Sabtu, 22 Januari 2011

THE REINCARNATION - Chap 27 - Fanfiction BIDEOK / NAMWON -

CHAPTER 27



Cast :


Bi Dam : Kim Nam Gil                                
Deokman : Lee Yo Won

Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Yong Soo : Kim Jung Chul                             
Cheon Myeong : Park Ye Jin                            
Young Mo : Qri
Wolya : Joo Sang Wook                            
Ha Jong : Go Jung Hyun


------------------------------------------------------


- Lee Yo Won - 2 September 2020 -        

Kepalaku terasa pusing dan hatiku nyeri mengetahui semua kepedihan yang kurasakan selama ini ternyata berasal dari sebuah kesalah pahaman konyol antara diriku dan Nam Gil. karena rasa cemburu buta yang meracuni hati dan pikiran kami.

Aku benar-benar menyesalinya. Seandainya dulu aku tidak pergi begitu saja ketika melihatnya bersama Kim Min Sun… seandainya aku menghampiri Nam Gil dan bukannya melarikan diri dari sakit hatiku…

Kutatap wajah Nam Gil yang terlihat resah dan murung. Banyak sekali kesempatan untuk kami dapat berbahagia, seandainya saja kami bisa berpikir dan bersikap lebih dewasa pada saat itu. “Keraguan kita pada perasaan satu sama lain membuat kita mudah mengambil kesimpulan yang salah,” gumamku. “Mungkin karena saat itu kita masih begitu muda…”

Nam Gil mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Yo Won, apakah kau—“

“Nam Gil,” panggil kak Jung Chul tiba-tiba menyela pembicaraanku dan Nam Gil. “Ada yang mencarimu.”

“Brengsek!” maki Nam Gil seketika, begitu melihat kedua pria yang berjalan mengikuti kak Jung Chul.

“Ada apa? Siapa mereka?” tanyaku.


“Sebentar,” kata Nam Gil singkat, lalu menghampiri kedua pria bersetelan jas rapi itu. ketiganya berjalan menjauh ke tempat yang lebih sepi dan terlihat berdiskusi.

“Siapa mereka?” tanyaku pada kak Jung Chul yang juga sedang mengawasi pembicaraan Nam Gil dan kedua tamunya itu.

Kak Jung Chul memandangku sambil mengangkat pundaknya. “Aku juga tidak tahu. Mereka tiba-tiba datang dan mencari Nam Gil. entah karena apa,” jawabnya.

Jawaban itu tidak bisa memuaskan rasa penasaranku. Siapa mereka sebenarnya? Aku kembali mengalihkan perhatianku pada Nam Gil. Dari ekspresi dan gerak tubuhnya, dia terlihat marah pada kedua pria tak dikenal itu, tapi mereka tetap terlihat tenang dan tak terpengaruh amarah Nam Gil. aku merasa cemas. Apakah Nam Gil terlibat sebuah masalah besar?

“Ah, Ye Jin memanggilku,” ucap kak Jung Chul, menarik perhatianku kembali padanya. “Bersenang-senanglah,” pesanya sebelum kemudian menjauh pergi.

Bertepatan dengan kepergian kak Jung Chul, Qri yang rupanya baru datang ke pesta ini bergerak menghampiriku. Sejujurnya tak kusangka dia akan menyempatkan diri untuk datang ditengah kesibukannya tur ke berbagai kota—mengingat karirnya sebagai penyanyi semakin bersinar saat ini.

“Yo Won, apa kabar?” sapanya.

“Baik. bagaimana denganmu?”

“Sibuk, tapi untungnya baik-baik saja,” jawabnya dengan disertai desahan dramatis.

“Yo Won,” panggil Nam Gil. dia berjalan menghampiriku dengan wajah keruh. Aku semakin mengkhawatirkannya. “Maaf, tapi aku harus pergi sekarang,” katanya

“Tapi—“ protesku.

“Nanti aku akan menghubungimu,” tambahnya, lalu kembali mendatangi kedua pria berjas itu dan setelah berpamitan singkat dengan keluarga dan teman yang lain, dia segera pergi.

Qri menatapku dengan mata terbelalak. “Ya Tuhan!” serunya setelah beberapa detik. “Dia! Jangan katakan bahwa yang tadi itu benar Kim Nam Gil!”

“Memang dia,” jawabku singkat. Hatiku diselimuti kekecewaan. Kenapa secepat ini? baru beberapa jam kami bertemu kembali, kenapa secepat ini kami harus berpisah lagi? aku tidak siap menerimanya. Kupikir paling tidak kami memiliki waktu beberapa hari… waktu yang cukup untuk menyelesaikan seluruh kesalah pahaman diantara kami. tapi sekarang… Dia bilang akan menghubungiku nanti… tapi kapan? Dan benarkah dia akan mengubungiku? Bagaimana bila aku tidak dapat bertemu dengannya lagi? tusukan kekecewaan itu dengan cepat berubah menjadi rasa pedih. Nam Gil…

“Astaga, sudah lama sekali dia menghilang bagai ditelan bumi…” gumam Qri takjub. “Aku tak menyangka akan melihatnya hari ini. apakah kalian berhubungan kembali? Diakah alasanmu memutuskan kak Tae Wong?” desaknya.

Aku mencoba mengesampingkan rasa sedihku dan menanggapi pertanyaan Qri. “Tidak… kami tidak berhubungan kembali,” jawabku datar. “Dari mana kau tahu mengenai putusnya hubunganku dengan kak Tae Wong?”

“Ye Jin,” jawab Qri. Semenjak kepulangan kak Ye Jin ke Korea, keduanya—yang saat di SMU sempat saling tak menyukai—menjadi akrab setelah Qri merekrut kakak menjadi guru di sekolah musik yang didirikannya. “Saat dia mengundangku, tanpa sengaja kami jadi membicarakanmu, dan dia berkata sedikit khawatir karena kau putus dari kak Tae Wong.”

“Ya, aku dan kak Tae Wong memang telah putus,” jawabku seadanya. Seharusnya kak Ye Jin tak perlu mengkhawatirkanku hanya karena masalah itu.

“Karena apa kalian putus?’ tanya Qri. “Maaf, bukan maksudku untuk ikut campur, hanya saja… kak Tae Wong pria yang sangat baik. dia juga cukup tampan… apa yang membuatmu tidak menyukainya?”

Aku mengamati Qri yang terlihat salah tingkah, lalu tersenyum. Sejak lulus SMU, Qri terlihat serius berhubungan dengan seorang aktor, sehingga kupikir perasaannya pada kak Tae Wong telah hilang… tapi,  apakah mungkin sebenarnya selama ini perasaan suka Qri pada kak Tae Wong masih ada?

“Aku menyukainya,” kataku tenang. “Tapi lebih sebagai sahabat. Seperti saudara. Kurasa dia pantas mendapat seseorang yang lebih baik dariku. Seseorang yang benar-benar menyukainya. Seperti dirimu,” tambahku, mengejutkannya.

“Yo Won!“

“Hai,” kedatangan kak Tae Wong menyela perkataan Qri. “Qri, apa kabarmu?”

Qri langsung tersenyum cerah. “Sangat baik. bagaimana denganmu?”

Kak Tae Wong balas tersenyum. “Baik,” sahutnya. “Emm, Yo Won, tadi saat aku baru sampai, di depan aku melihat… Nam Gil. apakah itu benar dia?” tanyanya padaku.

Aku mengangguk. Tadi ingin sekali rasanya aku menuntut Nam Gil menceritakan padaku siapa kedua pria itu. ingin rasanya aku menahannya… memaksanya untuk jangan pergi. tidak secepat itu… tidak kapanpun. Tapi aku tak bisa mengungkapkannya. Dan semua emosi yang kutahan itu membuat dadaku terasa sesak.

“Kalian sudah berbicara?” tanya kak Tae Wong lagi.

“Ya, tapi masih ada beberapa hal yang belum tuntas dibicarakan,” jawabku dengan kekecewaan yang tak dapat disembunyikan. “Sudahlah, tak usah membahasku. Ini kan pesta kak Ye Jin. Ah, Bibi memanggilku. Aku harus pergi. kalian mengobrol saja di sini,” kataku, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

saat menerima bayi kak Ye Jin yang diserahkan Bibi padaku, aku mengamati kak Tae Wong dan Qri yang duduk mengobrol di gazebo. Demi kebaikan kak Tae Wong dan juga Qri, kuharap hubungan mereka bisa berhasil.

“Nam Gil pergi terburu-buru,” kata kak Ye Jin yang datang menghampiriku. “Tapi kulihat tadi kalian bicara berdua. Apakah kesalah pahaman kalian sudah diselesaikan?”

“Belum semua,” kataku. “Tapi dia berjanji akan menghubungiku nanti.” Aku mencoba menguatkan hatiku. Mempercayai perkataannya, tapi kecemasan itu tak kunjung hilang. Nanti… tapi kapan? Apakah aku dapat bertemu dengannya lagi? Nam Gil…



- 5 Desember 2020 -   

Aku melirik jam di dinding ruang kerjaku dan baru menyadari kalau sudah begitu sore. Pukul enam. Ayah sudah pulang sejak sejam yang lalu, tapi aku begitu asyik dengan pekerjaanku sehingga menyuruhnya pulang lebih dulu. Segera saja aku mematikan komputer dan membereskan berkas-berkas yang bertebaran diatas mejaku.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Nomer tak dikenal. Siapa? “Halo?”

“Kenapa masih bekerja di jam seperti ini? seharusnya kau sudah pulang sejak tadi.”

Jantungku langsung berdegup kencang. Nam Gil! selama berbulan-bulan aku menunggu kabar darinya, dan akhirnya dengan sedih berpikir dia tidak akan pernah menghubungiku lagi. tapi ternyata…

“Tadi aku ke rumahmu, tapi kata Ayahmu kau masih di kantor. Sekarang aku ada di depan kantormu,” katanya lagi, saat aku masih terdiam karena terkejut.

“Kantorku!?” seruku terkejut.

“Ya,” sahut Nam Gil. “Aku menunggumu.”

Selama beberapa detik aku terdiam terpaku memandangi ponsel ditanganku. Benarkah itu Nam Gil? dia menghubungiku. Dia di depan kantor menungguku! Diluapi perasaan senang yang tak terhingga, aku segera menyambar mantel dan tasku, lalu buru-buru pergi keluar. Tanpa memperdulikan pandangan heran dari beberapa pegawai yang juga masih berada di kantor dan para penjaga keamanan, aku berlari cepat menuju pintu keluar. Aku tak sabar ingin segera bertemu dengannya. Aku merindukannya. Aku sangat merindukannya!

Dengan napas terengah aku tiba di luar dan melihat Nam Gil berdiri membelakangiku. Saat aku berjalan mendekatinya dengan hati yang dipenuhi rasa damba, Nam Gil memutar tubuhnya dan tersenyum lebar melihatku. Seketika itu juga aku merasa… lengkap. Kehadirannya membuat hidupku terasa sempurna. Dadaku dipenuhi kebahagiaan yang begitu membuncah hingga rasanya sulit untuk bernapas.

“Kupikir kau tak akan menghubungiku,” ocehku tanpa dapat dikontrol.

Senyum lebar Nam Gil berubah menjadi seringai jail. “Bukankah aku sudah berjanji akan menghubungimu? Aku tidak suka mengingkari janjiku. Apalagi terhadapmu,” katanya santai. “Apa kau bersedia makan malam bersamaku?”

“Ya,” jawabku cepat dan tegas.



Tapi sesampainya di restoran dan makanan telah tersaji di hadapanku, aku tak bernapsu untuk menyantapnya. Mataku tak bisa lepas memandangi Nam Gil. dengan rakus menyimpan gambaran dirinya saat ini dalam memoriku, untuk kukenang di saat dia kembali pergi nanti… seketika hatiku terasa bagai diremas kuat. Aku tidak ingin berpisah lama darinya lagi. Aku bahkan masih sulit percaya bahwa sekarang kami benar-benar sedang makan malam bersama. Apakah ini hanya mimpi indah?

“Kenapa tidak makan?” tegur Nam Gil sambil menyuap kimchinya.

Aku tersadar dari lamunanku, lalu menggeleng. “Sebenarnya aku tidak lapar,” kataku. “Dari mana kau mendapat nomer ponselku yang baru?” tanyaku berbasa-basi.

Nam Gil tersenyum. “Aku punya koneksi hebat,” candanya. “Kak Jung Chul.”

Senyumannya selalu dapat membuatku ikut tersenyum. Tapi kemudian aku teringat pada sesuatu yang masih membuatku penasaran hingga kini. “Nam Gil, siapa kedua pria yang waktu itu mencarimu di rumah kak Ye Jin?” tanyaku saat tak bisa lagi menahan rasa ingin tahuku.

Nam Gil meneguk sojunya sambil melirikku. “Rekan kerjaku,” jawabnya. “saat itu aku terpaksa buru-buru pergi karena ada tugas penting yang harus kuselesaikan.”

Rasa penasaran itu semakin kuat. “Apa sebenarnya pekerjaanmu?” tanyaku.

“Tak tentu,” jawabnya. “Aku terikat kontrak dengan seseorang. Setiap saat aku harus siap berangkat ke manapun yang diperintahkannya untuk melakukan beberapa hal.”

Rasa penasaran itu kini dibumbui rasa cemas. “Apakah… kau terlibat dalam organisasi seperti paman Yeom Jong?”

Nam Gil menghentikan makannya dan menatapku tajam. “Apa kau akan memandang rendah diriku bila mengetahui aku seorang kriminal? Apa kau tak akan mau mengenalku lagi bila aku telah melakukan kejahatan?” tanyanya dengan suara datar.

Jantungku bagai dihujam pisau tajam. Jadi… tebakanku benar? Apakah aku memandang rendah dirinya? Apakah lantas aku tak lagi mau mengenalnya? “Tak mungkin aku seperti itu,” bantahku tegas. Aku terlalu mencintainya untuk dapat membencinya hanya karena jalan yang dipilihnya salah. “Kita tak bertemu selama sembilan tahun… aku tidak tahu hidup seperti apa yang kau jalani, jadi aku tidak berhak menghakimimu atas profesi yang kau jalani saat ini seburuk apapun itu,” kataku.

Aku menaruh tanganku di atas tangannya yang diletakannya di atas meja. “Aku tidak mungkin mejauhimu hanya karena itu. bagiku kau tetap Kim Nam Gil yang kukenal dulu. Dan lagi, kau masih bisa… bertobat. Aku akan membantumu sebisaku. Apakah kau kesulitan mencari pekerjaan? Apakah—“

Tiba-tiba Nam Gil terkekeh geli. Dengan lembut dia menepuk-nepuk tanganku yang tadi kuletakan diatas tangannya. “Maaf, jangan anggap serius perkataanku,” katanya. “Aku hanya ingin menggodamu.”

Aku terdiam. Menggoda? Sebersit rasa kesal menyusup masuk dalam hatiku. Dia mempermainkanku!? “Jadi kau bukan mafia?” tuntutku.

Nam Gil tertawa. “Kau kelihatan kesal,” komentarnya. “Apa kau lebih suka kalau aku tergabung dalam organisasi seperti itu?”

“Jangan konyol,” keluhku. “Jadi apa sebenarnya pekerjaanmu?”

Nam Gil menyeringai. “Maaf tapi aku tidak bisa memberitahumu sekarang,” katanya. “Bila sekarang aku memberitahumu, maka terpaksa aku harus membunuhmu, sedangkan aku tak mungkin melakukannya,” tambahnya disertai cengiran.

Untuk sesaat aku tersentak kaget, tapi kemudian tersadar. “Berhentilah mengecohku,” gerutuku, membuatnya tertawa semakin keras.

Setelahnya terjadi keheningan. Aku tak lagi mempersoalkan pekerjaannya karena kini benakku dipenuhi pikiran untuk menjernihkan sisa-sisa kesalah pahaman kami.

“Setelah kepergianku,” ucap Nam Gil, memecah kesunyian. “Apakah… kau berhubungan dengan Tae Wong?”

Aku menatapnya tajam. “Tidak,” jawabku. “Tapi dua tahun belakangan ini aku memang sempat berpacaran dengannya.”



- Kim Nam Gil - 5 Desember 2020 -               

Rasa marah dan cemburu berpadu dalam diriku. Yo Won berpacaran dengan Tae Wong selama dua tahun ini. waktu yang lebih lama dibanding hubunganku dengannya dulu. Tapi kemudian aku tersadar, bahwa salahku sendiri lah yang menyebabkan semua itu terjadi. Aku yang memberi kesempatan pada mereka untuk berhubungan. Tidak seharusnya aku marah, tapi aku tetap merasakan hal itu. marah, kecewa, menyesal. Semua bercampur aduk di hatiku.

“Dua tahun,” gumamku, berusaha tenang. “Waktu yang… lama. Sepertinya kalian serius.”

Wajah Yo Won menampakkan kesedihan. “Yah, aku berniat begitu,” akunya. “Tapi kemudian aku sadar hubungan kami tak akan berhasil.”

Seketika dadaku mengembang penuh harap. “Kalian putus?” tanyaku hati-hati.

“Bukankah tadi aku berkata ‘sempat’ berpacaran dengannya?” Yo Won balik bertanya dengan menekankan kata “Sempat”.

Aku berusaha menahan senyumku. Bodoh sekali, karena terlalu cemburu aku tidak menyimak baik-baik perkataannya. Tapi senyumku perlahan menghilang saat terpikir bahwa mungkin saja Yo Won patah hati dengan putusnya hubungannya dengan Tae Wong.

“Apa kau menyesal telah putus darinya?” tanyaku.

Yo Won menatapku tajam, lalu menggeleng. “Itu keputusan terbaik. Aku tidak mencintainya seperti yang seharusnya, jadi memang sudah sewajarnya kami tak melanjutkannya,” katanya.

Yo Won tak mencintai Tae Wong. mungkinkah masih ada harapan bagi kami? “Yo Won, maafkan aku. maafkan aku karena telah terlalu cepat mengambil kesimpulan yang salah sehingga… menghancurkan hubungan kita dulu,” kataku sepenuh hatiku. “Tak seharusnya aku pergi begitu saja tanpa bicara padamu.”

“Maafkan aku juga karena telah membuatmu berpikir aku mencurigaimu,” kata Yo Won lembut. “Aku tahu kau sangat terluka karena berpikir aku menuduhmu mencelakai kak Tae Wong. Saat itu aku bertanya hanya untuk meyakinkan bahwa pilihanku untuk mempercayaimu adalah benar, tapi mungkin cara penyampaianku kurang tepat hingga kau salah mengartikan maksudku. Maafkan aku. Percayalah, aku selalu mempercayaimu.”

Hatiku tergetar mendengar perkataanya yang tulus. “Aku tahu. Itulah salahku. Di kehidupan pertama kita, juga di kehidupan ini, aku terus saja meragukan kepercayaanmu padaku,” kataku. “maafkan aku.”

“Itu kesalahan kita berdua,” kata Yo Won. “Aku lega karena sekarang masalah kita bisa terselesaikan,” katanya.

Aku tersenyum kecil. “Ya, aku juga senang karena kini kesalah pahaman di antara kita sudah tak ada lagi.” hatiku benar-benar merasa lega. Rasanya seolah beban berat yang selama ini kubawa telah dibuang jauh.

Kini kesalah pahaman itu sudah teratasi, tapi… masih bisakah aku kembali padanya? Maukah dia menerimaku kembali setelah semua yang kulakukan? Semua pikiran itu begitu menyiksaku ketika pergi menjalankan misi yang dipaksakan BB padaku waktu itu. aku baru saja bertemu dan meluruskan permasalahanku dengan Yo Won, lalu tiba-tiba saja dua rekanku datang menjemput. Aku begitu bersemangat untuk segera menyelesaikan misi agar dapat kembali ke Korea secepatnya. Untuk melihat Yo Won lagi. berbicara dengannya, menyelesaikan semua masalah kami. dan melihat apakah ada kesempatan bagiku untuk masuk dalam hidupnya kembali. Apakah di hatinya masih ada sedikit tempat untukku?

Sebuah suara musik mengalun lembut dari dalam tas Yo Won. “Sebentar,” gumamnya sambil mengeluarkan ponselnya. “Halo?” sapanya pada si penelepon.

Aku tidak mendengarkan pembicaraan Yo Won, karena perhatianku tersedot pada gantungan ponsel yang dipakainya. Gantungan itu… tenggorokanku tercekat saat mengenali benda tersebut. Hadiah ulang tahun pertamaku darinya. Pertama dan satu-satunya. Sayangnya saat kami berpisah, gantungan itu tidak ada padaku. Gantungan itu sangat berarti bagiku. dan kini Yo Won kembali memakainya. Keduanya. Miliknya dan milikku. Yo Won… mungkinkah?

“Ya, Ayah. sampai jumpa di rumah nanti,” kata Yo Won terakhir kalinya sebelum kemudian memutus sambungan teleponnya. “Hah… itu tadi Ayahku. Terkadang dia masih menganggapku belum dewasa—“

“Gantungan ponsel itu,” selaku. Aku menatapnya tajam. “Itu gantungan ponsel kembar kita,” kataku dengan suara parau.

Yo Won menatap ponsel dalam genggamannya. “Ya,” gumamnya.

“Kenapa kau memakainya lagi?” desakku. Harapan itu semakin berkembang dalam hatiku.

Selama beberapa saat dia hanya diam dan menatapku tajam, hingga kukira dia tak akan menjawabnya. Tapi kemudian, dia membuka mulutnya dan bicara. “Apa kau lupa? Aku memakainya karena ini adalah simbol keterikatan kita,” jawabnya.

Rasa haru bercampur suka cita memenuhi hatiku. Aku mengingatnya. Hari ulang tahunku yang kedelapan belas. Ketika Yo Won pertama kali memberikan gantungan itu padaku. “Aku ingin kita memiliki benda yang sama sebagai simbol keterikatan kita,” kata Yo Won. “Dan aku juga khusus memesan di toko itu untuk membuatkan inisial nama kita di cincinnya agar kita selalu saling mengingat.”

Aku mengangguk. “Dengan inisial nama kita agar selalu saling mengingat,” tambahku. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat. “Bisakah aku memilikinya lagi?” tanyaku. “Maukah kau memberiku satu kesempatan lagi?”

Mata Yo Won tampak berkaca-kaca. “Nam Gil…”

“Aku tahu kesalahanku sudah begitu banyak. Aku terus menyakitimu. Tapi, selama sembilan tahun ini aku tidak pernah bisa melupakanmu. Tidak pernah berhenti mencintaimu,” kataku bersungguh-sungguh. “Bila masih ada sedikit saja rasa dihatimu untukku, beri aku kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki kesalahanku dulu. Beri aku kesempatan untuk membuatmu kembali mencintaiku.”

Setetes air mata mengaliri wajah Yo Won. tapi dia tersenyum dan balas meremas tanganku. “Ada begitu banyak rasa di hatiku untukmu,” ucapnya. “Aku pun tak pernah bisa melupakanmu. Aku mencoba, tapi aku tak sanggup. Cintaku padamu terlalu kuat untuk dimusnahkan.”

Mungkin aku tak pantas menerimanya, tapi aku sungguh bahagia mendengarnya. Aku mengangkat tangannya yang berada dalam genggamanku dan menciumnya penuh kasih. “Maukah kau memaafkanku? Bersediakah kau memberiku kesempatan sekali lagi?”

“Aku tak pernah marah padamu. Yang terjadi adalah kesalahan kita bersama,” kata Yo Won. “Tapi kumohon, jangan pergi meninggalkanku seperti dulu lagi. aku tidak akan sanggup menanggungnya.”

“Tidak. Tidak akan lagi,” sumpahku sepenuh hati.



Kebahagiaan yang kurasakan sekarang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Ingin rasanya aku berteriak bagai tarzan di sepanjang jalan yang kulewati bersama Yo Won tadi, tapi aku tak ingin membuat Yo Won malu, sehingga aku hanya mengungkapkannya dengan menggenggam erat tangannya dan tak berhenti menyeringai puas.

Setelah makan malam—yang tidak habis—kami berjalan-jalan di taman yang berada di dekat restoran itu. malam masih panjang dan kami baru saja menjalin hubungan kembali. Rasanya kami tak ingin segera berpisah, walaupun besok kami akan bertemu lagi.

“Apa kau… pernah berhubungan dengan gadis lain setelah putus denganku?” tanya Yo Won tiba-tiba.

Aku berdeham sebelum menjawab pertanyaannya. “Ya, tapi tak ada yang serius,” jawabku.

Yo Won menatapku sambil tersenyum geli. “Tidak usah merasa bersalah begitu,” katanya. “Aku bisa mengerti, karena aku sendiri pun mencoba berhubungan dengan beberapa pria walaupun tak ada yang berhasil.”

Aku ikut tersenyum. “Aku mensyukurinya,” komentarku jujur. “dan aku lebih mensyukuri lagi takdir yang mempertemukan kita kembali.”

Yo Won mendesah. “Kau benar,” sahutnya. “Ah, apa kau ingat kata-kata peramal di taman hiburan itu?” tanyanya tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya.

Kucoba untuk mengingat-ingatnya. “Maksudmu peramal wanita itu?” tanyaku. “Yang mengatakan ini adalah kehidupan ketiga kita, dan mengeluarkan ramalan mengerikan untuk masa depan kita?”

Yo Won mengangguk. “Tidakkah kau sadar ramalannya kembali terbukti? Dia berkata akan ada beberapa rintangan dalam masa depan kita untuk bersama, dan bukankah memang terbukti bahwa kita diuji dengan beberapa masalah yang kemudian memisahkan kita selama Sembilan tahun ini?”

“kau benar,” gumamku serius, lalu tersenyum padanya. “Tapi dia juga berkata, bila cinta kita benar-benar kuat, maka kita akan dapat bersatu. Dan terbukti bahwa cinta kita tak terikis oleh waktu.”

Yo Won ikut tersenyum. “Ya,” sahutnya puas. “Dan bila di kehidupan kali ini kita bisa bersatu, maka setiap reinkarnasi selanjutnya kita pun akan ditakdirkan bertemu kembali.”

Aku menariknya masuk ke dalam dekapanku. “Kita akan berusaha mewujudkannya. Aku bersumpah,” ucapku tegas.

Yo Won mengelus wajahku dengan tersenyum. “Ya, kita akan berusaha mewujudkannya,” katanya.



- 14 Desember 2020 -      

Hari-hari berlalu dengan cepat dan penuh kebahagiaan. Setelah sembilan tahun, kini aku dapat benar-benar bersantai dan tak lagi merasa kesepian. Karena kini ada Yo Won yang kutahu mencintaiku. Ada Yo Won yang akan selalu mendukung dan mempercayaiku.

Aku membeli motor baru—milikku dulu telah di jual tak lama setelah kepindahanku ke Amerika—untuk berjalan-jalan dengan Yo Won, agar tak perlu lagi menyewa mobil hotel, walau Jung Hyun memberi keistimewaan dengan tidak menarik bayaran sesenpun dariku. Bila nanti aku pergi menjalankan tugas dari BB lagi, aku bisa menitipkan motorku di rumah Jung Hyun—rumah kami dulu—yang menjadi tempat menginapku selama beberapa hari ini.

“Semakin hari kau semakin cantik menggunakan helm itu,” godaku saat sore ini menjemput Yo Won di rumahnya. Setelah Yo Won menceritakan dia kehilangan helm pemberianku, aku segera membelikannya helm putih yang hampir serupa dengan miliknya dulu.

Yo Won hanya tertawa menanggapi perkataanku, dan langsung naik ke motor. “Jangan kau hilangkan lagi,” godaku lagi.

“Kau juga tak boleh melepaskan gantungan ponsel itu lagi,” balas Yo Won sambil memeluk erat pinggangku.

“Tentu saja!” sahutku disertai tawa saat menjalankan motorku. Tidak akan kulepas lagi. tak akan.



“Cheon Myeong terlihat sangat menyukaimu,” komentar Ayah saat melihat cucu pertamanya itu tersenyum dalam gendonganku.

“Benar,” timpal Ye Jin. “Sebenarnya, menurutku kau sudah sangat pantas memiliki anak sendiri,” tambahnya sambil melirik Yo Won yang tersenyum geli.

Aku tertawa. Yah, aku pun telah memikirkannya. Aku menengok ke arah Yo Won, dan tersenyum padanya. Aku memang sudah memiliki rencana untuknya.

Kak Jung Chul ikut tertawa. “Ya, kau harus secepatnya memberi Ayah cucu baru,” katanya.

“Tenang saja, aku akan langsung memberi banyak cucu untuk Ayah,” timpalku.

Ayah terkekeh geli. “Bagus. Lakukan itu,” katanya.

Obrolan terus mengalir dengan menyenangkan hingga selesai makan malam. Ye Jin dan kak Jung Chul pergi menidurkan anak mereka, Ayah menonton berita di sebuah stasiun TV, sedangkan aku dan Yo Won pergi ke halaman belakang untuk mencari udara segar sekaligus melihat bintang.

“Indah,” gumamnya sambil mendongakkan kepala menatap langit malam.

Aku memeluknya dari belakang dan mengecup pipinya. “Aku jauh lebih indah,” godaku, membuatnya tertawa geli.

Yo Won mendesah sambil mengangkat kedua tangannya ke atas dan merentangkan kesepuluh jarinya. “Kalau seperti ini seakan kau bisa menggapai bintang,” katanya.

Merasa ini kesempatan yang tepat, dengan gerak cepat aku meraih cincin dalam saku jaket kulitku, lalu memasangnya ke jari manis tangan kirinya. “Tidakkah menurutmu kilaunya seperti bintang?” bisikku di telinganya. Aku membeli cincin itu siang tadi. “Aku hanya mengira-ngira ukurannya. Untung saja pas.”

Yo Won terkesiap pelan memandangi cincin berlian yang kupakaikan padanya. “Nam Gil…”

“Menikahlah denganku,” pintaku.

Dengan cepat Yo Won berputar dalam pelukanku. “Kau serius?” desaknya.

“Sangat serius,” jawabku sambil tersenyum. Jantungku berdegup kencang. Penuh antisipasi atas reaksi yang akan diberikan Yo Won. “Aku sudah menunggu terlalu lama untuk ini. maukah kau menikah denganku?”

“Ya. Ya!” serunya dengan terisak. Dia langsung memelukku erat. “Ya, aku mau.”

Aku balas memeluknya dengan erat. “Aku mungkin menyatakannya seperti pertanyaan, tapi sebenarnya aku memaksa. Kau memang harus mau,” godaku.            Ya Tuhan, Tidak ada yang dapat menggambarkan betapa bahagianya aku saat ini. setelah semua kepedihan dan kesepian itu… “Kali ini kita akan melakukannya dengan benar,” kataku lagi dengan serius. “Kali ini kita akan melakukan apa yang tidak berhasil kita wujudkan di dua kehidupan lalu.”

Yo Won mengangguk. “Aku sangat mengharapkannya,” gumamnya. “Di masa depan masalah pasti akan terus ada, tapi kuharap saat itu kita akan menghadapinya berdua. Tanpa harus saling menyakiti lagi.”

Aku mengecup keningnya. “Kita akan menghadapi dan melewatinya bersama. Berdua. Selamanya.”



Seharusnya sudah kuduga surga tak akan selamanya damai tanpa diusik sang setan pengganggu. Itulah yang terjadi sekarang. Baru saja sampai di depan rumah Yo Won ketika mengantarnya pulang, di ponselku masuk sebuah pesan dari sang setan—Big Boss—yang menyuruhku bersiap untuk segera berangkat ke Vietnam. Sial. dan seperti biasa, dia tak menjelaskan lebih rinci alasan keberangkatanku hingga aku tiba di Negara tujuan.

“Ada apa?” tanya Yo Won cemas.

Aku berusaha memaksakan senyumku. “Tidak apa-apa,” kataku menenangkan. “Tapi maaf, untuk beberapa lama aku tidak dapat menemuimu.”

“Kenapa?” tuntutnya.

“Bosku memberiku pekerjaan lain. malam ini aku harus segera berkemas dan berangkat.”

“Berapa lama?” tanyanya dengan ekspresi cemas bercampur sedih. sama seperti yang kurasakan. Brengsek! Aku tidak ingin berpisah dengannya secepat ini.

“Aku sendiri tidak tahu,” jawabku apa adanya. “Tapi aku berjanji kita akan secepatnya bertemu lagi.”

Yo Won melangkah maju mendekatiku yang duduk di atas motor dan menunduk mengecup bibirku sekilas. “Cepat kembali,” pintanya. “Dan berhati-hatilah. Aku tidak mau kehilanganmu lagi.”

Hatiku yang semula resah kini mengembang penuh rasa bahagia. Yo Won menciumku. Meskipun hanya kecupan singkat, ini pertama kalinya dia mencium bibirku. Semangat mengaliri sekujur tubuhku.

“Tidak akan. Kau tak akan kehilanganku lagi,” sumpahku. “Secepatnya kita akan bertemu lagi. aku berjanji!”



- 12 Februari 2021 - Haipong, Vietnam -         

Perih kurasakan dari luka di lenganku akibat sabetan pisau salah satu teman si agen pengkhianat. Brengsek. Aku harus terpisah dari Yo Won karena mengejar seorang agen yang berkhianat dari badan intelegen tempatku bekerja. Bukan hanya berkhianat, dia juga mencuri data rahasia yang berisi nama-nama seluruh agen, misi-misi dan penyamaran mereka. Setelah mencuri, dia dan beberapa temannya kabur ke Vietnam. Mereka selicin belut. Berkali-kali aku hampir berhasil meringkusnya, tapi mereka terus saja dapat meloloskan diri dan kabur ke tempat-tempat lain.

Rupanya agen brengsek itu berniat menjual informasi yang dicurinya pada seorang miliuner prancis yang belakangan ini memang sedang diselidiki BB karena dicurigai memiliki hubungan dengan kelompok teroris di Korea.

Kini aku berhasil masuk ke tempat persembunyian mereka yang terbaru—sebuah gedung tua bekas pabrik di daerah terpencil yang cukup jauh dari pemukiman warga—tapi saat aku berhasil merebut disk penting itu dari si agen, gerombolan teman-temannya mengepungku dan salah satunya berhasil melukaiku. Tidak hanya luka di lenganku, tapi kaki kananku juga terasa nyeri karena mendapat tendangan dan pukulan bertubi dari salah satu musuhku.

Saat mendengar langkah-langkah kaki mendekat, sepelan mungkin aku beringsut semakin masuk ke celah diantara tong-tong tak terpakai yang tertumpuk di sekitarku. Aku mendengarkan baik-baik. dua orang. Berarti empat orang yang lain dan si agen pengkhianat itu berada di ruang lain dalam gedung ini. bagus. Aku bisa menghadapi mereka berdua. Aku meraih pisau yang berhasil kurebut dari mereka tadi, dan bersiap-siap. Begitu kedua pria tersebut melintas di depan tempat persembunyianku, aku segera menerjang maju. Menendang seorang diantaranya, menarik yang satu, kemudian menusuk perutnya dalam-dalam. Aku berkelit dari pukulan orang yang kutendang tadi, lalu menangkapnya dan menggorok lehernya. Setelah beberapa tahun menekuni profesi ini, terpaksa membunuh tidak lagi terlalu menggangguku. Karena itu memang harus dilakukan. Bila tidak, maka aku yang akan terbunuh.

Tiba-tiba kudengar langkah-langkah kaki berlari mendekat. Segera aku mengambil pistol-pistol yang tergantung di pinggang kedua mayat musuhku, lalu melompat dan memanjat naik ke sebuah rak besar, menanti kedatangan musuhku. Tiga orang yang datang terlihat panik menyaksikan kedua teman mereka telah mati. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengarahkan kedua pistol yang kugenggam ke arah dua diantara ketiga musuhku itu, dan menembak mereka tepat di jantung. Terlonjak kaget, satu yang tersisa segera mencari arah tembakan dan dengan membabi buta menembak ke arahku. tapi dengan sigap aku melompat turun di sisi lain rak tersebut dan bersembunyi dari hujan peluru.

Berhati-hati, aku mengintip dan nyaris terkena tembakan lain. brengsek. Aku tidak boleh mati. Aku harus tetap hidup untuk kembali pada Yo Won.  Aku mendengar langkah-langkah kaki lain mendekat. Si agen dan seorang temannya yang lain rupanya segera datang menghampiri karena suara tembakan itu. aku berlari menjauh lalu masuk ke sebuah ruangan, dan berniat melompat keluar dari jendela. Tapi sialnya ternyata jendela diruangan tersebut tak cukup besar untuk tubuhku. Saat mendengar langkah kaki mendekat, aku segera bersembunyi di balik pintu dan ketika orang tersebut melangkah masuk, aku segera menembak kepalanya. Kuambil lagi senjata yang dipegangnya dan berjalan keluar ruangan.

“Sebaiknya kau menyerah, King,” saran si agen pengkhianat—Key—menyebut identitas mata-mataku sambil menodongkan pistol di keningku.   

Temannya yang bertubuh penuh tato tertawa puas. Pria itu bergerak maju dan mengepalkan tangan besarnya untuk meninjuku, tapi dengan gerak cepat aku menariknya hingga menjadi tamengku.

“Itu saranku untukmu, Key,” balasku.

Key menyeringai buas. “Kau mau membunuhnya? Silakan saja, aku tidak perduli,” katanya.

“Ke-Key?” gumam si tato tergagap ketakutan dibawah todongan pistolku. “Teganya kau!”

“Berikan padaku disknya,” kata Key padaku tanpa menghiraukan temannya. “Kita bisa membagi hasil penjualannya. Aku bukan orang yang pelit,” bujuknya.

Aku mendengus tak percaya. Dipikirnya aku anak kemarin sore yang bisa dibodohinya? “Terakhir kalinya,” kataku. “Kau bisa memilih. ikut bersamaku menemui BB di Hanoi, atau mati di tempat ini?” kemarin aku baru mendapat kabar BB datang ke Vietnam.

Key tertawa bengis. “Seakan itu sebuah pilihan!” sinisnya. “Menemui si biadab itu sama saja bunuh diri. Apalagi bila dia sampai menyusul ke Vietnam, itu pertanda dia ingin mengulitiku hidup-hidup.”

“Aku kagum kau masih berani mengkhianatinya walaupun sudah tahu tabiatnya,” sindirku.

Key melepaskan tembakan yang mengakhiri hidup temannya dengan wajah tanpa ekspresi. “Aku malas buang-buang waktu,” desisnya.

“Aku juga,” sahutku sambil mendorong mayat si pria bertato ke arah Key, lalu melakukan tendangan berputar yang membuat senjata yang dipegangnya terjatuh ke lantai. Aku segera menendang pistol itu jauh-jauh, lalu menodongkan senjataku di kepalanya. Membalik keadaan yang tadi dilakukannya padaku.”Kau tidak memberiku pilihan lain.”

Key tersenyum sinis. “si bedebah BB itu sebenarnya tak lebih baik dariku,” desisnya. “Kau pikir dia nasionalis sejati? Dia juga pengejar keuntungan. Tahun lalu dia membiarkanku nyaris mati karena kepentingan oknum lain yang dirasanya lebih besar daripada nyawaku. Tapi untungnya aku bisa menyelamatkan diri sendiri saat itu. jadi, salahkah bila aku ingin membalasnya!?” bentaknya.

“Kau masih bisa ikut hidup-hidup denganku ke Hanoi,” ulangku, tanpa mengacuhkan perkataannya. Aku tidak bisa menyatakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Tugasku hanya melakukan perintah.

Dengan geram Key menarik tanganku dan berusaha merebut senjataku. Dalam adu rebut senjata itu, tanpa sengaja pistol meletuskan peluru. Key roboh di depan mataku. Darah mengalir dari dadanya. Itu pilihannya.

Dengan pemilihan waktu yang tepat, ponselku berbunyi—ponsel khusus pekerjaanku. BB.

“Aku sudah mendapat disknya. Key mati,” kataku memberi laporan.

“Hancurkan disk itu,” perintahnya tenang tanpa mengomentari kematian Key. “Cepat pergi dari sana. Aku telah mengirim tim pembersih ke tempat itu.” tim pembersih berarti sekumpulan orang yang akan menyingkirkan seluruh kekacauan di tempat ini—termasuk mayat-mayat—hingga kondisinya kembali seperti semula.

“Baik,” sahutku sambil berjalan keluar dari gedung tua itu. “Aku ingin cuti panjang. Aku memaksa.”

“Aku tidak bereaksi baik terhadap paksaan,” sahut BB.

Aku menaiki jeepku sambil menggeram marah. “Dengar, Joo Sang Wook, aku tidak perduli apa reaksimu. Aku akan cuti. Kau suka atau tidak.”

BB mendengus. “Dari mana kau mengetahui identitas asliku?”

Tanpa bisa ditahan aku menyeringai. “Aku punya caraku sendiri,” sahutku. “Sampai jumpa beberapa bulan lagi,” tambahku acuh tak acuh, lalu mematikan ponselku.

Aku meraih ponsel lain yang kutaruh di dasbor. Saatnya menjalankan rencana lain. aku menghubungi sebuah nomer. “Apakah sudah selesai?” tanyaku langsung.

Terdengar tawa pria. “Sudah, Tuan Kim. Aku sudah mengirimnya ke rumah keluarga Go, dan pesan Anda pun telah disampaikan.”

“Bagus. Terima kasih,” kataku, lalu memutus sambungan telepon dan segera menghubungi nomer lain. kali ini aku harus meminta pasukan penolong.

“Halo?” terdengar suara penerima teleponku.

“Ini Kim Nam Gil.” aku pun mulai menyebutkan permintaanku. Aku sudah tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan Yo Won.



- Lee Yo Won - 12 Februari 2021 - Seoul -   

Duduk bersandar di sofa ruang keluarga, aku mengamati cincin pertunanganku. Di mana Nam Gil sekarang? kenapa dia pergi begitu lama? Pekerjaan apa sebenarnya yang dilakukannya? Apakah dia baik-baik saja?

Tahun baru dan hari valentine kulewati seorang diri, padahal aku sangat berharap dapat bersama Nam Gil. kenapa dia tidak juga menghubungiku hingga sekarang? Nomer ponselnya pun selalu tak aktif setiap kali aku berusaha menghubunginya. Apakah dia benar akan kembali?

Bunyi bel mengagetkanku. Siapa itu? apakah Nam Gil? “Tidak usah, biar aku saja yang melihat,” kataku pada seorang pelayan yang berjalan ke luar. Buru-buru aku berlari ke luar dan membuka pagar. Memang seorang pria, tapi bukan Nam Gil.

“Apakah ini kediaman Nona Lee Yo Won?” tanyanya.

“Benar. Aku Lee Yo Won,” kataku.

“Ini ada kiriman untuk Anda,” katanya sambil menyerahkan amplop cokelat. “Tolong tanda tangan di sini,” pintanya sopan, menyodorkan sebuah buku kecil.

Aku menandatangani buku itu, dan masih dengan terheran-heran memandangi amplop cokelat itu. apa isinya? Dari siapa?

“Permisi,” kata pria itu berpamitan.

“Ah, ya,” sahutku. tiba-tiba ponselku berbunyi. Nam Gil! “Halo, Nam Gil?”

“Yo Won, bisakah kau menolongku?” tanya Nam Gil tanpa basa-basi.

Jantungku berdegup kencang. Apa yang terjadi? Kecemasan menjalari hatiku. “Tentu saja. ada apa?”



To Be Continued...

by Destira ~ Admin Park ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar