Chapter 4
-Lee Yoo-hee-
Hatiku benar-benar kalut, setelah mendengar kabar dari Yeon-rin tadi. Tak terbayang olehku, kejadian yang menimpa Kak Hyun-jae, kini menimpanya juga, tidak...semoga dia tidak mengalami hal yang sama. Tapi harapanku sangat tipis bila mengingat bagaimana cara Yeon-rin menyampaikan kabar ini. Terdengar dari nada suaranya, dia sangat terpukul atas kejadian ini. Separah itu kah keadaannya? Ya Tuhan...apa yang telah aku lakukan? Tolong selamatkanlah dia!
Setelah terpaku untuk beberapa saat, dan tak dapat berkata apa-apa. Aku segera bangkit dari ranjang dan bergegas menuju ke kamar mandi untuk membasuh mukaku, sedikit berharap kejadian ini tidak nyata, dan merupakan bagian dari mimpiku. Tapi, aku salah, ini kenyataan pahit yang harus kuterima untuk kedua kalinya. Kurasakan cairan hangat membasahi pipiku, semakin lama semakin tak terbendung, ku hapus air mataku, mencoba menguatkan diri, dan berpikir positif. Tidak Yoo-hee, kau harus percaya, bahwa tidak akan terjadi apa-apa padanya, bukankah tadi Yeon-rin tidak menyatakan bahwa dia meninggal, seperti yang dilakukan Kak Jang-hyuk dulu, saat mengabarkan kecelakaan yang dialami Kak Hyun-jae. Kemudian aku bergegas kembali ke kamar, memakai mantel dan sepatuku untuk melihat sendiri keadaannya di Daejin Medical Centre.
Selama di perjalanan, aku tak dapat berhenti berdoa untuk keselamatannya. Begitu bencikah Tuhan padaku, hingga kejadian tiga tahun yang lalu kembali menimpaku, belum kering rasanya luka di hatiku, kini hatiku kembali terluka. Tapi tak sepantasnya aku menyalahkan Tuhan akan kejadian ini, aku lah yang salah karena telah menolaknya, aku lah yang menyebabkan dia kalut dan kurang berkonsentrasi dalam menyetir mobilnya hingga dia mengalami kecelakaan seperti ini, aku lah yang bersalah...aku benar-benar tak akan pernah memaafkan diriku sendiri, bila terjadi sesuatu padanya. Tidak akan pernah...hatiku bagai diremas kuat dan hancur berkeping-keping.
“Nona, sudah sampai!” kata supir Taksi yang kutumpangi, karena melihat aku masih saja diam terpaku di tempat.
“Ah...ya Paman, maafkan aku, ini.” ujarku terbata, seraya menyerahkan uang pada supir taksi tersebut. Setelah membayar taksi, aku segera masuk dan mencari kamar 215 tempatnya dirawat. Selama beberapa menit mencari, akhirnya kutemukan juga kamar itu. Dengan enggan, kuketuk pintu dan terdengar suara seorang gadis dari dalam.
“Masuklah!” ucap suara itu, itu pasti Yeon-rin. Perlahan kubuka pintu itu, dan terpaku sejenak saat melihat pemandangan di depanku. Dia—Kim Nam-gil, si ‘Pria pembuat onar’ itu—kini terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Kepalanya dibalut perban putih dan ada bekas luka di sana-sini. “Kau pasti Nona Lee Yoo-hee,” kata Yeon-rin yang kini telah berada di dekatku. Dia gadis yang manis, berusia kira-kira 14 sampai 15 tahun, memakai kacamata, dan berambut pendek.
“Ya benar, dan kau pasti Yeon-rin,” sapaku, “panggil saja aku Yoo-hee.”
“Baiklah Kak Yoo-hee, terima kasih telah datang ke mari.”
“Tidak, itu bukan masalah. Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja?” tanyaku khawatir.
“Tidak, dia tidak baik-baik saja,” ujarnya sembari menitikkan air mata sedih.
“Yeon-rin, maafkan aku,” ucapku benar-benar menyesal seraya mengusap air mata di pipi gadis itu.
“Kenapa kau meminta maaf?”
“Semua ini terjadi karena aku, kalau saja aku—“ aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku, karena cairan hangat itu kembali menetes di pipiku dan kurasakan dadaku sesak oleh isak tangis tertahan.
“Jangan menyalahkan dirimu Kak, walaupun aku tak tau apa yang terjadi di antara kalian. Kurasa ini bukan salahmu, takdirlah yang membuat semua ini terjadi. Maaf, tadi aku meneleponmu, karena Kak Nam-gil tak berhenti menyebut namamu, hingga kuputuskan untuk mengabarimu,” jelasnya. “Masuklah, semoga dengan kehadiranmu dia bisa lebih baik, aku akan keluar sebentar, untuk mencari udara segar.”
“Semoga saja,” harapku.
“Aku titip kakakku,” ujarnya dan berbalik pergi.
Kuhampiri pria itu, dan duduk di kursi tempat Yeon-rin tadi. Kupandangi wajah tampannya yang kini terbalut perban di sekitar dahinya, dia masih tak bergerak di ranjangnya dan tergeletak lemah di sana. Apa yang telah kulakukan? Air mataku kembali menetes melihatnya begini, kumohon sadarlah!.
“Nam-gil?!” panggilku lirih, “Apakah kau mendengarku? Bangunlah, kumohon!” Kugenggam tangannya dan kembali menangis, aku tak dapat lagi membendung tangisku yang sedari tadi telah memaksa untuk keluar. “Kumohon, sadarlah! Maafkan aku...aku...” kata-kataku kembali terputus karena tangis yang kini tak terbendung lagi. Kenapa aku jadi secengeng ini? “Maafkan aku, kumohon! Aku tau kau kuat, bukankah tadi kau bilang mencintaiku, tolong...jangan tinggalkan aku dengan cara seperti ini, kumohon...jangan tinggalkan aku...” aku tak tahan lagi, bergegas berdiri dan hendak berbalik pergi karena merasa tak ada gunanya melakukan ini, tapi langkahku terhenti saat tiba-tiba dia memanggilku.
“Yoo-hee!” panggilnya, kontan aku berbalik, dan alangkah kagetnya aku saat melihatnya telah sadar dan tersenyum menatapku. Ya Tuhan...terima kasih, apakah aku berhasil? Secepat itukah? Aneh memang, tapi aku tak berhenti bersyukur. “Mau kemana kau? Bukankah tadi kau bilang jangan tinggalkan aku?” tanyanya yang membuatku sedikit terkejut, apakah dia mendengar semuanya? “Kenapa sekarang justru kau yang pergi?”
“A...aku—“ aku tak dapat melanjutkan kata-kataku saat melihatnya tiba-tiba turun dari ranjang dan berdiri tegak di hadapanku. “Apa yang kau lakukan? Kenapa—“
“Aku tak apa-apa,” selanya mengejutkanku.
“Apa kau bilang? Tidak apa-apa? Tapi tadi Yeon-rin—“ dia tertawa, dan menunjukkan seringai jahilnya kepadaku. Tidak mungkin, ternyata dia..
“Terima kasih telah mengkhawatirkan aku.”
“Kau?!” kini dia tersenyum puas. Aku benar-benar kesal karena merasa dibohongi dan menangis sia-sia untuk hal yang tidak perlu. Untuk apa dia melakukan itu? Sial. Ternyata dia benar-benar pria pembuat onar.
“Maaf, aku terpaksa melakukan ini, untuk mengetahui perasaanmu padaku,” katanya saat melihat perubahan ekspresiku.
“Dan sekarang kau berhasil!” ucapku tajam. “Kau berhasil menipuku, dan membodohi aku dengan cerita bohongmu itu.”
“Aku tidak menipumu ataupun membohongimu, aku memang mengalami kecelakaan, dan luka di dahiku ini asli,” jelasnya seraya menunjuk perban di dahinya.
“Tapi kau telah melebih-lebihkan cerita itu, kau memanfaatkan kelemahanku untuk mengambil keuntungan. Kau benar-benar—“
“Kalau memang aku memanfaatkanmu, aku tak akan mengaku sekarang kalau aku berbohong tentang keadaanku. Aku akan membiarkanmu terus larut dalam kesedihan hingga membuatmu tak dapat mengelak lagi untuk menerimaku, karena rasa bersalah yang kutimbulkan. Tapi, aku tak melakukan itu, karena aku tak ingin mengikatmu dengan rasa bersalah, aku hanya ingin tau bagaimana perasaanmu yang sebenarnya terhadapku.”
“Bukankah tadi aku sudah mengatakannya padamu, bahwa aku tak mencintaimu dan tak bisa menerimamu, apakah kau belum mengerti?”
“Tak mencintaiku? Lalu untuk apa kau datang pagi-pagi buta begini dan menangis di dekat ranjangku, lalu mengatakan ‘jangan tinggalkan aku’, tolong jelaskan tentang sikapmu tadi!” Aku tak dapat menemukan kata-kata untuk membantah pernyataannya, benarkah aku diam-diam telah jatuh hati padanya? pada ‘Pria pembuat onar’ ini? “Jawablah...kenapa kau diam saja,” gertaknya. “Apakah kau sudah tak mempunyai alasan lagi untuk membantahnya?” Dia berjalan mendekat ke arahku, yang sejak tadi hanya bisa diam terpaku di tempat. “Katakan padaku Yoo-hee, lalu aku akan berjanji tak akan pernah lagi mengganggumu lagi,” ucapnya, kali ini dengan nada yang lebih rendah dari sebelumnya seraya meremas kedua bahuku dan mengguncangnya. “Mengapa kau menangis? Dan apa maksudmu berkata begitu? Jawablah!”
“Aku...aku...” bodohnya, hanya itu yang keluar dari mulutku, aku tak berani menatap matanya yang kini tengah menatap nanar ke arahku.
“Tataplah aku, dan katakan bahwa kau tak mencintaiku!?” Tapi aku tak bisa melakukannya, aku tak akan sanggup. Pria ini telah terang-terangan menipuku, tapi mengapa reaksiku selemah ini? “Katakanlah!”
Sambil menunduk menatap lantai putih rumah sakit, aku mulai bergumam “Aku tidak mencintaimu...aku tidak mencintaimu...aku tidak—“ kata-kataku terhenti saat bibirnya membungkam bibirku lembut tapi kuat, tanpa sadar aku telah memejamkan kedua mataku, mencoba menikmati sensasi indah dan memabukkan dari ciumannya. Tapi, tiba-tiba dia menarik diri dan menghentikan ciuman itu. Kubuka mataku, dan dia tersenyum ke arahku.
“Katakanlah, dan kumohon jangan berbohong lagi. Aku tau kau menikmatinya Yoo-hee.” Disentuhnya daguku dan memaksaku menatapnya, “Katakan yang sebenarnya! Jangan kau ingkari hatimu lagi.” Kutatap lekat-lekat mata hitam pria itu, yang kini tengah menatap penuh harap ke arahku. Dia benar aku menikmati ciuman itu, dia benar aku telah menangis untuknya, dia benar aku memintanya untuk tidak meninggalkanku, dan sialnya dia juga benar bahwa aku...diam-diam telah jatuh cinta kepadanya. Oh...Tuhan, apa yang harus aku lakukan? “Katakanlah, sayang!” suaranya melembut.
“Ya, aku—“ dia memelukku erat, membuatku tertegun dan tak dapat melanjutkan perkataanku.
“Kenapa kau berhenti? lanjutkan...aku ingin mendengarnya langsung darimu,” ucapnya sambil terus memelukku erat. Aku tak mungkin mengingkarinya lagi, aku memang mencintainya. Mencintai ‘Pria pembuat onar’ ini. Maafkan aku Kak Hyun-jae...
“Aku...mencintaimu,” ujarku lirih dan merasakan kelegaan yang teramat sangat, bagaikan melepaskan sebuah beban yang sangat berat.
“Katakan sekali lagi, aku tak mendengarnya.” Kulepaskan pelukannya, dan pura-pura kesal atas apa yang dikatakannya. Dia tak mendengarnya? Padahal kami sudah sedekat itu dan dia mengatakan bahwa dia tak mendengarnya? “Kenapa? Apa kau marah?! Ayo, katakan lagi!”
“Tidak ada siaran ulang,” ujarku seraya berbalik membelakanginya dan bersedekap.
“Baiklah...aku tidak akan memaksamu lagi, yang penting sekarang, aku tau bahwa kau mencintaiku.” Serunya lambat-lambat. Dia membalik tubuhku hingga menghadapnya lagi, kemudian menangkup kedua pipiku dengan tangannya yang kekar, sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku dia berkata “Aku sangat mencintaimu, dan aku hampir gila karenanya,” lalu dia mulai mengecup keningku, pipiku, lalu bibirnya menyentuh bibirku ringan dan lembut, tapi ciuman itu terhenti saat terdengar suara pintu dibuka.
“Oops...maafkan aku,” ujar Yeon-rin yang tidak sengaja masuk dan melihat kami tengah berciuman, dan membuat Nam-gil menggeram kesal karenanya “Lanjutkan saja, aku tak bermaksud menyela—”
“Tidak apa-apa, masuklah!” kataku sembari tersenyum kikuk ke arahnya hingga mengurungkan niatnya untuk kembali menutup pintu dan keluar.
“Sepertinya, aku melewatkan sesuatu,” godanya memecah keheningan suasana, hingga membuat kedua pipiku merona karena malu.
“Ya, dan kau telah menyela sesuatu,” ucap Nam-gil yang masih terlihat agak kesal.
“Kau marah padaku?” tantang Yeon-rin tak mau kalah, “Tak ingatkah kau siapa yang telah rela berbohong untuk membantumu? Dan hal itu mengingatkanku bahwa aku belum meminta maaf pada Kak Yoo-hee, maafkan aku Kak!” ujarnya tulus.
“Tidak apa-apa.”
“Kalau bukan karena Kakak yang memaksaku, aku tak akan mungkin mau berbohong. Dan sekarang dia justru menyalahkan aku,” gerutunya, “Benar-benar tak bisa dipercaya!”
“Ya, ya...aku minta maaf, kau memang adikku yang paling manis,” rayu Nam-gil sambil mengacak-acak rambut adiknya.“Jangan marah lagi, kalau kau marah, manismu akan hilang.” Membuat Yeon-rin mendelik kesal ke arah kakaknya.
“Kau memang pandai merayu kak, pantas saja kak Yoo-hee tak bisa menolakmu,” ujarnya yang kini, Nam-gil-lah yang mendelik kesal karena kata-kata adiknya itu. Aku hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah kedua kakak beradik ini.
“Sudahlah...tidak perlu bertengkar lagi, bukankah kalian berdua yang merencanakan semua ini? Harusnya aku yang kesal di sini, bukannya kalian,” gerutuku yang membuat mereka tersenyum malu-malu. Tapi dimana kedua orang tua mereka? Apakah mereka terlalu sibuk hingga tidak dapat berkunjung saat putra mereka kecelakaan?
Melihat ekspresiku yang bertanya-tanya, Nam-gil bertanya kepadaku, “Kenapa? Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Ah...tidak, aku hanya ingin bertanya, dimana Ayah dan Ibu—“
“Ayah dan Ibu kami sudah meninggal karena kecelakaan pesawat beberapa waktu lalu,” ceritanya yang membuatku terpaku. “Dia adikku satu-satunya, dan sekarang telah menjadi tanggung jawabku.”
“Maaf, aku tak bermaksud—“
“Tidak apa-apa, kau memang harus tau tentang ini. Karena tidak adil rasanya, jika aku mengetahui segalanya tentangmu, sedangkan kau tidak tau apa-apa tentangku.” Matanya yang hitam menatapku lekat-lekat, aku menangkap pandangan seorang kakak yang tegar di sana. Ya, dia benar, aku memang tak tau apa-apa tentangnya, sedangkan dia telah banyak mengetahui tentangku dari Dae-jia.
“Sepertinya aku tidak dibutuhkan lagi di sini,” ujar Yeon-rin tiba-tiba, kembali memecah keheningan canggung di antara kami, sambil bergerak menjauh.
“Syukurlah kau sadar,” kata Nam-gil, hingga membuat Yeon-rin mendelik kesal.
“Kakak?!”
“Haha...aku hanya bercanda, kemarilah! Terima kasih atas bantuanmu, kalau bukan karena kau, sampai sekarang, pasti dia tak akan pernah mengakui perasaannya terhadapku,” kata Nam-gil sambil melirik ke arahku kemudian memeluk adiknya itu. Aku hanya bisa memandang mereka penuh haru.
“Sebaiknya kau istirahat dulu kak, lukamu masih belum pulih,” kata Yeon-rin seraya memapah kakaknya ke tempat tidur.
“Harusnya kau membiarkan dia yang memapahku,” goda Nam-gil sambil melirik ke arahku.
“Hah...kau ini?!”
***
“Kak,” sapa Dae-jia yang kini telah duduk di sampingku di tepi kolam ikan kebun belakang rumah Nam-gil. Malam ini kami berlima—aku, Dae-jia, Si-won, Nam-gil dan tentu saja Yeon-rin—sedang berkumpul di sini, sekaligus untuk merayakan ulang tahun kekasihku itu yang jatuh tepat pada hari ini tanggal 13 Maret 2011. Sudah dua bulan lebih kami menjalin hubungan, dan ku rasakan cintaku semakin besar untuknya.
“Terima kasih Dae-jia.”
“Terima kasih? Untuk apa?” tanya Dae-jia tak mengerti.
“Karena kau telah mempertemukan kami.”
“Astaga...kak, kau tidak perlu berterima kasih padaku, Tuhan lah yang mempertemukan kalian, dan yang paling penting, membuat kalian saling mencintai. Aku di sini hanya berperan sebagai perantara saja.”
“Ya, kau benar. Tapi, biar bagaimanapun kau sudah membantu kami. Dan aku sangat berterima kasih akan hal itu,” ucapku tulus.
“Kau tak perlu begitu kak, aku ikut senang saat mendengar kalian akhirnya menjalin hubungan.”
“Kau memang adikku yang paling baik,” ujarku seraya merangkulnya.
“Apakah aku boleh bergabung?” tanya Yeon-rin yang baru saja turun dari kamarnya di lantai atas.
“Silahkan...silahkan!” sahut Dae-jia.
“Kakak-kakak ini tidak sedang membicarakan masalah orang dewasa, kan?” tanyanya.
“Memangnya kenapa kalau iya?” Dae-jia balik bertanya.
“Karena Kak Nam-gil selalu melarangku untuk ikut campur urusan orang dewasa,” gerutunya. “Lagi pula, orang dewasa membuatku pusing, mereka terlalu banyak berpikir.” Aku dan Dae-jia hanya bisa tertawa mendengar jawaban lugu Yeon-rin.
“Sepertinya ada yang sedang membicarakanku di sini?” ujar Nam-gil yang kini menuju ke arah kami.
“Apakah ikannya sudah matang?” tanyaku. Karena malam ini para pria menawarkan diri untuk membakar ikan dan daging yang sudah disiapkan untuk pesta kali ini, maka kami para wanita hanya tinggal duduk santai menanti sampai makanan siap.
“Ya, semuanya sudah siap Tuan Putri,” canda Nam-gil sambil membungkuk ala pelayan, hingga membuat kami tak kuasa menahan tawa.
“Terima kasih Pelayan,” sahutku.
“Eh? Pelayan? Pria tampan begini, kenapa dibilang pelayan?” protesnya, “Aku ini pangeran yang sedang menjemput Tuan Putri untuk makan malam bersama.”
“Tapi, seorang pangeran tidak memakai celemek!” celetukku sambil menunjuk celemek berwarna biru yang sedang dipakainya, dan membuat yang lain tertawa geli.
“Ah...bodohnya!,” maki Nam-gil seraya memukul ringan kepalanya sendiri, “Yah, anggap saja ini pakaian kehormatan sang pangeran,” Nam-gil membela diri.
“Apa yang kalian lakukan di sana?” seru Si-won dari jauh, “Ayo...cepatlah ke mari, mumpung makanannya masih hangat!” Akhirnya kami berempat pun mengakhiri candaan tadi dan menuju ke meja tempat makanan telah disiapkan.
“Silahkan!” kata Si-won seraya meletakkan nampan berisi ikan dan daging panggang yang baru saja matang.
“Wah...sepertinya enak! Suamiku memang pandai memasak,” puji Dae-jia.
“Dan istriku memang pandai memuji,” balas Si-won seraya mengecup lembut kening istrinya.
“Oke, bagaimana kalau kita mulai saja acara makan-makannya, karena aku sudah lapar,” celetuk Yeon-rin.
“Tapi sebelumnya, karena ini ulang tahun Nam-gil, bagaimana kalau kita merayakannya dulu,” cetusku sambil menyalakan lilin di sebuah kue tart yang telah kusiapkan tadi. Kami pun menyanyikan jingle selamat ulang tahun untuk kekasihku itu.
“Ayo tiup lilinnya!” seru Yeon-rin setelah lagu itu berakhir. Setelah memejamkan mata sejenak, Nam-gil meniup lilin tersebut dan diakhiri dengan tepuk tangan riuh dari kami semua.
“Selamat ulang tahun,” kataku, “Maaf aku tak sempat menyiapkan kado untukmu.”
“Tidak apa-apa sayang, kaulah kado terindah untukku,” rayunya seraya mengecup pipiku.
“Dan sekarang, ayo potong kuenya!” seru Yeon-rin.
Kekasihku itu memotong kue tart tersebut, dan menyerahkan potongan pertamanya kepadaku, lalu berkata, “Potongan pertama, kuberikan untuk orang yang paling istimewa dalam hidupku.” Hingga membuatku tersipu malu mendengarnya. Dan yang membuatku tak kalah terkejut, karena dia tiba-tiba berlutut dan menyerahkan sebuah kotak beledu kecil berwarna merah. “Dan, maukah kau menikah denganku?” Kurasakan air mataku mulai mendesak untuk keluar hingga membuat bayangan pria yang kucintai itu kabur. Tidak, aku tak boleh menangis pada saat seperti ini, tapi aku benar-benar terharu. Tak menyangka bahwa dia akan melamarku malam ini dan secepat ini. “Jawablah, kenapa kau diam saja? Maukah kau menikah denganku?” ulangnya karena tak segera mendapatkan jawaban dariku.
Sambil mengusap titik bening air mata di sudut mataku, aku mengangguk mantap dan berkata “Ya, tentu saja!” Membuat yang lain bertepuk tangan dan mengucapkan selamat pada kami.
“Kau memang harus menerimanya, karena kalau tidak, aku akan memaksamu,” bisiknya lirih di telingaku yang membuatku tersenyum geli. Kemudian dia mengecup bibirku ringan dan lembut, hingga kembali mengundang sorakan dan tepuk tangan yang lain.
Hal ini benar-benar indah bagiku, aku bisa berkumpul bersama orang-orang yang kucintai. Tak pernah aku merasakan kebahagiaan yang begitu besar, setelah kejadian buruk yang menimpaku beberapa tahun lalu. Tapi kini, semua itu hanya menjadi kenangan yang takkan pernah kulupakan. Terima kasih Kak Hyun-jae, atas izinmu, kini aku dapat menikmati cinta lagi, dan semoga kali ini, dapat bertahan sampai akhir hayat. Kak, sampai kapan pun, kau akan selalu memiliki tempat di hatiku.
“Kau kenapa?” tanya Nam-gil setelah acara usai, karena melihatku duduk seorang diri di sebelah kolam ikan.
“Tidak apa-apa, aku hanya sedang berpikir, ini bagaikan mimpi bagiku.”
“Kau tidak sedang bermimpi sayang, ini kenyataan.”
“Ya, kau benar. Ini memang nyata, dan aku sangat bahagia karenanya.” Dia duduk di sebelahku dan merangkulku ke dalam tubuhnya yang hangat. Tanpa sadar aku kembali meneteskan air mata haru karenanya.
“Kumohon jangan menangis, aku tak ingin melihatmu menangis lagi,” kata Nam-gil tulus seraya mengusap air mata yang mulai menetes di pipiku. Tapi aku menangis bukan karena sedih, aku menangis karena bahagia yang tak terhingga. Dia menatapku lekat-lekat “Aku Mencintaimu Yoo-hee!” ucapnya, lalu menangkup wajahku dengan kedua tangannya, kemudian mengecup air mata yang mulai menetes kembali di pipiku, kemudian bibirnya menyentuh bibirku, bibirnya terasa sangat lembut hangat di bibirku hingga membuat kulitku menggelenyar. Sesaat aku terpaku, merasakan keintiman ini. Tapi perlahan, aku mulai membuka bibirku dan membiarkan lidah kami saling bertemu, menari, dan saling membelai menimbulkan sensasi indah dan menyenangkan yang terus merambat ke seluruh tubuhku. Aku benar-benar bahagia, sangatlah bahagia...seandainya ini mimpi, ku harap aku takkan pernah terbangun selamanya. Terima kasih Tuhan, karena Kau telah memberikan cinta baru untukku, cinta baru yang indah, cinta baru yang takkan pernah lekang oleh waktu. Aku Mencintaimu Nam-gil, sangat mencintaimu...sekali lagi terima kasih atas kebahagiaan yang kau berikan untukku...
You’re everything I want and more
Oh I adore your mystery
Since I found a new love
Since I found a new love
I can’t complain no more
That’s how its supposed to be
I’m not in pain no more … yeah
Cause he’s so close to me
It doesn’t matter what they say
I’ll be a fool for you
But is it possible to say?
Oh if they can’t be cool with you
Since I found a new love
Since I found a new love
I don’t get it wrong at all
I’m in no empty conversations
I can’t be strong at all
Oh with that vain imagination
Oh I won’t even tolerate
None of their insane expectations
What you’ve given me already
Oh has me free from obligation … hey … hey
Since I found a new love
Since I found a new love
See it don’t bother me at all
because I’m free from obligation
Oh I don’t even entertain
None of their insane expectations
See what you’ve given me already
Oh its enough to satisfy
See you’ve forgiven me for getting
All of the pride I had inside
See now our living can begin
Because all that’s been left behind
See now our living can begin
Because that chance has left and I .. I .. I
And now I just belong to you
There’s no one else to satisfy
Oh baby I’ll be strong for you
Until they come to realize … realize … realize that
Since I found a new love
Since I found a new love
Since I found a new love
Since I found a new love
I have no fear at all
No fear at all
I have no fear at all
No fear at all
I have no … fear at all
I have no … fear at all
I have no fear … at all
I have no fear … at all
Since I Found A New Love
-By Lauryn Hill-
-FIN-
By Yuli ~Admin Lee~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar