Kamis, 13 Januari 2011

THE REINCARNATION - Chap 5 - Fanfiction BIDEOK / NAMWON -

CHAPTER 5



Cast :

Bi Dam : Kim Nam Gil                             
Deokman : Lee Yo Won

Yoo Shin : Uhm Tae Wong                         
Yong Soo : Kim Jung Chul
Choon Choo : Yoo Seung Ho          
Bo Ryang : Yoo Eun Bin
Alcheon : Lee Seung Hyo
San Tak : TETAP
Yeom Jong : TETAP
Young Mo : Qri
Jook Bang : Lee Moon Shik

------------------------------------------------


- Kim Nam Gil - 13 Desember 2010 -

Brengsek! Berani-beraninya Han Ji Yoon menyerangku kemari setelah dia nyaris mencurangiku kemarin siang!? Yang lebih brengsek, dia berani menyerang Yo Won!

Semua alasan itu, dan juga suasana hatiku yang buruk sejak melihat bocah kecil tadi dipukuli ibunya, membuatku menumpahkan semua emosiku pada Han Ji Yoon dan anak-anak buahnya yang berani mengeroyokku. Akan kubuat mereka menyesal pernah berurusan denganku. Mereka akan menyesali hari saat mereka menginjakkan kaki ke SMU Chongjan seumur hidup mereka!

Aku begitu kalut dengan amarahku hingga tak mendengar suara sirine mobil polisi, dan tak akan tahu bila Yeom Jong dan San Tak tidak menghampiriku dan menarikku menjauhi Han Ji Yoon dan anak-anak buahnya.

“Hentikan, Nam Gil, kita harus cepat pergi! seseorang menelepon polisi. Kita harus pergi!” kata Yeom Jong panik

Dengan napas terengah-engah, aku menatap korban-korbanku yang tergeletak di lantai dan sedang mengerang-ngerang kesakitan. Brengsek, kalau Go Young Jae tahu, dia akan mengirimku ke sekolah asrama.

“Ayo!” ajakku pada San Tak, Yeom Jong, dan semua anak buahnya yang dipanggilnya kemari untuk membantu melawan geng Han Ji Yoon.

Tapi saat kami membuka pintu belakang aula, gerombolan polisi sudah menanti kami di sana. Sial!




- 14 Desember 2010 -                                   

“Baiklah, kau boleh keluar sekarang,” kata Uhm Seoh Yeon, kepala sekolahku, yang juga ayah dari Uhm Tae Wong.

Aku membungkuk dengan sopan, sebelum keluar dari ruang kerjanya. Hah… selesai sudah. Setelah mengintrogasi dan menasehatiku, dia memutuskan kali ini tidak akan memberiku hukuman. Untung saja kali ini aku tidak diskors dan tidak ditahan polisi. Terima kasih pada kak Jung Chul untuk yang terakhir itu.

Kemarin, setelah gagal melarikan diri bersama San Tak, Yeom Jong, dan anak-anak buahnya, kami semua yang terkait dalam perkelahian di aula dibawa ke kantor polisi. Untungnya, dengan bantuan tak terduga dari kak Jung Chul—kebetulan kemarin dia datang ke sekolah untuk menemuiku, dan saat melihatku digiring ke kantor polisi, dia mengikuti ke sana—dan teman polisinya, anak-anak SMU Chongjan dapat dibebaskan dengan cepat. Yah, lagi pula kami memang tidak bersalah. Geng Han Ji Yoon yang lebih dulu menyerang kami.

Go Young Jae dan Ibu sempat mencurigaiku, karena Do Bin bercerita melihatku dibawa polisi, tapi aku menyangkalnya.

“Kalau benar aku ditahan polisi, tidak mungkin aku sudah dibebaskan secepat ini, dan tak meminta bantuan kalian untuk mengeluarkanku dari sana,” bantahku kemarin. Untungnya mereka percaya… yah, tapi sebenarnya kalau mereka tidak percaya juga tak masalah, yang penting aku tidak membuat mereka gusar karena ditahan polisi.

Mengingat hal ini membuatku teringat pada kak Jung Chul dan perbincangan kami kemarin di sebuah café sepulangnya dari kantor polisi.

“Cepat sekali kakak kembali ke Korea lagi,” komentarku heran. “Baru beberapa bulan yang lalu kakak pulang. Apa kau sudah tidak bekerja di Amerika lagi?”

“Tentu saja masih,” jawab kak Jung Chul tenang. “Aku kemari karena Ayah.”

Aku mengerutkan kening. “Ada apa dengan Ayah? Apa dia sakit parah?”

Kak Jung Chul tersenyum. “Tidak. Dia cukup sehat,” jawabnya sebelum menghirup kopi pesanannya. “Aku kemari untuk membantu Ayah mengurus rencananya menjual perusahaannya.”

“Apa? Ayah mau menjual perusahaannya? Tapi kenapa? apakah perusahaan Ayah terancam bangkrut?”

Kak Jung Chul menggeleng. “Tidak. Perusahaan itu masih sekokoh biasanya, tapi Ayah merasa dirinya sudah terlalu tua untuk dibuat stress dengan tumpukan pekerjaan dan tanggung jawabnya di perusahaan itu,” kata kak Jung Chul. “Dia berencana menjual perusahaan dan rumah kita.”

Rumah itu tak akan pernah terasa sebagai rumahku. “Kenapa rumah juga dijual? Apa Ayah berniat membeli rumah baru?”

Lagi-lagi kak Jung Chul menggeleng. “Tidak juga,” sahutnya. “Ayah berniat pindah bersamaku ke Amerika.”

Aku terdiam. Ayah akan ke Amerika?

“Dia ingin memulai hidup baru yang tenang di sana bersamaku,” kata kakak lagi. “karena itulah aku mendatangi sekolahmu. Aku ingin mengatakan hal ini dan menawarimu ikut bersama kami bila saatnya nanti Ayah jadi pindah ke Amerika.”

“Tapi aku—“

“Aku tahu kau tidak bersedia tinggal bersama Ayah di rumah kita karena kenangan tentang Ibu sangat kuat di rumah itu,” potong kak Jung Chul. “Tapi rumahku di Amerika berbeda dengan di sini. Kau bisa memulai hidup yang baru di sana bersama kami berdua.”

“Aku tidak bisa,” jawabku langsung.

“Pikirkanlah dulu, tak perlu terburu-buru,” saran kak Jung Chul. “Dan lagi, ini kesempatan baik untukmu berbaikan dengan Ayah. Sebenarnya salah satu alasan Ayah ingin pindah ke tempat baru juga demi dirimu. Dia ingin memulai semua dari awal denganmu.”

Ayah perduli padaku? Yang benar saja.

“Masih banyak waktu bagimu memikirkannya, karena proses penjualan perusahaan dan rumah pun akan memakan waktu yang tidak sebentar. Aku sangat berharap kau mau ikut dengan kami. Belakangan ini aku sudah terlalu sering cuti, sehingga beberapa waktu ke depan aku tak akan bisa berkunjung ke Korea. Aku tidak bisa sering-sering mengecek keadaanmu.”

Aku mendengus. “Tak perlu khawatir, aku bisa menjaga diri sendiri.”

Kak Jung Chul mengerutkan keningnya. “Benarkah? Bagaimana dengan kejadian barusan? Itu yang kau sebut bisa menjaga diri?” sindirnya. “Ah, aku bahkan belum sempat bertanya apa yang kau lakukan hingga ditangkap polisi? Jangan katakan kalau tadi ada hubungannya dengan obat-obatan,” tambahnya dengan nada tajam.

“Astaga, tentu saja bukan!” protesku. “Anak-anak brengsek itu yang lebih dulu menyerang. Aku dan teman-temanku hanya membela diri.”

“Bagus. Baiklah, kita bicarakan lagi soal ini nanti. Pikirkanlah tawaran ini, Nam Gil,” pesannya.

Hah… tidak perlu dipikirkan. Aku tidak akan pergi bersama mereka.

“Sial sekali,” gerutu seorang murid laki-laki saat aku memasuki aula. “gara-gara perkelahian kemarin, hampir semua peralatan yang kita buat untuk drama nanti rusak.”

“Benar,” kata yang lainnya menyetujui. “hiasan panggung juga rusak. Gara-gara pengacau kemarin, pementasannya diundur seminggu dari waktu yang sudah ditetapkan.”

Mereka benar, aula terlihat kacau sekali. Dasar Han Ji Yoon sial.

“Kim Nam Gil!” seru Qri dari sisi lain aula. Gadis itu sedang bersama kerumunan orang yang mungkin pemeran-pemeran dalam pementasan nanti. “Ini naskahnya,” katanya padaku setelah aku mendekat. Aku menerima naskah itu sambil mengamati kerumunan di sekitar Qri. Tidak ada Yo Won. Dimana dia?

“Kim Nam Gil! kau baik-baik saja? bagaimana keadaanmu? kau tidak terluka?” rentetan pertanyaan itu datang bersama sesosok tubuh yang berlari memasuki aula dan menghampiriku. Yo Won.

Gadis itu berdiri di hadapanku dan mengamati keseluruhan diriku dengan cermat. “Kenapa hanya ada luka kecil di kening?” gumamnya.

Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau kesal mendengar komentarnya. Bisa-bisanya dia berkata begitu? Padahal baru saja aku merasa senang melihatnya mengkhawatirkan keadaanku.

“Apa yang kau harapkan? Aku menjadi lumpuh karena perkelahian kemarin?” sindirku.

Yo Won mendelik marah. “Tentu saja tidak,” bantahnya.

“Lee Yo Won, ini naskahnya,” kata Qri sambil menyerahkan naskah tersebut pada Yo Won. “Oh ya, ngomong-ngomong kau terlihat keren sekali saat kemarin memegang busur!” puji Qri padaku.

“Eh, benarkah?”

“Ya, benar. Tapi kak Tae Wong juga sangaaat tampan saat berkelahi. Dia terlihat jantan sekali saat menghajar berandalan-berandalan itu. melihatnya aku jadi teringat super hero idolaku, Spiderman!” ocehnya dengan mata menerawang ke kejauhan.

Aku mendengus kesal. Sial, apa-apaan memuji-muji Tae Wong seperti itu? hah! kalau Tae Wong itu Spiderman, maka aku pasti Superman!

“Walaupun kekacauan di aula menyebabkan bagian peralatan harus bekerja keras mengulang persiapan pentas nanti, tapi ini keuntungan juga bagi kita,” kata Qri, kembali ke masalah pementasan. “Kita jadi punya waktu ekstra untuk berlatih.”

“Ah, ini juga yang mau kutanyakan sebelumnya,” kataku. “kenapa kita yang bermain dalam pementasan nanti dan bukannya anak-anak klub drama? Biasanya klub drama yang mengadakan pertunjukan pada puncak acara festival,” tambahku.

Moon Shik—yang rupanya juga direkrut Qri menjadi pemeran dalam dramanya—mengangguk setuju. “Dan lagi, kenapa kita berlatih di sini bersama orang-orang yang mengatur panggung dan membuat peralatan? Biasanya anak-anak klub drama berlatih di gymnasium agar konsentrasinya tidak terganggu .”

“Waktunya pun singkat sekali,” tambah Yo Won. “Bukankah seharusnya kita berlatih paling tidak sejak sebulan sebelumnya?”

Qri menanggapi semua pertanyaan itu dengan senyum manis andalannya. “Ah, yah… sebenarnya kita hanya pertunjukan sampingan. Pertunjukan utamanya tetap dilakukan anak-anak klub drama,” jawabnya. “Tapi tidak usah perdulikan hal itu. yang penting pertunjukan kita nantinya akan bagus,” katanya ceria.

Hmm, pantas saja. Yah, aku tak seyakin dia mengenai suksesnya pertunjukan kami nanti. Apalagi bila orang-orang pilihannya yang lain sama tidak berbakatnya seperti diriku.

“Kuberi waktu untuk membaca naskahnya dulu, lalu kita akan memulai latihannya,” kata Qri lagi. “salahku juga lupa memberikannya pada kalian kemarin.”

“Apa-apaan ini!?” protesku setelah selesai membaca naskahnya. “Cerita jelek macam apa ini!?”

Qri terlihat tersinggung. “Ceritaku bagus. Mungkin seleramu yang buruk.” kecamnya.

“Bagus apanya! Kenapa kisah hidupku setragis ini!?” protesku. “Kalau ingin membuat cerita kerajaan, kenapa tidak cerita putri tidur atau putri salju, atau putri apapun namanya yang sering dibuat menjadi film kartun itu? kenapa aku menjadi pendekar yatim piatu miskin yang jatuh cinta pada ratu, lalu mati di akhir cerita? Kenapa peranku bukan pangeran tampan yang menyelamatkan putri lalu hidup bahagia selamanya?”

Qri menertawakanku. “Kau pikir kita ini anak TK? Tak ada murid SMU yang memainkan drama seperti itu!” ejeknya.

“Tapi apa harus setragis ini?” aku terus memprotes. “Lihat saja ini, cara matiku, aku terbunuh setelah ditembak anak panah, ditebas pedang, dan ditusuk tombak. Yang benar saja! kenapa tidak sekalian saja kau tambahkan aku ditabrak truk, dilindas tank, lalu ditimpa pesawat jatuh!?”

Aku mendengar suara tawa di sebelah kiriku. Yo Won. Gadis itu menertawakanku. “Kau seperti anak kecil yang marah karena tidak mendapat permen,” katanya sambil tertawa. Sial.

“Baiklah, kalau kau memang tidak menyukai peran ini, maka—“ Qri memulai tapi segera kupotong.

“Tidak!” seruku. Dasar tukang ancam. Pasti kalau aku melepas peran ini, dia akan menawarkannya pada Tae Wong. Tak akan kubiarkan si wajah datar itu bermain bersama Yo Won. “Baiklah, tidak apa aku mati,” gerutuku. Sudah cukup menyebalkan aku melihat Tae Wong pulang sekolah dengan Yo Won, tanpa perlu ditambah melihat mereka bermain bersama di drama ini.

Qri tersenyum manis. “Bagus. Kalau begitu, ayo kita mulai latihannya,” katanya ceria.


***


- Lee Yo Won - 14 Desember 2010 -                                

“Kau dan Nam Gil terlihat akrab,” komentar kak Ye Jin saat dia menjemputku dari latihan dramaku di aula.

“Yah, tentu saja, kami kan satu tim sekarang. Dia lawan mainku,” kilahku. Aku tahu kakak kurang menyukai Nam Gil karena reputasinya.

Aku sangat bersyukur pemuda itu tidak terluka separah yang kukhawatirkan. Kupikir dia akan babak belur setelah dikeroyok seperti kemarin, tapi ternyata hanya mendapat luka kecil di kening dan sedikit lebam pudar di sudut bibirnya.

Kak Ye Jin tidak berkomentar, tetapi menatapku penuh arti. “aku tidak tahu kalau ada peramal di festival ini,” komentar kak Ye Jin tiba-tiba. Perhatiannya mengenai keakrabanku dan Nam Gil teralihkan dengan tulisan: PASANGAN PERAMAL, di sebuah papan yang tergantung di salah satu gerai.

“Ingin mencoba diramal?” tanya kak Seung Hyo, mengagetkan kami.

“Kudengar pasangan peramal itu masih anak-anak,” timpal kak Tae Wong sambil berjalan mendekati kami bersama kak Seung Hyo. “Mereka murid SMP.”

“Peramalnya memang berpasangan?” tanya kak Ye Jin.

Kak Seung Hyo mengangguk. “Kudengar mereka berdua yatim piatu. Sejak kecil ditelantarkan dan kemudian dibesarkan bersama di sebuah kuil. Anehnya, sejak kecil mereka sudah menyatakan diri sebagai pasangan. Katanya di kehidupan-kehidupan yang lalu mereka adalah suami istri. Hah… entah film apa yang keduanya tonton saat kecil hingga menimbulkan gagasan seperti itu di kepala mereka,” katanya dengan ekspresi heran.

“Dari mana kakak mengetahui semua itu?” tanya kak Ye Jin lagi.

Wajah kak Seung Hyo terlihat frustasi. “Dari Kang Eun Mi. dia teman sekolah pasangan peramal itu.”

“Siapa itu Kang Eun Mi?” tanyaku penasaran.

Kak Tae Wong tersenyum kecil sambil melirik kak Seung Hyo. “Itu nama gadis SMP yang ditolong Seung Hyo dari gangguan berandalan di daerah pertokoan beberapa hari yang lalu. Gadis itu jadi jatuh cinta setengah mati pada Seung Hyo,” katanya.

Kak Seung Hyo melengos. “Dia menerorku. Pagi, siang, sore, malam, dia terus menelepon, mengirim SMS, email, dan meninggalkan pesan-pesan di facebookku bila dalam sehari itu dia tak memiliki kesempatan untuk bertemu denganku secara langsung,” desahnya.

Aku dan kak Ye Jin tertawa geli melihat kefrustasian kak Seung Hyo. Dari sudut mataku kulihat ada seorang gadis yang sedang menatap kami berempat dengan penuh perhatian. Secara diam-diam aku mengawasi saat gadis manis bertubuh mungil itu mengendap-endap ke belakang kak Seung Hyo. Ah, sepertinya ini dia yang bernama Kang Eun Mi. Dari seragam yang dipakainya, sepertinya memang seragam salah satu SMP di sekitar sini.

“Dapat!” seru gadis itu riang dan memeluk kak Seung Hyo dari belakang. “Kakak tidak bisa kabur lagi dariku.”

Kak Seung Hyo benar-benar terperanjat. Melihatnya seperti itu membuatku tertawa terbahak-bahak. Lucu sekali wajahnya.

“Hai, semua,” sapa gadis manis itu ceria. “Kalian pasti teman-teman kak Seung Hyo? Perkenalkan, namaku Kang Eun Mi, pacar kak Seung Hyo,” katanya dengan kedua tangannya masih terus melingkari pinggang pemuda itu.

Kak Seung Hyo berusaha melepaskan pelukan Kang Eun Mi, “Jangan bicara yang tidak-tidak,” sergahnya. “kau terlalu kecil untuk berpacaran.”

Kang Eun Mi merengut kesal. “Aku sudah dewasa,” protesnya. “kakak tidak boleh terus menolakku. Karena menurut ramalan Yoo Eun Bin dan Yoo Seung Ho, kita ditakdirkan bersama. Beberapa tahun yang akan datang kita akan menjadi suami istri, dan kemudian memiliki lima orang anak.”

Tawaku dan kak Ye Jin semakin keras. Bahkan kak Tae Wong pun tak bisa menahan senyumnya mendengar ocehan gadis itu.

Wajah kak Seung Hyo menampakkan kengerian membayangkan prospek masa depannya. “Sudahlah, hentikan bicara yang tidak masuk akal. Itu hanya ramalan bodoh. Jangan dipercaya,” omelnya. “Tae Wong, Yo Won, Ye Jin, aku harus pergi. Hei, ayo ikut aku!” katanya sambil menarik Kang Eun Mi pergi.

“Daaahhh!” seru gadis kecil itu sambil melambai-lambaikan tangannya pada kami bertiga. “Sampai jumpa nanti!”

“Sampai jumpa,” sahutku dan kak Ye Jin berbarengan.

“Aku baru sadar pesona Seung Hyo rupanya begitu hebat,” komentar kak Tae Wong geli.

“Eh, wajah kakak lebam,” kata kak Ye Jin, baru menyadari kondisi wajah kak Tae Wong. “Apa karena perkelahian kemarin?”

Kak Tae Wong mengangguk dengan wajah masam. “Benar. Ditangkap polisi merupakan pengalaman terburukku.”

Kak Ye Jin meringis. “Bagaimana kalian semua bisa dibebaskan? Katanya baru sebentar sampai di kantor polisi kalian langsung disuruh pulang?”

“Kudengar Kakak Kim Nam Gil yang membantu kami. Dia punya koneksi di kepolisian,” jawab kak Tae Wong.

Kim Nam Gil punya kakak? Aku baru tahu itu.

“Kak Tae Wong!” seru Qri yang sedang berlari mendekati kami. “Aku mencari-cari kakak sejak tadi,” katanya sambil bergelayut di lengan kak Tae Wong dengan manja.

Aku yakin selama ini tidak pernah merasa tertarik pada kak Tae Wong, tapi entah kenapa melihatnya bersama Qri, tiba-tiba terasa sedikit tusukan tajam di jantungku. Aku sendiri tidak mengerti. Kenapa aku terganggu melihat mereka berdua?

Kudengar kak Ye Jin berdeham di sebelahku. Melihat ekspresi muram kak Ye Jin, barulah kusadari bahwa ternyata selama ini kak Ye Jin tertarik pada kak Tae Wong. Astaga, bagaimana aku bisa sebuta dan setuli ini? Padahal selama berbulan-bulan kakak terus memperhatikan dan membicarakan kak Tae Wong, tapi aku tetap tidak menyadari tanda-tanda itu.

“Ayo temani aku makan siang,” ajak Qri sambil menarik paksa pemuda itu.

“Baiklah. Emm, kalian berdua mau ikut?” tawar kak Tae Wong padaku dan kak Ye Jin.

“Tidak,” jawabku dan kakak bersamaan. “Kami mau mencoba peramal itu dulu. Kalian makan berdua saja,” lanjut kak Ye Jin.

“Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa nanti,” kata kak Tae Wong sopan.

“Sampai jumpa di aula, Yo Won,” kata Qri dengan senyum cerah di wajahnya.

“Ya,” sahutku. “Kakak benar-benar ingin mencoba pasangan peramal itu?” tanyaku setelah pasangan tadi pergi.

“Kenapa tidak? Kita coba saja,” sahut kakak.

Saat memasuki gerai peramal itu, kami melihat sepasang remaja duduk di sebuah kursi panjang di balik meja kayu bundar, sedang asyik bercengkrama. Mereka langsung berdiri dan memasang senyum menyambut saat menyadari kedatangan kami.

“Silakan duduk,” mereka mempersilakan kami berdua duduk di dua kursi di depan meja mereka.

“Apa benar mereka bisa meramal?” bisikku pada kakak. Melihat wajah keduanya yang polos dan kekanakan aku meragukan hal itu. Selama ini aku membayangkan peramal atau pesulap berpenampilan misterius dan menyeramkan. Yang pasti tidak seperti mereka berdua.

“Tenang saja, kami bukan penipu,” pemuda itu langsung bicara, sebelum kak Ye Jin sempat menjawab bisikanku. Ah, hebat juga pendengarannya. “Kami sudah bisa meramal sejak kecil. Itu bakat kami.”

“Eh, yah, kami percaya,” sahut kak Ye Jin menenangkan anak itu sambil melayangkan tatapan memperingatkan padaku.

“Namaku Yoo Eun Bin,” kata si gadis dengan sopan dan ramah. “Dan ini pasanganku, Yoo Seung Ho,” tambahnya memperkenalkan si pemuda yang membungkuk hormat padaku dan kakak.

“Eun Bin yang meramalkan masa depan, sedangkan aku menerawang kehidupan yang lalu,” kata Seung Ho menjelaskan. “Sebenarnya kami sama-sama bisa melihat masa depan dan masa lalu, tapi agar adil, kami sengaja membagi tugas.”

“Aku ingin mencoba meramal masa depanku,” kata kak Ye Jin. “Emm, tentang asmara saja,” pinta kakak.

“Apa aku boleh tahu siapa nama pacarmu?” tanya Yoo Eun Bin. “Pengelihatanku tentang masa depanmu akan lebih jelas bila mengetahui nama pacarmu atau orang yang kau suka,” lanjutnya.

Kak Ye Jin terlihat gugup. “Emm, aku belum punya pacar. Juga tidak sedang menyukai siapa-siapa,” katanya. Aku tahu kakak berbohong, tapi mungkin dia malu mengakui perasaannya pada kak Tae Wong.

“Sayang sekali,” komentar Yoo Eun Bin. “Baiklah, kita mulai saja.” Gadis itu mulai mengocok kartunya. Setelah beberapa saat, dia menyusun beberapa kartu tertutup di atas meja dan mulai menyuruh kak Ye Jin memilih kartu untuk dibuka. Gadis itu terus diam hingga kartu terakhir yang dipilih kakak terbuka. Setelah mengamati semua kartu pilihan kakak, barulah Yoo Eun Bin bicara sambil menatap kakak dengan tajam.

Terjebak diantara dua hati, kebimbangan melingkupi diri. Sang pujaan hati yang selalu dinanti, kini datang mencari. Sang pelindung jiwa yang dikagumi, telah ada di sisi. Terperangkap kemelut rasa, kekaguman dihadapkan pada cinta,” kata Yoo Eun Bin dengan perlahan tapi jelas, membuatku dan kakak bagai terhipnotis alunan suara merdu dan pilihan katanya.

“Emm, apa maksudnya itu?” tanya kak Ye Jin setelah beberapa saat.

Ekspresi serius Yoo Eun Bin segera terhapus oleh senyum ceria dan kekanakannya. “Yang baru saja kukatakan adalah yang kumaksudkan,” jawabnya. “Pada saatnya kau harus memilih.”

“Memilih? Tapi…” entah kenapa tiba-tiba kakak terdiam dan tak melanjutkan pertanyaannya. Apa kakak mengerti perkataan gadis kecil ini?

“Agar memudahkan untuk memilih, mungkin kau mau kulihat masa lalumu?” tawar Yoo Seung Ho. “Karena sering kali apa yang terjadi di masa lalu mempengaruhi masa kini.”

Kak Ye Jin menggeleng. “Eh, nanti saja,” tolaknya halus. “Aku ingin mendengar ramalan adikku dulu,” lanjutnya.

“Eh, aku? Tapi aku tidak ingin diramal,” tolakku.

“Coba saja,” desak Yoo Eun Bin. “Tidak ada ruginya. Kalau kau tak percaya ramalan, anggap saja ini permainan.”

“Yah, baiklah,” aku menyetujui. “Emm, tentang asmara juga. Eh, sama seperti kakakku, aku juga belum memiliki pacar atau orang yang kusuka,” lanjutku. Tiba-tiba aku teringat Nam Gil dan kak Tae Wong, tapi segera kutepiskan pikiran mengenai mereka.

Satu persatu kartu yang kupilih dibuka. Aku mencoba memahami arti dari gambar-gambar yang terpampang di kartu-kartu tersebut, tapi tetap tidak menangkap penjelasan apapun dari semua gambar itu.

“Cinta pertama terkenang selamanya, cinta terakhir membekas tak terlupakan. Yang pertama semanis madu, yang terakhir sehangat musim panas. Tiga hati kembali bersama, tiga hati dipertemukan. Cinta yang nyata terbalut kabut rasa semu, cinta yang nyata tertanam di hati hingga akhir napas,” Yoo Eun Bin kembali melantunkan hasil pengelihatannya.

“Hmm, apa lagi maksudnya itu?” komentarku.

“Yang baru saja kukatakan adalah yang kumaksudkan,” jawab Yoo Eun Bin ceria. “kau harus mengamati dengan baik dan mengikuti kata hati untuk menemukan cinta yang asli.”

“Cinta yang nyata tertanam di hati hingga akhir napas… jangan bilang kalau aku baru menyadari cinta yang asli di saat sudah akan mati!” protesku.

Yoo Eun Bin dan Yoo Seung Ho hanya tersenyum dan tak berkomentar lebih lanjut mengenai hasil ramalanku.

Astaga, ramalan mengerikan. Lagi pula, siapa cinta pertama dan cinta terakhir itu? Aku bahkan belum pernah jatuh cinta.

“Nah, apa ingin dilanjutkan dengan mengetahui masa lalu kalian? Siapa kalian di kehidupan yang lalu?” tawar Yoo Seung Ho. “Tenang saja, tidak akan diminta bayaran ekstra, karena ini sepaket dengan ramalan masa depan kalian tadi.”

“Boleh juga,” kataku setuju.

“Emm, sebaiknya tidak usah saja,” kata kakak tiba-tiba. “menurutku masa lalu tidak terlalu penting. Yang penting adalah masa sekarang dan yang akan datang.”

Aku tahu kakak mengatakan itu sekalian untuk menasehatiku agar melupakan dendamku pada Ayah dan Go Hyun Jung. Tapi tidak semudah itu melupakan masa lalu.

“Kau salah,” kata pasangan peramal itu bersamaan. “masa lalu itu penting, karena masa lalu yang membentuk jati diri kita sekarang,” lanjut keduanya, masih dengan kompaknya.

“Benar, kak,” bujukku. “Siapa tahu di kehidupan yang lalu ternyata kakak pembunuh berdarah dingin? apa kakak tidak ingin tahu?” godaku. Tapi kak Ye Jin tak berkomentar, dan hanya mendelik kesal padaku.

“Kita tak bisa memisahkan diri dari masa lalu, karena masa lalu tak benar berlalu, dan masa kini terkait dengan yang lalu,” kata Yoo Seung Ho

“Yah, baiklah,” desah kak Ye Jin akhirnya. “Apa aku harus memilih kartu lagi?”

Yoo Seung Ho menggeleng sambil tersenyum. “Berikan tanganmu,” pintanya bersemangat.


To Be Continued...

by Destira ~ Admin Park ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar