Selasa, 11 Januari 2011
A NEW LOVE (새로운 사랑/ Saeroun Sarang)--- Chap 2
Chapter 2
-Lee Yoo-hee-
Kuhempaskan tubuhku di ranjang, berharap dapat menghilangkan bayangan pria itu di benakku. Aku terpaksa meninggalkan pesta lebih awal, karena benar-benar jengah dengan keberadaan pria itu di sampingku. Caranya menatapku, caranya berbicara padaku dan ah....aku tak mau lagi bertemu dengannya. Tapi mengapa kau justru memperkenalkan aku dengannya Dae-jia....
Kembali teringat olehku caranya menyapaku saat Dae-jia telah pergi meninggalkan kami berdua.“Apa kabar Nona keras kepala?” ucapnya diiringi seringai puas dan tatapan tajamnya ke arahku.
“Kabarku baik-baik saja Tuan ‘Pria baik-baik’,” jawabku yang dengan sengaja tak menyembunyikan nada menyindir dalam suaraku. “Senang bertemu dengan Anda”.
“Dari yang kulihat sepertinya tidak begitu” sindirnya.
Brengsek!, ternyata pria ini memang benar-benar menyebalkan. Aku harus mencari cara agar dapat segera menjauh darinya, tapi bagaimana caranya agar tak terkesan seolah-olah aku ingin melarikan diri.
“Kenapa diam saja? Sepertinya kau setuju dengan kata-kataku.”
“Ya, kau benar Tuan—?”
“Kim Nam Gil.”
“Ah...ya, Tuan Kim....aku memang tidak suka bertemu dengan anda karena atau tepatnya aku berharap takkan pernah bertemu dengan anda lagi,” ucapku ketus. Kurasa tak ada gunanya berpura-pura bersikap manis seolah-olah tak ada apa-apa di antara kami. “Dan kuharap anda tidak memperlihatkan diri anda lagi di depanku.”
“Wah...wah..sepertinya permintaan anda terlalu sulit untuk kulakukan Nona Lee, karena kau tahu sendiri, aku juga diundang di acara pernikahan ini, dan sangat tidak mungkin bagiku untuk bisa menghindarimu selama kita masih berada dalam satu hotel yang sama,” ucapnya tenang. “Selain itu, mana boleh mengatakan kita tidak ingin bertemu dengan seseorang seperti yang kau inginkan. Bagaimana kalau tak—,”
“Cukup! Aku sudah bilang bahwa aku tidak ingin bertemu denganmu lagi, apalagi mendengarkan perkataanmu itu, dan kurasa pembicaraan kita tidak ada gunanya, oleh karena itu lebih baik aku permisi dulu,” ucapku memotong pembicaraannya tadi, dan segera berbalik hendak pergi. Tapi, secara tangkas dia menarik lenganku hingga mendekat ke arahnya. Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan heran, sebenarnya apasih yang diinginkannya dariku.
“Aku belum selesai denganmu Nona keras kepala,” ucapnya dengan suara lebih rendah dari biasanya.
“Oke...oke...baiklah, tapi bisakah kau bicara dengan cara yang biasa? Aku tidak ingin orang-orang salah sangka tentang kita,” sahutku panik seraya memperhatikan para tamu yang hadir di samping kami. Dan saat itu juga mataku bersitatap dengan Dae-jia yang sedang memperhatikan kami sambil tersenyum puas. Astaga...tidak, jangan biarkan dia berpikir ada sesuatu antara aku dengan pria ini.
“Aku tidak bisa kalau kau terus saja ingin melarikan diri dari pembicaraan ini.”
“Baiklah, aku akan mendengarkanmu, jadi tolong lepaskan tanganku.” Akhirnya dia melepaskan tanganku yang sejak beberapa menit lalu digenggamnya kuat hingga menimbulkan bekas kemerahan di sana. “Katakanlah apa yang ingin kau katakan, aku tak punya banyak waktu lagi.”
“Begini, Nona—,”
“Nam-gil!,” sela seseorang di samping kami yang menurutku telah ‘menyelamatkanku’ hingga aku bisa melarikan diri dari pria sialan itu, karena akhirnya, Nam-gil begitu ia disapa, asyik mengobrol dengan temannya itu dan sedikit melupakan keberadaanku. Aku segera pergi ke tempat Bibi Yon-su dan Paman Park berada—atau lebih tepatnya ‘melarikan diri’ dari pria itu—lalu berpamitan untuk kembali ke kamar lebih dulu dengan alasan sedikit pusing. Walaupun aku yakin dia akan segera menyadari ketiadaanku setelahnya. Tapi tidak masalah, hari ini aku sudah cukup capek berurusan dengannya. Setelah kejadian siang tadi, ditambah lagi dengan sikap menyebalkannya malam ini, hah....benar-benar membuatku frustasi. Sebenarnya apasih maunya, kupikir aku sudah tak memiliki urusan lagi dengannya, kenapa dia masih ngotot juga, sial. Kuharap esok akan lebih baik dari hari ini, tapi kurasa harapan itu akan sia-sia saja selama aku masih harus bertemu dengan pria itu. Kubenamkan wajahku dibalik bantal sambil menggeram pelan.
***
Hari ini cuaca sangat cerah, itu terlihat dari sinar matahari pagi yang menyelinap masuk melalui jendela kamar berukuran besar di samping tempat tidur, kulihat kordennya telah dibuka lebar. Masih setengah terkantuk dan menyipitkan mataku, kulihat jam di dekat nakas yang menunjukkan pukul 7 pagi.
“Kau sudah bangun rupanya,” kulihat Ibu keluar dari kamar mandi di depanku, “Apa kau sudah baikan?” mendengar pertanyaan Ibu itu dahiku sedikit berkerut dan mencoba mengingat apakah aku sakit, kenapa Ibu bertanya seperti itu dan...ya karena kebohonganku semalam.
“Ah...iya Bu, aku sudah baikan, lagipula tidak ada yang serius cuma sedikit pusing” ucapku merasa bersalah karena telah membohongi Ibu hingga membuatnya khawatir seperti itu.
“Yah, Syukurlah kalau begitu” terlihat jelas kelegaan di wajahnya, semenjak kematian Ayah beberapa tahun lalu, Ibu lah satu-satunya orang di dunia ini yang ingin kubahagiakan. Begitu pula sebaliknya, karena takut kejadian yang menimpa Ayah terulang kembali, Ibu selalu sangat khawatir setiap kali mendengar kalau aku sedang sakit. Ya, Ayah meninggal beberapa tahun lalu karena penyakit kanker otak yang dideritanya, karena Ayah adalah orang yang jarang sekali mengeluh, hingga penyakit itu baru diketahui saat telah mencapai stadium akhir. Dan itu membuat Ibuku terpukul. Maafkan aku Bu...aku telah membohongimu.
“Apa rencanamu hari ini? Kulihat cuaca sangat cerah di luar, berjalan-jalanlah, setidaknya kau akan merasa sedikit tenang,” saran Ibu seakan-akan dia mengerti kegelisahanku. Tapi Ibu salah karena menyarankan hal itu, karena dengan demikian akan semakin memperbesar peluangku untuk bertemu dengan pria sialan itu. Astaga...tanpa sengaja aku kembali mengingatnya, aku benar-benar benci pada diriku sendiri, kenapa pikiranku selalu tertuju padanya. “Yoo-hee?”
“Ah...iya Bu, aku akan mempertimbangkannya” kulihat Ibu telah selesai bersiap mengenakan setelan hijau tua dan rambut digelung rapi di dekat tengkuknya.
“Kau tidak sarapan? Atau perlu kupanggilkan pelayanan kamar untuk membawakan sarapan untukmu ke sini?”
“Tidak usah Bu, biar aku saja yang memesannya kalau aku sudah merasa lapar. Sepertinya Ibu sudah ditunggu Bibi Yon-su,” ujarku saat mendengar ponsel Ibu berdering.
“Ya sudah kalau begitu, Ibu ke bawah dulu ya” ucapnya yang hanya kujawab dengan anggukan.
“Indah sekali” desahku saat memandang pemandangan yang terbentang dari jendela kamarku, pemandangan yang didominasi warna biru laut dan di atasnya terbentang langit biru cerah dengan awan-awan seputih kapas yang saling berderet-deret. Pulau ini memang indah, tidak salah jika banyak orang menjadikannya sebagai tempat berlibur bahkan berbulan madu bagi para pengantin baru. Benar kata Ibu, mungkin dengan berjalan-jalan di pinggir pantai yang indah itu hatiku akan menjadi lebih tentram. Lagipula tak ada gunanya melarikan diri dari masalah. Aku segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap-siap.
Perjalanan ke pantai tidak memakan waktu cukup lama, hanya dengan berjalan kaki selama beberapa menit aku pun sampai. Pantai ini begitu indah dengan pasir putih terbentang di sepanjang pantai, karena masih pagi sinar matahari tidak terlalu terik dan pantai pun masih sepi dari pengunjung. Aku mendesah lega dan memandang jauh ke arah pantai. Teringat kembali olehku kenangan manis saat aku dan Kak Hyun-jae sedang berlibur ke Pulau Jeju, kala itu kami sedang menikmati libur akhir semester dan merayakan kelulusan kekasihku, kami memutuskan untuk berlibur di Pulau Jeju bersama beberapa orang teman. Walaupun saat itu kami tidak menginap di hotel mewah seperti sekarang, acara liburan kami sangatlah menyenangkan hingga terlintas dalam benakku untuk memilih Jeju sebagai tempat bulan madu kami, yang disambut oleh anggukan setuju dan senyum terbaik Kak Hyun-jae. Tapi tak kusangka itu adalah liburan terakhir kami di Pulau Jeju. Aku sangat merindukanmu Kak, teganya kau meninggalkanku seorang diri, apakah kau mendengarku?...
“Pantainya memang indah” aku sempat terlonjak kaget saat mendengar ada suara seseorang yang tidak asing lagi di dekatku.
“Kak Hea-in?” Kak Hea-in adalah salah satu sahabat Kak Hyun-jae, sudah lama sekali kami tak bertemu sejak kematian kekasihku itu.
“Bagaimana kabarmu Yoo-hee?” ucapnya seraya tersenyum hangat.
“Aku baik-baik saja Kak, sudah lama kita tak bertemu, sedang apa kau di sini?”
“Aku sedang berbulan madu.”
“Bulan madu? Memangnya kapan kau menikah? Kenapa tak mengabariku?”
“Tanyanya pelan-pelan saja Yoo-hee, dua minggu yang lalu aku menikah, maaf aku memang tak banyak mengundang tamu hanya beberapa keluarga dekat saja.”
“Oh..astaga, aku sampai lupa belum mengucapkan selamat, selamat ya Kak, semoga pernikahanmu langgeng sampai kakek-kakek dan nenek-nenek.”
“Terima kasih, tapi apakah kau tidak ingin tahu siapa suamiku itu?”
“Me..memangnya siapa? Apakah aku mengenalnya?”
“Ya, kau sangat mengenalnya Yoo-hee,” ucapnya bersemangat dan dengan kebahagiaan yang tak disembunyikan, terlihat rasa cinta yang amat dalam dari matanya yang berbinar-binar saat membicarakannya. “Kau tidak perlu bingung seperti itu Sayang, lihatlah di belakangmu dia sedang menuju kemari.” Aku sedikit menyipitkan mataku saat memandang ke belakang terlihat seorang pria tampan memakai kemeja pantai dan celana pendek selutut sedang menuju ke arah kami. “Sayang...kemarilah, lihat siapa yang kutemukan,” panggil Kak Hea-in sambil melambaikan tangan ke arah suaminya itu. Setelah pria itu berada cukup dekat dengan kami aku baru menyadarinya.
“Hai Yoo-hee...” kata pria itu sambil tersenyum ramah ke arahku.
“Dong-hae? Astaga...bagaimana bisa aku tidak mendengar kabar pernikahan kalian?”
Dong-hae adalah salah satu temanku saat kuliah dulu, bagaimana bisa aku tidak mendengar kabar pernikahannya dengan Kak Hea-in yang notabene adalah kakak tingkatnya sendiri. Aku jadi teringat kembali saat liburan dulu, Kak Hea-in dan Dong-hae adalah beberapa orang yang ikut dalam rombongan kami, jangan-jangan sejak saat itukah mereka mulai menjalin hubungan. Tapi bagaimana bisa aku tak menyadarinya.
“Kau sedang memikirkan apa?” pertanyaan Kak Hea-in menyadarkanku.
“Ah...tidak ada Kak, aku cuma mau mengucapkan selamat dan aku ikut senang dengan pernikahan kalian,” ucapku tulus dan disambut oleh senyum hangat dari keduanya. Mereka terlihat serasi, walaupun usia Kak Hea-in yang satu tahun lebih tua dari Dong-hae tapi tak menghilangkan tingkat keserasian di antara mereka. Kami pun berbincang-bincang santai sambil bernostalgia saat mengingat perjalanan kami ke Pulau Jeju saat itu, dan ternyata benar dugaanku. Sejak saat itulah mereka berdua semakin dekat hingga akhirnya menjalin hubungan dan menikah. Aku bersyukur mereka berdua sama sekali tak menyinggung tentang kematian Kak Hyun-jae, karena aku takut tak akan bisa menahan kesedihanku di depan mereka dan pasti hal itu akan merusak kebahagiaan mereka berdua saat ini. Saat kulirik jam tanganku tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang, pantas saja sinar matahari sudah sangat terik dan pengunjung pun sudah mulai berdatangan.
“Kak, aku permisi dulu. Hari sudah siang, dan aku sudah kepanasan di sini.”
“Yah, sayang sekali, padahal masih banyak yang ingin kubicarakan denganmu. Ya sudah kalau begitu, sampaikan salamku dan ucapan selamatku pada adik sepupumu Dae-jia atas pernikahannya.”
“Ya, nanti akan kusampaikan,” ucapku sambil berbalik dan meninggalkan pasangan berbahagia tersebut dan menuju ke salah satu restoran.
“Kak!” panggil seseorang dari salah satu meja restoran di sampingku. Sontak aku menoleh ke arah si pemanggil dan kulihat Dae-jia dan calon suaminya Si-won serta Shin-woo dan kekasihnya Eun-hyuk sedang duduk di salah satu meja restoran tersebut. Selain itu ada seseorang lagi yang duduk membelakangiku dan...oh tidak, kupikir hari ini adalah hari keberuntunganku, tapi ternyata aku salah pria sialan itu ada bersama mereka. “Makanlah bersama kami,” ajaknya sambil menunjuk kursi kosong di sebelah pria itu. Aku benar-benar tersudut saat itu, ingin rasanya aku menolak permintaan Dae-jia dan memilih untuk memakan makan siangku di kamar, tapi aku tak ingin melarikan diri lagi. Hingga aku hanya bisa mengangguk lemah ke arah Dae-jia, yang sedang menunggu jawaban dariku dan berjalan enggan ke arah meja mereka.
“Kenapa sendirian Kak? Dimana Bibi?” tanya Shin-woo yang duduk di sebelah Eun-hyuk kekasihnya.
“Ibu sedang bersama Bibi Yon-su sejak pagi, dan aku kebetulan sedang berjalan-jalan di pinggir pantai.”
“Oh...begitu rupanya. Duduklah!”
Aku pun duduk di kursi itu dan sama sekali tak melirik pria yang duduk di sampingku. Aku yakin dia sangat marah karena aku tiba-tiba saja meninggalkannya semalam. Atau mungkin dia merasa sangat puas karena berhasil membuatku melarikan diri ketakutan terhadapnya, bagaikan anak ayam yang takut dimakan musang.
“Kurasa Dae-jia sudah memperkenalkan saudaraku padamu Kak,” ucap Si-won kemudian dan aku tahu yang dimaksudkannya adalah pria yang duduk di sampingku itu.
“Ah..ya,” ucapku singkat.
“Dan kulihat kalian sudah sangat akrab semalam,” goda Dae-jia sambil melirik penuh arti ke arahku. Jadi benar Dae-jia sudah salah sangka terhadap hubungan kami. Aku hanya bisa diam tak berkomentar dan melirik pria itu sekilas dengan sudut mataku tapi ekspresi pria itu tak terbaca.
“Ya, kami memang sangat akrab, benarkan Nona Lee?” ucapnya sambil menatapku lekat-lekat dan hanya kujawab dengan senyum kikuk ke arahnya. Selama makan siang berlangsung, aku hanya bisa diam memperhatikan obrolan mereka dan menanggapi bila ada yang bertanya kepadaku. Kuusahkan untuk cepat menyelesaikan makanku, karena aku tak ingin berlama-lama lagi berada di sampingnya. Setelah menyelesaikan makanku, aku segera pamit kepada mereka untuk kembali ke kamar, tapi sialnya—seperti yang kuduga—pria itu tak akan begitu saja melepaskanku.
“Aku juga akan kembali ke kamar, bukankah kamar kita di lantai yang sama, bagaimana kalau kita ke atas bersama,” ajaknya yang tak mungkin kutolak dengan keberadaan Dae-jia dan yang lainnya di sana, Sial.
“Mengapa kau melarikan diri semalam?” ucapnya membuka pembicaraan setelah kami berdua berada di dalam lift. “Ternyata selain keras kepala, kau punya sifat buruk lain Nona pembohong.”
“Bisakah kau memanggil namaku dengan baik?”
“Tidak, aku tidak bisa bila dengan dirimu, karena kau selalu saja membuatku kesal dengan perbuatanmu. Baru saja kau berjanji tidak akan melarikan diri, tapi sedetik selanjutnya kau sudah pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku.”
“Kau terlalu melebih-lebihkan, bukankah semalam kau sedang asyik mengobrol dengan temanmu? Jadi tidak salah kan kalau aku—,”
“Kau salah Nona, bukankah aku sudah bilang padamu bahwa masih ada urusan yang harus kubicarakan denganmu, tapi kau malah pergi meninggalkanku begitu saja, dasar pengecut!!” potongnya sambil berjalan mendekatiku hingga aku tersudut di pojok. Oh Tuhan...dia melakukan ini lagi, aku benar-benar tak sanggup berbicara bila sudah begini.“Aku tak akan membiarkan kau pergi lagi,” bisiknya di telingaku.
Merasakan nafasnya yang hangat di kulitku membuatku membeku dan tak bisa berkata apa-apa. Mengapa aku begitu lemah bila di dekatnya, aroma tubuhnya yang maskulin memenuhi rongga penciumanku. Dada bidangnya yang terbalut kaos hitam melekat tak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ideal. Pria ini memang tampan tapi entah mengapa aku selalu merasa tak nyaman berada di dekatnya, seakan-akan perutku yang baru saja terisi makanan akan berbalik dan tumpah begitu saja. Karena aku yakin dia sanggup melakukan apapun yang ingin dia lakukan sekalipun itu di luar nalar. “Kau—,” kata-kataku terhenti saat tiba-tiba pintu lift terbuka dan ada beberapa orang yang masuk. Syukurlah aku kembali terselamatkan oleh orang-orang ini. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika aku tetap berdua dengan singa yang sedang mengamuk ini. Aku pun beringsut menjauhinya, saat kami sampai di lantai 5—tempat kamar kami berada—aku segera mengambil langkah cepat dan tak menoleh sedikit pun, untuk menghindarinya selagi mungkin.
***
“Kau sudah siap?” tanya Ibu.
“Sebentar Bu, hanya tinggal memakai lipstik saja. Kalau Ibu mau berangkat duluan tidak apa-apa nanti aku menyusul,” sahutku sambil terus merapikan dandananku. Malam ini adalah pesta pernikahan Dae-jia dan Si-won. Kalau bukan karena Dae-jia aku tak mungkin mau datang ke pesta pernikahan ini, aku benar-benar jengah kalau harus bertemu dengan pria sialan itu lagi. Kenapa dia selalu menggangguku seperti ini, memangnya apa salahku?.
“Yah, kalau begitu Ibu berangkat dulu saja,” kata Ibu yang kujawab dengan anggukan. Setelah kurasakan penampilanku sempurna dengan mengenakan gaun putih panjang dan rambut yang dibiarkan terurai serta dandanan minimalis, aku segera beranjak ke pesta pernikahan yang diadakan di aula pertemuan besar di hotel ini.
Aula besar itu kini telah disulap menjadi gedung pernikahan yang indah dan megah bernuansa warna merah maron dan dihiasi bunga mawar merah dan putih. Di bagian depan, terdapat altar indah berhiaskan bunga-bunga di sekelilingnya. Kursi-kursi undangan ditata dengan rapi dengan karpet merah ditengah-tengah yang memisahkan sisi kanan dan kiri. Para undangan pun sudah hampir memenuhi aula besar itu dan tengah menunggu acara pernikahan dimulai. Begitu pula sang pengantin pria—Choi Si-won—telah siap di depan altar pernikahan yang terlihat sangat tampan dan gagah bagaikan pangeran berkuda putih—seperti yang pernah diimpikan Dae-jia kecil untuk melamarnya—memakai jas putih elegan, tengah berbincang dengan Tuan Choi dan tentu saja sedang menunggu sang mempelai wanita. Setelah menemukan sosok Ibu yang duduk di deretan kursi nomer dua dari depan, aku segera menghampirinya dan mengambil tempat duduk kosong di sebelahnya.
Acara pernikahan pun dimulai, saat sang mempelai wanita—Dae-jia—tiba dan menuju altar pernikahan dengan didampingi paman Park. Dae-jia terlihat sangat cantik dibalut pakaian pengantin putih gading yang sangat indah. Mereka mengucapkan janji pernikahan suci di depan altar, pesta pernikahan ini berjalan dengan sakral dan penuh kebahagiaan. Kulihat sekilas Bibi Yon-su menitikkan air mata haru karena saat ini putri semata wayangnya telah resmi dipersunting orang lain. Prosesi pernikahan itu diakhiri dengan ciuman mesra sang mempelai yang menunjukkan bahwa kini mereka telah resmi menjadi suami istri, kemudian pesta itu dilanjutkan dengan acara ramah-tamah dengan disajikan berbagai menu makanan baik tradisional maupun internasional di deretan meja panjang bagian belakang. Ucapan selamat pun mengalir tiada henti pada Dae-jia dan suaminya yang tengah berbahagia. Suasana sakral dan khidmat kini berubah menjadi lebih meriah dan santai dengan diiringi musik klasik yang mengalun lembut.
“Selamat ya Sayang,” ucapku tulus seraya memeluk adik sepupuku itu, yang kini telah resmi menjadi Nyonya Choi.“Semoga pernikahan kalian diberkahi Tuhan dan langgeng sampai akhir khayat. Ah...ya, satu lagi semoga cepat mendapat momongan.”
“Terima kasih Kak, Amin. Kau juga harus cepat menyusul kami,” ucapnya sambil balas memelukku erat. Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Ya, sudah beberapa kali Ibu memintaku untuk segera menjalin hubungan dengan pria lain dan menikah. Walaupun tidak disampaikan dengan cara yang memaksa dan menuntut tetapi aku mengerti bagaimana perasaan Ibu yang ingin putrinya segera menikah dan memberikan keturunan. Maafkan aku Bu, sampai sekarang aku belum bisa melupakan kejadian pahit tiga tahun yang lalu.
Setelah menyampaikan selamat pada kedua mempelai, aku segera bergabung dengan para tamu yang lain untuk menyantap kudapan yang telah disediakan. Namun, sebelum sampai di sana kurasakan seseorang menggamit lenganku dan menarikku untuk mengikutinya. Seperti yang sudah kuduga, ternyata pria sialan itu yang melakukannya. Ingin rasanya aku marah padanya, tapi aku tak ingin merusak acara pernikahan indah ini dengan emosiku.
“Apa yang kau inginkan?” tanyaku setelah kami sampai di pinggir ruangan. Tapi dia hanya diam dan menatapku lekat-lekat. Sebenarnya apa yang diinginkan pria ini, kenapa dia tak pernah berhenti menggangguku. “Katakanlah apa yang ingin kau katakan padaku, aku ingin urusan kita selesai secepatnya, aku janji tidak akan melarikan diri lagi.” Alih-alih menjawab dia malah mengambil sesuatu dari saku celananya yang berupa kotak beledu kecil berwarna hitam dan diserahkannya ke arahku.
“Ini,” ucapnya singkat yang membuatku membelalak kaget karenanya. Apa maksudnya ini. Mengapa dia malah memberikan hadiah ini kepadaku. Bukankah kami bermusuhan. Tidak, apakah ini suatu pertanda buruk. Apakah dia sedang mempermainkanku. Karena aku tak kunjung menerimanya, dia memegang tangan kananku dan meletakkan kotak itu sendiri di sana. Aku yang masih kaget dan bingung dengan semua ini hanya bisa menatapnya dengan pandangan penuh tanya. “Bukalah!” lanjutnya.
“Ta...tapi—,”
“Apa kau tidak mendengarku?” potongnya, “bukalah!”
Oh Tuhan....apa-apaan ini. Aku benar-benar tak mengerti. Haruskah aku membukanya. “Kau...tak bermaksud mempermainkanku bukan?”
“Apa perlu aku yang membukanya,” sergahnya.
~ to be continued......
By Yuli ~Admin Lee~
Label:
Fanfiction,
Kim Nam Gil,
TBC
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar