Senin, 17 Januari 2011

THE REINCARNATION - Chap 15 - Fanfiction BIDEOK / NAMWON -

CHAPTER 15



Cast :

Bi Dam : Kim Nam Gil                             
Deokman : Lee Yo Won

Mi Shil : Go Hyun Jung                           
King Jin Pyeong : Lee Min Ki
Kim Min Sun : NAMA ASLI


---------------------------------------------------------


- Lee Yo Won - 19 Februari 2011 -       

“Ada apa? Kau terlihat tidak bersemangat hari ini,” komentar Ayah. “Apa kau sedang tidak sehat?”

Aku berhenti memain-mainkan makanan di mangkukku, dan menatap Ayah sambil memaksakan senyum. “Tidak, aku baik-baik saja. hanya sedang memikirkan sesuatu,” jawabku.

“Apakah ada yang bisa kubantu?” tawarnya.

Tidak ada. Kecuali Ayah bisa membuang gadis bernama Kim Min Sun ke luar angkasa! Aku mendengus menertawakan diri sendiri saat terpikir mengenai hal gila itu. Tapi masalahnya aku benar-benar kesal, muak, dan marah pada gadis itu. Berani-beraninya dia mencium Nam Gil begitu saja. Di depan umum. Di hadapanku! Apa dia ingin menantangku!? Ya, aku dan Nam Gil memang tidak berpacaran, tapi setidaknya dia harus menghormati keberadaanku waktu itu. Seharusnya dia tidak menggoda Nam Gil. Seharusnya dia tidak mencium Nam Gil!

Hatiku seolah diremas kuat saat melihat adegan itu terjadi tepat di depan mataku. Hanya beberapa menit setelah aku bersenang-senang dengan Nam Gil. Di saat aku sedang mempertimbangkan untuk menyatakan perasaanku, tiba-tiba saja gadis itu muncul lalu mencium Nam Gil dengan entengnya! 

“Yo Won?” tegur Ayah sambil memperhatikan tangan kananku. Ternyata tanpa sadar aku telah meremas taplak meja kuat-kuat. “Sebenarnya ada masalah apa?”

“Hanya masalah dengan… temanku. Bukan masalah besar,” kataku menenangkannya. Kurasakan ponselku bergetar di dalam saku celana jinsku. “Ah, ada telepon,” kataku sambil beranjak pergi menjauh dari meja makan. “Halo?”

“Yo Won?” Itu suara Nam Gil.


Aku menghembuskan napas pelan. Semenjak hari itu aku terus berusaha menghindarinya. Aku tahu ciuman itu bukan salah Nam Gil. Gadis tak tahu malu yang dijelaskan Nam Gil sebagai keponakan ibu tirinya itu yang menciumnya. Dan aku juga melihat sendiri Nam Gil langsung mendorongnya. Tapi tetap saja… aku merasa kesal, marah, dan… cemburu. Aku tidak suka Nam Gil begitu intim dengan gadis lain. Aku tidak suka!

“Halo? Yo Won?” panggil Nam Gil.

Mungkin sudah saatnya aku berhenti mengambek seperti anak kecil. “Ya?”

Hening sebentar, sebelum Nam Gil mulai mengeluarkan suara. “Ada apa? Di sekolah kau terus menghindariku. Telepon dan SMSku pun tidak kau balas,” katanya dengan gabungan nada cemas dan kesal. “Kau marah padaku?”

Aku langsung merasa malu sendiri. Yah, bagaimana bisa aku marah karena gadis lain mencium pemuda yang bukan siapa-siapaku? Hah… “Tidak,” bantahku.

“Kau bohong,” katanya. “Kalau tidak, kau tidak akan menghindariku seperti ini.”

“Kau menelepon hanya untuk mengintrogasiku?” gerutuku.

“Tidak. Aku ingin bicara denganmu. Bisakah kita bertemu?”

Hatiku serasa bergetar mendengar suara membujuk Nam Gil. sejujurnya aku merindukannya. “Baiklah. Kapan? Siang ini?” tanyaku sambil berusaha menyembunyikan kegembiraan dan ketidak sabaranku untuk segera bertemu dengannya.

“Bisakah kita keluar malam ini?” tanya Nam Gil antusias.

“Kurasa bisa,” jawabku. “Malam ini aku menginap di rumah Ayahku lagi.”

“Bagus. Baiklah, aku akan menjemputmu ke sana jam delapan malam ini.”

“Aku akan menunggumu.”



Tepat jam delapan malam Nam Gil sampai ke rumahku. “Ayo masuk,” ajakku, saat membukakan pintu untuknya. “Maaf, sebentar lagi aku siap,” kataku.

“Ya, tidak apa-apa,” sahut Nam Gil diiringi dengan senyum khasnya. “Selamat malam, Tuan Lee,” sapanya pada Ayah yang baru saja keluar dari ruang kerjanya.

“Selamat malam,” sahut Ayah ramah.

“Tunggu sebentar, aku akan mengambil jaket dan tasku,” kataku pada Nam Gil sebelum berlari menaiki tangga ke lantai dua.

Saat aku kembali dengan barang-barang yang kuambil tadi, aku mendengar Nam Gil menyebutkan alamat rumahnya. Rupanya Ayah menanyainya. Astaga, aku lupa… Ayah belum tahu kalau Nam Gil keponakan Bibi Hyun Jung! aku memang tidak mempermasalahkannya, karena toh dia hanya keponakannya, tapi… bagaimana reaksi Ayah?

“Bukankah itu… alamat keluarga Go?” tanya Ayah kaget.

“Aku sudah siap,” aku buru-buru muncul. “Ayah, kami pergi,” kataku sambil menarik Nam Gil.

“Eh, ya,” Nam Gil tetap menjawab. “Benar. Kudengar Bibiku saudara tirimu,” lanjutnya.

Ayah tersentak kaget. “Bibimu? Kau keponakan Hyun Jung?”

Nam Gil berdeham, lalu mengiyakan.

“Ini sudah malam,” kataku. “Ayo kita pergi. Ayah, aku pergi dulu.”

“Ya… eh, ya…” sahut Ayah masih dengan terperangah. “Hati-hati dan jangan terlalu malam,” pesannya.

“Tenang saja Tuan Lee, aku akan menjaga Yo Won,” janji Nam Gil.



“Bukankah ini jalan menuju sekolah?” tanyaku di dekat telinganya yang tertutup helm.

“Benar,” seru Nam Gil menjawab pertanyaanku.

“Sebenarnya kita akan pergi ke mana?” tanyaku lagi.

“Tunggu dan lihat saja nanti,” jawabnya sambil mempercepat laju motornya.

“Ini memang sekolah,” komentarku setelah sampai dan Nam Gil memarkirkan motornya di  dekat tembok belakang sekolah. “Mau apa kita ke sini malam-malam begini?”

Nam Gil melepas helmnya sambil menyeringai. “Tenang saja, aku tidak berniat buruk,” katanya.

“Aku tahu itu. tapi untuk apa kemari?” tanyaku setelah ikut melepas helmku.

“Ayo kita memanjat seperti saat membolos hari itu,” ajaknya.

“Kau gila? Kita menerobos sekolah malam-malam begini?” protesku.

“Ayolah, naiki punggungku seperti waktu itu,” desaknya sambil membungkuk.

Aku menunduk dan melirik sepatu hak tinggiku. “Sepatuku,” gumamku. “Aku tidak menyangka kau akan mengajakku memanjat-manjat tembok malam ini,” keluhku sambil melepas sepatu.

Nam Gil tertawa. “Ayo cepat,” desaknya.

Seperti hari itu, aku menaiki punggung Nam Gil lalu memanjat tembok. setelah aku duduk dengan aman di atasnya, barulah Nam Gil ikut memanjat naik dan kemudian kami melompat bersamaan ke bawah.

“Sepatuku! Tertinggal di luar,” seruku, baru teringat.

Nam Gil menatap kaki-kakiku, lalu berputar memunggungiku. “Naiklah,” perintahnya. “Ayo, naik ke punggungku.”

Getaran itu kembali menggelitik hatiku, dan sejurus kemudian berubah menjadi debaran kencang. “Eh, tidak usah, tidak apa-apa,” kataku canggung.

“Ayo!” paksanya.

Dengan sedikit malu tapi juga senang, aku melompat ke punggung Nam Gil, kemudian melingkari pinggangnya dengan kakiku dan mengalungkan kedua lenganku di lehernya.

“Kau ringan sekali,” komentar Nam Gil. “Siap?” tanyanya. Tapi sebelum aku sempat menjawab “ya”, dia sudah membawaku berlari dengan cepat hingga membuatku berteriak-teriak ngeri.

“Nam Gil! Nam Gil! berhenti!” jeritku saat dia tetap menggendongku dengan berlari ketika menaiki tangga samping yang bisa dijadikan jalur alternatif menuju atap.

Nam Gil tertawa terbahak-bahak sambil menurunkanku dari gendongannya ketika akhirnya kami sampai di atap.

Aku memukul punggungnya dengan gemas. “Kau gila, ya? Bagaimana kalau aku jatuh?” gerutuku.

Nam Gil tersenyum geli. “Mana mungkin aku membiarkanmu celaka?” Walaupun dia mengucapkannya dengan gaya bercanda, tapi aku mendengar keseriusannya.

“Jadi, untuk apa kau membawaku kemari?” tanyaku masih berpura-pura marah.

Nam Gil meraih tanganku, lalu dituntunnya aku ke salah satu sisi pagar pendek yang mengelilingi atap. “Bukankah kau bilang kau suka benda-benda berbentuk bintang?” tanyanya.

“Yah, ya,” jawabku.

Nam Gil tersenyum sambil menatap tajam mataku. “Karena itu, kurasa kau akan lebih suka melihat bintang yang asli,” katanya sambil menunjuk langit gelap yang ditaburi bintang yang berkilau bagai permata. “Ini balasan untuk cokelat bintangmu,” tambahnya.

Aku memandangi permata-permata langit itu dengan kagum. Entah kenapa aku sangat suka bintang. mungkin karena sejak kecil Ibu sering mengajakku melihat bintang. aku menoleh ke arah Nam Gil, dan melihatnya sedang memandangiku dengan sorot penuh kasih. Tanpa dapat dicegah jantungku langsung berdebar-debar.

“Terima kasih,” kataku sambil balas menatapnya dengan tajam. “Aku suka.” Bukan hanya bintang-bintangnya, melainkan dirinya juga. Aku menyukainya. Aku… kurasa aku… jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada ketegarannya. Aku jatuh cinta pada keberaniannya. Aku jatuh cinta pada tekad kuatnya. Aku jatuh cinta pada sorot matanya saat memandangku. Aku jatuh cinta pada senyumnya untukku. Aku jatuh cinta pada perlakuannya padaku. Aku jatuh cinta padanya.

Nam Gil tersenyum. Diremasnya tanganku yang berada dalam genggamannya. “Aku rasa kau menyadari bahwa selama ini aku menganggapmu istimewa,” katanya. “Kau berbeda. Orang lain meremehkanku, tapi kau berkata bahwa kau kagum padaku. Orang lain takut padaku, tapi kau terlihat nyaman bersamaku. Orang lain meragukan dan menuduhku, tapi kau tetap mempercayaiku.”

“Nam Gil—“

“Tunggu, biar kuselesaikan,” pintanya. “Aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu. Kelebihan dan kekuranganmu. Keseluruhan dirimu. Kurasa aku sudah jatuh cinta padamu.”

Hatiku terasa hangat mendengar ketulusan yang terpancar dari kata-katanya. Selama ini aku sudah menyadari perasaannya padaku, tapi saat mendengarnya secara langsung seperti sekarang, membuatku tak bisa berkata-kata selama beberapa saat.

Tapi, inilah saat yang paling tepat untuk menyatakan perasaanku padanya. “Aku juga. Aku juga jatuh cinta padamu,” kataku jujur. “Mungkin bagi orang lain kau jahat, menakutkan, atau apapun  itu… tapi aku tidak perduli anggapan mereka. Karena kau yang kukenal berbeda dengan anggapan mereka. Mungkin kau tidak sempurna—karena tak ada orang yang sempurna—tapi kau sempurna untukku.”

Sorot mata Nam Gil semakin lembut. “Terima kasih, karena menyukaiku apa adanya,” gumamnya.

Aku tersenyum. “Terima kasih juga, karena sudah memilihku untuk menerima hatimu,” kataku tulus.

Selama beberapa saat kami hanya berdiri diam dibawah langit malam yang ditaburi bintang sambil bertatapan dan berpegangan tangan dengan erat. Rasanya begitu… tepat. Entah kenapa. Aku yakin jatuh cinta pasti terasa membahagiakan seperti ini, tapi… sepertinya ada sesuatu yang lain, yang membuat apa yang kurasakan saat ini menjadi lebih sempurna. Yang kurasakan ini seperti… kelegaan, juga rasa puas. Seolah aku sudah menanti ini sejak lama sekali.

Sejam kemudian kami habiskan dengan berbaring di atap. Mengobrol sambil memandangi kilauan bintang.

“Tanganmu tidak pegal?” tanyaku, karena selama berbaring di sini, aku menggunakan lengan Nam Gil sebagai bantalku.

Nam Gil menoleh ke arahku sambil tersenyum. “Tidak. Aku senang kau di dekatku,” katanya, membuatku senang sekaligus tersipu malu.

Tiba-tiba aku teringat pada gadis itu. “Emm… apa kau pernah bertemu gadis itu lagi setelah hari—“

“Tidak,” potong Nam Gil. “Tidak pernah. Dan kuharap tidak akan lagi. Aku tidak tahu dia dirasuki kegilaan apa hari itu sampai menciumku,” gerutunya.

“Kau tidak suka ciumannya?” selidikku.

“Dia bukan dirimu, bagaimana mungkin aku menyukai ciumannya?”

Mendengar perkataannya membuat hatiku serasa dirambati getaran manis itu lagi. Nam Gil sama sekali tidak tergoda pada gadis itu. Tanpa dapat dicegah, aku langsung tersenyum puas.

“Karena dia, kau marah dan menjauhiku beberapa hari ini, kan?” tanya Nam Gil tiba-tiba.

Aku tersentak kaget dan malu. “Kenapa mengira begitu?” elakku, sambil duduk.

Nam Gil ikut bangkit dan duduk di sebelahku. “Memangnya tidak?” gerutunya. “Padahal aku sudah senang memikirkan kau cemburu padaku.”

Aku meninju lengannya pelan. “Jadi kau senang melihatku cemburu!?” tanyaku pura-pura marah.

Nam Gil menyeringai. “Karena itu artinya kau perduli padaku,” jawabnya.

Aku mencondongkan tubuh ke arahnya dan melotot.  “Sekarang kau milikku. Awas kalau aku melihatmu berciuman dengan gadis lain lagi!” ancamku. Walaupun kuucapkan dengan gaya bercanda, tapi aku serius dengan perkataanku.

Seringai Nam Gil semakin lebar. Dia ikut mencondongkan tubuh ke arahku. “Kau juga milikku. Awas kalau aku melihatmu tebar pesona pada pria lain!” katanya, ikut mengancam dengan serius.

“Aku tidak pernah tebar pesona!” protesku

“Yah, tanpa kau sadari,” sahut Nam Gil dengan nada kesal. “kau bersikap sangat akrab pada semua teman priamu.”

“Bukankah wajar saja? mereka kan temanku?”

“Tapi aku tidak suka!” kata Nam Gil berkeras. “Bagaimana kalau mereka salah mengartikan kebaikanmu? Bagaimana kalau mereka besar kepala dan mengira kau menyukai mereka? Bagaimana kalau kemudian mereka mulai merayumu?”

Aku berusaha menahan senyum geliku mendengar Nam Gil begitu terganggu dengan sikapku pada teman-teman yang lain. “Kita baru mulai berpacaran kurang lebih sejam yang lalu, dan sudah bertengkar,” olokku.

“Aku tidak bermaksud memulai pertengkaran,” bantahnya segera.

“Begini,” kataku sambil menatap tajam matanya. “Bagaimana kalau situasinya dibalik. Bagaimana kalau kau bersikap ramah pada teman-teman wanitamu, lalu mereka menyalah artikannya dengan mengira kau menyukai mereka, kemudian merayumu? Apa reaksimu?”

“Tentu saja aku akan menolak mereka dengan tegas!” kata Nam gil berapi-api. “Aku sudah memilikimu. Untuk apa aku memerlukan mereka?”

Aku memukul dada Nam Gil dengan pelan. “Nah! Itu juga yang akan kulakukan,” kataku serius. “Akan kukatakan pada mereka, bahwa aku hanya menganggap mereka teman biasa. Karena tempat istimewa di hatiku sudah diisi olehmu.”

Nam Gil tersenyum salah tingkah. “Aku senang mendengarmu berkata semanis ini,” gumamnya.

Aku juga menjadi salah tingkah. Tidak setiap hari aku mengeluarkan banyak kata-kata “manis” seperti malam ini, tentu saja aku jadi merasa canggung. “Hmm, dari sini bintangnya terlihat indah,” gumamku, sengaja mengalihkan pembicaraan.

“Aku yakin kau akan suka,” kata Nam Gil sambil memandangi langit. “Beberapa tahun lalu aku kemari di malam hari, ketika ulang tahunku. Saat itu semua masalahku seolah terhapuskan oleh kekaguman pada pemandangan langit dari tempat ini.”

Aku menoleh ke arahnya. “Di hari ulang tahunmu? Untuk apa kau kemari malam-malam?” tanyaku heran. “ah, aku bahkan tidak tahu tanggal lahirmu,” tiba-tiba aku teringat telah melupakan hal penting itu.

Nam Gil mengalihkan perhatiannya dari langit untuk memandangku. “13 Maret. Kau? Kapan ulang tahunmu?”

“9 April,” jawabku. Hmm, 13 Maret. Hadiah apa yang akan kuberikan padanya nanti? “Kau belum menjawab pertanyaanku yang lain. untuk apa kau menyelinap masuk ke sekolah malam-malam di hari ulang tahunmu?”

Nam Gil kembali memandangi langit. “Saat itu aku masih kelas tiga SMP. Aku belum menjadi murid di sini, tetapi karena berlatih taekwondo bersama guru Jung semenjak kelas satu, maka aku sudah hapal dengan tempat ini,” katanya mulai bercerita. “Malam itu aku bertengkar dengan Ibuku, lalu aku pergi dari rumah tanpa tujuan, dan tanpa sadar aku sudah sampai di depan sekolah. Aku memanjat masuk, lalu naik ke tempat ini. begitulah, semenjak itu atap ini menjadi tempat favoritku saat sedang suntuk. Baik siang ataupun malam hari.”

Selama beberapa menit aku tak bersuara karena tampaknya Nam Gil butuh keheningan, tapi aku menjadi bertanya-tanya. Apa yang membuat Nam Gil bertengkar dengan ibunya di hari ulang tahunnya? Kupikir semenjak bayi Nam Gil tidak pernah lagi bertemu ibunya, tapi ternyata… apakah saat SMP Nam Gil sempat tinggal bersama ibu kandungnya?

“Kenapa mengerutkan kening begitu?” tanya Nam Gil tiba-tiba sambil menyentuh keningku dengan telunjuknya.

“Apa kau keberatan kalau aku bertanya?” tanyaku, dan dijawab dengan gelengan kepala Nam Gil. “Kau bilang kau kemari setelah bertengkar dengan ibumu. Aku hanya heran, karena kupikir selama ini kau tak pernah bertemu dengannya semenjak kecil,” kataku.

Rahang Nam Gil mengeras saat menatapku tajam. “Mungkin sudah saatnya aku menceritakan rahasia keluargaku padamu,” katanya. “Saat di tempat karaoke itu aku belum menceritakan semuanya,” tambahnya menjelaskan.

Aku menumpangkan tanganku di tangannya. “Tidak perlu,” kataku lembut. “Kalau kau tidak nyaman mengingatnya, aku tidak keberatan kau tidak menceritakannya.”

Nam Gil menggenggam tanganku. “Tidak apa,” kata Nam Gil. “Kau bukan orang asing bagiku. aku ingin tak ada rahasia di antara kita.”

Dadaku terasa nyeri dengan tusukan rasa bersalah. Nam Gil tak ingin ada rahasia diantara kami, padahal aku merahasiakan kebencianku pada Bibinya, juga rencana bodohku yang sempat ingin memanfaatkannya. Nanti aku pasti akan menceritakannya, di saat kurasa waktunya sudah tepat. Tapi bisakah Nam Gil memaafkanku saat itu?

“Go Hyun Jung bukanlah Bibiku,” kata Nam Gil, menyentakku dari lamunan. “Dia Ibuku. Dialah wanita selingkuhan Ayahku.”



To Be Continued...

by Destira ~ Admin Park ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar