CHAPTER 14
Cast :
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
Mi Shil : Go Hyun Jung
King Jinji : Kim Im Ho
Se Jong : Go Young Jae
Yong Soo : Park Jung Chul
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Choon Choo : Yoo Seung Ho
Bo Ryang : Yoo Eun Bin
Alcheon : Lee Seung Hyo
Yeom Jong : TETAP
San Tak : TETAP
Ha Jong : Go Jung Hyun
Bo Jong : Go Do Bin
Young Mo : Qri
Jook Bang : Lee Moon Shik
Go Do : Ryu Dam
Kim Min Sun : NAMA ASLI
----------------------------------------------------------
- Lee Yo Won - 14 Februari 2011 -
“Ada apa dengannya? Apa dia sedang punya masalah?” tanyaku pada San Tak, setelah Nam Gil berjalan keluar dari kafetaria dengan cepat.
San Tak meringis. “Jangan tanya aku,”sahutnya.
Kenapa Nam Gil terlihat kesal? Padahal kupikir dia akan senang mendapat cokelat dariku.
“Apa kau… berhubungan dengannya?” tanya kak Tae Wong dengan menatapku tajam.
“Kenapa menanyakan hal itu?” aku balik bertanya dengan salah tingkah.
Selama beberapa saat kak Tae Wong tak bersuara dan hanya menatapku tajam, tapi kemudian dia tersenyum kecil. “Kalau kalian berhubungan, mungkin dia kecewa melihatmu juga memberi cokelat pada kami,” katanya.
Apakah mungkin begitu? Ya Tuhan, kenapa aku bisa tidak sepeka ini? Padahal…
“Yo Won, kau mau kemana?” tanya kak Ye Jin heran, ketika aku bangkit tiba-tiba dari kursi.
“Aku mau mencarinya,” jawabku sambil berlari keluar dari kafetaria.
Padahal belum lama, tapi sosok Nam Gil sudah menghilang. Kemana dia? Ah, ya, pasti ke sana lagi! Kupercepat lariku, dan dengan napas terengah-engah aku menaiki anak-anak tangga. Tapi baru sampai pertengahan tangga, aku berhenti. Karena Nam Gil ada di hadapanku. Berbeda dari saat dia meninggalkan kafetaria dengan wajah murung, sekarang wajahnya dihiasi senyum ceria khasnya yang kusuka.
“Aku mencarimu,” kataku setelah dapat bernapas dengan lebih teratur. “Tadi sepertinya kau kesal sekali. Ada apa—“
Perkataanku terhenti ketika tiba-tiba Nam Gil meraih tangan kananku sambil tersenyum lebar. “Apa kau mau pergi kebioskop denganku?” tanyanya.
Selama beberapa saat aku hanya dapat terperangah seperti orang bodoh sambil menatap tanganku yang berada dalam genggaman tangannya yang besar dan hangat. Kurasakan jantungku berdebar-debar. “Kau sudah tidak kesal lagi?” tanyaku akhirnya, setelah berhasil menenangkan diri.
Nam Gil tersenyum malu. “Hanya salah paham. Aku… kupikir kau… sudahlah, tidak usah dibahas. Jadi bagaimana? Kau mau menemaniku?” tanyanya.
“Tentu saja!” jawabku sambil tertawa kecil. Mana mungkin aku menolaknya?
Sepulang sekolah kami singgah sebentar di rumah Paman dan Bibi untuk mengambil helmku, lalu pergi ke bioskop menggunakan motor Nam Gil. Sepanjang perjalanan aku terus tersenyum karena Nam Gil memaksaku memeluk pinggangnya dengan erat. Aku menyukai kedekatan kami ini. aku senang bisa memeluk tubuhnya. Aku suka mencium aroma tubuh Nam Gil—dia tidak menggunakan cologne, tapi justru aroma alami tubuhnya yang bercampur dengan harum sabun mandi itulah yang ku suka.
Kami memilih film komedi romantis yang baru akan diputar beberapa menit lagi, dan sambil menunggu, kami membeli popcorn dan coke, lalu duduk-duduk untuk mengobrol.
“Apa kau sudah mencoba cokelat buatanku?” tanyaku.
“Tidak, tapi aku yakin pasti enak,” jawabnya.
“Kenapa tidak?” tanyaku kecewa. “Kau tidak suka?”
“Tentu saja aku suka,” bantah Nam Gil segera. “Justru aku sangat suka bentuknya, maka rasanya sayang sekali bila memakannya. Aku akan menyimpannya saja.”
Aku tertawa mendengar alasannya. “Kalau begitu nanti akan kubuatkan yang bentuknya biasa saja agar bisa kau makan,” janjiku.
Nam Gil ikut tertawa. “Boleh saja,” katanya. “Emm, Yo Won… terima kasih,” gumamnya.
“Terima kasih? Karena cokelatnya?”
“Tidak. Eh, ya,” sahutnya. “Maksudku, terima kasih karena kau memberiku cokelat yang berbeda dari yang lain,” lanjutnya salah tingkah.
Mendengar perkataannya membuatku ikut salah tingkah. “Yah… aku memang membuatkannya khusus untukmu,” gumamku. Apakah ini saat yang tepat untuk mengatakan bahwa aku sengaja memilih bentuk bintang yang kusuka untuk dirinya karena aku… menyukainya?
Selama beberapa saat terjadi keheningan menegangkan diantara kami, hingga Nam Gil beranjak berdiri sambil tersenyum lebar. “Bagaimana kalau kita berfoto bersama?” ajaknya. Kau sudah menyimpan fotoku, tapi aku tidak punya fotomu.”
Ketegangan itu segera mereda. “Boleh saja. Di ponselmu?” tanyaku.
“Bukan di ponsel,” kata Nam Gil. “Di sana,” katanya sambil menunjuk photobox di sebelah kios penjual popcorn.
“Bagus. Ayo!” ajakku bersemangat. Dan karena terlalu bersemangat itulah, aku langsung membuka tirai penutup photobox itu tanpa mengecek apakah sedang ada orang di dalamnya atau tidak.
“Kau!?” seru Nam Gil kaget.
“Kim Nam Gil? Yo won?” kak Seung Hyo balik berseru kaget.
“Hai!” sapa gadis yang sedang berada dalam rangkulan kak Seung Hyo. Dia gadis yang waktu itu datang ke festival sekolah. Kang Eun Mi.
Dengan kikuk kak Seung Hyo berusaha menjauhkan Kang Eun Mi dari dekapannya, tapi gadis manis bertubuh mungil itu menolak. “Kalian juga mau berfoto?” tanya Kang Eun Mi ceria. “Maaf, bisa tunggu sebentar?”
“Eh, ya, tidak apa-apa,” sahutku geli. “Teruskan saja. maaf mengganggu,” kataku sambil menarik Nam Gil menjauh.
“Yang benar saja,” gumam Nam Gil. “Seung Hyo berpacaran dengan gadis kecil?”
Aku tertawa geli. “Menurut kak Tae Wong, gadis itu tergila-gila pada kak Seung Hyo setelah ditolongnya dari gangguan berandalan,” kataku menjelaskan.
Tak lama kemudian pasangan yang kami perbincangkan itu muncul dengan bergandengan—sebenarnya Kang Eun Mi lah yang memaksa menggandeng lengan kak Seung Hyo.
“Maaf membuat kalian menunggu,” kata Kang Eun Mi ceria. “Tapi sekarang kalian sudah bisa menggunakannya. Kami sudah mendapat banyak foto,” katanya sambil memamerkan foto-foto mereka berdua.
“Eun Mi,” geram kak Seung Hyo memperingatkan, tapi seolah tak perduli, Kang Eun Mi tetap menunjukan foto-foto tersebut.
Dengan geli aku melihat ekspresi lucu Kang Eun Mi dan kak Seung Hyo dalam foto-foto itu. mungkin kak Seung Hyo memang malu memperlihatkan kemesraan di depan umum, tapi saat berfoto dengan Kang Eun Mi, jelas terlihat kak Seung Hyo juga menyukai gadis itu.
“Sudahlah, ayo kita pergi,” desak kak Seung Hyo. “filmnya sudah dimulai. Kami pergi dulu,” katanya padaku dan Nam Gil.
“Oh, ya,” sahutku, berusaha menahan tawa sambil membalas lambaian tangan Kang Eun Mi. “Ayo, Nam Gil,” aku menarik pemuda itu untuk masuk ke dalam photobox tadi.
Karena ruang di dalamnya sempit, maka kami berdua harus berdempet-dempetan. “Siap?” tanya Nam Gil. “mulai.”
Awalnya berfoto dengan gaya biasa, tapi kemudian kami sengaja membuat tampang konyol dan bersaing menunjukkan gaya-gaya aneh yang membuat kami tertawa sendiri. Lalu, ketika tinggal dua kali foto terakhir, tiba-tiba aku mengikuti desakan hati untuk mencondongkan tubuh ke arah Nam Gil dan mengecup pipi kirinya. Seketika itu juga tubuh Nam Gil menegang dan berubah sekaku patung.
Hasil foto keluar, dan aku segera mengambil foto itu, kemudian keluar dari photobox meninggalkan Nam Gil yang masih duduk mematung di sana. Astaga. Ya Tuhan. Apa yang kulakukan tadi? Memalukan sekali!
Dengan jantung berdebar kencang aku menatap dua foto terakhir kami yang menunjukkan ekspresi terkejut Nam Gil ketika tiba-tiba saja aku mengecup pipinya.
“Hasilnya bagus,” komentar Nam Gil dari belakangku.
Terkejut, aku berbalik dan semakin salah tingkah saat melihat sorot mata Nam Gil padaku. Ya Tuhan, aku bisa meleleh sekarang juga.
“Fotonya kita bagi dua,” gumamku. “Ini untukmu,” kataku, menyerahkan sebagian pada Nam Gil. Masing-masing dari kami menyimpan foto diriku yang mengecup pipi Nam Gil tadi. Mungkin memalukan dan membuat canggung, tapi kurasa foto ini akan jadi kenang-kenangan manis.
Lagi-lagi terjadi keheningan menegangkan diantara kami. Tapi untungnya tak lama kemudian diumumkan bahwa film yang kami pilih akan segera diputar.
“Ayo,” ajak Nam Gil sambil mengulurkan tangannya untuk kugandeng, yang segera kusambut dengan senang hati.
- Kim Nam Gil - 14 Februari 2011 -
Aku tidak bisa berkonsentrasi dengan film yang sedang diputar. Mataku terus saja melirik Yo Won yang terlihat sangat menikmati film di sebelahku. Sejak tadi dia terus tertawa renyah melihat aksi-aksi konyol para aktor dan aktris di film tersebut. Tapi aku tidak bisa menikmatinya. Pikiranku terus tertuju pada kecupan Yo Won tadi.
Kurasakan dadaku dirambati getaran yang menggelitik dan kemudian menghangatkan hatiku. Apa artinya kecupannya tadi? Cokelat bintang, lalu kecupan. Bukankah itu artinya… dia suka padaku, kan? Diam-diam aku meliriknya lagi, dan ikut tersenyum saat melihat wajah gembiranya. Apakah ini saat yang tepat untuk menyatakan perasaanku?
“Emm… Yo Won,” panggilku. “Aku—“
“Di sini. Kita duduk di sini! Ah, sayang sekali kita terlambat beberapa menit.” Dengan kesal aku menoleh ke arah keributan itu, dan melihat sepasang remaja menduduki kursi-kursi di sebelah kananku. Sial, mengganggu saja.
“Ya?” tanya Yo Won acuh tak acuh sambil mengunyah popcornnya.
“Emm… aku—“
Tiba-tiba pasangan tadi tertawa kencang melihat adegan konyol yang ditampilkan. Mungkin ini pertanda bahwa sekarang bukan saat yang tepat, tapi tetap saja aku kesal. Tawa mereka berlebihan sekali. Aku memelototi mereka, dan semakin melotot saat mengenali wajah-wajah itu. “Peramal!” seruku kaget.
“Kau!” seru Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin kompak. “Bibi!”
“Kalian!?” Yo Won balas berseru kaget.
“Selamat sore,” sapa pasangan peramal itu kikuk.
“Kebetulan sekali,” komentar Yo Won. “Tadi kak Seung Hyo, sekarang kalian. Apa semua orang pergi ke bioskop hari ini?” katanya geli.
Hah… sial. Kenapa di saat aku dan Yo Won sedang asyik berdua, mereka selalu muncul? Waktu itu saat sedang bermain di game center, dan sekarang… hah. Aku mencoba memusatkan perhatian kembali pada filmnya, tapi tidak tertarik sama sekali. kenapa tadi aku tidak memilih film horor saja? siapa tahu Yo Won akan ketakutan lalu memelukku? Aku menyeringai membayangkan adegan yang hanya ada dalam kepalaku itu.
Seringaianku memudar karena merasa sedang diperhatikan. Aku menoleh ke kanan, dan melihat Yoo Seung Ho sedang mengamatiku. Pemuda itu terkesiap kaget dan ngeri saat aku membalas tatapannya. Astaga, sepertinya anak ini benar-benar tidak waras.
Aku kembali mengalihkan perhatianku pada film sambil memakan popcorn, tapi kemudian teringat bahwa bocah peramal ini belum menjawab pertanyaanku waktu itu. aku mencondongkan tubuh ke kanan dan menahan tangan pemuda itu kuat-kuat di kursinya agar dia tidak bisa kabur lagi kali ini.
Dalam temaram ruangan, aku masih dapat melihat ekspresi ketakutan yang terpancar dari wajahnya. “Kau pernah berkelahi?” tanyaku berbasa-basi.
Yoo Seung Ho berjengit ngeri, kemudian menggeleng. “Tidak pernah memukul orang?” tanyaku lagi, yang kembali dijawab dengan gelengan kepala. “Pernah dipukul?” aku melanjutkan wawancaraku dengan nada direndahkan agar Yo Won tak mendengarnya.
“Jangan…” rengek Yoo Seung Ho ketakutan.
Aku menyeringai. “Aku tidak suka memukul anak kecil,” kataku berlagak ramah. “Tapi kau bisa jadi yang pertama, bila terus berusaha menghindari pertanyaanku,” ancamku. Jelas aku tidak serius—aku bersumpah tak akan memukul anak kecil, dan tak akan kulanggar hanya karena bocah ini—tapi sepertinya Yoo Seung Ho mempercayai ancaman itu, dan benar-benar ketakutan membayangkan akan menerima pukulanku.
“Baik, baik, tanyakan saja,” katanya cepat. “akan kujawab!”
“Kalian membicarakan apa?” tanya Yo Won.
“Bukan apa-apa,” jawabku santai. “Hanya obrolan antar lelaki,” tambahku, mengingat rasanya itu kalimat yang sering disebutkan dalam film-film untuk situasi seperti ini. dan berhasil, karena Yo Won kembali asyik menonton.
“Baiklah,” kataku dengan nada diseret-seret. “katakan, menurut pengelihatanmu, siapa aku di kehidupan pertamaku?”
Mata Yoo Seung Ho terbelalak lebar. “Itu… aku… kau...”
“Kau tahu tidak, kalau setiap hari aku berangkat sekolah tanpa membawa buku pelajaran? Kenapa? karena tasku sudah penuh dengan berbagai macam senjata. Yah, kau tahu sendiri, untuk situasi darurat,” kataku.
Yoo Seung Ho semakin ketakutan saat melirik tas ransel yang kupangku. “Kau… seorang ahli pedang.”
Aku mengangguk-angguk. “Kedengarannya bagus. Lalu?”
“Kau… kau kemudian menjadi hwarang, lalu… pejabat istana,” jawabnya gugup.
Aku merenungkan jawaban itu. “Kau tidak berbohong, kan?”
“Tidak! Aku bersumpah!”
“Baiklah. Lalu? Yang ingin kutahu, apakah di kehidupan pertamamu kau mengenalku? Apakah kita hidup di masa yang sama?”
Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin saling bertukar pandang sebelum pemuda itu menjawab pertanyaanku. “Eh, ya. Begitulah.”
“Hmm, jadi, apakah kita bermasalah di masa lalu? Kenapa kau seperti takut padaku?” tanyaku dengan mata disipitkan.
Yoo Seung Ho memaksakan tawa. “Bukankah hal wajar bila terkadang berselisih paham? Setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda, kan?” jawabnya mengelak.
“Ah, jadi kita memang tak akur,” komentarku. “Baiklah. Sekarang pertanyaan keduaku. Kau bilang Yo Won seorang putri di kehidupan pertamanya. Siapa namanya?”
“Apakah penting untuk mengetahuinya? Bibi saja tidak perduli,” elaknya.
“Tapi aku perduli,” kataku tegas. “Apakah namanya… Deokman?” tanyaku, menebak-nebak.
Sedetik sebelum kilasan itu membutakanku, aku sempat melihat wajah terkejut Yoo Seung Ho. Dalam kilasan pengelihatan itu aku melihat wanita itu lagi. Kilasan yang sama seperti yang pernah kulihat beberapa kali sebelumnya. Saat dia menangis, dan aku yang berusaha memanggil namanya, “Deokman.” Tetapi yang terdengar bukanlah teriakan lantang seperti yang kuinginkan, melakinkan hanya bisikan pelan, karena di saat bersamaan aku sedang berjuang menahan rasa sakit tak terperi akibat tusukan pedang yang kuterima.
“Nam Gil? Nam Gil? kau tidak apa-apa?” Suara lembut Yo Won menyadarkanku. Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin telah menghilang. “Kau kenapa?” tanya Yo Won lagi dengan nada khawatir.
Aku menggeleng sambil memaksakan diri untuk tersenyum. “Tidak. Aku tidak apa-apa,” jawabku. “Kemana dua anak tadi?”
“Ketika kau sedang melamun, mereka berpamitan pergi. katanya ada urusan penting,” jawab Yo Won.
Sial mereka kabur lagi. Tapi, apakah ini berarti tebakanku benar? Aku melirik Yo Won yang juga sedang memandangiku. Apakah Yo Won adalah Putri Deokman di kehidupan pertamanya?
Saat berjalan keluar setelah selesai menonton pun, kepalaku masih disesaki pikiran mengenai Yo Won dan sang putri yang kemudian menjadi ratu. Benarkah tebakanku?
“Kim Nam Gil!” aku mendengar seseorang menyerukan namaku. Demi Tuhan, siapa lagi sekarang?
“Bukankah dia bos murid SMU Haegu yang waku itu kita lawan?” bisik Yo Won.
Benar. Choi Min Sung. Hah… apa dia tidak bosan menggangguku terus? Pemuda itu berjalan cepat mendekatiku bersama seorang gadis dalam gandengannya.
“Mau apa lagi kau?” tanyaku ketus.
Choi meringis sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Emm, aku cuma mau menyampaikan, bahwa sekarang aku sudah tahu siapa pelaku pemukulan adikku yang sebenarnya.”
“Oh ya?” komentarku acuh tak acuh.
“Dia memang murid SMU Chongjan,” kata Choi. “Yeom Jong dan anak-anak buahnya.”
Sial. Si bodoh itu lagi. Gara-gara dia, motorku sempat disita, dan beberapa kali aku telah diserang anak-anak SMU Haegu. Benar-benar pembawa sial!
“Kalau begitu cepat minta maaf padaku,” perintahku.
“Eh, ya, maaf,” kata pemuda itu salah tingkah. “Tapi, dia kan temanmu juga… jadi aku sempat terpikir—“
“Masih meragukanku juga?” desisku kesal. “Bila memang ingin menghajar adikmu, aku tidak memerlukan bantuan Yeom Jong atau siapapun.”
“Tidak, tidak! Aku tidak meragukanmu!” sergah Choi cepat. “Sekali lagi aku ingin meminta maaf.”
“Baik, kau kumaafkan,” sahutku acuh tak acuh. “Jadi, apa kau akan membuat perhitungan dengannya?” tanyaku.
Wajah Choi berubah muram. “Inginnya begitu, tapi Ayahku bawahan Tuan Oem, jadi aku tidak bisa menyentuhnya.” Hah… beruntung juga si pembawa sial itu.
Tiba-tiba aku sadar gadis dalam gandengan Choi itu sejak awal terus mengamatiku dengan cara yang menurutku agak berlebihan hingga membuatku merasa tak nyaman. Ada apa dengannya?
Gadis itu menjauh dari Choi dan mendekatiku dengan tatapan terfokus hanya padaku. “Kau benar-benar Kim Nam Gil yang itu? Adik kak Jung Chul?” tanyanya setelah jarak diantara kami hanya tersisa dua langkah.
Siapa gadis ini? wajahnya… rasanya memang tidak asing. Mirip dengan si… ah, tidak mungkin. Gadis itu kan jelek. “Ya. Kau siapa? Darimana kau mengenal kakakku?”
Gadis itu tersenyum lebar sambil meraih tanganku dan digenggamnya erat-erat. “Kau tidak ingat aku? Kim Min Sun! adik sepupu kak Jung Chul,” katanya antusias.
Aku tersentak kaget. Ternyata benar. Kim Min Sun. aku langsung meneliti penampilannya, dan tidak bisa memungkiri bahwa sekarang dia terlihat cantik. Berbeda sekali dengan penampilannya ketika SD. Dulu dia pendek, sedikit gemuk, berkawat gigi, dan rambut keriting berantakan. Tapi sekarang… dia menjelma menjadi gadis bertubuh tinggi langsing, dengan gigi sempurna, dan rambut lurus panjang.
“Kalian saling kenal?” tanya Choi.
“Tentu saja,” sahut Min Sun tanpa mengalihkan perhatiannya dariku. “kami sudah kenal sejak kecil. Bahkan hingga kelas enam SD kami terus sekelas, tapi kemudian aku dan keluargaku pindah ke Amerika.”
Aku menarik tanganku hingga terlepas dari genggamannya. Kenapa dia bertingkah seakan dulu kami sangat akrab? Padahal seingatku dulu kami tak pernah bicara bila tak benar-benar perlu. Saat melirik Yo Won, kulihat ekspresinya menjadi murung, tidak ceria seperti beberapa menit yang lalu. Hah, sial. Kenapa banyak sekali pengganggu hari ini?
“Aku dan keluargaku kembali ke Korea setahun yang lalu,” kata Min Sun tanpa kutanya. “Ayahku memasukkanku ke SMU Haegu karena dekat dengan rumahku, padahal aku ingin masuk SMU Chongjan juga saat mendengar kau sekolah di sana. Aku penasaran ingin melihat penampilanmu sekarang. Ternyata kau memang berubah. Sekarang kau jadi tampan, tidak seperti dulu,” lanjutnya, terus berceloteh.
Sial. Memangnya dulu aku jelek? “Penampilanmu juga lebih baik sekarang,” balasku.
Min Sun tertawa, lalu menepuk-nepuk pundakku. “Sekarang kau jadi suka bicara? Padahal dulu kau seperti orang bisu,” oloknya.
Aku memberikan senyum palsu. “Senang bertemu denganmu. Tapi kami harus pergi sekarang,” kataku sambil menggandeng tangan Yo Won.
Tawa Min Sun berubah menjadi senyum tipis saat dia mengalihkan tatapannya kepada Yo Won yang balas menatap gadis itu dengan keangkuhan yang jarang kulihat darinya. Aku tersenyum geli melihat wajah menantang Yo Won saat ini.
“Kekasihmu?” tanya Min Sun acuh tak acuh. Tapi sebelum aku sempat menjawab, dia sudah melanjutkan perkataannya. “Baiklah, kalau begitu kita akan bertemu lagi nanti.”
Aku tidak mengharapkannya. “Yah, kalau be—“ kata-kataku terhenti saat Min Sun mencondongkan tubuhnya ke arahku, lalu mengecup bibirku. Aku segera mendorongnya. “Hei! Apa-apaan kau!?”
Min Sun tersenyum. “Itu salam pertemuan kembali kita,” sahutnya ceria. “Sampai jumpa nanti, Nam Gil!”
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar