CHAPTER 18
Cast :
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
Mi Shil : Go Hyun Jung
Moon No : Jung Ho Bin
Se Jong : Go Young Jae
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Choon Choo : Yoo Seung Ho
Bo Ryang : Yoo Eun Bin
Alcheon : Lee Seung Hyo
Yeom Jong : TETAP
------------------------------------------------------
- Kim Nam Gil - 24 Maret 2011 - Gyeongju -
Cukup lama kami berdiri dengan berpelukan erat, hingga akhirnya air mata penyesalan kami mengering. Kami duduk di kursi yang disediakan di tempat itu, dan bicara.
“Aku mulai sering mendapat mimpi-mimpi dan kilasan tentangmu semenjak kita bertemu pertama kali,” kataku.
“Benarkah? Aku juga begitu,” sahut Yo Won. “Aku sempat berpikir diriku sudah gila karena terus berhalusinasi tentangmu.”
Aku tersenyum. “Aku pun merasa begitu.”
“Jadi… Deokman dan Bi Dam benar bereinkarnasi,” gumam Yo Won merenung.
“Aku tak akan pernah memandang remeh para peramal lagi,” kataku setengah bercanda.
Yo Won tersenyum. “Aku juga,” katanya setuju. “Nam Gil… kita beruntung karena kembali dipertemukan, tapi bagaimana seandainya tidak? Seandainya aku tetap di Busan dan tidak pindah ke Seoul—“
“Tapi kau memang pindah dari Busan dan kembali ke Seoul. Aku percaya, tidak ada kebetulan di dunia ini. semua sudah tersusun dan terencana. Mungkin kita memang pasangan takdir seperti kata peramal itu, jadi bagaimanapun rumitnya jalan yang harus ditempuh, kita pasti akan menemukan cara untuk bertemu dan mengingat segala sesuatunya kembali,” kataku yakin.
“Yah, kurasa kau benar,” gumam Yo Won. setelah berdiam diri selama beberapa menit, tiba-tiba dia berseru. “Ah, astaga, ya Tuhan, kakak! Kak Ye Jin! Aku melupakannya!”
“Tenanglah, dia pasti sedang bersama dengan rombongan yang lain,” kataku.
Tapi saat kami tiba di tempat berkumpulnya rombongan SMU Chongjan, tak terlihat tanda-tanda keberadaan Park Ye Jin. “Apa mungkin dia berkeliling istana?” tanyaku, lebih pada diri sendiri.
“Kau benar. Dia pasti sedang berada di tempat itu,” kata Yo Won, kemudian berlari memasuki istana kembali.
“Yo Won!” aku berlari mengejar sambil meneriakinya, tapi dia terus saja berlari tanpa menungguku. “Sebenarnya kau mau ke mana?” tanyaku heran, ketika berhasil mengejarnya.
“Gazebo. Tempatku dulu sering mengobrol dengan kakak. Saat aku masih seorang Nando dan belum mengenali bahwa dirinya adalah seorang Putri,” jawab Yo Won. tanpa bicara apa-apa lagi, aku mengikutinya.
Tepat seperti dugaan Yo Won, Park Ye Jin sedang duduk merenung di sebuah gazebo. Dia segera berdiri dari duduknya saat melihat kedatangan kami.
“Deokman…” gumamnya sendu.
“Kakak… kakak!” Yo Won berlari kepelukan Park Ye Jin.
Selama beberapa menit aku berdiri diam menonton mereka berpelukan dan menangis. Aku juga mengingat siapa Park Ye Jin di kehidupan pertama kami. Dia Putri Cheon Myeong yang tewas dalam rencana pelarian Deokman dan… Yoo Shin. Tanpa dapat kucegah rasa cemburu itu kembali merasuk di hatiku, tapi dengan segera aku menepisnya. Tidak ada lagi yang boleh menghalangi hubunganku dan Yo Won. Tidak kesalah pahaman kami dulu, juga tidak dengan rasa cemburu tak beralasan ini. Yo Won… Deokman telah memilihku. Bukan Yoo Shin. Bukan Tae Wong.
Setelah Yo Won dan Park Ye Jin selesai melakukan pembicaraan mengharukan mengenai kehidupan mereka dulu, kami bertiga kembali pada rombongan, yang ternyata sedang berjalan menuju teater drama. Di tempat itu kami menonton pertarungan Hwarang. Salah satunya adalah adegan pertarungan antara Seol Won dan Moon No. Moon No… Guru… Guru Jung. Aku tersenyum. Siapa sangka takdir mempertemukanku dengan reinkarnasi orang-orang yang dulu kukenal.
Selain duel Seol Won dan Moon No, juga diperlihatkan pertunjukkan menunggang kuda dan bela diri khas Hwarang. Melihat semua itu, dan arena ini, mengingatkanku pada pertarungan yang kulakukan dengan Yoo Shin dulu. Saat aku sengaja mengalah demi Deokman yang menginginkan Yoo Shin menjadi… ah, sial. Sebaiknya aku tidak terus mengingat hal itu. bila terus mengingat hubungan antara Deokman dan Yoo Shin, rasa cemburu bisa menggerogotiku lagi. Ini harus dihentikan. Yang terpenting sekarang adalah menjaga hubunganku dengan Yo Won tetap berjalan baik. Aku memohon pada Yo Won untuk mencoba melupakan yang telah lalu dan memulai yang baru, maka aku pun harus begitu.
“…ini kehidupan ketiga kita.” Karena sebelumnya sibuk dengan pikiranku sendiri, aku hanya menangkap sebagian perkataan Yo Won pada Park Ye Jin.
“Kehidupan ketiga?” tanya Park Ye Jin kaget.
“Benar,” kata Yo Won. “Seorang peramal di taman hiburan memberitahu kami. Bukankah kalau tidak salah ingat Choon Choo… maksudku, Yoo Seung Ho juga pernah mengatakan bahwa ini adalah kehidupan ketiganya? Awalnya aku tak mempercayai mereka, tapi hari ini kebenaran ramalan mereka tentang kehidupan pertamaku sebagai Deokman terbukti, jadi aku beripikir mungkin saja kehidupan kedua itu benar pernah terjadi.”
“Tapi kenapa hanya kehidupan pertama yang berhasil teringat?” selaku, ikut dalam obrolan mereka. “Kenapa kita tidak mengingat kehidupan kedua?”
Selama beberapa saat terjadi keheningan ketika kami semua berpikir keras mengenai hal itu, hingga Park Ye Jin mengutarakan pendapatnya. “mungkin hanya peristiwa yang menurut kalian paling traumatislah yang membekas dan menunggu waktu yang tepat untuk terkuak. Mungkin di kehidupan kedua kalian, keadaan tidak seburuk saat pertama?”
Yah, itu masuk akal. Menurut peramal itu, aku tewas dalam perang membela Negara, sedangkan Yo Won meninggal setelah melahirkan anak kami. Walaupun tidak juga berhasil bersama, kali itu bukan akibat kesalahan kami. Takdirlah yang membuatku tewas di medan perang. Dan takdir juga yang membuat kondisi Yo Won lemah ketika melahirkan. Setidaknya di kehidupan kedua, kami tidak memendam penyesalan seperti di kehidupan pertama.
“Karena aku pun hanya mengingat kehidupan pertamaku,” lanjut Park Ye Jin. “Aku bahkan tidak mengikuti saat kalian pergi meninggalkan replika istana karena terlalu terhanyut dengan kenanganku di tempat itu. khususnya kenangan saat aku mendengar kabar kematian suamiku.”
“Kakak…”
Park Ye Jin tersenyum. “Tidak apa-apa,” katanya menenangkan Yo Won. “hah… aku merindukannya. Bangsawan Yong Soo. Juga Choon Choo. Yo Won, maukah kau besok menemaniku mencari Yoo Seung Ho?”
“Tentu saja,” jawab Yo Won. “Kau ikut, kan?” tanyanya padaku.
Aku tersenyum. “Pasti.” Bila memungkinkan, kemanapun dia pergi akan kuikuti. Aku tidak ingin kami berpisah lagi.
- 25 Maret 2011 -
“Sedang apa kalian di sini?” tegur Seung Hyo.
“Kau sendiri sedang apa di sini?” aku balik bertanya. Hari ini aku, Yo Won dan Ye Jin—dia memintaku untuk tidak terlalu formal—pergi ke sekolah pasangan peramal itu, karena Ye Jin merindukan putranya yang bereinkarnasi menjadi Yoo Seung Ho. Hah… Choon Choo… bocah menyebalkan itu. seandainya saja aku tidak mendengarkan perkataannya. Tapi aku tidak bisa menyalahkannya, karena pilihan untuk mempercayai Deokman atau tidak tetaplah di tanganku. Bila hatiku tidak begitu rapuh, mungkin aku tidak akan terpengaruh.
Seung Hyo menjadi salah tingkah. “Aku—“ sebelum dia sempat menjawab, seorang gadis manis menubrukkan tubuhnya ke tubuh pemuda itu dan memeluknya erat-erat. Ah, jadi dia menjemput pacarnya. Ternyata Seung Hyo masih berhubungan dengan gadis kecil ini.
Aku terkekeh geli membayangkan Seung Hyo di kehidupan pertamanya dulu sebagai Alcheon, lengkap dengan pakaian Hwarangnya, bermesraan dengan gadis kecil berseragam sekolah. Tak bisa kubayangkan penjaga setia Ratu Seondeok yang serius dan berwibawa itu melakukan hal tersebut. Aku tersedak menahan tawa.
“Kalian!” seru gadis itu saat melihat kami. “Apa kabar?”
“Baik,” sahut Yo won dan Ye Jin bersamaan. “Apa kau melihat Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin?” tanya Ye Jin.
“Tadi mereka masih di kelas— eh, itu mereka,” katanya menunjuk pasangan yang sedang dicari-cari itu.
Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin terlihat kaget saat melihat kami, tapi dengan bersemangat mereka segera datang menghampiri.
“Ibu, Bibi, ada apa? Kenapa kalian kemari?” tanya Yoo Seung Ho antusias.
“Choon Choo…” bisik Ye Jin dengan suara parau.
Mata Yoo Seung Ho terbelalak. “Kau… mengingatnya?” tanyanya takjub.
Ye Jin mengangguk dan mulai terisak. “Choon Choo,” tangisnya pecah saat ia merengkuh Yoo Seung Ho ke dalam pelukannya.
“Ibu…” tangis bocah itu pun menyaingi tangisan Ye Jin.
“Ada apa ini?” tanya kekasih Seung Hyo heran. “kenapa mereka menangis?”
“Jangan ikut campur urusan mereka,” gumam Seung Hyo memperingatkan. “Maaf, kami harus pergi sekarang. Sampai jumpa nanti.”
“Ya. sampai jumpa nanti,” sahutku. “Sebaiknya kita mencari tempat lain untuk mengobrol,” saranku kemudian, pada Yo Won yang sedang mengamati Ye Jin dan Yoo Seung Ho berpelukan dengan mata berkaca-kaca.
Mengikuti saranku, kami berlima pergi ke sebuah restoran bubur yang jaraknya tak terlalu jauh dari sekolah pasangan peramal itu.
“Saat pertama kali melihat wajah kalian ketika memasuki geraiku, aku memang sempat terpikir bahwa mungkin saja kalian reinkarnasi Ibu dan Bibiku, tapi aku tidak mau terlalu berharap karena bisa saja hanya mirip,” kata Yoo Seung Ho antusias. “tapi ternyata dugaanku benar. Aku senang sekali bertemu kalian. Dan lebih senang lagi karena akhirnya kalian mengingatku. Bagaimana caranya kalian bisa mengingatnya?”
Ye Jin dan Yo Won menceritakan mengenai tur sekolah kami ke Gyeongju, sedangkan aku duduk diam mendengarkan mereka sambil memandangi wajah Yo Won. aku selalu menyukai wajah Yo Won. Sangat. Tapi sejak kemarin, semenjak ingatan mengenai kehidupan lalu kami kembali, perasaan bahagiaku karena dapat bersama Deokman lagi membuatku tak dapat melepaskan pandangan darinya. Bahkan rasanya saat kami terpisah sebentar saja sudah membuat hatiku terasa tak karuan.
“Emm, Hwarang Bi Dam,” panggil Yoo Seung Ho sejam kemudian. “Eh, maksudku… maaf, aku tidak tahu namamu sekarang—“
“Kim Nam Gil,” sahutku.
“Aku… aku ingin minta maaf atas perbuatanku dulu. Seandainya aku tidak menghasutmu hingga meragukan perasaan Bibi, semua itu mungkin tidak akan terjadi. Aku tidak menyangka Bibi benar-benar mencintaimu. Kalau tidak—“
“Sudahlah,” selaku. “Lupakan saja.” karena aku pun ingin mencoba melupakan kejadian-kejadian buruk di masa lalu.
Yoo Seung Ho terlihat terkejut melihat sikap tenangku. “Eh, terima kasih,” gumamnya.
“Sudah sangat sore,” kata Yoo Eun Bin sambil memandang keluar jendela. “Kita harus pulang, Seung Ho.”
“Kau benar,” sahut Yoo Seung Ho. “Ibu, kami harus pulang sekarang.”
“Baiklah, tapi kita harus lebih sering bertemu,” kata Ye Jin.
“Pasti,” sahutnya lagi. “Ibu, Bibi, emm… kak Nam Gil, selamat sore,” katanya sambil membungkuk hormat, lalu beranjak pergi bersama Yoo Eun Bin yang juga mengucapkan salam perpisahan dengan sopan.
Kami melanjutkan makan kami tanpa bersuara hingga ponsel Ye Jin berbunyi. “Halo? Oh, kau. Ya. eh, tidak. Ya, maaf. Sekarang? Baik, aku segera ke sana.”
“Ada apa?” tanya Yo Won setelah Ye Jin selesai bicara dengan peneleponnya.
“Teman seklubku. Beberapa hari yang lalu kami memang sudah membuat janji untuk berlatih di rumahnya, tapi aku melupakannya karena sangat ingin bertemu Seung Ho,” kata Ye Jin. “Kau pulang berdua saja dengan Nam Gil. katakan pada Ibu bahwa aku akan pulang terlambat hari ini,” pesannya sebelum buru-buru pergi.
“Eh, baiklah. Hati-hati!” seru Yo Won.
Setelah menyelesaikan makan, barulah kami berdua pulang. Saat berjalan menuju halte bus—aku tidak membawa motorku hari ini karena pergi bertiga—kami melewati gedung agen perjalanan, dan seorang wanita muda memberi orang-orang yang lewat, termasuk aku dan Yo Won, brosur paket wisata. Sambil menunggu kedatangan bus, Yo Won asyik mengamati brosur itu.
“Indah, ya?” gumamnya mengomentari foto-foto pemandangan Bali.
“Benar. Tahun lalu kami sekeluarga pergi ke sana,” kataku.
“Benarkah? Aku iri padamu. Sudah lama aku ingin pergi ke sana,” kata Yo Won.
“Liburan yang akan datang kita pergi ke sana berdua saja,” usulku cepat.
“Ah, pasti menyenangkan!” seru Yo Won bersemangat. “Eh, aku—“
“Ada apa?” tanyaku penasaran saat Yo Won menghentikan kata-katanya.
“Tidak, tidak apa-apa,” katanya sambil tersenyum. “Bila aku mendapatkannya, baru kau akan kuberitahu.”
“Sebenarnya apa yang kau sembunyikan dariku?”
“Bukan hal buruk. Sudahlah, tidak usah membahasnya sekarang.”
“Kau benar-benar membuatku penasaran.”
Yo Won tertawa renyah. “Bagus kalau begitu. Aku lebih suka kau penasaran terhadapku, karena dengan begitu kau tidak akan mudah bosan denganku,” candanya.
Aku mendengus. Bosan, katanya? Yang benar saja. “Tidak ada apapun di dunia ini yang bisa membuatku bosan denganmu,” kataku apa adanya.
“Aku juga,” sahut Yo Won dengan tersenyum manis.
- Lee Yo Won - 3 April 2011-
“Ayah yakin ingin pergi ke pesta itu?” tanyaku untuk keseratus kalinya. Aku tidak percaya saat melihat Ayah bersiap-siap ke acara yang diadakan untuk menggalang dukungan bagi Go Young Jae malam ini.
“Sangat yakin. Kau sudah menanyakan ini untuk kesekian kalinya, Yo Won,” gerutu Ayah sambil memperbaiki letak dasinya.
“Tapi… ini pesta Bibi Hyun Jung. kupikir kau—“
Ayah menatapku tajam. “Memang aku marah padanya yang menjadi biang keladi kesalah pahaman antara aku dan Ibumu dulu,” akunya. “Tapi baru-baru ini aku menyadari tidak sepenuhnya semua adalah kesalahannya, karena toh tidak sempat terjadi apa-apa diantara kami selain kecupan singkatnya waktu itu. Yang benar-benar menghancurkan pernikahanku dan Ibumu adalah kami sendiri. kekeras kepalaan dan ego kami.”
Aku terdiam merenungkan perkataan Ayah, dan menyadari kebenarannya.
“Aku paham kau marah padanya karena melihat kondisi Ibumu waktu itu, dan juga darah muda yang bergejolak dalam dirimu membuatmu belum bisa berpikir lebih jernih,” katanya, kemudian tertawa mengejek diri sendiri. “aku saja yang setua ini baru menyadarinya sekarang.”
“Jadi… Ayah akan berbaikan dengan Bibi?” tanyaku.
“Ini hanya awal. Mengenai akan membaik atau tidaknya hubungan kami nantinya, itu masalah lain. Aku datang ke pestanya karena ingin menunjukkan penghormatanku atas undangan yang diberikannya,” kata Ayah.
“Menurut Ayah, kenapa dulu Bibi Hyun Jung menggodamu? Apakah karena… selama bertahun-tahun dia memendam cinta padamu?” tanyaku hati-hati.
Ayah menggeleng. “Kurasa tidak. Hyun Jung mendekatiku mungkin karena saat itu aku sempat dicalonkan menjadi menteri—walaupun kemudian kutolak,” katanya. “Hyun Jung memang matrealistis. Kurasa itu karena pengalaman masa kecilnya dan Ibunya yang hidup serba kekurangan. Saat Ibunya menikah dengan Ayahku, usia Hyun Jung sudah empat belas tahun. Sudah cukup besar untuk mengerti hidup dan memupuk ambisinya.”
“Kau tidak berpakaian?” tanya Ayah beberapa saat kemudian, ketika melihatku diam saja di depan pintu kamarnya.
“Tidak,” jawabku cepat. “Nam Gil juga tak akan datang, jadi tak ada gunanya aku pergi.”
“Baiklah, hati-hati di rumah,” pesan Ayah sambil mengecup keningku, lalu berjalan keluar.
- 4 April 2011 -
“Akan ke mana kita hari ini?” tanyaku penasaran, ketika aku dan Nam Gil berjalan menuju tempatnya memarkir motornya.
Nam Gil menyeringai sambil mengedipkan mata padaku. “Bukan hanya kau yang bisa membuatku penasaran,” jawabnya.
“Kau ini—“
“Nam Gil!” seru Yeom Jong sambil berlari menghampiri kami.
Mungkin ini lelucon takdir, membuat reinkarnasi dari orang yang ikut bertanggung jawab atas tragedi di kehidupan pertamaku kembali menyandang nama yang sama. Yeom Jong tetaplah Yeom Jong. Sejak dulu aku tidak pernah mempercayainya.
“Ada apa?” tanya Nam Gil ketus.
“Geng SMU Sang mengata-ngatai geng kita mulai kehilangan cakarnya semenjak kau jarang turun tangan di setiap tawuran antar sekolah,” jawab Yeom Jong. “Bahkan kabarnya hanya menunggu waktu sebelum mereka menyerang kemari. Kita harus menyerang mereka lebih dulu. Aku sudah mengumpulkan semua orangku, hanya—“
“Geng kita?” sindir Nam Gil. “Seingatku aku tidak pernah tergabung dalam geng manapun. Selama ini aku ikut berkelahi karena mereka juga mencari masalah denganku, bukan karena loyalitasku pada gengmu. Minta bantuan Pamanmu saja.”
Yeom Jong menarik kemeja Nam Gil sambil menggeram marah. “Selama ini aku sudah banyak membantumu! Apa ini balasanmu—“
Dengan kasar Nam Gil menyentak lepas pegangan tangan Yeom Jong dari kemejanya, dan menarik kerah pemuda yang lebih tua itu. “Jangan bicara seolah-olah aku berhutang budi padamu,” desisnya dengan nada mengancam. “Karena selama ini aku pun sudah banyak membantumu keluar dari masalah dengan geng-geng lain akibat mulut besarmu itu!”
“Kau harus membantuku,” pinta Yeom Jong. “Ini bukan hanya masalah gengsi geng SMU Chongjan, tapi menyangkut Pamanku juga. sejak kekacauan di barnya dulu dia tak lagi mempercayaiku. Bila aku dikalahkan SMU Sang, dia benar-benar tak akan memperdulikanku lagi.”
“Itu bukan urusanku,” sahut Nam Gil acuh tak acuh sambil mendorong Yeom Jong.
“Kau harus membantuku!” desak Yeom Jong keras kepala.
“Aku tidak punya waktu,” kata Nam Gil sambil memakai helmnya dan naik ke motornya. “Yo Won, ayo naik,” perintahnya.
Aku menurut dan naik ke motornya sambil memakai helmku, kemudian melingkarkan tanganku di pinggangnya.
“Kau akan menyesali ini,” ancam Yeom Jong.
“Selamat bersenang-senang,” seru Nam Gil, dan mulai melajukan motornya.
“Kau akan menyesalinya! Aku bersumpah, kau akan menyesalinya!” teriak Yeom Jong emosi.
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar