Sabtu, 22 Januari 2011

LOVING YOU...(One Shot)

LOVING YOU...(One Shot)




Cast:
Nytha Sekar as Lee Young-in
Cho Kyun-hyun as him self
Kim Nam-gil as him self
Yuli ~Admin Lee~ (Author) as Lee Yoo-hee
Miya (Teresia Dian) as Shin Yuri



-Lee Young-in-

Hari ini, hari Minggu yang cerah, secerah suasana hatiku. Seseorang yang kutunggu-tunggu akan segera tiba, seseorang yang sanggup membuat hatiku bergetar saat melihatnya. Sudah lama sekali aku memendam rasa sukaku padanya, karena aku tahu tak mungkin dia akan menerima cinta dari anak kecil sepertiku. Tapi tidak, itu 5 tahun yang lalu, sekarang aku sudah dewasa, umurku sudah 18 tahun dan aku bukan anak kecil lagi. Kembali kuperiksa dandananku di depan cermin, aku harus terlihat sempurna hari ini. Dengan memakai kaos merah muda dan dipadu dengan bolero berwarna gading berlengan pendek serta rok selutut dengan warna senada, kurasa penampilanku sudah cukup sempurna hari ini, sambil tersenyum menatap cermin di depanku.

Ting...Tong...!!!

“Young-in....cepat buka pintunya....Ibu dan Kakakmu sedang menyiapkan makanan di dapur,” terdengar seruan Ibu dari dapur.

“Baik Bu,” sahutku bersemangat, ini pasti dia. Oh Tuhan...aku benar-benar gugup, orang yang kucintai akan segera tiba. Sudah lama sekali aku tak melihatnya, semenjak kepergiannya ke Amerika 5 tahun yang lalu. Dia pergi ke Amerika untuk meneruskan kuliahnya di Harvard University. Kemarin, saat mendengar berita bahwa dia sudah berada di Seoul—sejak dua hari yang lalu—dari Kak Yoo-hee, kontan hatiku melonjak bahagia karena akhirnya aku bisa bertemu dengan pujaan hatiku itu. Dan terlebih lagi hari ini dia akan berkunjung ke rumahku, Oh..betapa senangnya hatiku, rasanya tak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Dengan melompat gembira aku segera berlari ke depan pintu dan dengan hati berdebar kubuka kenop pintu tersebut.

Benar saja, begitu kubuka pintu terlihat sosok pemuda tampan dengan tinggi 184 cm, menggunakan kaos abu-abu polos dipadu dengan jaket biru tua serta celana Jeans. Kak Nam-gil, dia tak banyak berubah, tetap mempesona seperti terakhir kali aku melihatnya. Hanya saja, sekarang ada kumis tipis di antara hidung mancung dan bibirnya. Dia tersenyum ke arahku, senyum yang sangat menawan, membuat jantungku bagai ingin melompat keluar dan sensasi aneh yang kurasakan di perutku.


Melihatku yang tetap diam terpaku di hadapannya, dia berkata sambil merentangkan kedua tangannya “Kau tidak ingin memelukku, Young-in?”. Ya Tuhan...ternyata dia masih mengingatku.“Kau pasti Young-in kan?”, ucapnya lagi. Aku tak menjawabnya tapi langsung menghambur ke dalam pelukannya, Kak aku sangat merindukanmu, dia pun balas memelukku.

“Hai, apa yang kalian lakukan di depan pintu begini?” terdengar suara Kak Yoo-hee dibalik punggungku. “Jangan membuatku cemburu dengan tingkah kalian seperti ini ya!” tambahnya.

Aku langsung melepaskan pelukanku dan tersenyum kikuk ke arahnya. Hah...Kak, kau mengganggu saja. Kak Yoo-hee adalah kakak kandungku satu-satunya, kami adalah dua bersaudara, usianya 4 tahun lebih tua dariku. Dan aku sangat menyayanginya.

“Masuklah, Ibu sudah menunggumu di dalam!” kata Kak Yoo-hee pada Kak Nam-gil.

“Oke baiklah, jangan marah dulu, aku hanya sedang melepas rindu dengan adik kecilku yang manis ini,” ucapnya sambil mengacak-acak rambutku penuh kasih.

“Adik kecil?” ucapku tak percaya sambil mengerucutkan bibirku, jadi dia tetap menganggapku sebagai adik kecil?. “Aku kan sudah 18 tahun, aku bukan anak kecil lagi,” gerutuku.

“Ah...ya, tentu saja, kau sekarang sudah menjadi seorang gadis manis yang sanggup menggetarkan hati para pria yang berada di dekatmu,” ucapnya membuat hatiku berbunga-bunga. “Sudahlah, jangan cemberut lagi, seorang wanita dewasa tidak bertingkah seperti itu. Lagi pula kau sangat jelek kalau cemberut begitu.” Aku pun tersenyum dan meninju pelan dada bidangnya.

Kami berkumpul di ruang keluarga, menceritakan segala sesuatu yang terjadi selama kami berpisah. Ya, memang sudah lama sekali semenjak kepergiannya. Dulu kami adalah tetangga dekat, rumah Kak Nam-gil berada tak jauh dari rumahku, hanya berjarak dua rumah di sebelah kanan rumah kami, tapi semenjak Ibu Kak Nam-gil meninggal, Ayahnya, Paman Kim Jung-hoo, memutuskan untuk pindah ke Amerika karena ingin melupakan kesedihan setelah meninggalnya istrinya, tak selang beberapa lama, setelah lulus Sekolah Menengah Atas Kak Nam-gil menyusulnya ke Amerika, tapi dia berjanji akan kembali ke Korea bila kuliahnya telah selesai.

“Bagaimana kabar Ayahmu?” tanya Ibu, “Apakah Beliau ikut ke Korea?”

“Tidak Bi, Ayah sedang sibuk dengan pekerjaannya di sana, padahal aku sudah memintanya berhenti bekerja dan menikmati masa tuanya, tapi Ayah berkeras untuk menjalankan usaha kami di sana.”

“Ya, Bibi mengerti. Pasti berat bagi seseorang yang sudah terbiasa disibukkan dengan pekerjaan, harus menjalani hari-hari tanpa bekerja.”

Paman Kim memang memiliki sebuah perusahaan makanan dan minuman ringan yang sukses di Korea, hingga membuka cabangnya di Amerika, itu juga yang menjadi salah satu alasan kepindahannya ke Amerika, untuk mengurus bisnisnya di sana.

“Ah iya Bi, karena terlalu asyik bercerita dan bernostalgia tentang masa lalu, saya sampai lupa menjelaskan maksud kedatangan saya kemari,” ujar Kak Nam-gil serius dan aku menangkap tatapan malu-malu Kak Yoo-hee, ada apa sebenarnya dengan mereka berdua?

“Apa itu?”

“Sebenarnya...maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk meminta izin pada Bibi, untuk melamar Yoo-hee,” ujar Kak Nam-gil mantap, “sebenarnya kami telah—”.

Deg....

Aku langsung tercekat mendengarnya, kata-kata Kak Nam-gil bagaikan petir di siang bolong bagiku. Aku tak lagi dapat mendengarkan apa yang dikatakan mereka, karena aku sibuk dengan pikiranku sendiri saat ini. Bagaimana bisa dia mengucapkan hal itu? bagaimana bisa aku tak mengetahui hubungannya dengan Kakakku? sejak kapan mereka menjalin hubungan? mengapa aku tak pernah mengetahuinya? dan mengapa harus kakakku? Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja berkecamuk dalam benakku.  Pantas saja Kakak tahu tentang kedatangan Kak Nam-gil ke Seoul, dan dia orang pertama yang mengatakan bahwa Kak Nam-gil akan berkunjung ke rumah kami. Apakah mereka sudah bertemu sebelumnya? apakah selama ini mereka tetap menjalin hubungan jarak jauh? Atau jangan-jangan dia datang ke Seoul hanya untuk melamar kakakku? Oh...Tuhan...apa yang harus kulakukan?

Hatiku benar-benar resah, bagaimana bisa dalam sehari aku merasakan dua emosi yang sangat bertolak belakang, setelah melambung tinggi karena akhirnya dapat bertemu orang yang sangat kucintai, tapi tak selang beberapa lama hatiku hancur berkeping-keping bagaikan dilemparkan dari tebing yang sangat curam. Aku hanya bisa menangis sesenggukan di kamar, mengenang apa yang telah terjadi hari ini. Cintaku telah pergi, cintaku yang selama ini kujaga telah hancur berkeping-keping menjadi tak berbentuk. Selama ini aku menunggunya, selama 5 tahun aku tak pernah berhenti memikirkannya, tapi kini saat dia telah berada di dekatku, aku tetap tak dapat memilikinya. Dan dia justru memilih Kakak kandungku sendiri...

“Young In,” terdengar suara Kak Yoo-hee dari balik pintu, “keluarlah, ada seseorang yang mencarimu, lagi pula kau pun belum makan malam, makanan sudah siap sejak tadi, makanlah sebelum makanannya menjadi dingin.”

“Aku tidak lapar Kak,” sahutku dari dalam kamar, “baiklah aku akan keluar dalam beberapa menit lagi.” Siapa sih yang datang malam-malam begini? Apakah dia tidak tahu kalau suasana hatiku sedang buruk? Semoga aku tak melampiaskan kemarahanku padanya. Bergegas kubasuh mukaku yang kusut karena menangis dan mengutuk pelan karena mataku kini bengkak bagaikan bakpao. Bagaimana aku bisa menyembunyikannya kalau begini?

Tanpa menoleh pada Ibu dan Kak Yoo-hee yang sedang berbincang di ruang keluarga, aku segera menuju ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. Ternyata benar dugaanku...

“Young—,“ kata-kata Kyu-hyun berhenti di udara saat dia melihatku. “Apa yang terjadi padamu? Kenapa matamu bengkak seperti itu?” Terlihat jelas kecemasan di wajahnya. Cho Kyun-hyun adalah sahabatku sejak kecil, dialah selama ini yang mengerti bagaimana perasaanku sesungguhnya, dia juga yang selalu menemaniku di saat suka maupun duka. Jadi wajar saja jika sekarang dia khawatir melihat wajahku yang kusut—walaupun sudah kututupi dengan sedikit make up—apalagi melihat mataku yang bengkak begini.

“Aku tidak apa-apa, hanya saja—,“

“Kalau kau tidak apa-apa, kenapa kau menangis?” dia memotong ucapanku dengan kekhawatiran yang terlihat jelas di matanya.

“Ssshh....pelankan suaramu, aku tak ingin Kakak dan Ibu mendengarmu,” ucapku panik. “Besok saja kuceritakan masalah ini di kampus, sekarang kau katakan saja apa keperluanmu datang ke sini?”.

“Sepertinya tanpa kau jelaskan pun aku sudah bisa menebak mengapa kau menangis.”

“Oke, kalau kau memang sudah bisa menebaknya, sekarang katakan saja apa keperluanmu?” desakku.

Dia mendesah sejenak, lalu berkata “baiklah, aku kemari untuk meminjam buku catatan linguistik—,“ sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, aku segera berlari ke kamarku untuk mengambil buku catatanku di meja.

“Ini,” ucapku sembari menyerahkan buku itu ke tangannya, “Sekarang, pulanglah!”

Dia hanya menggeleng tak percaya dan berbalik pergi, tapi selang beberapa langkah dia berbalik lagi. “Kau harus menceritakannya besok.”

“Ya..ya, aku akan menceritakannya, sekarang pulanglah.”


***

“Apa? Jadi...dia ingin menikahi Kakakmu?” seru Kyun-hyun keesokan harinya.

“Ya, bagaimana ini? Tidak mungkin kan aku menyembunyikan perasaanku padanya, apalagi orang yang akan dinikahinya adalah kakakku sendiri, orang yang paling dekat denganku, aku tak akan sanggup—,“ aku kembali menangis sesenggukan Kyun-hyun menyetuh bahuku dan memelukku, membiarkanku menangis di pelukannya dan mengelus punggungku menenangkan.

“Sudahlah Young In, bukan hanya dia satu-satunya pria di dunia ini. Kau pasti bisa menemukan pria lain yang mencintaimu setulus hati.”

“Tapi, aku hanya mencintainya Kyu, kau tau kan, selama ini aku menjaga hatiku untuknya, selama ini aku tak pernah melirik pria lain sekalipun, dan berharap setelah dia kembali aku dapat menjalin hubungan dengannya, tapi—,”

“Ya, aku tahu, justru karena itulah kau tak pernah menyadari cinta yang selalu ada untukmu, karena kau hanya mengharapkan dia yang tak pasti untukmu—,“ selanya tiba-tiba.

“Apa maksudmu berkata begitu?” seruku cepat sambil melepas pelukan Kyun-hyun, dan menatapnya langsung di matanya.

“Aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya Young-in, kau terlalu naif karena mengharapkan cinta yang belum tentu bisa kau dapatkan. Selama ini kau hanya memikirkannya, dia, dia dan dia saja yang ada dalam pikiranmu. Pernahkah kau berpikir bahwa masih ada orang lain di sisimu yang akan selalu ada untukmu? yang akan selalu menyayangimu dengan tulus, menghapus air matamu saat kau sedih, ikut tertawa bahagia bersamamu saat kau senang, pernahkah kau memikirkannya?” ucapnya seraya menatapku nanar, “Aku yakin tidak, karena yang ada dalam benakmu hanya dia, dia yang jauh di sana, dia yang tak nyata untukmu,” tambahnya.

“Cukup Kyu—,  aku disini untuk menenangkan diri, bukan untuk menerima kata-kata kasar darimu, dan nasihat tak perlu itu!” kutinggalkan Kyun-hyun dan terus berlari tak tentu arah, aku tak habis pikir, kenapa dia bisa mengatakan hal itu di saat aku sedang sedih, kenapa? Kyu yang selama ini selalu mengerti aku, mengapa dia jadi begini?


***

Sudah lebih dari satu Minggu sejak pertengkaranku dengan Kyun-hyun, sejak hari itu kami tak pernah bertegur sapa sekalipun. Biasanya kami tak pernah bertengkar sampai selama ini, malang sekali nasibku, setelah kehilangan orang yang kucintai, aku pun harus kehilangan sahabat terbaikku. Kutatap dirinya yang sedang asyik menekuri bukunya yang berjarak dua deret bangku di depanku sambil mendesah frustasi, Kyu, aku benar-benar kehilanganmu...

“Young-in!” panggil Shin Yuri temanku.

“Ya?”

“Kau masih bertengkar dengan Kyu ya?” aku tak menjawab dan hanya mengangguk lemah padanya.

“Ada masalah apa sih dengan kalian berdua? padahal kan setahuku kalian berdua itu sudah tak terpisahkan, jujur, aku kaget begitu tahu kalian bertengkar dan yang lebih parah lagi sudah seminggu lebih tak bertegur sapa, apakah masalahnya sudah serumit itu? sampai-sampai harus mengorbankan persahabatan kalian?” tanya Yuri khawatir, aku tahu dia tak bermaksud mencampuri urusanku dengan Kyu.

“Aku tak tahu harus berkata apa lagi Yuri, Kyu sudah berubah.”

“Berubah?...berubah bagaimana?”

“Dia sudah tak mengerti perasaanku lagi.”

“Memangnya ada apa?”

“Kau tahu kan kalau sekarang aku sedang sedih karena sedang patah hati, tapi Kyu...dia justru mengatakan hal-hal kasar padaku. Dia bilang bahwa aku terlalu berharap sesuatu yang tidak mungkin dan karenanya aku menjadi tidak peka terhadap semua cinta di sekitarku. Aku benar-benar tak mengerti dengan sikapnya,” ceritaku pada Yuri, aku benar-benar sudah tak sanggup lagi menahannya sendiri, dan kurasa Yuri adalah seseorang yang dapat dipercaya dan cukup dekat untuk menyimpan rahasiaku.

“Astaga...jadi selama ini kau belum tahu bahwa Kyu mencintaimu?”

“Apa?” aku tersentak kaget mendengar perkataan Yuri tadi. “Apa maksudmu berkata begitu? Aku benar-benar tak mengerti.”

“Young-in, kau ini sedang berpura-pura bodoh atau apa? Maaf. Begini, semua orang yang melihat bagaimana sikap Kyu selama ini padamu, pasti menyadari betapa besar cintanya terhadapmu. Aku benar-benar tak mengerti, betapa besarnya cintamu terhadap ‘seseorang’ itu, hingga kau tak menyadari besarnya kasih sayang dan cinta yang diberikan Kyu terhadapmu selama ini. Jadi wajar saja jika Kyu kemudian bersikap begitu, cobalah kau pikirkan perkataanku tadi,” ucapnya sembari menepuk lembut pundakku. “Aku ke kantin dulu ya, kau tidak mau ikut?”

“Tidak, aku tidak lapar,” jawabku sembari menggeleng pelan, “kau pergi saja dan terima kasih.” Yuri hanya tersenyum dan berbalik pergi meninggalkanku sendiri yang kini benar-benar terpaku memikirkan perkataannya. Benarkah Kyu mencintaiku? Kulirik sosoknya yang saat ini tengah mengobrol dengan teman di sebelahnya. Kyu, benarkah itu? Kenapa kau tak pernah mengatakannya padaku? kenapa aku harus mendengarnya dari orang lain? Tanpa sadar kurasakan cairan hangat membasahi pipiku sambil tetap menatap punggungnya. Tapi aku buru-buru menghapus air mataku saat secara tiba-tiba dia menoleh ke arahku dan saat itu tatapan kami bertemu.


***

Aku berjalan dengan gontai, menyusuri jalan pulang sembari menekuri kata-kata Yuri tadi. Apakah benar aku seegois itu hingga tak menyadari bagaimana perasaan Kyu kepadaku selama ini? Kembali teringat olehku saat-saat kami bersama, tertawa bahagia saat melewati masa-masa indah dan pelukan hangat Kyu serta kata-katanya yang menenangkan saat aku tengah gundah gulana. Tanpa sadar air mata kembali menetes di pipiku kala mengingatnya. Aku sedikit terlonjak saat kurasakan seseorang menyentuh bahuku lembut. Kyun-hyun?

“Young-in, maafkan aku...” ucapnya lembut. “Aku tak bermaksud melukaimu, aku hanya ingin kau sadar bahwa bukan hanya dia pria yang ada di dunia ini, tapi kau masih memilikiku. Aku janji, aku akan selalu ada untukmu. Dan di saat kau membutuhkanku, percayalah...aku akan selalu di sampingmu untuk mendukungmu. Aku mencintaimu...”

“A..aku—“

 “Kau tak perlu menjawabnya sekarang, aku akan menunggu sampai kau sadar seberapa besar cintaku padamu, aku akan memberimu waktu, seumur hidupku.” Hatiku bagai diremas kuat saat mendengar ia berkata begitu. Air mataku pun kembali menetes di pipi. Kemudian tanpa menunggu jawaban dariku, dia pergi meninggalkanku sendiri, yang masih diam terpaku dengan hati kalut. Selama beberapa saat aku masih terpaku di tempat, hingga tetesan air hujan yang mulai turun menyadarkanku dari lamunan.



Selama perjalanan pulang, pikiranku hanya tertuju pada kejadian yang baru saja terjadi. Dia baru saja mengatakannya, dia mengutarakan perasaannya padaku. Kyu, yang selama ini kukenal sebagai sahabat terbaikku, kini mengutarakan perasaan cintanya padaku. Aku tak tau harus berkata apa? Kulihat ketulusan terpancar di matanya sewaktu dia mengucapkannya. Jadi benar apa yang dikatakan Yuri. Oh Tuhan...kemana saja aku? Kenapa aku tak menyadarinya? Kyu, maafkan keegoisanku...

Kuhentikan langkahku, saat tiba-tiba kulihat Kak Yoo-hee dan Kak Nam-gil sedang mengobrol di depan rumah. Mereka sangat mesra, dengan sesekali tertawa bahagia dan saling bercanda. Hatiku bagai diiris sembilu karena tusukan rasa cemburu yang merasuk ke dalam dadaku. Dan semakin sakit saat melihat mereka berciuman mesra, walau hanya ciuman ringan, tapi kenyataan bahwa gadis yang di sampingnya bukan diriku, membuat hatiku seperti diremas kuat. Sanggupkah aku menghadapi semua ini? Aku pun mengurungkan niatku untuk kembali ke rumah, dan berlari ke arah sebaliknya karena tak sanggup untuk melihatnya lagi walaupun kini tubuhku sudah basah kuyup karena air hujan. Aku terus berlari dan berlari...berharap dengan begitu aku bisa melupakannya...tapi...

BRUKK!!....

kurasakan sesuatu yang keras menghantam tubuhku dari belakang, hingga tubuhku terpental ke badan jalan yang keras, lalu cairan hangat yang anyir mengucur di dahiku...kemudian semuanya menjadi gelap...


***

Aroma alkohol yang tajam serta bau obat-obatan menusuk indera penciumanku, kubuka mataku perlahan, terlihat pemandangan serba putih di sekelilingku. Rasanya tubuhku lemah sekali dan kurasakan nyeri di kepala, tangan, kaki dan pinggangku.

“Young-in, syukurlah kau sudah sadar.” kulihat Kak Yoo-hee tersenyum kepadaku, dan di sebelahnya ada Kak Nam-gil yang juga tersenyum.

“Syukurlah, kau membuat kami khawatir,” tambah Kak Nam-gil. Mereka berdua sungguh pasangan yang serasi. Bagaimana bisa aku berharap dapat memisahkan mereka? Walaupun hatiku sedikit sakit melihatnya, tapi aku harus kuat...semoga kalian bahagia Kak...

“Dimana Ibu?” tanyaku melihat ketidakhadiran Ibu.

“Ibu sudah pulang, sesiangan dia sudah menungguimu di sini, tapi kau tak kunjung siuman. Jadi aku memintanya pulang untuk beristirahat saja di rumah. Ibu sempat menolak, tapi saat mendengar penjelasan dokter tentang keadaanmu, Ibu pun setuju untuk pulang,” jelas Kak Yoo-hee yang kubalas dengan anggukan lemah. “Ah...aku sampai lupa, kemarilah!” seru Kak Yoo-hee, bukan kepadaku, tapi pada seseorang di belakangnya. Kyun-hyun. Dia berdiri tegap, menatapku dengan tatapan, yang menyatakan 'kau tidak apa-apa?'.

“Sejak tadi dia sudah menunggumu di sini, dan menurut dokter dia yang telah membantumu dan membawamu kemari,” kata Kak Nam-gil, “Ehm...kalian bicaralah, aku akan keluar dulu.” Kak Nam-gil menggamit lengan Kak Yoo-hee di sebelahnya, mengedipkan sebelah matanya ke arahku dan meninggalkan aku dan Kyun-hyun berdua.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Aku baik-baik saja, maafkan aku Kyu...” ucapku menyesal.

“Tidak, aku lah yang harus meminta maaf. Karena telah meninggalkanmu seorang diri. Hingga kau—”

“Aku egois...aku tak pernah mengerti perasaanmu, aku hanya memikirkan diriku sendiri...sementara kau selalu—“

“Sudahlah Young-in, bukankah aku sudah bilang padamu. Bahwa aku akan selalu ada untukmu, dan aku akan memberimu waktu untuk mulai belajar mencintaiku, seumur hidupku.” Ya Tuhan...dia baik sekali. Aku semakin merasa bersalah padanya, karena sikapku selama ini, yang tak pernah mempedulikannya. Sementara dia, sangat peduli padaku, dia selalu ada untukku. Air mataku kembali turun, tapi Kyu segera menghapusnya dengan punggung tangannya. “Kau jangan menangis.”

Kutatap wajah tampannya yang terus menatapku dengan pandangan penuh kasih “Terima kasih Kyu—“ aku kembali terisak.

“Untuk apa?”

“Untuk segalanya...” ucapku tulus seraya memeluknya erat.

“Kau tak perlu berterima kasih Young-in,” bisiknya di telingaku.

“Aku janji, untuk belajar mencintaimu, dan kurasa itu takkan sulit.”

“Aku akan menunggu...sampai kapanpun.” Dia mengecup keningku lembut, membuatku merasakan kehangatan di sudut hatiku. Aku janji Kyu...beri aku waktu...aku menyayangimu...hanya itu yang bisa kukatakan saat ini...Bukankah rasa sayang itu lebih bertahan lama daripada Cinta...? kuharap begitu...



FIN

By Yuli ~Admin Lee~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar