak lapar,” sahutku. “Permisi.” Kemudian aku berjalan cepat keluar dari kafetaria.
Kupikir… setelah melihat caranya memandangku, dan juga perhatiannya selama ini… sial! “Argh!!!” aku berlari sambil berteriak kesal.
Setelah sampai di atap, dan duduk memandangi awan putih dan langit biru, barulah aku teringat pada cokelat yang sejak tadi kupegang. Dengan tak semangat aku mulai membuka ikatan pita birunya, lalu kertas kado putih polos pembungkus kotaknya.
“Bintang…” gumamku. Potongan-potongan kecil cokelat pemberian Yo Won untuku berbentuk bintang. Bukan bulat atau kotak seperti yang diberikannya pada teman-teman yang lain.
“Aku sangat suka barang-barang berbentuk bintang.” aku ingat jelas kata-kata Yo Won saat kami membolos waktu itu. Yo Won penyuka bentuk bintang. Dan sekarang dia memberiku cokelat berbentuk bintang. khusus untukku. Hanya untukku. Bukankah ini berarti… astaga!
Cepat-cepat aku berdiri dan berlari menuruni tangga. Tapi baru sampai pertengahan tangga, aku berhenti. Karena Yo Won ada di hadapanku. Dia terengah-engah seperti habis berlari.
“Aku mencarimu,” katanya setelah dapat bernapas dengan lebih teratur. “Tadi sepertinya kau kesal sekali. Ada apa—“
Aku meraih tangan Yo Won sambil tersenyum lebar. “Apa kau mau pergi ke bioskop denganku setelah pulang sekolah?” tanyaku.
Yo Won terperangah. Dia menatap tangannya yang berada dalam genggamanku, lalu wajahku. “Kau sudah tidak kesal lagi?” tanyanya.
Aku tersenyum malu. “Hanya salah paham. Aku… kupikir kau… sudahlah, tidak usah dibahas. Jadi bagaimana? Kau mau menemaniku?”
“Tentu saja!” sahut Yo Won sambil tertawa kecil.
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar