Untuk mempermudah, nama yang digunakan dalam cerita ini adalah nama-nama asli pemain The Great Queen Seondeok. Tapi ada sedikit perbedaan dalam marga karena disesuaikan dengan nama pemeran yang lebih dominan. Maaf bila ada kesalahan dalam penulisan. Terima kasih.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Chapter 1
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
Mi Shil : Go Hyun Jung
King Jinji : Kim Im Ho
King Jin Pyeong : Lee Min Ki
Se Jong : Go Young Jae
Queen Ma Ya : Lee Yoo Sun
Sohwa : Park Young Hee
Chil Sook : Park Kil Kang
Seol Won : Jun Noh Min
Yong Soo : Kim Jung Chul
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Alcheon : Lee Seung Hyo
Ha Jong : Go Jun Hyung
Bo Jong : Go Do Bin
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yang saling mengenal selamanya terhubung
Terikat rantai takdir
Membelenggu kenangan dan jati diri
Menumbuhkan rasa, pertemukan hati
Masa lalu tak benar berlalu
Masa kini terkait dengan yang lalu
- Kim Nam Gil - 13 Maret 1999 - Seoul -
Katanya aku pembawa sial. Katanya aku tak tahu diri. Katanya aku pembuat onar. Aku mengingatnya. Karena setiap hari itulah yang dikatakannya padaku. Setiap jam. Dan setiap detik bila dia mendapat kesempatan.
Dia bukan ibuku. Tapi dialah satu-satunya ibu yang kukenal. Guruku pernah berkata, tak boleh melawan Ibu dan Ayah. Setiap anak harus menyayangi dan menghormati orangtua. Tapi Ibu tak pernah menyangiku. Dia membenciku.
Plakkk…
Aku sedikit meringis merasakan perihnya tamparan di pipi kananku. Tubuhku terdorong ke belakang dan kepalaku membentur tembok. Sakit. Aku membelalakan mata walau sebe-narnya ingin memejamkannya. Kalau mataku terpejam, aku akan menangis. Aku tidak mau menangis. Ibu akan memukulku lebih keras bila dilihatnya aku menangis.
“Cepat minta maaf!” bentak Ibu.
“Tapi aku tidak salah,” protesku. Aku tidak bersalah. Ibu marah saat aku meminta ulangtahunku kali ini dirayakan. Padahal semua temanku merayakannya bersama keluarga mereka. Ada kue ulangtahun, balon, dan badut.
“Kau hanya anak haram yang bernasib baik karena bersedia kupungut! Berani-beraninya kau meminta lebih!? Kurang ajar!”
Plakkk…
Kudapatkan satu tamparan lagi. Kali ini membuatku tersungkur di lantai. Aku takut pada-nya. Dengan kedua tanganku, aku berusaha melindungi kepalaku dari pukulannya. Kepalaku terasa sakit... sudah kutahan, tapi akhirnya aku tetap menangis. Aku memejamkan mata dan meringkuk kesakitan sementara Ibu terus memukuliku.
“Apa-apan ini!?” Itu suara bentakan Ayah. Aku senang Ayah pulang. Ibu tidak terlalu sering memukulku bila ada Ayah dan kak Jung Chul.
“Kenapa Ibu memukuli Nam Gil?” seru kakak.
“Kim Im Ho! Anak harammu ini tidak tahu diri dan kurang ajar!” teriak Ibu pada Ayah. “Aku tidak mau mengurusnya lagi. Serahkan dia pada si jalang Go Hyun Jung!”
Aku ingin berlari memeluk Ayah, tapi tubuhku begitu lemas. Dan semuanya berubah menjadi gelap…
Wanita itu sangat cantik. Tapi pakaiannya seperti baju perang yang kulihat dipakai seorang aktor di film kolosal yang kutonton bersama kakak. Aku tidak mengenalnya. Siapa dia? Kenapa matanya berkaca-kaca? Wanita itu melangkah maju dan memelukku. Pelukannya terasa hangat. Bahkan Ayah tak pernah memelukku begitu. Tak ada yang pernah memelukku seakan benar-benar sayang padaku. Siapa dia? Apakah dia ibuku yang sebenarnya?
Aku mengerjapkan mata saat merasa ada cahaya yang menyorot tajam ke wajahku. Aku membuka mata dan melihat anak laki-laki tak kukenal sedang mengawasiku. Siapa dia? Di mana wanita tadi? Di mana Ayah? Di mana kakak?
“Apa dia sudah sadar, Do Bin?” tanya sebuah suara wanita dari luar kamar tempatku berada sekarang.
“Ya. Dia sudah bangun!” seru anak bernama Do Bin itu.
Seorang wanita cantik memasuki kamar tempatku berbaring. Siapa dia? Dia bukan wanita yang memelukku tadi. Dia juga bukan Ibu.
“Di mana ayahku?” tanyaku.
Wanita itu tersenyum masam. “Di rumahnya,” jawabnya. “Mulai sekarang kau akan tinggal di sini.”
“Kenapa? Aku mau ayahku!”
“Istrinya tak menginginkanmu,” kata wanita itu. “mulai sekarang kau tinggal bersamaku.”
Aku takut. Aku marah. “Kenapa?”
“Karena aku ibumu.”
***
- Lee Yo Won - 13 Maret 1999 - Busan -
Pria itu tersenyum lebar. Begitu lebar hingga memamerkan deretan giginya yang putih cemerlang seperti para bintang iklan pasta gigi di TV. Ekspresi wajahnya begitu lucu, mem-buatku ikut tersenyum. Aku tidak mengenalnya. Dia bukan Ayah. Dia juga bukan pamanku. Aku juga tidak punya kakak laki-laki. Siapa dia?
Pria itu menyodorkan rangkaian bunga berwarna kuning cerah padaku. Tanganku terulur untuk menerimanya, tapi belum sempat aku menerimanya tiba-tiba dia menghilang.
“Yo Won, ayo bangun, kita sudah sampai,” Ibu membangunkanku.
“Biarkan dia tidur,” kata sebuah suara. “aku akan menggendongnya ke dalam.”
Tubuhku terasa diangkat seseorang. Dengan malas aku membuka mata dan melihat wajah Paman Kil Kang yang tersenyum padaku.
“Nah, akhirnya dia terbangun,” katanya dengan suaranya yang besar dan berat.
“Kenapa ada Paman?” tanyaku bingung.
“Kau tak ingat? Kita mengunjungi Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee-mu, kan?” kata Ibu sambil menarik keluar tas-tas pakaian kami dari taxi.
Sekarang aku ingat. Beberapa hari lalu Ibu mengajakku mengunjungi Paman dan Bibi di Busan, setelah dia menangis lama sekali di kamarnya.
“Kenapa merengut begitu?” tegur Bibi Young Hee dari ambang pintu rumahnya. Dia mencubit pipiku pelan. “Kau kan lebih manis kalau tersenyum?”
Tapi aku tidak mau tersenyum. Aku marah pada Ayah. Dia yang membuat Ibu menangis. Aku tidak sayang pada Ayah lagi.
Malam itu aku dan Ibu pulang dari berbelanja. Sejak siang kami jalan-jalan dan sekalian mencari baju untuk acara ulangtahunku bulan depan, lalu sesampainya di rumah kami melihat ada mobil Bibi Hyun Jung--adik tiri Ayah--terparkir di depan rumahku. Ibu membawaku masuk lewat pintu belakang, lalu langsung ke ruang kerja Ayah. Tapi Ibu tidak jadi masuk saat melihat Ayah sedang mencium Bibi Hyun Jung. Aku tidak mengerti, kenapa Ayah mencium Bibi Hyun Jung? Apa Bibi mengalami mimpi buruk? Biasanya Ayah menciumku bila aku bermimpi buruk.
Aku ingin menyapa mereka, tapi Ibu langsung menarikku menjauh. Di kamarnya Ibu terus menangis. Aku tidak tahu kenapa Ibu menangis. Mungkin Ibu kesal karena Ayah mencium Bibi Hyun Jung, karena sambil menangis Ibu terus bergumam, “… dia menciumnya…”
“Yo Won!”
Aku bergerak-gerak gelisah dalam gendongan Paman Kil Kang saat melihat kak Ye Jin berlari mendatangiku. “Kakak!”
Setelah Paman menurunkanku, kak Ye Jin langsung memelukku, dan aku juga balas memeluknya. Aku selalu menyukai kak Ye Jin. Dia anak Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee. Kami sama-sama berumur enam tahun, tapi Ibu menyuruhku memanggil kak Ye Jin kakak karena katanya dia lebih tua beberapa hari dariku.
“Ye Jin, kau tidak keberatan, kan, kalau terpaksa sekamar dengan Yo Won?” tanya Ibu.
Aku dan kak Ye Jin saling bertatapan kemudian menyeringai senang. “Tentu saja tidak! Aku senang sekali!”
“Aku juga! Aku senang sekamar dengan kakak” kataku setuju. “Tapi bagaimana dengan Ayah, Bu? Apa kita tidak pulang ke rumah?”
“Tidak,” jawab Ibu dengan suara serak. “Kita tidak pulang. Jangan khawatir, Ayahmu tak akan mencari kita kemari.”
***
- Kim Nam Gil - 1 September 2010 - Seoul -
“Ini terakhir kalinya aku membantumu!” bentak Go Young Jae, ayah tiriku, saat sarapan pagi. Aku tidak perduli. Dia memang sering marah-marah.
“Benar, Ayah, jangan bantu dia lagi,” dukung Go Jun Hyung, kakak tiriku. “Dia ini kerja-nya buat masalah saja.”
Aku mendelik sambil menyeringai padanya. Aku tahu dia takut padaku. Apalagi bila aku menyipitkan mata sambil menyeringai. Dasar idiot. Apa dipikirnya aku ini titisan iblis? Tapi mungkin juga benar. Bagaimanapun Ayah dan Ibuku bukan contoh orang baik. Ibu kandungku yang sudah menikah dan memiliki dua anak, berselingkuh dengan rekan bisnis suaminya, yaitu Ayah kandungku, yang sebenarnya juga sudah menikah dan memiliki anak.
Mungkin pada awalnya kehadiranku memang diharapkan Ibu, untuk mendapatkan Ayah yang lebih kaya dari suaminya. Tapi setelah aku lahir, Ayah tetap tak bersedia menceraikan istrinya--wanita yang kupanggil Ibu hingga usiaku enam tahun--dan Nyonya Go Hyun Jung pun menganggapku tak lagi berguna baginya. Mungkin aku memang harus bersyukur dulu Ayah mau membawaku ke rumahnya untuk diasuh istrinya, dan bukannya menelantarkanku di panti asuhan.
“Sebenarnya dia terpaksa menghajar anak-anak SMU Haegu,” cetus Go Do Bin, kakak tiriku yang lain. “Mereka yang menyerang Nam Gil ke sekolah kami.”
Bila harus memilih, Do Bin memang sedikit lebih baik daripada Jun Hyung. Mungkin karena dia juga bukan anak kandung Go Young Jae. Dia memang memakai nama keluarga Go, tapi sebenarnya dia anak hasil perselingkuhan Ibu yang lain. Ayah kandungnya, Jun Noh Min, tadinya adalah tangan kanan suami Ibu di perusahaannya, tapi kudengar dari gosip para pelayan, setelah perselingkuhan itu Jun Noh Min dikirim ke cabang perusahaan di Pulau Jeju.
Aku tidak habis pikir dengan sikap dan cara pikir Go Young Jae. Bagaimana bisa dia membiarkan begitu saja tingkah istrinya yang suka menyeleweng? Entah dia begitu mencintai ibuku, atau tak perduli asalkan istrinya dapat menyembunyikan perselingkuhannya dari orang lain. Apapun alasannya, dia sangat tolol. Untuk apa mempertahankan seorang wanita yang tak benar-benar menginginkanmu?
“Aku tak perduli alasannya,” sergah ayah tiriku. “Sekali lagi kami dihubungi kepala sekolahmu, aku akan mengirimmu ke sekolah asrama! Cukup sudah kau mempermalukan keluarga ini.”
Aku mendengus. “Untuk apa perdulikan itu? Sepengetahuan orang lain kau dan Ibu kan hanya paman dan bibiku,” sahutku acuh tak acuh.
“Kau--”
“Sudah, tenanglah, suamiku,” kata Ibu dengan keanggunan dan ketenangannya yang menipu. Penampilannya mungkin seperti malaikat, tapi tidak begitu dengan hati dan pikirannya. “Nam Gil berkelahi karena tak ingin diremehkan dan ingin dihormati oleh lawannya.”
Aku menatapnya curiga. Tak mungkin dia membelaku.
“Tapi, dia tak ingat, bahwa agar dihormati dan tak diremehkan orang lain, maka dia harus mencoba menghormati orang lain juga,” lanjutnya sambil melirikku dan tersenyum dingin. “Cara agar disegani tidak selalu menggunakan ototmu, tapi juga menggunakan otakmu.”
Aku membalas senyumnya dengan sengit. “Aku berangkat sekarang,” kataku sambil berdiri dan melenggang pergi meninggalkan keluarga bahagiaku.
***
- Lee Yo Won - 1 September 2010 - Seoul -
“Ibu, selamat pagi,” kataku pada foto almarhum Ibu. “hari ini aku akan masuk ke sekolah baru. Doakan aku, ya.”
Ibu terlihat begitu cantik, anggun dan rapuh di foto itu. Sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Aku mencoba menahan tangis saat terkenang pada Ibu. Tak lama setelah Ibu membawaku bersembunyi dari Ayah ke rumah Bibi Young Hee di Busan, Ibu meninggal dunia karena serangan jantungnya. Menurut Bibi Young Hee, sejak kecil jantung Ibu memang lemah. Dan perselingkuhan Ayah dulu begitu mempengaruhi Ibu hingga kondisinya semakin melemah dari waktu ke waktu.
Aku membenci Ayah. Aku juga membenci Bibi Hyun Jung. Dulu aku terlalu kecil untuk mengetahui bahwa yang malam itu kulihat adalah perselingkuhan, tapi sekarang aku sudah tahu yang sebenarnya. Aku membenci mereka. Benar-benar menjijikan. Teganya Ayah berbuat seperti itu pada Ibu yang begitu baik dan setia. Dan yang lebih menjijikan, Ayah bukan berselingkuh dengan wanita tak dikenal, melainkan Bibi Hyun Jung, adik tirinya sendiri! Memang benar mereka tak punya hubungan darah, dan menjadi saudara hanya karena kakekku—ayah dari Ayah—menikah dengan ibu dari Bibi Hyun Jung, tapi tetap saja…
Ayah benar-benar tak perduli padaku dan Ibu. Bahkan setelah kami menghilang, dia tidak mencari kami. Paman Kil Kang pernah mengatakan itu karena Ayah tidak tahu tempat ting-galnya dan Bibi Young Hee yang baru di Busan, tapi menurutku Paman hanya ingin menenangkanku saja. Kenyataanya Ayah memang tak perduli padaku. Aku bersyukur memiliki paman dan bibi yang begitu baik dan bersedia membesarkanku dengan kasih sayang yang sama seperti yang mereka berikan pada anak kandung mereka sendiri. Dan aku juga bersyukur Ibu sempat berpesan pada Bibi Young Hee agar tidak mengembalikanku pada Ayah setelah dia meninggal. Aku tidak sudi tinggal dengan ayah.
“Ibu, aku bersumpah,” janjiku serius. “aku akan membalaskan dendam Ibu. Aku akan membalas perbuatan Ayah dan Go Hyun Jung.”
Seminggu yang lalu keluarga Paman dan Bibi pindah ke Seoul karena Paman Kil Kang dipindah ke kantor pusatnya di kota ini setelah dia mendapat kenaikkan jabatan. Awalnya aku sangat tidak menyukainya, karena itu berarti aku akan berada di kota yang sama dengan Ayah, dan lagi berarti aku harus meninggalkan sekolah dan lingkungan yang selama ini kukenal di Busan. Tapi, setelah dipikirkan, ada bagusnya juga kepindahan ini. Karena berarti aku semakin dekat dengan rencana pembalasan dendamku. Entah bagaimana caranya, aku akan membuat Ayah dan Go Hyun Jung merasakan sakit hatiku dan Ibu.
Kutatap foto Ibu sambil tersenyum. “Aku bersumpah, Ibu. Aku bersumpah.”
***
- Kim Nam Gil - 2 September 2010 -
Pukul 08.15. Sial. Gerbang pasti sudah dikunci. Seharusnya tadi aku tidak usah sok pahlawan menolong anak itu.
Sebenarnya aku bangun pagi, tapi saat dalam perjalanan tadi aku melihat seorang bocah SMP diganggu oleh segerombolan anak SMU Haegu. Memang bukan kelompok yang waktu itu mencari gara-gara denganku—tidak mungkin, karena mereka sedang di rumah sakit sekarang—tapi tetap saja aku kesal melihat seragam hijau-putih mereka yang mengingatkanku pada motorku yang disita ayah tiriku sebagai hukuman karena berkelahi dengan anak-anak SMU Haegu hari itu.
Jadi, bukannya langsung pergi ke sekolah, aku malah melakukan sedikit pemanasan pagi hari—yang sialnya karena keasyikan, aku jadi lupa waktu.
Benar saja, saat semakin dekat, aku melihat gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Tae Wong dan Seung Hyo sudah berjaga di sana. Hah… apa hebatnya jabatan mereka? Hanya ketua dan wakil ketua OSIS, tapi lagaknya seperti pemilik Korea Selatan saja.
“Kumohon, ijinkan aku masuk!” pinta seorang gadis di depan gerbang pada kedua seniorku itu.
Aku tidak melihat wajahnya karena dia membelakangiku. Gadis itu bertubuh ramping, berambut hitam panjang dan lurus. Walaupun terlihat seperti sedang memohon, suaranya tetap terdengar tegas dan bukannya merengek. Entah kenapa suaranya membuat bulu kudukku berdiri. Rasanya suara itu begitu familiar.
“Kau terlambat lima belas menit sembilan detik,” kata Tae Wong datar.
Aku tak tahan untuk tidak mendengus dan tertawa. Bahkan detik pun dihitung.
“Tapi ini tidak disengaja! Tadi aku—“
“Kim Nam Gil!” Memotong perkataan gadis itu, Tae wong malah langsung meneriakiku.
“Aku tahu aku terlambat,” sergahku sambil berjalan semakin mendekati gerbang. “terlambat lima belas menit enam belas detik,” olokku.
“Kau pikir ini lucu?” tanya Tae Wong setengah membentak.
Aku berdiri disebelah gadis itu sambil dengan sengaja memperlihatkan wajah konyol pada Tae Wong dan Seung Hyo yang jelas kesal melihat tingkahku. “Memangnya kau bisa mengenali hal lucu?” olokku sambil tertawa.
Kudengar gadis di sebelahku mengeluarkan suara aneh yang sepertinya suara tawa tertahan, jadi aku meliriknya dengan ekspresi wajah kubuat seolah mengajaknya bersekongkol. Tapi saat gadis itu balik menatapku, sesuatu yang aneh terjadi. Jantungku berdebar cepat dan kencang, yang kemudian berubah menjadi sedikit tusukan rasa sakit. Setelah sekian lama tak pernah lagi menangis, entah kenapa sekarang aku harus berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang mendesak keluar. Konyol sekali.
Tiba-tiba sebuah kilasan mengaburkan pandanganku dan seolah membawaku ke dimensi lain. Aku melihat seorang gadis berpakaian tradisional Korea sedang tersenyum padaku. Melihat senyum itu membuat hatiku terasa hangat. Aku membalas senyumnya, tapi kemudian gadis itu menghilang. Setelah tersadar, yang ada di hadapanku bukan lagi gadis dengan pakaian tradisionalnya, malainkan gadis berseragam abu-abu-hitam-putih SMU Chongjan—sekolahku. Gadis yang sama terlambatnya denganku tadi.
Anehnya, pakaian mereka mungkin memang berbeda, tapi wajah gadis ini sama persis dengan gadis berpakaian tradisional yang ada dalam kilasan pengelihatanku tadi. Apa-apaan ini? Siapa gadis ini?
Entah kenapa gadis itu juga terlihat tercengang dan sedikit melamun saat memandangiku. Yang lebih mencengangkan, tiba-tiba dari kedua mata bulat indah itu menetes air mata. Dan aku merasa terdorong untuk menghapus air mata itu. Entah kenapa melihatnya menangis membuat hatiku terasa sakit. Tapi sebelum tanganku menyentuh pipinya yang halus dengan rona kemerahan alami, aku segera menghentikannya, dan memasukkan tanganku ke saku celana. Reaksi tak normal ini harus dihentikan.
Gadis itu sepertinya sudah tersadar dari lamunannya, karena sekarang dia sedang menghapus air matanya. Tae Wong dan Seung Hyo yang sedari tadi mengamati kami dengan heran, bertanya bersamaan; “Ada apa dengan kalian?”
Ya, ada apa denganku hari ini? Aneh sekali. Aku juga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Siapa gadis ini? Siapa gadis yang ada dalam kilasan pengelihatanku tadi?
***
- Lee Yo Won - 2 September 2010 -
Sedetik jantungku seolah berhenti berdetak, lalu berubah menjadi menghentak-hentak dengan begitu kerasnya. Di saat aku kesulitan bernapas, tiba-tiba sebuah kilasan kejadian membutakanku. Aku melihat seorang pemuda berpakaian kumal sedang tertawa lepas. Deretan giginya yang putih cemerlang begitu kontras dengan warna kulitnya yang kecokelatan. Melihatnya tertawa membuatku ingin ikut tertawa sekaligus terenyuh, entah kenapa. Dia begitu ceria, bebas dan kekanakan. Namun dalam sekejap sosok pemuda itu menghilang dan digantikan oleh pemuda yang tadi dipanggil dengan nama Kim Nam Gil.
Selain pakaian yang dikenakannya, Kim Nam Gil begitu serupa dengan sosok pemuda penuh tawa dalam kilasan pengelihatanku. Bahkan rambutnya yang diikat sembarangan pun mirip dengan yang ada dalam kilasan tadi.
Kim Nam Gil terlihat seperti melamun sambil menatapku. Melihat wajah dan matanya entah kenapa membuat hatiku melambung gembira, tapi juga sakit di saat bersamaan. Tanpa kusadari air mataku sudah menetes. Aku tak mengenalnya. Bahkan tak pernah melihatnya sebelum hari ini. Jadi kenapa aku merasakan campuran emosi aneh ini? Siapa Kim Nam Gil? Siapa pemuda penuh tawa yang ada dalam kilasan pengelihatanku tadi?
Kim Nam Gil mengulurkan tangan kanannya ke arah pipiku, tapi sedetik sebelum menyentuhnya, pemuda itu menarik tangannya lagi yang kemudian dimasukkannya ke dalam saku celananya.
Buru-buru aku menghapus air mataku. Konyol sekali. Untuk apa menangisi orang asing? Bahkan tak ada kejadian menyedihkan sama sekali. Memalukan.
“Ada apa dengan kalian?” tanya dua pemuda lain yang berdiri mengawasi dari balik gerbang sekolah.
Ya, ada apa? Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Kim Nam Gil terbatuk kecil, lalu memasang senyum konyolnya lagi, yang ditujukannya pada kedua pemuda yang barusan bertanya. Aku tidak mengenalnya, tapi menurutku senyumnya itu palsu. Bahkan itu juga bukan senyum mengejek. Entah kenapa kurasa itu hanya topengnya. Sorot kedua matanya terlihat muram dan sedih, tak sesuai dengan senyumnya.
“Pasti kalian tidak akan mengijinkanku masuk sebelum menandatangani buku absen keterlambatan,” kata Kim Nam Gil ceria. “tapi kalau aku menandatanganinya, maka itu berarti ini kedua kalinya aku masuk daftar hitam kalian bulan ini,” lanjutnya, pura-pura merenung.
“Ya,” desah pemuda berwajah tirus. “Dan bahkan bulan September baru dimulai.”
Kim Nam Gil menyeringai. “Benar sekali, Seung Hyo. Karena itulah, aku tidak mau menandatanganinya,” katanya santai. “Kalau aku menandatanganinya sekarang, berarti aku sudah melakukan dua kali pelanggaran. Bila sampai tiga kali, pasti Paman atau Bibiku akan dihubungi pihak sekolah. Dan itu merugikanku. Sedangkan aku tidak yakin besok aku bisa datang tepat waktu.”
“Begitu? Jadi apa yang akan kau lakukan?” sindir pemuda berwajah datar.
Seringaian di wajah Kim Nam Gil semakin lebar. “Sampai jumpa!” katanya sambil berjalan pergi dan melambaikan tangan dengan santai.
“Nam Gil! Kim Nam Gil!” kedua pemuda itu berteriak memanggilnya, tapi Kim Nam Gil tak menghiraukan mereka dan terus berjalan menjauh.
“Dasar,” geram si pemuda berwajah tirus. “Bagaimana denganmu?”
“Akan kutandatangani,” jawabku langsung. Tapi aku tak bergerak maju sedikitpun. Aku masih berdiri diam memandangi sosok jangkung Kim Nam Gil yang akhirnya menghilang di persimpangan jalan.
“Hei! Kau mau masuk, tidak?”
Aku tersadar dari lamunanku. “Ya. Ya, tentu.”
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar