CHAPTER 4
Cast :
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
Mi Shil : Go Hyun Jung
Moon No : Jung Ho Bin
Se Jong : Go Young Jae
Chil Sook : Park Kil Kang
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Alcheon : Lee Seung Hyo
Bo Jong : Go Do Bin
Young Mo : Qri
San Tak : TETAP
Yeom Jong : TETAP
Jook Bang : Lee Moon Shik
Go Do : Ryu Dam
--------------------------------------------
- Lee Yo Won - 11 Desember 2010 -
Aku membiarkan kakak menggiringku duduk di salah satu sofa karena aku masih sangat shock melihatnya wanita itu. Go Hyun Jung. Aku baru saja bertemu dengannya lagi. Dia tidak banyak berubah, masih bibi cantik seperti yang kuingat. Dulu dia pernah menjadi bibi favoritku, tapi sekarang, dia orang yang paling kubenci.
Beberapa hari lalu Paman Kil Kang menerima undangan dari presiden direktur sebuah perusahaan yang menggunakan jasa pengamanan dari perusahaan tempat Paman Kil Kang bekerja, dan hari ini Paman membawa kami semua turut serta ke pesta ulang tahun pernikahan sang presiden direktur tersebut. Saat mendengar nama Go Young Jae, aku tidak curiga sama sekali. aku tidak menyangka bahwa orang itu adalah suami Bibi Hyun Jung. Bahkan saat memasuki gerbang megah rumah mereka, aku masih tenang-tenang saja. Tapi, ketika sampai di ruang depan tadi, dan melihat foto Bibi Hyun Jung terpajang di atas perapian, sudah terlambat untuk mundur.
Saat melihatnya, dan mendengarnya menanyakan tentang Ibu, hampir saja aku mengamuk. Teganya dia! “kakak ipar yang baik” katanya? Dasar munafik! Kalau dia benar menyukai Ibu, dia tak akan berselingkuh dengan Ayah!
“Yo Won, kau tidak apa-apa?” tanya kak Ye Jin khawatir.
Kuhirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Tidak. Tidak apa-apa. Hanya sedikit shock,” jawabku sambil memaksakan senyum. Tapi memang sekarang aku sudah sedikit lebih tenang.
Aku menunduk dan menatap tangan kananku. Sejak kecil, bila sedang takut atau kalut, tangan kananku akan selalu gemetaran. Tapi sekarang tanganku sudah berhenti bergetar, setelah Nam Gil menggenggamnya tadi. Aku merasa wajahku memanas mengingat kejadian itu. Saat dia menggenggam tanganku, sejenak kekalutanku menghilang dan digantikan perasaan senang yang aneh. Dadaku langsung berdebar tak karuan, dan sebuah kilasan kejadian melintas di benakku. Aku melihat pria itu lagi, pria yang mirip Nam Gil, tapi dalam sosok yang lebih dewasa. Pria itu memakai pakaian prajurit kuno berwarna hitam. Di wajah tampannya tak ada senyum ceria yang seperti biasa kulihat dalam mimpi dan kilasan pengelihatanku selama ini. Di wajah itu terlukis kecemasan, yang kurasa ditujukan padaku. Entah bagaimana, aku tahu pria itu begitu memperdulikanku. Sama seperti Nam Gil, pria itu juga meraih tanganku untuk digenggamnya dengan tangannya yang besar. Merasakan kehangatan genggaman itu membuat hatiku bergetar.
Dimana Nam Gil? Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tapi pemuda itu tak ada. Apa dia sudah pergi?
Selama berbulan-bulan aku terus berusaha menjauhinya, tapi sialnya itu tak berhasil mengenyahkan mimpi-mimpi dan kilasan-kilasan aneh yang kudapat. Mimpi dan kilasan itu terus muncul tak perduli kapan pun dan dimana pun. Dan yang lebih gila lagi, semakin lama melihat mimpi dan kilasan tentang pria mirip Nam Gil itu, aku merasa seolah semakin dekat dengannya dan juga dengan Nam Gil sendiri. Benar-benar gila. Bagaimana bisa, padahal selama berbulann-bulan kami tidak saling bicara bila tidak benar-benar perlu.
Yah, kurasa dia juga menjauhiku. Aku tidak tahu alasannya, tapi alasanku karena aku tidak nyaman dengan perasaan aneh yang terus timbul setiap berdekatan dengannya. Aku ingin semua kembali normal seperti saat aku belum mengenalnya. Tapi sepertinya semua sia-sia saja. Walaupun tak berdekatan denganya, tanpa kuinginkan aku terus memikirkannya.
“—siapa sangka Kim Nam Gil ternyata keponakan bibimu,” komentar kak Ye Jin.
Aku tersadar dari lamunanku. Benar. Aku sempat melupakan fakta itu. memang mengejutkan. “Ya, memang tak di sangka,” kataku setuju. “Tapi setidaknya dia hanya keponakan Go Hyun Jung, bukan putranya. Benar-benar suatu kesialan memiliki orangtua seperti wanita itu.”
“Yo Won,” kata kakak memperingatkan. “Kita sedang berada di rumahnya, di antara tamu-tamu yang mengenalnya. Jangan bicara yang tidak-tidak,” tambahnya dengan nada menegur.
“Aku tidak perduli dia akan mendengarnya atau tidak,” kataku keras kepala.
- 13 Desember 2010 -
Bersama kak Ye Jin dan kak Tae Wong, aku berjalan menuju sekolah. Huff… dingin sekali. walaupun mantel yang kupakai sudah cukup tebal, tapi hawa musim dingin masih sangat mengganggu.
Tanpa sengaja aku menyenggol tubuh kak Tae Wong, dan tiba-tiba saja sebuah kilasan kejadian tentang pria yang mirip kak Tae Wong melintas di benakku. Pria itu memelukku begitu erat, seolah itu sebuah pelukan perpisahan. Merasakan pelukan pria itu membuatku ingin meneteskan air mata. kesedihan pria itu begitu nyata dan mempengaruhiku juga. aku pun membalas pelukan itu. entah kenapa aku merasa seakan ini adalah terakhir kalinya aku dapat memeluknya seperti ini.
“Yo Won? Kau baik-baik saja?” suara kak Ye Jin menyadarkanku.
“Ya… ya, tidak apa-apa,” jawabku dengan suara agak parau.
“Kak Tae Wong? Ada apa dengan kalian? Kalian sakit?” tanya kak Ye Jin lagi.
Aku melirik kak Tae Wong yang berdiri diam dengan ekspresi wajahnya terlihat kebingungan. Kedua bola matanya terlihat berkaca-kaca.
“Kak Tae Wong?” desak kak Ye Jin.
“Ah, ya?” Kak Tae Wong terlihat seperti orang linglung.
“Kakak kenapa?” tanya kak Ye Jin khawatir.
Kak Tae Wong melirikku sekilas, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan kak Ye Jin sambil tersenyum. “Aku tidak apa-apa. Ayo jalan,” ajaknya..
Sambil berjalan, diam-diam aku melirik kak Tae Wong yang berjalan di sebelah kananku. Siapa pria yang kulihat tadi? Apa hubungannya dengan kak Tae Wong? Dan apa hubungannya denganku? Lalu… kenapa tadi kak Tae Wong terlihat kebingungan? Apa dia juga melihat apa yang kulihat? Tapi rasanya itu tak mungkin.
Selain dengan Nam Gil, terkadang—walau hanya sesekali—bila bersentuhan dengan kak Tae Wong, aku akan mendapat kilasan pengelihatan mengenai seorang pria yang sangat mirip dengannya, tapi dalam versi yang lebih dewasa. Namun karena kilasan-kilasan itu hanya muncul bila aku bersentuhan dengan kak Tae Wong, maka aku tidak terlalu terganggu dengannya. Asalkan aku menjaga agar tak sampai bersentuhan dengan kak Tae Wong, maka kilasan itu tak akan muncul. Berbeda dengan kilasan pengelihatanku tentang pria yang mirip Nam Gil. Tanpa harus menyentuhnya, tanpa harus melihatnya, kilasan itu sering muncul begitu saja. Bahkan sosoknya juga menghias mimpi-mimpiku tanpa diundang.
“Tae Wong!” seru kak Seung Hyo sambil berlari kecil menghampiri kami yang sudah hampir memasuki gerbang sekolah.
“Ada apa?” tanya kak Tae Wong. “kau terlihat panik.”
“Apakah aku bisa tidak masuk hari ini?”
Kak Tae Wong mengerutkan kening. “Tapi hari ini akan dimulai festival musim dingin di sekolah,” protesnya. “Kita akan punya banyak pekerjaan selama minggu ini. Banyak yang harus kita siapkan dan awasi. Kalau kau tidak sakit parah, kenapa kau tidak mau masuk sekolah?”
Di wajah kak Seung Hyo terlintas rasa frustasi. Pemuda itu melirik ke belakangnya dengan cemas, sebelum berbalik dan menjawab pertanyaan kak Tae Wong. “Gadis gila itu,” katanya. “anak SMP yang kuselamatkan dari berandalan beberapa hari yang lalu, kau ingat? Semakin hari dia semakin gila! Dia terus mengejar-ngejarku! Dengan adanya festival di sekolah, dia bisa keluar masuk sekolah kita seenaknya dan akan menggangguku seharian,” keluhnya.
Kak Tae Wong terlihat geli. “Kau takut dengan gadis SMP? Yang benar saja,” guraunya. “Lagipula, anggap saja itu suatu pujian. Jarang ada pria yang mendapat kehormatan digilai seperti itu. sudahlah, tak ada alasan. Kau tidak boleh membolos. Ayo masuk!” katanya sambil menarik kak Seung Hyo.
Tak bisa menahan diri, aku dan kak Ye Jin tertawa geli. Kapan lagi kami bisa melihat kak Seung Hyo yang biasanya begitu tegas dan berwibawa menjadi panik hanya karena perhatian berlebihan dari seorang gadis? Lucu sekali.
“Itu Kim Nam Gil,” kata kakak tiba-tiba.
Sebuah motor balap berwarna hitam yang dikendarai seorang pemuda melintas di depan kami, lalu disusul motor balap lain, yang berwarna merah. Pengemudi motor hitam itu Kim Nam Gil, sedangkan motor merah itu Go Do Bin.
“Semalam saat mengobrol dengan temanku lewat telepon, tanpa sengaja kami membicarakannya. Temanku bercerita bahwa dia mendengar gossip mengenai Kim Nam Gil yang terlibat perkelahian pada hari minggu siang kemarin di Incheon,” kata kak Ye Jin. “Katanya Kim Nam Gil mengikuti sebuah pertandingan balap motor di sana. Saat Kim Nam Gil menang, lawannya tak terima dirinya dikalahkan dan tidak bersedia membayar uang taruhan yang sebelumnya sudah ditetapkan.”
“Lalu Kim Nam Gil menghajarnya, dan memulai perkelahian,” tebakku. Aku hapal sekali kejadian-kejadian seperti itu. Selama beberapa bulan ini hal seperti itu sering terjadi. Sepertinya hal sekecil atau seremeh apapun bisa memicu keberingasan Nam Gil. Benar kata Moon Shik, bila dalam seminggu tak melihat atau mendengar Nam Gil berkelahi, itu merupakan pertanda kiamat sudah dekat.
“Benar,” kata kak Ye Jin. “Hati-hati dengannya, Yo Won, dia itu pemuda kasar.”
Aku mengerutkan kening dengan heran. “Kenapa harus memperingatkanku?”
“Karena aku tahu dia tertarik padamu,” jawab kakak, mengejutkanku. “Aku melihatnya sering memandangimu. Dan dipertegas saat dia menggenggam tanganmu sabtu kemarin di pesta bibinya. Dia tertarik padamu. Tapi jauhi dia. Dia berbahaya.”
Aku tahu Nam Gil berbahaya. Pikiranku tahu itu. Tapi entah kenapa sepertinya hatiku tidak…
***
- Kim Nam Gil - 13 Desember 2010 -
Tiap tahunnya SMU Chongjan selalu mengadakan acara festival musim dingin. selama seminggu festival ini berlangsung, akan banyak gerai-gerai penjual makanan, penjual minuman, penjual perhiasan—tentu saja perhiasan murah yang mampu dibeli anak SMU—penjual boneka, rumah hantu, dan lain-lain yang memadati halaman sekolah. Pada puncak acara festival ini akan diadakan pementasan drama, dan itulah yang sedang kulakukan sekarang, dipaksa membantu membuat peralatan untuk drama tersebut di aula sekolah.
“Kau cocok juga.”
Aku mengangkat kepala dan melihat Qri, sang idola remaja—dia salah satu anggota grup vocal yang terdiri dari empat orang gadis remaja, dan sedang naik daun belakangan ini—sedang tersenyum padaku. Kelasnya ada disebelah kelasku, tapi kami tak pernah berbicara. Entah kenapa sekarang dia mengajakku bicara. Sayangnya aku tidak tertarik bicara padanya, jadi aku sengaja membalas senyum ramahnya dengan seringaian singkat, lalu kembali membantu membuat singgasana untuk pemeran ratu dalam drama nanti.
Tapi rupanya gadis itu keras kepala. Walaupun aku sedang berkonsentrasi pada pekerjaanku dan tak bersedia memandangnya, Qri terus saja menusuk-nusuk pundakku dengan telunjuknya. Argh! Apa maunya gadis ini?
“Ada apa?” tanyaku pura-pura manis.
“Kubilang, kau cocok juga,” jawabnya sambil tersenyum lebar.
Anak ini benar-benar menguji kesabaranku. “Ya? Lalu kenapa? bisakah kau menjauh? Aku sedang sibuk,” kataku, lalu kembali membelakanginya untuk melanjutkan pekerjaanku.
Qri kembali menusuk-nusuk pundakku dengan telunjuknya. “Baiklah!” geramku sambil berbalik menghadapnya. “Apa sebenarnya maumu?”
Senyum menyebalkan itu kembali menghiasi wajah Qri. “Kau tidak bertanya apa yang kumaksud?”
“Pentingkah itu?” tanyaku makin tak sabaran. “Sudahlah, katakan saja kalau ini begitu penting bagimu.”
Senyum di wajah gadis ini tak memudar sedikit pun. “Kau tahu kalau aku sutradara sekaligus penulis naskah pementasan drama nanti?” tanyanya.
“Kau hanya mau mengatakan itu? sejak tadi menggangguku hanya untuk memamerkan jabatanmu?” tanyaku dengan nada suara semakin tinggi.
Qri masih terus tersenyum, tapi kali ini sambil menggelengkan kepalanya pelan dan menggoyang jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri. “Bukan, bukan,” sahutnya halus. “karena aku sutradara sekaligus penulis naskahnya, maka aku juga yang memilih siapa-siapa saja pemerannya nanti. Dan kubilang, kau cocok menjadi—“
“Oh, tidak, tidak, aku tidak berminat!” potongku langsung. “Sudah? Itu saja? Kalau begitu kau pergi saja. kerjaanku masih banyak.”
Qri mengangkat pundak acuh tak acuh. “baiklah,” gumamnya. “Kenapa semua calon potensial menolakku terus? Tadi kak Tae Wong, sekarang kau yang menolak peran ini. Padahal perannya sangat bagus,” lanjutnya dengan nada kesal.
Aku pura-pura tak mendengarkan dan kembali mengerjakan singgasana ratu, tapi sebenarnya aku kesal juga mendengar Qri menawarkan padaku hanya karena Tae Wong menolak peran itu. kenapa aku jadi pilihan kedua? Si wajah datar itu memainkan drama? Yang benar saja, memangnya dia bisa memperlihatkan ekspresi senang atau marah? Hah…
“Yah, sebenarnya kak Tae Wong cocok sekali menurutku,” lanjut Qri tanpa perduli aku tak ingin diajak bicara dengannya. “Aku akan membujuknya lagi sampai dia mau. Hah… susah sekali mendapatkan pemeran prianya. Untung saja Lee Yo Won sudah bersedia berperan menjadi ratu. Kalau tidak—“
“Apa?” Qri terlihat kaget saat aku tiba-tiba berdiri menghadapnya dan setengah berteriak. “Lee Yo Won pemeran ratunya? Pemeran utamanya?”
“I-iya,” jawab Qri gugup. “benar. Baru saja aku menawarinya—“
“Dan pemeran utama prianya,” potongku lagi. “tadi kau menawariku peran utama pria?”
“Yah, ya, tapi karena kau juga tidak mau, aku akan menawari calon pertamaku lagi—“
“Jangan!” bentakku tanpa sadar. Melihat ekspresi takut di wajah Qri, aku sengaja memasang senyum teramah dan terlucu yang kupunya. “Apa kau tidak tahu saat aku baru lahir seorang peramal mengatakan aku terlahir sebagai bintang? Tidak tahu? Yah, sekarang kau tahu. Dan apa kau tahu saat SD aku selalu menjadi pemeran utama pria dalam setiap pementasan drama sekolah? Kau tak tahu? Yah, sekarang kau tahu. Nah, kukatakan padamu, matamu itu sungguh jeli. kau tak hanya berbakat dalam dunia tarik suara, tapi juga dalam dunia perfilman!”
Mata Qri langsung berbinar. “Benarkah?”
“Tentu saja benar! Apa kau pernah mendengar aku berbohong?” sudah jelas semua kata-kataku tadi kebohongan, tapi dia tak perlu tahu itu.
“Sebenarnya sering,” jawab Qri.
“Ah, sudah, tak usah bahas itu. begini, kau sangat berbakat. Sama sepertiku. Oleh karena itulah, kita akan sangat cocok bekerjasama!” bujukku.
Qri mengangguk-angguk. “Yah, kau benar. Baiklah, sehabis makan siang nanti kita akan mulai berlatih. Jam dua belas tepat. Suruh saja orang lain untuk menggantikan pekerjaanmu di sini. Mulai besok kita akan berlatih sejak pagi.”
Aku menyeringai senang. “Bagus! Bagus sekali! kau tak akan menyesali keputusanmu!”
“Benar kau mau mentraktirku?” tanya San Tak untuk kesekian kalinya.
Aku meliriknya dengan kesal. “Tadinya aku mau menraktirmu karena suasana hatiku sedang bagus, tapi mendengarmu terus bertanya—“
“Tidak, tidak! Aku tidak akan bertanya lagi!” potong San Tak segera. “Kita mau makan apa? Bagaimana kalau sate ikan? Yang di sana itu sepertinya enak,” katanya sambil menunjuk sebuah gerai makanan.
“Terserah yang mana saja. tepat jam dua belas aku harus sudah kembali ke aula dan berlatih,” kataku.
“Berlatih?” tanya San Tak heran.
“Ya, berlatih. Aku akan jadi pemeran utama pria dalam pementasan nanti. Hebat, kan?”
San Tak mengamatiku dengan pandangan kritis. “Bagaimana bisa mereka memilihmu?” gumamnya.
Karena sedang senang, mendengar celaannya hanya kutanggapi dengan senyum lebar. Bagaimana adegan-adegan yang akan kumainkan bersama dengan Yo Won nanti? Kami sama-sama pemeran utama, jadi pasti akan banyak adegan romantis. Seringaianku makin melebar.
“Anak bodoh! Kau ini bisanya menyusahkan orang saja!” terdengar suara bentakan wanita di dekat sebuah gerai penjual minuman yang berantakan.
Karena penasaran, aku dan San Tak mendatangi kerumunan orang yang menonton kekacauan di tempat itu. seorang wanita sedang memarahi bocah kecil yang menangis ketakutan.
“Dasar bodoh! Kau menghancurkan tempat ini! Memangnya kau pikir siapa yang nantinya akan membayar semua minuman yang kau tumpahkan, hah!?” bentak wanita itu sambil memukuli bokong bocah lelaki itu berkali-kali.
Melihat adegan di depanku membuat tubuhku kaku. Kenangan-kenangan buruk masa kecilku kembali datang menghantui. Ingatan betapa takutnya aku saat wanita yang saat itu kupanggil Ibu memukul dan membentakku. Dan dalam sekejap kemarahan yang terpendam itu meluap dalam diriku. Dengan membabibuta aku menerobos kerumunan di depanku, lalu menarik bocah itu menjauh dari wanita yang memukul dan memarahinya.
“Apa-apaan kau—“
“Kenapa kau memukulinya!?” bentakku, memotong perkataannya. “Apa hakmu membentak-bentak dan memukulinya!?”
Wanita itu terlihat terkejut dan heran, tapi aku tidak perduli. Perlakuannya pada bocah ini memuakkan.
“Apa urusanmu?” balas wanita itu. “Dia putraku. Aku berhak memarahinya. Dia sudah berbuat salah—“
“Walaupun dia putramu, bukan berarti kau boleh memukulinya!” teriakku emosi. “Kalau dia berbuat salah kau tak perlu menggunakan kekerasan untuk menyadarkannya! Dia hanya anak kecil yang tak bisa melawan orang dewasa sepertimu!”
“Eee… Nam Gil, tenanglah,” bujuk San Tak, yang entah sejak kapan sudah berada di sisiku.
“Ada apa dengan temanmu ini?” tanya wanita itu pada San Tak. “Apa dia sudah gila? Berani-beraninya dia mengajariku ber—“
“Aku melakukannya karena kau tidak becus mendidik anakmu!” bentakku. “Apa kau pikir dengan memulkulnya akan membuatnya jera!? Kau hanya membuatnya ketakutan! Bagaimana rasanya bila orang yang lebih besar dan kuat darimu memukuli dan membentakmu, hah!?”
“Ada apa ini?” sebuah suara dingin menyela kemarahanku. Uhm Tae Wong.
“Anak gila ini mengamuk hanya karena aku menasehati putraku!” adu wanita itu.
Tae Wong menatapku dingin. “Kim Nam Gil, pergilah, jangan buat kekacauan di sini,” perintahnya.
Emosiku begitu meluap, ingin rasanya aku menghajar wajah tanpa ekspresinya itu dan melihatnya meringis kesakitan. Tapi aku mencoba menahan diri dan memalingkan wajah. Sial, mungkin aku bereaksi sedikit berlebihan karena terbawa perasaan, tapi aku muak melihat wanita itu memukuli putranya yang masih kecil.
Aku melepaskan peganganku dari bocah itu dan beranjak pergi, tapi dengan sengaja aku menabrakan tubuhku pada Tae Wong hingga dia terdorong ke belakang, dan memberinya tatapan tajam. Lain kali dia membuatku kesal lagi, akan kuhapus ekspresi datar dari wajahnya dengan kepalan tanganku.
“Kenapa kau semarah itu pada wanita tadi?”
Aku menoleh dengan kaget saat mendengar suara Yo Won. Setelah marah-marah pada wanita tadi, aku pergi menyendiri ke atap sekolah untuk menenangkan diri. Aku tidak menyangka akan ada yang menyusul kemari. Terutama, tidak gadis ini.
“Ada apa?” tanyaku, tanpa sadar nada suaraku terdengar memusuhi.
“Kau yang kenapa? kenapa kau semarah itu hanya karena wanita tadi memarahi putranya? Dan sebenarnya wajar saja bila wanita tadi marah karena anaknya sudah mengacaukan gerai seorang penjual minuman,” katanya.
“Aku punya alasan sendiri,” jawabku dingin.
“Alasan apa yang membuatmu boleh berlaku seperti tadi?” desak Yo Won keras kepala. “Kau marah karena wanita itu memukul bokong putranya, seakan kau benci melihat tindak kekerasan, padahal kau sendiri orang yang kasar. Dalam seminggu, paling tidak sekali terdengar kau berkelahi entah dengan siapa saja.”
Aku membelalakan mata marah padanya. “Itu berbeda! Lawanku selalu setara denganku, bukan anak kecil. Lawanku sama dewasanya denganku, mereka bisa menjaga diri sendiri, bukan anak tak berdaya yang ketakutan melawan orang yang jauh lebih besar darinya!” tanpa sadar aku membentak Yo Won, dan segera menyesalinya. Kenapa aku marah padanya? Dia tidak tahu alasanku marah pada wanita tadi. Seharusnya aku tidak membentaknya.
“Sudahlah, suasana hatiku sedang buruk. Lebih baik kau pergi saja,” usirku sambil memunggunginya. “Lagi pula kenapa kau kemari? Selama berbulan-bulan kau menghindariku bagai menghindari virus, tapi kenapa sekarang kau jadi begitu perduli pada alasanku mengamuk?”
“Aku tidak menganggapmu virus,” bantah Yo Won segera. “Dan bukan hanya aku yang sengaja menjauh. Kau juga menjauhiku!” tuduhnya.
Dengan gemas aku kembali membalikkan tubuh menghadap gadis itu. “Aku menjauhimu karena—“
“Karena apa?” desak Yo Won.
“Sudahlah, aku tak ingin membahasnya,” sergahku. “Pergilah, aku ingin sendiri.”
Tak ada sahutan dari Yo Won, tapi aku mendengar pintu menuju atap menutup dengan keras, yang menandakan gadis itu menuruti permintaanku.
Selama lima belas menit aku hanya berdiri diam di atap, dan setelah merasa lebih tenang aku memutuskan segera turun dan pergi ke aula. Apalagi saat mengecek jam tanganku, ternyata sudah jam dua belas lewat empat menit.
Pintu terbanting terbuka dengan keras, dan Yeom Jong muncul dengan wajah panik. “Ada apa?” tanyaku.
“Gawat. Geng motor dari Incheon menyerang kemari.”
***
- Lee Yo Won - 13 Desember 2010 -
“Kenapa aku malah mendatanginya!?” gerutuku sambil berjalan memasuki aula. Dasar pemarah. Kenapa dia membentakku? Kenapa juga tadi aku mengejarnya ke atap? Kenapa aku harus perduli padanya? Kenapa aku harus mengkhawatirkannya hanya karena melihat sorot sedih dari kedua matanya saat dia memarahi wanita tadi?
“Dilihat dari kesuraman wajahmu, pasti dia memarahimu, kan?” Aku benar-benar kaget saat Moon Shik tiba-tiba bicara dan muncul di samping kananku.
“Sudah kubilang, dia itu orang yang sulit ditangani. Percuma saja mengkhawatirkannya,” sambung Ryu Dam. Dan lagi-lagi aku kaget ketika melihat si gendut itu tiba-tiba ada di sebelah kiriku. Bagaimana bisa aku tidak melihat tubuh besarnya mendekat?
“Kim Nam Gil itu sosok yang sulit ditebak. Terkadang dia ceria dan agak bodoh, tapi di lain waktu bisa berubah sekejam iblis dengan otak setajam pedang,” tambah San Tak, yang entah bagaimana caranya sudah berjongkok di depanku. Apa-apaan mereka bertiga ini?
“Tapi sebenarnya sekarang kelakuannya sudah lumayan dibanding dulu,” kata Moon Shik lagi.
Ryu Dam mengangguk. “Saat SD hingga kelas satu SMP, sikapnya jauh lebih buruk dari sekarang. Dulu dia tak pernah tertawa atau tersenyum sama sekali. Sangat pendiam. Dia memukul orang untuk menunjukan bahwa dia tidak menyukai pendapat orang lain, bukannya sekedar bicara untuk memprotes atau menyatakan ketidak setujuannya selayaknya orang normal.”
San Tak berdiri sambil mengangguk serius. “Benar, benar. Tapi kemudian saat kelas satu SMP tanpa sengaja dia bertemu guru Jung Ho Bin ketika sedang berkelahi dengan beberapa kakak kelas kami di jalanan dekat daerah ini,” katanya. “Guru Jung memaksa Nam Gil ikut kelas Taekwondonya di sekolah ini. Menurut guru Jung, kemarahan dan emosi Nam Gil harus disalurkan ke hal yang positif agar dia tidak lagi memukul orang sesuka hatinya bila sedang marah. Dan walaupun dia murid termuda, tapi Nam Gil juga yang paling berbakat dan tekun berlatih—menurutku itu karena di klub taekwondo dia bisa menghajar orang tanpa harus takut melanggar aturan.”
Aku mendengarkan semua iformasi itu dengan serius. “Kalian begitu mengenalnya… memangnya sejak dulu kalian berteman dengannya?”
Moon Shik dan Ryu Dam bergidik ngeri. “Kami tidak berteman dengannya, tapi sejak SD, entah kenapa ada Dewa yang begitu tega padaku dan Ryu Dam, hingga kami selalu ditakdirkan satu sekolah dengannya,” kata Moon Shik dengan wajah memelas.
“Benar, benar. Menyeramkan sekali. Saat SD dia pernah memukulku hanya karena tanpa sengaja makananku mengotori pakaiannya,” sambung Ryu Dam.
“Kalau aku, berteman dengannya setelah sikapnya mulai berubah berkat didikan guru Jung. Memang, dia tetap suka berkelahi dan terkadang kekejamannya muncul, tapi tidak lagi tanpa alasan tak jelas seperti sebelumnya. Sebenarnya sikapnya sudah jauh membaik sekarang,” kata San Tak.
Hmm… begitu rupanya. “Apa kalian tahu alasan sikap buruknya itu?” tanyaku penasaran.
“Entahlah, dia tidak pernah mau bercerita tentang dirinya,” kata San Tak. “Dia—“
Kata-kata San Tak terhenti di tengah jalan saat terdengar keributan di luar. Itu suara deruman mesin-mesin motor. Belum sempat kami keluar untuk mencari tahu, serombongan pemuda berjaket kulit hitam memasuki aula dengan lagak berkuasa.
“KIM NAM GIL!!!” teriak pemuda yang berdiri di deretan terdepan. “Cepat keluar kau, brengsek! Hadapi aku!”
“Apa-apaan ini!?” omel Qri dari atas panggung.
“Di mana Kim Nam Gil!?” bentaknya. “Kudengar dia di sini. Mana dia? Cepat panggil dia!” perintahnya.
“Siapa kalian!?” bentakku. “Seenaknya datang kemari dan membuat keributan!”
“Astaga, jangan cari masalah, Yo Won,” bisik Moon Shik.
“Benar, kau tidak lihat penampilan mereka? Mereka berbahaya,” tambah Ryu Dam.
“Tunggu, aku akan mencari Nam Gil,” bisik San Tak sambil perlahan-lahan beranjak pergi.
Pemuda tadi—yang sepertinya bos gerombolan ini—melangkah maju mendekatiku sambil tersenyum sinis. “Kau berani bersikap tidak hormat padaku, gadis kecil? Kau tidak takut padaku?”
Aku membalas senyumnya dengan sama sinisnya. “Kenapa aku harus takut padamu, pria kecil?” ejekku. “Kau mengataiku kecil, padahal tinggimu sama denganku. Hah! Menggelikan sekali.”
Wajah pemuda itu memerah karena malu dan marah. Tangannya sudah terangkat untuk menamparku, tetapi segera ditahan kak Tae Wong yang rupanya buru-buru datang kemari bersama kak Seung Hyo begitu mendengar terjadi keributan di aula.
“Tolong jangan mengacau di sekolah kami,” kata kak Tae Wong dingin.
Pemuda itu menyeringai licik. “Hancurkan tempat ini!” teriak pemuda itu pada anak-anak buahnya.
Segera saja terjadi kekacauan. Murid-murid pria SMU Chongjan yang ada di sekitar aula berusaha membantu kak Tae Wong dan kak Seung Hyo melawan gerombolan pengacau itu, sedangkan murid-murid perempuan yang sedang berada di aula berusaha keluar dari arena perkelahian.
Aku dan Qri hampir berhasil menyelinap melewati pintu belakang aula saat pemuda yang kuhina pendek tadi berhasil melepaskan diri dari kak Tae Wong dan mengejar kami. Ternyata walaupun pendek, dia cukup kuat, terbukti dari kuatnya cengkramannya pada lenganku dan Qri. Otakku berputar cepat mencoba mengingat jurus-jurus yang selama ini kupelajari di klub taekwondo, tapi sebelum sempat mempraktekannya, pemuda itu sudah mendorong kami dengan sangat kuat hingga kepalaku dan kepala Qri membentur dinding.
Saat aku sedang meringis sakit, pemuda itu menarik kerah baju seragamku. Dengan muak aku melihat wajah menjijikannya yang sekarang berjarak begitu dekat dengan wajahku sendiri. Pemuda itu menyeringai. “Hah, baru tahu rasa kau sekarang. Kau tidak bisa main-main denganku!”
Lututku sudah bersiap untuk menyepak selangkangan si bodoh di depanku ini, tapi lagi-lagi kesempatanku untuk beraksi hilang. Sebuah anak panah melesat diantara wajahku dan wajah pemuda itu. nyaris, nyaris saja anak panah itu mengenai wajah si pembuat onar. Dengan terkesima aku dan pemuda itu menatap anak panah yang tertancap di jendela kayu. Menyadari hampir saja tertusuk panah, membuat wajah pemuda itu memucat.
“Kim Nam Gil!!!” seru Qri sambil berlari mendatangi pemuda yang diteriakinya itu. Qri segera bersembunyi di belakang tubuh jangkung Nam Gil yang terlihat mengesankan dalam posenya yang sedang memegang busur dan siap menembakkan anak panah kedua.
Seorang pemuda berseragam klub memanah berlari mendekati Nam Gil dengan wajah kesal. “Kim Nam Gil! Kembalikan peralatan memanahku. Aku harus berlatih—“ kata-katanya terhenti saat akhirnya anak itu menyadari bahwa sedang terjadi perkelahian ditempat ini. “Astaga,” gumamnya sambil mengamati keadaan.
Wajah Nam Gil sekelam malam dan sebengis iblis. “Han Ji Yoon, singkirkan tanganmu dari gadis itu,” desisnya. “Atau kau akan merasakan panah ini menancap di kepalamu.”
Pemuda bernama Han Ji Yoon itu tertawa sumbang. “Kau tak akan berani,” tantangnya.
Tanpa berkata-kata, Nam Gil kembali bersiap menembakkan anak panahnya lagi. Melihat keseriusan Nam Gil, Han Ji Yoon akhirnya melepaskanku. “Kau yang memaksaku melakukan ini. Kau merampokku kemarin siang,” geram Han Ji Yoon.
“Aku tidak merampok, aku mengambil hakku,” bantah Nam Gil dengan nada datar.
“Brengsek kau—“
“Lee Yo Won!” Nam Gil memanggilku. “Cepat kemari!” perintahnya.
Sebelum menuruti perintah Nam Gil, dengan sepenuh hati aku meninju rahang Han Ji Yoon hingga dia terdorong ke belakang. Rasakan itu! tak apa tanganku sakit, asalkan hatiku puas bisa membalas kekasarannya padaku tadi.
Nam Gil cepat-cepat mengembalikan peralatan memanah yang dipegangnya pada pemiliknya dan berpesan, “Tolong bawa dua gadis ini keluar dari sini,” pada pemuda itu.
“Eh, baik,” sahut pemuda pemilik peralatan memanah itu. “Ayo, cepat!” ajaknya sambil menarikku dan Qri.
Sambil berjalan cepat mengikuti Qri dan pemuda pemanah itu, aku menoleh ke belakang dan melihat Nam Gil sedang menghajar Han Ji Yoon seperti orang kesetanan. Astaga, bagaimana kalau tanpa sengaja dia membunuh orang itu? tapi kemudian aku menjadi panik saat melihat beberapa anak buah Han Ji Yoon segera datang mengeroyok Nam Gil begitu melihat bos mereka sudah tak berdaya menghadapi serangan Nam Gil.
“Tunggu, tunggu!” tahanku. “Tolong Kim Nam Gil, dia dikeroyok!” pintaku panik.
“Kalian harus cepat keluar,” bantah pemuda itu. “perkelahian di sini semakin parah. Kalian akan celaka kalau tetap disini. Aww!” pemuda itu menjerit ketika tanpa sengaja kepalanya terkena lemparan sepatu yang entah milik siapa dan dilempar oleh siapa.
“Tapi—“
“Ayo, Yo Won,” desak Qri. Dia menarikku sambil berkelit dari orang-orang yang berkelahi di sekeliling kami. “Kim Nam Gil pasti bisa menangani mereka,” katanya menenangkanku. “Ayo!”
Sesaat sebelum berhasil keluar, aku sempat melihat seseorang memukul punggung Nam Gil dengan gagang sapu, dan seorang lagi sedang menendang kakinya, sementara Nam Gil sendiri sedang menghadapi dua pemuda lain. Ya Tuhan, kumohon tolong Nam Gil…
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar