CHAPTER 6
Cast :
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
King Jin Pyeong : Lee Min Ki
Sohwa : Park Young Hee
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Choon Choo : Yoo Seung Ho
Bo Ryang : Yoo Eun Bin
Young Mo : Qri
San Tak : TETAP
Yeom Jong : TETAP
------------------------------------------------
- Kim Nam Gil - 14 Desember 2010 -
“Akhirnya jadi juga kau mentraktirku,” gumam San Tak tak jelas, karena mulutnya sedang penuh dengan sate ikan.
“Ini karena aku sedang senang,” kataku jujur. Yah, memang aku masih sangat kesal pada Qri yang membuat tokohku terkesan begitu malang, tapi… senyumku mengembang mengingat obrolanku dengan Yo Won selama latihan tadi. Setelah berbulan-bulan jarang bicara satu sama lain, hari ini kami jadi cukup banyak bicara. Yah, memang sebagian dari pembicaraan kami bisa dibilang hanya dialog-dialog yang dibuat Qri, tapi aku tetap menyukainya.
“Bagaimana kalau kita makan sate ikan saja?” tanya sebuah suara yang kukenal. Qri.
“Terserah kau saja,” jawab Tae Wong.
Pasangan itu masuk tanpa menyadari keberadaanku dan San Tak. Kenapa mereka bisa makan bersama? Ah, apa mereka berhubungan? Tapi, bukankah beberapa bulan belakangan ini Tae Wong mendekati Yo Won?
“Hei!” sapa Yeom Jong sambil menepuk pundakku dengan lagak sok akrab. Seringaiannya segera memudar setelah mendapat tatapan tajam dariku. “hmm, aku mencarimu sejak tadi,” katanya sambil duduk di sebelah San Tak.
“Ada apa lagi?” tanyaku malas. “Aku sedang tidak ingin berkelahi dalam waktu dekat ini. Aku harus menjaga penampilan, terutama wajahku, karena sebentar lagi aku akan melakukan pertunjukan drama,” lanjutku agak sombong.
San Tak tertawa terbahak-bahak mendengar alasanku, tapi segera berhenti saat disadarinya aku kesal mendengar tawanya. “Emm… bukannya aku bermaksud menghinamu,” katanya buru-buru. “Tapi baru kali ini aku mendengarmu lebih mementingkan penampilan ketimbang berkelahi.”
“Yah, kau benar juga,” akuku. “Tapi tentu saja sekarang situasinya berbeda. Aku pemeran utama pria, jadi sudah tentu aku diharapkan tampil sempurna untuk para penontonku nanti. Mana boleh aku mengecewakan mereka?”
“Eh, bukankah kalau tidak salah dengar, sebenarnya pertunjukanmu itu hanya pertunjukan sampingan untuk mengisi acara kosong—“ San Tak segera menghentikan kata-katanya begitu melihat ekspresi wajahku. “Eh, aku tahu berita itu tidak benar. Acaramu memang sangat dinantikan seluruh murid SMU Chongjan. Apalagi saat mereka tahu kau pemeran utama prianya.”
“Jangan menjilat seperti itu!” gerutuku. “Yah, memang hanya pertunjukan sampingan, tapi dengan karismaku, pasti pertunjukan kami nanti lebih hebat dibanding pertunjukan utamanya.”
“Ya, ya, ya, kami percaya,” kata Yeom Jong tak sabar. “Begini, aku mencarimu bukan untuk meminta bantuanmu, tapi ingin memintamu menyampaikan rasa terima kasihku pada kakakmu—“
“Ya, akan kusampaikan bila aku bertemu dengannya lagi,” potongku. “Ada lagi?”
“Aku sudah meminta ijin pamanku untuk memperbolehkan kita berpesta di salah satu barnya nanti malam. kita rayakan kemenangan kita dari geng motor Incheon,” kata Yeom Jong dengan seringai lebar.
“Ke bar? Tapi kita belum cukup umur,” keluh San Tak.
“Tentu saja bukan masalah, karena bar itu milik pamanku. Kalian bisa keluar masuk sesukanya, tak akan ada yang berani melarang!” janji Yeom Jong.
“Maaf, aku tidak bisa,” tolakku. “Lagi pula, kita belum memenangkan apa-apa kemarin.”
“Tentu saja kita menang,” protes Yeom Jong. “Walaupun banyak anak buah Han Ji Yoon yang masih kuat berkelahi melawan beberapa anak buahku sekaligus, tapi bos mereka sudah kau taklukkan! Bila sang ketua sudah takluk, sama saja mengalahkan seluruh pasukannya,” lanjut Yeom Jong.
“Yah, terserah kau saja,” gumamku sambil menggigit sate ikanku. “Tapi aku tetap tidak bisa pergi nanti malam.” aku memang tidak bisa. Sudah cukup sulit berakting dalam keadaan sadar, tanpa harus ditambah teler karena mabuk-mabukan. Tadi saja Qri terus mengomel karena beberapa kali aku terlambat mengucapkan dialogku. Sebenarnya aku bukan melamun, tapi beberapa kali selama latihan tadi kilasan mengenai wanita berpakaian tradisional korea yang mirip Yo Won itu melintas di kepalaku dan membuatku linglung sekejap.
“Yah, baiklah,” Yeom Jong menyerah. “Sayang sekali, padahal pamanku ingin bertemu denganmu. Dia sudah mendengar reputasimu, dan ingin menawarkan sesuatu padamu.”
Aku diam saja dan meneruskan makanku. Aku tidak tertarik dengan tawaran apapun dari paman Yeom Jong. Menyadari keenggananku untuk berbicara lebih lanjut, Yeom Jong pun berpamitan pergi.
“Paman Yeom Jong itu seorang mafia,” kata San Tak, segera setelah Yeom Jong menghilang dari jarak pandang. “Jangan-jangan dia mau merekrutmu? Mungkin dia ingin memberimu wilayah?”
“Kau terlalu banyak menonton film,” gerutuku. “Sudahlah, ayo pergi. aku sudah kenyang.”
Karena masih ada cukup waktu sebelum latihan kembali dimulai, maka aku berkeliling melihat-lihat gerai yang meramaikan halaman sekolah.
“Sampai jumpa, Ibu! Sampai jumpa, Bibi!” aku melihat seorang pemuda dan seorang gadis berseragam SMP berdiri di depan sebuah gerai sambil berseru dan melambai-lambaikan tangan pada dua orang gadis… hei, bukankah kedua gadis itu Yo Won dan Park Ye Jin? Kenapa mereka dipanggil Ibu dan Bibi?
Karena penasaran, aku menarik San Tak menemaniku mendatangi kedua anak SMP itu. saat semakin dekat, kulihat papan yang tergantung di gerai itu bertuliskan : PASANGAN PERAMAL. Hah… orang bodoh mana yang mempercayai kata-kata seorang peramal? aku tidak percaya gadis seperti Yo Won mempercayai ramalan.
“Oh, selamat datang,” sapa si gadis yang lebih dulu melihat kedatanganku dan San Tak, sebelum si pemuda akhirnya ikut menyapa kami. Mata keduanya kelihatan merah berkaca-kaca seperti habis menangis.
“Di mana peramalnya?” tanyaku.
“Kami peramalnya,” sahut keduanya bersamaan.
“Kalian?” hah… semakin tak dapat dipercaya.
Pasangan peramal itu mengangguk dengan antusias. “Namaku Yoo Seung Ho, dan ini pasanganku, Yoo Eun Bin,” kata si pemuda memperkenalkan diri.
“Baiklah, coba ramalkan masa depanku,” kataku. Aku ingin tahu apa hebatnya kebohongan kedua anak ini sehingga Yo Won tertarik mencoba ramalan mereka.
“Apa yang ingin kau ketahui?” tanya Yoo Eun Bin setelah duduk di kursinya. “Keuangan? Atau asmara?”
“Semuanya,” sahutku.
“Baiklah, keuangan dulu,” kata gadis itu lagi sambil mengocok kartunya. Setelahnya gadis itu menyuruhku memilih beberapa kartu yang saat dibuka menampakkan gambar-gambar aneh.
Yoo Eun Bin tersenyum. “Masa depanmu dalam hal keuangan cemerlang.”
Nah, apa kubilang. Peramal hanya menyebutkan hal-hal yang kau inginkan. Tapi kuikuti saja dulu permainan mereka. “Oh ya? Baguslah kalau begitu,” sahutku. “Lalu?”
Sebuah kerutan menghiasi kening mulus Yoo Eun Bin saat gadis itu mengamati kartu-kartu pilihanku. “limpahan kekayaan itu adalah hasil kerja kerasmu sendiri dalam profesi yang kau geluti nantinya,” katanya. “Tapi pekerjaan yang kau pilih itu beresiko tinggi… sangat berbahaya.”
Yah, mungkin gadis ini pintar dan sengaja tidak membuat ramalanku terdengar terlalu indah agar tidak dicurigai.
“Wah, apa mungkin benar paman Yeom Jong merekrutmu?” gumam San Tak takjub. “Pekerjaan beresiko tinggi tapi dengan penghasilan yang jauh lebih tinggi lagi. Ini cocok sekali. mungkin kau benar-benar akan diberi wilayah kekuasaan olehnya—“
“Diamlah,” perintahku. “tolong lanjutkan,” pintaku pada gadis peramal itu.
“Pekerjaanmu memang sangat berbahaya dan mempertaruhkan nyawa, tapi kau cukup ahli untuk mengatasi kendala-kendala yang muncul dalam pekerjaan itu. Saranku, selalu waspada dan hati-hati,” kata Yoo Eun Bin ceria.
“Hmm, tidak buruk,” komentarku acuh tak acuh. “Lalu selanjutnya? Asmaraku?”
“Apa aku boleh tahu nama pacarmu?” tanya gadis itu. “Atau kalau tidak punya, nama gadis yang kau suka pun boleh.”
Dudukku menjadi gelisah. Sial. Kalau tahu begini aku tidak akan membawa San Tak kemari. Aku tidak mau dia tahu aku tertarik pada…
“Tidak ada,” jawabku gusar. “Tidak ada kekasih ataupun orang yang kusuka. Apa tidak bisa meramal tanpa nama?”
“Bisa, tapi pengelihatanku tak akan terlalu jelas dalam hal ini,” jawab Yoo Eun Bin. “Karena berbeda dengan ramalah keuangan tadi yang hanya menyangkut dirimu, masalah asmara berkaitan dengan orang lain yang ditakdirkan menemani kehidupanmu, jadi bila tidak diketahui namanya, maka akan kabur juga pengelihatan yang kudapat.”
“Tidak apa,” sahutku. “Coba saja.”
Dengan serius Yoo Eun Bin mengocok kartu, lalu menyusun beberapa di meja seperti tadi. Dan seperti ramalan sebelumnya juga, aku harus memilih beberapa kartu untuk dibuka.
“Takdir cinta merentangi halangan waktu. Membawa rasa lama, munculkan cinta baru. Suka cita berbaur luka, kesetiaan berjalin dengan curiga. Sang takdir taburkan kecewa, kekuatan cinta kalahkan dilema,” Yoo Eun Bin mengatakan hasil ramalannya dalam alunan suara yang menghipnotis.
selama beberapa saat aku terdiam bagai orang bodoh. Dan mungkin memang bodoh karena aku tidak mengerti ucapannya. “Apa maksudnya itu?” tanyaku penasaran.
Senyum ceria menghiasi wajah polos dan kekanakan Yoo Eun Bin. “Yang baru saja kukatakan adalah yang kumaksudkan,” jawabnya. “Bila cintamu memang tulus dan kuat, masalah apapun akan teratasi.”
“Apa kau ingin mencoba mengetahui siapa dirimu di masa lalu?” tawar Yoo Seung Ho saat aku masih terdiam merenungkan perkataan pasangannya.
“Masa laluku?” tanyaku seperti orang bodoh.
“Apa kau tidak pernah mendengar tentang reinkarnasi?” tanya pemuda itu. “Memang sebagian orang tidak mempercayainya, tapi percayalah, reinkarnasi itu benar ada.”
“Oh ya?” tantangku. “Dari mana datangnya keyakinan itu?”
Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin bertukar pandang sambil tersenyum. “Kami tahu pasti, karena ini adalah reinkarnasi ke tiga kami.”
San Tak yang entah polos atau bodoh, mendesah kagum mendengar hal konyol itu. “Benarkah begitu? Aku jadi penasaran dengan masa laluku,” katanya. “Apa mungkin di kehidupan lalu aku ini seorang raja?”
Yoo Seung Ho tersenyum. “Bila kau ada di jaman kehidupan pertamaku dan di negeriku saat itu, maka bisa kupastikan kau bukan seorang raja,” katanya. “Karena saat itu akulah rajanya.”
Wajah San Tak langsung mengerut-ngerut kesal mendengar jawaban Yoo Seung Ho, tapi tidak lagi mengatakan apa-apa. Aku merasa geli bukan hanya karena kekecewaan San Tak yang tak beralasan, tapi juga karena melihat kepercayaan diri pemuda ini saat menyatakan kebohongannya. Seolah dia benar-benar meyakini hal itu.
“Baiklah, ayo cepat mulai, aku ingin tahu menurutmu siapa diriku di masa lalu,” kataku.
“Berikan tanganmu,” pinta Yoo Seung Ho. “Aku meramal tidak menggunakan kartu, tapi dengan menyentuh tangan orang yang ingin kuramal.”
Aku menjulurkan tanganku untuk disentuh pemuda itu, tapi baru sekitar empat detik dia menggenggam tanganku, Yoo Seung Ho menjerit kaget dan terlonjak dari kursinya. Wajahnya pucat pasi. Pemuda itu bergerak mundur dengan cepat hingga menabrak ujung tenda tempatnya meramal ini, dan membelalakan mata padaku. Aku sering melihat ekspresi takut musuh-musuhku saat kupukuli, tapi rasanya tidak pernah sedramatis ini.
“Apa mungkin di kehidupan lalumu kau seorang iblis?” bisik San Tak. “Anak itu kelihatan takut sekali,” lanjutnya.
Dengan kesal aku mendelik padanya. “Apa aku terlihat seperti iblis?” geramku.
San Tak meringis. “Yah, tentu saja tidak,” bantahnya. “Aku hanya menebak-nebak. Karena, alasan apalagi yang membuatnya setakut itu?”
“Seung Ho, kau tidak apa-apa?” tanya Yoo Eun Bin khawatir.
Yoo Seung Ho menggeleng, tapi masih terus menatapku dengan rasa takut yang nyata terlihat.
Aku mengecek jam tanganku, dan mengumpat. “Aku harus kembali ke aula,” kataku pada San Tak. “Hei, sudahlah, lupakan saja soal melihat masa laluku, itu tidak penting. Berapa yang harus kubayar?” tanyaku pada mereka.
“Se—“
“Tidak!” Yoo Seung Ho memotong perkataan si gadis. “Tidak usah membayar. Kali ini… gratis untukmu,” katanya.
Aku mengangkat sebelah alis dengan heran, tapi kemudian tersenyum geli. “Baiklah kalau begitu. Terima kasih,” kataku, kemudian berjalan keluar dari gerai itu.
“Apa mungkin di masa lalu kau orang yang sangat berkuasa?” komentar San Tak sambil berjalan di sampingku. “Buktinya dia begitu takutnya hingga tidak meminta bayaran,” lanjutnya.
Seringaiku semakin lebar. “Yah, mungkin saja. Sepertinya di kehidupan dulu aku ini orang hebat, kan?” candaku.
***
- Lee Yo Won - 15 Desember 2010 -
Bibi Young Hee sakit flu, karenanya kak Ye Jin memutuskan untuk merawatnya di rumah. Untungnya hal itu tak jadi masalah dengan adanya festival di sekolah yang membuat murid-murid tidak aktif belajar selama seminggu ini. Sebenarnya aku juga ingin tinggal di rumah bersama kakak dan Bibi, tetapi tidak bisa karena aku harus latihan drama setiap hari.
Saat membuka pagar, entah kenapa tiba-tiba aku teringat pada pasangan peramal aneh yang kemarin aku dan kakak temui. Aku masih ingat kejadian kemarin dengan sangat jelas. Keanehan yang dimulai saat si pemuda menyentuh tangan kakak…
Tiba-tiba saja Yoo Seung Ho menangis dan bergerak cepat memeluk kak Ye Jin yang hanya bisa terperangah melihat ulah anak itu.
“Hei,” seruku kaget. “Apa-apaan ini? Kau mau cari kesempatan, ya? Ayo lepaskan kakakku!” aku berusaha menjauhkan pemuda itu dari kak Ye Jin, karena kakak rupanya terlalu terkejut untuk bereaksi dengan cepat. Kakak hanya duduk diam di kursinya dengan wajah tanpa ekspresi dan mata menerawang.
“Ibuuu…” isak Yoo Seung Ho. Dia terus mendekap kak Ye Jin, dan tak memperdulikan paksaanku untuk melepas pelukannya. “Ibuuu…”
Jelas saja aku semakin heran melihat tingkahnya. Apa anak ini sudah gila? Kenapa dia memanggil kakak dengan sebutan Ibu? Dan kegilaan itu semakin menjadi saat si gadis pasangan Yoo Seung Ho, Yoo Eun Bin, juga ikut memeluk kak Ye Jin sambil menangis.
“Ibu mertua…” isaknya.
Ya Tuhan, ada apa dengan kedua anak ini? Wajah kak Ye Jin memang keibuan, tapi jelas tidak setua itu hingga pantas dipanggil Ibu.
“Hei, ayo, lepaskan kakakku!” perintahku. “Dia bukan Ibu kalian. Demi Tuhan, tidakkah kalian lihat dia masih remaja tujuh belas tahun?”
Rupanya kata-kataku dianggap angin lalu saja oleh kedua anak aneh itu. mereka terus memeluk kakak dan menangis, sedangkan kak Ye Jin yang akhirnya sadar dari lamunannya, hanya bisa pasrah menerima pelukan erat dari mereka.
“…Ibu… aku merindukan Ibu…” gumam Yoo Seung Ho dengan suara parau. “…selama dua reinkarnasi aku terus mencari Ibu…”
“Ibu mertua… sejak kehidupan pertama… aku belum pernah meminta restumu…” timpal Yoo Eun Bin.
“Eh, kalian—“
“Selama dua kali reinkarnasi…” isakan Yoo Seung Ho memotong ucapan kak Ye Jin. “aku terlahir sebagai anak yatim piatu… karena di kehidupan pertama… aku berdosa… pernah membenci Ibu… yang mengirimku tinggal jauh darimu… maafkan aku…”
“Ibu mertua… restui aku…” isak Yoo Eun Bin.
“Eh, baiklah…” kata kakak, menyerah. Sengaja mengiyakan permintaan kedua anak itu.
Tapi walaupun kakak sudah mengiyakan permintaan mereka, keduanya masih saja terus memeluk kak Ye Jin dengan erat sambil menangis. Karena tak sabaran, aku segera menarik tangan Yoo Seung Ho. Seketika muncul sebuah kilasan pengelihatan tentang seorang pemuda berpakaian tradisional korea di kepalaku. Pemuda dalam kilasan pengelihatanku itu sangat mirip dengan pemuda peramal ini.
Selama beberapa detik aku hanya bisa berdiri diam seperti orang linglung, hingga merasakan pelukan Yoo Seung Ho. Ada apa lagi ini? Kenapa dia memelukku juga?
“Bibiii…” isak pemuda itu. “Bibiii…”
“Astaga,” erangku. “Aku bukan bibimu. Tolong lepas,” pintaku sambil mencoba melepaskan pelukan erat anak itu.
“…Bibi… maafkan aku… seandainya saja aku tidak membuatnya meragukan cinta Bibi… maafkan aku…” pinta Yoo Seung Ho.
Siapa lagi yang dimaksudnya meragukan cintaku? “Ya, ya, baiklah, tidak apa,” kataku. “Aku memaafkanmu.”
“…kalau saja aku tidak melakukannya… maafkan aku… aku sudah menyakiti Bibi… aku tidak tahu kalau ternyata Bibi benar-benar mencintainya… maafkan aku…”
“Ya, ya, ya, baik, aku memaafkanmu,” aku mendesah frustasi.
Aku tersenyum geli mengingat ketika akhirnya punya kesempatan, aku dan kak Ye Jin buru-buru kabur dari gerai pasangan gila itu.
Tapi… Apa mungkin yang dikatakannya benar? Apa reinkarnasi itu memang ada? Kenapa aku melihat kilasan tentang pemuda yang sangat mirip dengan Yoo Seung Ho? Apakah…
“Yo Won,” panggil kak Tae Wong dari depan pagar rumahnya. Aku tersenyum dan melambai padanya. Berarti hari ini aku hanya berangkat berdua saja dengan kak Tae Wong… tiba-tiba aku teringat perasaan aneh yang muncul dalam diriku saat melihatnya bersama Qri kemarin. Aku masih tidak habis pikir kenapa aku bisa terganggu dengan hal itu.
“Di mana Ye Jin?” tanya kak Tae Wong sambil berjalan menghampiriku.
“Kakak tidak ke sekolah hari ini,” jawabku. “Dia menemani Bibiku yang sakit.”
“Kuharap bukan sakit parah.”
“Oh, tidak, Bibi hanya sakit flu.”
“Baguslah. Ayo kita berangkat.”
“Ya. Ah…” aku terkejut saat merasakan getaran ponselku. Panggilan dari nomor tak dikenal. “Sebentar,” pintaku pada kak Tae Wong, yang mengangguk menyetujui.
“Halo?”
“Apakah benar ini Lee Yo Won?” tanya suara berat seorang pria. Entah kenapa sepertinya suara ini familiar.
“Benar. Anda siapa?” tanyaku.
“Yo Won… ini Ayah.”
“Hei!” aku berseru marah saat merasakan sesuatu dilempar ke kepalaku. Permen susu. Aku memungut permen itu, kemudian mengangkat kepala dan melihat Nam Gil sedang bersandar di pintu aula yang terbuka sambil mendengus.
“Kenapa tidak ditangkap?” gerutunya.
“Mana ku tahu kau mau melempar sesuatu ke arahku?” protesku.
“Tentu saja kau tidak tahu, sejak tadi kau tidak memperhatikan apa-apa. Kau terus melamun, lupa dialogmu, bahkan kau tidak sadar kalau sekarang sudah waktunya istirahat,” kata Nam Gil. “Apa kau tidak sadar aula sudah kosong?”
Benar. Hanya ada aku dan Nam Gil di sini. Aku terus memikirkan telepon dari Ayah pagi tadi hingga tidak bisa berkonsentrasi selama setengah hari ini.
“Kau memberiku permen ini?” tanyaku
Nam Gil mengangguk. “Kau terlihat pahit, karena itu aku memberimu permen manis,” jawabnya.
“Pahit?”
“Wajahmu menampakkan ekspresi ingin membunuh sekaligus dibunuh,” jawabnya.
Yang benar saja. “Setiap merasa pahit, makan saja permen yang manis, kepahitanmu pasti akan segera hilang,” lanjutnya.
Aku mendelik padanya. “Kau mencontek kalimat itu dari iklan, kan?”
Nam Gil merengut. “kau tahu? Sial.”
Melihat ekspresi lugunya membuatku tak dapat menahan senyum, yang kemudian segera berubah menjadi tawa. Dia benar-benar seperti anak kecil saat bertingkah begini. Melihat ekspresinya seperti ini orang pasti akan merasa sulit untuk menghubungkannya dengan pemuda bengis yang tak kenal belas kasihan pada musuhnya bila sedang berkelahi.
Aku turun dari panggung sambil memakan permen pemberiannya. “Terima kasih,” kataku tulus. Berkat tingkah dan ekspresi konyolnya, sejenak kekalutanku dapat tersingkirkan.
Nam Gil menyeringai. “Tak masalah,” sahutnya.
Aku bersandar di pintu yang berseberangan dengan pintu yang disandari Nam Gil. Senyum lebarnya begitu ceria dan kekakanak, seolah tidak memiliki beban atau masalah apapun. Aku suka senyumnya.
“Apa yang kau lakukan bila orang yang selama bertahun-tahun kau benci dan lama tak kau lihat, ingin bertemu dan bicara denganmu?” aku sendiri terkejut mendengar diriku menanyakan hal itu padanya.
“Kenapa tidak? Tidak ada ruginya untuk bertemu bila aku sedang tidak sibuk dan bila suasana hatiku sedang bagus,” jawabnya. “Kalau ternyata dia menjebakku, yah… anggap saja sedang sial, dan kurasa bukan masalah besar, karena aku yakin pasti bisa mengatasinya. Dan bila ternyata niatnya baik, mungkin aku bisa bermurah hati memaafkannya.”
“Memaafkannya?” tanyaku tak yakin.
Nam Gil mengangkat pundak acuh tak acuh. “Kenapa tidak? Aku sendiri bukan orang suci. Kalau aku berbuat salah dan menyesali perbuatanku di masa lalu, pastinya aku berharap orang yang kukecewakan akan memaafkanku,” katanya santai.
Begitukah? Apakah mungkin Ayah menyesali perbuatannya padaku dan Ibu? Tapi kenapa baru sekarang? Setelah sekian lama… setelah Ibu sudah…
“Hei!” panggil Nam Gil, dia menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku. “Kau melamun lagi.”
“Ah… ya, maaf,” gumamku. Aku menatap langsung ke matanya dan bertanya, “Mau menemaniku makan siang?” Aku ingin melupakan masalahku sebentar. Aku ingin Nam Gil menghiburku.
Nam Gil menyeringai lagi. “Kenapa tidak?”
“Bibi!” panggilan itu datang dari Yoo Seung Ho, saat aku dan Nam Gil sedang berkeliling memilih tempat makan siang kami.
Astaga, dia lagi. Tapi aku tidak tega untuk melakukan yang lain selain tersenyum ramah padanya.
Dengan wajah gembira Yoo Seung Ho berlari kecil ke arahku, tapi entah kenapa tiba-tiba dia berhenti. Dia terlihat terkejut dan takut, lalu berbalik pergi dengan terburu-buru.
“Bukankah anak itu si peramal?” tanya Nam Gil.
“Kau tahu dia peramal?”
“Aku mencoba ramalannya,” aku Nam Gil malu. “Ah, ya, kemarin aku mendengar dia memanggilmu dan Park Ye Jin dengan sebutan ibu dan bibi. Kenapa begitu?”
“Oh, yah, itu karena dia menganggap aku dan kak Ye Jin adalah reinkarnasi ibu dan bibinya. Aneh sekali,” komentarku.
“Benarkah? Kalau begitu di kehidupan yang lalu kau pasti anggota keluarga kerajaan,” katanya. “Karena kemarin dia mengaku bahwa di kehidupannya yang lalu dia seorang raja.”
“Benarkah?” tanyaku geli. “Bagaimana denganmu? Menurutnya siapa dirimu di masa lalu?”
Nam Gil menyeringai. “Menurut San Tak, di kehidupan yang lalu aku pasti iblis, karena bocah peramal itu sangat ketakutan saat dia mencoba menerawang jati diriku di masa lalu,” jawabnya. “Dia tidak pernah menyebutkan apa yang dilihatnya atau siapa diriku menurutnya. Tapi aku tidak ambil pusing mengenai hal itu karena sebenarnya aku tidak mempercayai ramalan-ramalan seperti itu,” lanjutnya.
“Yah, aku juga tidak,” kataku setuju. “Menurutmu… apakah masa lalu itu tidak penting?” tanyaku. apakah aku salah karena terus memendam dendam pada Ayah yang pernah menyakitiku dan Ibu? Salahkah terus mengingat yang sudah berlalu?
“Penting dan tidak penting,” jawab Nam Gil acuh tak acuh. “Penting karena banyak hal di masa lalu yang mempengaruhi hidup kita sekarang. tapi juga tidak penting, karena kita hidup di masa sekarang dan untuk masa depan, bukan masa lalu.”
Aku merenungkan perkataan Nam Gil, lalu tersenyum padanya. “Tak kusangka akan mendengar kata-kata seperti itu darimu,” candaku.
Nam Gil merengut kesal. “Itu pujian atau hinaan?”
“Terserah padamu untuk mengartikannya,” sahutku sambil tertawa.
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar