ceritanya Korea jaman dulu. tapi bukan jama Silla atoo Joseon. negerinya karangan ndiri biar g ribet kudu riset sejarah korea sono.. *males.com*
ya sutralaa..langsung ajee.. baca. moga suka. sebenernya nii sekalian bwt ngetes ada yg suka pa g ajah sii ^^v
-------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------
Cast :
Kim Nam-gil --> Pangeran Nam-gil
Lee-teuk --> Bangsawan Park Jung-soo
Admin Shen --> Putri Shin-woo
Admin Lee --> Nona Lee Yoo-hee
Admin Park (author) --> Nona Park Dae-jia
-------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------
CHAPTER 1
- Negeri Silbaekgu - Kota Jogeum - Istana - Gazebo -
“Suatu kehormatan mendapat undangan langsung dari Anda, Yang Mulia,” ucap Lee Kang-ho. Walaupun sejak dulu telah dikenal sebagai keluarga pedagang terkaya di negeri Silbaekgu, dan dipercaya bekerjasama dengan pihak kerajaan, namun seseorang yang bukan bangsawan sepertinya tiba-tiba mendapat undangan pribadi dari Raja negeri ini, tentu merupakan hal luar biasa.
Raja Jin-seong tersenyum. “Dengan kerjasama yang telah terjalin lama diantara kita, sudah sewajarnya menjalin hubungan yang lebih baik untuk kepentingan bersama di kemudian hari,” sahutnya.
Lee Kang-ho mengangguk hormat. “Terima kasih, Yang Mulia.”
Raja Jin-seong meminum araknya, lalu mengamati pepohonan rindang, dan bunga-bunga yang bermekaran di taman istana. “Hari yang cerah, di musim yang indah,” ucapnya, lebih pada diri sendiri.
Park Do-jung, Menteri Perang, ikut mengamati sekitarnya sembari mengangguk. “Benar sekali, Yang Mulia,” sahutnya setuju. “Ini adalah hari yang tepat untuk bersantai menikmati pemandangan.”
“Sebelumnya maafkan kelancanganku, Yang Mulia. Tetapi sejujurnya,” sela Pangeran Im-won, salah seorang sepupu Raja Jin-seong. “bersantai-santai menikmati pemandangan seperti ini rasanya bukan kebiasaan Anda.”
Raja Jin-seong tersenyum geli sembari melirik sepupunya itu, lalu mengamati ekspresi bertanya-tanya kedua tamunya yang lain. “Sepertinya kau sangat memahamiku, Sepupu.”
Pangeran Im-won menyeringai. “Itulah akibatnya bila mengenal seseorang terlalu lama,” sahutnya, membuat Raja tertawa.
“Tapi, Sepupu, bunga-bunga yang bermekaran dengan begitu indahnya pastilah menarik mata siapa saja untuk memandangnya, tak terkecuali diriku,” kata Raja Jin-seong. “Dan kudengar, saat ini ada tiga bunga yang keindahannya membuat kagum seantero negeri, bahkan hingga Negara-negara tetangga…”
Ketiga tamu khusus Raja Jin-seong itu saling bertukar pandang heran. Bunga apa yang dimaksud? rasanya mereka tak pernah mendengar tentang hal tersebut.
“Bunga-bunga apakah itu, Yang Mulia?” tanya Park Do-jung.
“Bunga dari kediaman Pangeran Im-won, Menteri Perang, dan Tuan Lee,” jawab Raja tenang. “Putri-putri kalian yang telah menginjak usia dewasa,” lanjutnya.
“Yang Mulia, Anda terlalu memuji,” ucap Lee Kang-ho santun, walau bila dilihat dari raut wajahnya, nampak jelas kebanggaannya bagi putri sulungnya yang dimaksud oleh Raja.
Park Do-jung terkekeh bangga. “Terima kasih atas pujian Anda, Yang Mulia,” ucapnya senang. “Tak disangka Anda pun mendengar kabar mengenai kelebihan putriku,” tambahnya dengan sedikit kesombongan.
Pangeran Im-won tertawa. “Yang Mulia, apakah aku tidak salah mendengar? Putriku kah yang kau maksudkan sebagai salah satu bunga yang keindahannya membuat kagum seantero negeri? Putri kecilku?” tanyanya geli. Dimatanya, putri pertamanya itu akan selalu menjadi gadis kecil kesayangannya, walau sebenarnya kini sang Putri telah menginjak usia tujuh belas tahun.
Raja Jin-seong tersenyum kecil sembari memandang ke kejauhan. “Setahun telah berlalu,” ucapnya, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Satu tahun semenjak wafatnya Pangeran Jun-hyung.”
Seluruh negeri Silbaekgu bersedih atas wafatnya sang Putra Mahkota dalam perang melawan negeri tetangga. Terlebih sang Raja, yang amat menyayangi putra pertamanya tersebut. Pangeran Jun-hyung adalah putra kebanggaannya, yang dipercayanya dapat mengemban tugas sebagai Raja sebaik dirinya, atau justru lebih. Raja Jin-seong begitu kehilangan putranya dan sempat jatuh sakit setelah peristiwa tersebut.
“Kini, putraku yang lain, Pangeran Nam-gil, harus mengemban tugas sebagai Putra Mahkota yang baru, menggantikan almarhum kakaknya,” lanjut Raja.
Pangeran Im-won tersenyum mengingat keponakan kesayangannya itu, pemuda yang selalu mengingatkannya dengan sosoknya di masa muda. Sementara itu Park Do-jung dan Lee Kang-ho bertukar pandang penuh arti. Tak ada yang tak tahu bagaimana liarnya sang putra kedua Raja. semenjak menginjak usia remaja, sang Pangeran lebih banyak menghabiskan waktu di luar istana, berkelana entah ke mana saja, dan baru pulang kembali sebulan setelah kematian kakaknya.
“Dialah penerusku. Tapi dengan sikapnya sekarang ini, aku khawatir rakyat tak dapat mempercayai kepemimpinannya,” ucapnya. “Kuakui aku juga bertanggung jawab atas sikapnya itu. seharusnya aku lebih tegas padanya sejak dulu.”
“Yang Mulia terlalu meremehkan Pangeran Nam-gil,” bela Pangeran Im-won. “Walau terkesan liar dan hanya suka bersenang-senang, dia pria yang cerdas dan bertanggung jawab. Tak ada salahnya menikmati masa mudanya, sebelum sisa hidupnya digunakan untuk mengabdi pada negeri ini.”
Raja Jin-seong melirik sepupunya itu sembari tersenyum kecut. “Itu berdasarkan pengalaman pribadimu, kan?” Yang hanya ditanggapi oleh tawa Pangeran Im-won. Raja mendesah. “Sudah saatnya dia lebih serius dan dewasa. Kurasa… salah satu caranya adalah mencarikan pendamping untuknya. Seseorang yang harus dijaga, dibimbing, dan dirawatnya. Seseorang yang akan selalu mendampinginya, mendukungnya, dan bila beruntung, mungkin seseorang yang dapat mengubahnya menjadi lebih baik.”
Hening selama beberapa saat, semua merenungkan perkataan Raja Jin-seong. Lalu, timbul sebuah kesadaran dalam benak masing-masing tamu sang Raja tersebut. Alasan undangan pribadi dari sang Raja hari ini… Mungkinkah putri mereka calon yang akan dipilih Raja bagi sang Putra Mahkota?
“Lalu… apakah Anda telah memilihkan calon yang sesuai bagi Pangeran Nam-gil, Yang Mulia?” pancing Park Do-jung penuh harap.
Raja Jin-seong berdiri, lalu berjalan keluar dari gazebo, menghampiri semak bunga tulip dan menunduk untuk lebih mengagumi sembari mencium aroma wangi bunga tersebut. “Istana membutuhkan satu lagi bunga secantik ini,” ucapnya sembari tersenyum, tanpa menjawab pertanyaan dari sang Menteri Perang.
- Pusat kota Jogeum -
Seorang pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian lusuh berwarna biru-abu-abu tersenyum puas memandangi keramaian di depannya. Akhirnya setelah perjalanan panjang, dia dapat sampai di ibukota negeri Silbaekgu. Ini memang bukan kunjungan pertamanya, sudah beberapa kali dia pernah berkunjung ke negeri yang indah ini, namun entah kenapa, kali ini semenjak dalam perjalanan, pria itu merasakan dorongan semangat yang amat besar untuk segera sampai. Seolah mendapat firasat bahwa ia akan menemui sesuatu yang menarik dan luar biasa. Sesuatu yang bahkan mungkin menjadi penentu jalan hidupnya di kemudian hari. Dan karena pria tersebut merupakan orang yang mengandalkan insting dan firasat, maka tak heran bila kini dia dipenuhi antisipasi.
Tak terlalu banyak perubahan, pikirnya sembari menyusuri jalan. Pria itu telah tiba di penginapan yang ditujunya, namun ketika akan memasuki bangunan tersebut, sekumpulan pria yang berada di depan penginapan itu menarik minatnya. Perlahan, dengan langkah santai dia mendekati gerombolan itu.
“… Magnolia pasti yang dipilih!” kata salah seorang pria dengan yakin.
“Tidak, tidak, Lilylah yang akan terpilih,” bantah yang lain. “Aku berani mempertaruhkan seluruh hartaku!”
“Mana mungkin, bila ada Mawar? Dialah yang akan terpilih!” timpal yang lain.
Suasana semakin ricuh. Pria pengelana itu berusaha memahami isi pembicaraan, namun tetap tak mengerti apa yang orang-orang tersebut ributkan. Bunga Mawar, Magnolia, dan Lily. Ada apa dengan ketiga bunga itu? pikirnya heran.
“Maaf,” sela pria itu, menarik perhatian orang-orang dengan suara beratnya. “Apa sebenarnya yang sedang kalian pertaruhkan?”
“Kau baru datang ke kota ini, ya?” tanya si pria tua. “Kami sedang membahas mengenai ketiga bunga Silbaekgu yang akan dipilih untuk sang Putra Mahkota.”
“Ketiga bunga—?“
Pria tua itu berdecak. “Bunga yang kami maksud hanyalah kiasan. Ketiganya adalah gadis tercantik di Silbaekgu saat ini. dan masing-masing memiliki julukan dengan nama bunga. Beberapa hari lalu Paduka Raja mengisyaratkan sedang mempertimbangkan ketiga gadis tersebut untuk menjadi pendamping putranya, karena itu di seantero negeri sedang memperdebatkan siapa diantara ketiga bunga tersebut yang paling pantas menjadi istri sang Putra Mahkota”
Si pria pengelana menjadi tertarik mendengarnya. “Siapa saja mereka?” tanyanya.
Seorang pria pendek menerobos kerumunan dan berjalan menghampiri si pria pengelana. “Pertama, Magnolia, yang sesuai dengan arti bunganya, melambangkan martabat dan kebangsawanan, dialah Tuan Putri Shin-woo, putri sulung dari Pangeran Im-won. Oh… Magnoliaku yang memiliki wajah cantik dan polos bagai malaikat… dengan kulit seputih dan selembut kelopak bunga magnolia yang indah. tak ada hari ku lewati tanpa mengingat sosok menawannya,” desahnya.
Si pria tua memukul kepala si pria pendek. “Kau mau dihukum karena lancang memikirkan Tuan Putri, hah!?” bentaknya. “Lagi pula, hanya wajahnya yang tampak seperti malaikat, tetapi tingkah lakunya bagai iblis cilik,” bisiknya.
Si pria pendek merengut. “Jangan menjelek-jelekkan Magnoliaku seperti itu!”
“Aku tidak menjelek-jelekkan, hanya menyampaikan fakta yang telah diketahui seluruh penduduk negeri ini. siapa yang tidak pernah mendengar kekacauan demi kekacauan yang ditimbulkan Magnolia dalam istana? Untung saja dia jarang pergi keluar dari istana, bila tidak, mungkin dia akan membuat kekacauan di kota juga.”
Pria pengelana itu tersenyum kecil membayangkan sosok putri berwajah secantik malaikat tetapi berkelakuan bagai iblis cilik itu. cukup menarik, putusnya.
“Usia Magnolia yang baru menginjak tujuh belas tahun, dan tingkah liarnya itu, kurasa dia tak akan terpilih,” kata si pria gemuk yang bersandar di pagar penginapan. “Istri yang cocok untuk calon Raja Silbaekgu adalah wanita seperti Lily, yang sesuai dengan nama julukannya melambangkan kemurnian dan keluguan. Luar biasa cantik, baik hati, ramah, dan selalu siap menolong rakyat miskin. Ayahnya, Tuan Lee Kang-ho memang hanya pedagang dan bukan bangsawan, tetapi kekayaan keluarga Nona Yoo-hee mungkin melebihi beberapa keluarga bangsawan di negeri ini. Tak ada satupun kekurangan darinya. Dialah yang pasti akan dipilih Pangeran Nam-gil.”
Si pria pendek mengangguk-angguk. “Selintas memang nampaknya Lily pilihan sempurna, tapi, pujaanmu itu pun memiliki beberapa kekurangan. Pertama, rasa penasarannya yang berlebih. Bila dia ingin mengetahui sesuatu, kau tak akan bisa berkelit dari rentetan pertanyaannya. Pria mana yang ingin istri secerewet itu? kedua, obsesinya pada kisah cinta pada pandangan pertama, seperti yang selama ini selalu diutarakannya sebagai alasan ketika menolak pelamar, memungkinkannya untuk menolak cinta Raja sekali pun, bila dia tak merasakan getaran cinta pada awal perjumpaan. kesempatan bersama Pangeran Nam-gil cukup tipis.”
Akhirnya, si pria tua tertawa. “Karena itulah, sejak tadi kukatakan, Mawar lah yang akan terpilih. Siapa lagi wanita di Silbaekgu yang memiliki sosok Ratu sempurna sepertinya?” terdengar dengungan dari orang-orang yang bergumam, membahas perkataan si pria tua.
Tidak adanya sangkalan langsung dari yang lain membuat si pria pengelana penasaran terhadap sosok “Mawar” ini. “Apa yang dimilikinya hingga kau seyakin itu?” pancingnya
Pria tua itu terkekeh. “Pertanyaan yang tepat adalah, apa yang tidak dimilikinya?” koreksi pria itu. “sesuai julukannya, dia secantik bunga tersebut, penuh pesona, dan kesempurnaan ragawi seorang wanita. Keanggunannya yang bagai Ratu, ditambah latar belakang keluarga bangsawannya—ayahnya adalah Menteri Perang—banyak pria berlomba mendapatkannya bahkan semenjak usianya baru lima belas tahun, dan sekarang, di usianya yang ke delapan belas, saat sang Mawar benar-benar telah mekar, semakin banyak pria yang ingin memetiknya.”
“Tapi selayaknya bunga mawar, dia berduri,” celetuk si pria gemuk, membuatnya dihadiahi pelototan oleh si pria tua. “Kenapa? apa aku salah? Nona Dae-jia memang mawar yang cantik, namun berduri. Selalu berhasil melukai hati pria-pria yang jatuh cinta padanya. Begitu dingin dan angkuh. Yah… tapi memang kurasa hanya pria seperti Putra Mahkota lah yang dapat memetik sang Mawar berduri dengan gelarnya.”
Para pria itu kembali berdebat menjagokan bunga idola mereka masing-masing, tetapi si pria pengelana telah berjalan menjauh sembari menyeringai. Ini menjadi sangat menarik. Mungkin… inilah yang kutunggu-tunggu selama perjalanan ke mari, pikirnya senang.
- Istana - Kediaman Pangeran Im-won -
“Tuan Putri!” Terdengar jeritan para dayang dari dalam kamar mereka masing-masing.
Putri Shin-woo menyeringai senang sembari mempercepat laju larinya dengan mengangkat rok hanboknya. Saat melewati tikungan yang mengarah keluar dari daerah kediaman para dayang, tiba-tiba tubuh gadis muda itu terseret ke samping. Bukan tanpa sebab, melainkan ditarik oleh seseorang.
“Apalagi kenakalan yang Anda lakukan kali ini, Tuan Putri?” tanya Park Jung-soo dengan keopanan dibuat-buat.
Putri Shin-woo melepaskan diri dari pegangan pria perlente di hadapannya. “Bagaimana dengan Anda sendiri, Bangsawan Jung-soo?” tanyanya dengan santai, menampilkan wajah polos bagai malaikat andalannya untuk mengecoh atau meluluhkan hati lawan. “Sesiang ini di daerah kediaman para dayang istana?”
Park jung-Soo tersenyum sembari mengipasi dirinya dengan kipas mahal yang selalu dibawanya. “Setelah ada desas desus bahwa dirimu adalah salah seorang kandidat istri Pangeran Nam-gil, kukira akan ada sedikit perubahan, atau paling tidak pengekangan diri, Tuan Putri,” katanya, tanpa menjawab pertanyaan Putri Shin-woo. “Tapi bila mendengar pekikan dari kamar-kamar itu… aku menjadi penasaran, apa yang kau lakukan pada mereka kali ini?
“Tuan Putri! Tuan Putri!” teriak dua orang bocah pelayan laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun sembari berlari mendekat. “Saya mendapatkan tambahan kodok yang—“ keduanya segera berhenti bicara saat melihat kehadiran Park Jung-soo.
“Ah…” gumam Park Jung-soo sembari melirik wajah Putri Shin-woo. “ternyata ini. mmm… tapi bukankah rasanya dulu kau sudah pernah melakukan kejailan serupa? Apakah Anda kehilangan kreatifitas, Tuan Putri?” oloknya.
Putri Shin-woo berusa menahan kejengkelannya terhadap pria di hadapannya itu. sejak dulu dia tak pernah menyukai Park Jung-soo, Putra sang Menteri Perang, dan berprofesi sebagai salah seorang pejabat di bidang kebudayaan. Terkenal dengan dandandannya yang perlente, wajah tampan-cantiknya yang membuatnya digilai para wanita—membuatnya dengan sesuka hati mempermainkan hati para wanita, dan juga otak cerdas dan liciknya yang disembunyikan rapat-rapat dibalik keramahan dan sikap kekanakannya.
Diam-diam Putri Shin-woo menganggap Park Jung-soo sering mengusiknya karena dendam pernah dijahili olehnya dua tahun tahun lalu di perjamuan istana, ketika ia menaruh kodok dalam mangkuk makanan pria itu, hingga membuat Park Jung-soo amat sangat terkejut dan ditertawakan bangsawan lain.
“Pergilah kalian berdua,” perintah Putri Shin-woo pada kedua pelayan kecilnya, yang segera menurut dan bergegas pergi. “Apakah ada masalah lain yang ingin Anda bicarakan denganku, Bangsawan Jung-soo?” tanyanya sopan.
“Apakah keusilanmu kali ini untuk memberontak dari rencana perjodohanmu dengan Pangeran Nam-gil?” Park Jung-soo kembali bertanya tanpa menjawab pertanyaan sang Putri.
“Tentu saja tidak,” bantah Putri Shin-woo. “Aku cukup menyukai Pangeran Nam-gil untuk menerima bila perjodohan itu benar terlaksana.”
Park Jung-soo mengamati gadis muda di depannya dengan seksama, lalu tersenyum. “Apa Anda merasa yakin akan menjadi pilihan Pangeran Nam-gil?”
Putri Shin-woo menelengkan kepala, balik memandangi pria di hadapannya. “Kami cukup dekat, jadi… mungkin saja. kenapa kau begitu tertarik?”
Kali ini Park jung-soo menyeringai. “Mengingat ada dua kandidat lain yang akan dipertimbangkan sang Pangeran, aku hanya ingin tahu seberapa percaya dirinya Anda, Tuan Putri,” jawabnya dengan kesopanan menipu. “Tapi, demi kebaikanmu sendiri, sebaiknya jangan terlalu bersemangat untuk mendapatkan sang Pangeran.”
Putri Shin-woo berusaha menahan kekesalannya. “Karena?” pancingnya.
Park jung-soo mendekatkan wajahnya pada wajah sang Putri. “Karena adikku tercinta tak akan senang melihatnya.”
Putri Shin-woo tersenyum, senyum mengejek yang lebih jarang digunakannya dibanding ekspresi polos bagai malaikatnya. “Apa Anda pikir aku akan takut pada Nona Dae-jia, Bangsawan Jung-soo?” tanyanya mengejek.
Park Jung-soo berkipas sembari berjalan pergi dengan langkah santai. “Bahkan aku pun takut padanya,” gumamnya sembari terkekeh geli, mengejek diri sendiri.
- Kediaman keluarga Lee -
Jantung Lee Yoo-hee ikut berdebar, seolah dirinyalah tokoh wanita yang tengah dicumbu oleh si tokoh pria dalam novel roman yang sedang dibacanya. Novel-novel roman itu dibelinya secara sembunyi-sembunyi melalui pemilik sebuah toko buku di pasar. Bukan jenis bacaan yang diperbolehkan untuk gadis muda seperti dirinya, tetapi bila dirinya telah penasaran atas sesuatu, tak ada yang dapat menghentikannya untuk mencari tahu, begitu pula dengan isi cerita novel-novel “panas” koleksinya tersebut.
“Nona, Tuan telah kembali,” lapor Ga-in, pelayan pribadi Yoo-hee.
Yoo-hee bergegas menyembunyikan bukunya, dan menyuruh Ga-in membawa nampan makanannya keluar. Dia sedang berpura-pura mogok makan agar perjodohannya dengan Pangeran Nam-gil dibatalkan. Sebenarnya Yoo-hee merasa berdosa melakukan kebohongan seperti ini, tetapi tak ada pilihan lagi. rengekan, bujukan, bahkan air matanya tak dapat meluluhkan hati ayahnya. kedua orangtuanya amat senang dengan ide bahwa putri sulung mereka akan menjadi Putri Mahkota, padahal bukan itu yang diinginkan Yoo-hee dalam hidupnya.
Yoo-hee tak perduli padah harta, tahta, atau ketampanan seorang pria. menurutnya, bila mencintai seseorang, maka hal lain pun tak lagi menjadi penting. Kelebihannya akan menjadi kebanggaan, sedangkan kekurangannya akan menjadi kelebihan. Itulah cinta yang dipercaya Yoo-hee selama ini. sayangnya hingga kini dia belum pernah jatuh cinta. Padahal sudah sejak lama dia mendambakan untuk jatuh cinta pada pandangan pertama seperti yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel yang dibacanya. Terlebih lagi, dulu ibunya pun pernah bercerita bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan ayah Yoo-hee, maka tak heran bila kini gadis itu terobsesi merasakan hal serupa.
“Kau masih tak mau makan?” tanya Lee Kang-ho saat memasuki kamar putri sulungnya. “Apa kau pikir dengan begini semua akan berubah menjadi sesuai dengan keinginanmu?”
Sebenarnya, saat ini Yoo-hee tengah kekenyangan, tapi dia bersandar di dekat jendela dan berupaya terlihat lemas dan lesu. “Bagaimana Ayah bisa begitu tega memaksaku untuk menjalani kehidupan yang tak bahagia dengan orang yang tak kucintai?” ucapnya dengan suara berbisik, seolah benar-benar tak bertenaga. Diam-diam dia merasa kagum pada keahliannya sendiri. Tapi nyaris saja, bila tak buru-buru menahan diri, Yoo-hee hampir bersendawa, yang tentunya akan mengacaukan sandiwaranya, tapi untunglah sempat dihentikan.
Lee Kang-ho berdecak kesal. “Seandainya pun aku tidak memaksamu, ini tetaplah keinginan Paduka Raja. apakah kau ingin keluarga kita mendapat masalah karena kekeras kepalaanmu menentang Raja?”
“Tapi… bukankah masih ada dua kandidat lain yang dapat dipilih Paduka Raja dan Pangeran Nam-gil?”
“Kenapa kau begitu tak menyukainya? dia seorang Putra Mahkota—“
“Aku tak perduli hal tersebut. Dari apa yang kudengar tentangnya, aku tak menyukainya. dan ketika bertemu dengannya setahun lalu di acara istana… aku tak merasakan debar-debar cinta seperti yang Ibu rasakan ketika bertemu denganmu, Ayah. dan aku tak mau menerima kurang dari itu.”
Lee Kang-ho mendesah putus asa. “Ini salah Ibumu yang sejak kecil merecoki otakmu dengan hal-hal bodoh yang dinamakan romantisme,” gerutunya. “Cinta tidak muncul pada pandangan pertama, melainkan setelah kau mengenal kepribadian seseorang dan merasa nyaman bersamanya.”
Sama sekali tidak romantis ataupun membuat penasaran, batin Yoo-hee. Kenyamanan yang membosankan bukan hal yang diinginkan gadis itu.
Kesal karena berhadapan dengan jalan buntu bila memperbincangkan perjodohan dengan putrinya itu, Lee Kang-ho segera pergi. setelah merasa yakin Ayahnya tak akan tiba-tiba masuk lagi, Yoo-hee kembali membuka novelnya dan tersenyum saat larut dalam romantisme penuh gairah dalam kisah tersebut. Ini. perasaan-perasaan seperti inilah yang kuinginkan, pikir Yoo-hee. Dan entah kenapa ia yakin akan menemukannya sebentar lagi…
- Kediaman Menteri Perang -
Dengan anggun Park Dae-jia menuangkan teh untuk kakak lelakinya. “Tak biasanya kau pulang sore seperti ini,” ucapnya.
Setelah meneguk teh, Park jung-soo tersenyum memandangi adik kesayangannya tersebut. “Aku sedang bosan berkeliaran di tempat yang sudah terlalu sering kukunjungi selama ini. sepertinya tak ada hal menarik belakangan ini,” katanya. “Kecuali mengenai ketiga kandidat kuat calon istri sang Putra Mahkota,” tambahnya sengaja.
Dae-jia tersenyum kecil. “Apa ada yang ingin kau sampaikan padaku, Kakak?” tanyanya, memahami maksud kakaknya mengungkit hal tersebut.
“Apa kau benar-benar menginginkan Pangeran Nam-gil, Adikku?” tanya Park Jung-soo.
Dae-jia melayangkan tatapan mengejek pada kakaknya. “Tak ada keraguan atas hal tersebut,” jawabnya.
“Setahuku tipe pria liar dan pembangkang seperti Pangeran bukanlah kesukaanmu, Adik,” kata Park Jung-soo lagi. “Apakah aku salah? Apakah kau sudah merubah selera?”
“Park Jung-soo salah menilai sesuatu? Kurasa mustahil,” sahut Dae-jia. “Aku memang tak menyukai sifat-sifatnya, tapi hanya seorang Putra Mahkota sepertinyalah yang pantas bagiku,” tambahnya dengan angkuh.
Park Jung-soo tertawa. “Kau rela menjalani sisa hidupmu bersamanya walau tahu dia pasti akan membuatmu terus kesal dan sakit kepala? Pengorbanan yang terlalu besar menurutku, Manis.”
“Kau meragukan pengaruhku terhadap pria, Kakak?” tanya Dae-jia sembari melirik kakaknya itu dengan disertai senyum geli yang sedikit merendahkan. “Apakah kau pernah melihat ada pria yang bisa menolak keinginanku?”
Diam-diam Park Jung-soo mengakuinya. Entah bagaimana caranya, Dae-jia memang selalu berhasil membuat orang-orang disekitarnya, terutama pria, menuruti keinginannya. Tak terkecuali dirinya sendiri dan Ayah mereka, sang Menteri Perang yang terkenal dengan keganasannya.
“Aku akan mendukung segala keputusanmu, Adik, kau tahu itu,” ucap Park jung-soo, kali ini menjadi lebih serius. “Aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu.”
Senyum tipis terukir di bibir mungil Dae-jia. “Aku tak meragukannya, Kakak,” sahutnya. “Karena itu jugalah, aku yakin kau pasti akan mengabulkan permintaanku kali ini.”
“Kutebak ini ada hubungannya dengan dua kandidat yang lain,” kata Park jung-soo. “Kau meminta bantuanku… apakah kau merasa tak percaya diri menghadapi persaingan dengan kedua gadis itu?” tanyanya sambil menarik lembut dagu adiknya agar menatapnya.
Dae-jia menaikkan sebelah alisnya. “Tentunya kau tidak berpikir mereka dapat mengalahkanku, kan?” tanyanya dingin.
Park jung-soo terkekeh. “Tentu tidak, bila kau sudah bertekad kuat mendapatkannya,” jawabnya. “Tapi, lalu mengapa kau butuh bantuanku?”
“Belajar dari strategi yang selalu diterapkan Ayah, mengantisipasi keadaan tak menyenangkan sejak awal dengan menyingkirkan bibit masalah sebelum sempat membesar adalah pilihan bijak,” jawab Dae-jia tenang, lalu menyesap tehnya.
Park Jung-soo menatap adiknya selama beberapa saat, lalu mendengus kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau tahu, kau sama persis dengan Ayah. bila kau terlahir sebagai seorang pria, aku yakin kau akan menjadi penerus Menteri Perang yang baik.”
“Tapi aku tak ingin posisi Menteri,” kata Dae-jia tenang. “Aku akan menjadi Ratu. Dan kau akan membantuku.”
“Kapan aku pernah menolak permintaan adik tercintaku?” goda Park jung-soo. “Katakanlah. Apa yang kau inginkan?”
Kali ini Dae-jia tersenyum. Benar-benar tersenyum, bukan senyum tipis, sinis, maupun mengejek. “Singkirkan kedua gadis itu dari jalanku menuju singgasana.”
To Be Continued…
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar