CHAPTER 24
Cast :
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
Mi Shil : Go Hyun Jung
King Jinji : Kim Im Ho
Se Jong : Go Young Jae
Yong Soo : Kim Jung Chul
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Choon Choo : Yoo Seung Ho
Bo Ryang : Yoo Eun Bin
Alcheon : Lee Seung Hyo
San Tak : TETAP
Ha Jong : Go Jung Hyun
Bo Jong : Go Do Bin
Jook Bang : Lee Moon Shik
Kim Min Sun : NAMA ASLI
--------------------------------------------------
- Kim Nam Gil - 7 Mei 2011 - Los Angeles, Amerika -
Sudah dua puluh lima hari aku berada di Amerika. Dua puluh lima hari tenang tanpa gangguan wartawan—walaupun tetap ada beberapa wartawan dari Korea yang dengan gigih mengejar kami hingga kemari—dan dua puluh lima hari yang serasa bagai neraka karena aku terpisah begitu jauh dari Yo Won.
Selama dua puluh lima hari ini juga, berulang kali aku menyesali keputusanku pindah ke Amerika. Setiap rasa rindu dan sepiku tanpa Yo Won datang menyerang, maka setiap kali itu juga aku ingin segera kembali ke Korea, tanpa perduli Yo Won mencintaiku atau tidak, tanpa perduli hatiku harus berkali-kali hancur melihatnya dan Tae Wong bersama. Ribuan kali aku meraih telepon untuk menghubunginya. Untuk sekedar mendengar suaranya. Tapi kuurungkan niatku, karena aku tersadar, bahwa kami sudah berakhir. Tak ada gunanya aku menyiksa diri. Tak ada gunanya aku mengganggu hubungan Yo Won dan Tae Wong. Hubungan Deokman dan Yoo Shin.
Mereka telah lebih dulu bertemu. lebih dulu saling mengenal. Lebih dulu menjalin cinta. Akulah sang pengganggu. Aku masuk diantara mereka ketika hubungan keduanya tak berjalan baik. tak heran bila cinta sejati Deokman… Yo Won, ternyata adalah Tae Wong, yang merupakan reinkarnasi Yoo Shin.
Melalui kacamata hitamku, aku memandangi langit biru cerah dan matahari yang bersinar terang. Bahkan di hari secerah ini, suasana hatiku tetap segelap malam. Malam… bintang… Yo Won… teleskop itu… apakah sudah sampai padanya? Aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung pada Yo Won.
Terasa manis sekaligus pahit saat aku teringat pada caranya merayakan ulang tahunku. Saat itu begitu membahagiakan. Saat itu segalanya seperti akan indah selamanya. Tak ada yang akan menduga akhir seperti inilah yang terjadi.
Aku tersentak kaget saat merasakan air memerciki tubuhku yang sedang berbaring di salah satu kursi di pinggir kolam renang rumah baruku. Suara cekikikan genit mengalihkan perhatianku. Do Bin dan beberapa gadis tetangga yang diundangnya untuk berpesta siang ini berusaha mengajakku bergabung dengan mereka di kolam, tapi aku segera menggelengkan kepala menolaknya.
Tak seperti Do Bin yang antusias mendekati gadis-gadis pirang di sekolah baru kami, aku tetap tak bisa melupakan rambut hitam indah milik Yo Won. rasanya tak mungkin bisa. Perasaanku padanya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan rasa yang telah dipendam lama dan melewati batasan waktu. Tak akan semudah itu dapat melunturkannya.
Aku mendesah sambil mengingat hari sebelum keberangkatanku. Ketika aku meminta kak Jung Chul mengurus segala yang diperlukan agar aku dapat pergi bersamanya, aku teringat pada Ibu. Rasanya tak mungkin aku meninggalkannya dalam situasi seperti itu—saat dia tengah sedih atas kematian suaminya, dan juga disaat kami baru mulai menjalin hubungan ibu dan anak yang baik—sehingga aku mengusulkan pada Ibu agar kami sekeluarga—aku, Ibu, Do Bin, dan Jung Hyun—pindah ke Amerika dan memulai segalanya dari awal. Setelah mempertimbangkan sebentar, Ibu menyetujuinya, dan langsung menghubungi kenalan-kenalannya untuk mengurus segala yang diperlukan dalam kepindahan kami—Ibu menolak saranku untuk meminta bantuan kak Jung Chul, yang sebenarnya bisa dimengerti.
Mengenai bisnis jaringan hotel milik Go Young Jae, Ibu tetap bisa mengaturnya dari jauh, dan mungkin akan kembali ke Korea sesekali bila memang mendesak. Tapi selebihnya akan ditangani oleh ayah kandung Do Bin, Jun Noh Min, yang sebelumnya memang merupakan orang kepercayaan ayah tiriku.
Walaupun agak kecewa karena aku tak jadi tinggal serumah dengannya, Ayah tetap senang karena aku berada di Negara dan kota yang sama dengannya. Bahkan kami tinggal di lingkungan perumahan yang sama—rumah baru Ibu hanya berhalat tujuh rumah dari rumah kak Jung Chul.
Saat kami baru tiba di Amerika dan menginap di The Tower Beverly Hills Hotel, kak Jung Chul mengunjungiku dan menawari Ibu rumah tetangganya yang ingin dijual, dan saat melihat lingkungan dan bentuk rumah yang lengkap dengan perabotnya itu, Ibu langsung setuju untuk membelinya. Maka di sinilah kami sekeluarga sekarang. Mencoba membangun hubungan kekeluargaan yang lebih erat, sesuatu yang sebelumnya kami abaikan.
Suara bel menyadarkanku ke masa kini. Jung Hyun segera bergerak menjauh dari bar tempatnya sedang menuang minuman untuk para tamu, dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian dia kembali sambil menyeringai lebar padaku.
“Gadismu datang,” katanya, kemudian kembali ke bar untuk mengambil minuman buatannya, lalu mendatangi kerumunan teman-teman kampus barunya.
“Gadisku?” gumamku heran.
“Nam Gil!”
Aku tersentak mendengar suara yang tak asing itu. aku langsung bangkit duduk dan setengah memutar tubuh untuk memandang ke dalam rumah—asal suara pemanggilku—dan dengan tak percaya melihat gadis yang sedang berdiri di sana. Kulepas kacamata hitamku untuk menatapnya lebih jelas. Ya Tuhan… kenapa bisa…
“Nam Gil!” seru Min Sun sambil berlari mendekatiku. “Lama tak bertemu denganmu. Tapi sekarang setiap hari kita akan bertemu. aku juga pindah kemari. Aku tinggal dengan kak Jung Chul—“
Min Sun terus mengoceh tanpa dapat kuserap keseluruhan perkataannya. Ternyata dia. Tadi, sesaat hatiku sempat melonjak girang karena berpikir yang dimaksud Jung Hyun adalah Yo Won. tapi seharusnya aku tahu itu tidak mungkin. Untuk apa Yo Won mengejarku hingga ke mari, bila di sisinya sekarang sudah ada Tae Wong?
Rasa dingin di hatiku semakin meluas. Ditengah kerumunan orang banyak ini aku justru merasa kesepian. Apakah keputusanku untuk pergi menjauh dari Yo Won dan Tae Wong sudah tepat? Bisakah aku bertahan lebih lama lagi tanpa melihatnya? Tanpa mendengar suaranya? Tanpa bisa menyentuhnya? Aku tidak tahu…
- Lee Yo Won - 10 Mei 2011 - Los Angeles, Amerika -
Akhirnya aku dan kak Ye Jin tiba di LAX—bandara Los angeles. Jantungku terus berdebar-debar semenjak di dalam pesawat. Akhirnya… setelah sekian lama menunggu waktu untuk dapat menyusul Nam Gil, kini aku telah semakin dekat dengannya.
Tak lama setelah kepergian Nam Gil, sebuah stasiun TV menyiarkan mengenai rumah baru keluarga Go di kawasan Beverly Hills, yang lagi-lagi menimbulkan kabar miring karena jaraknya yang begitu dekat dengan tempat tinggal baru Kim Im Ho, yaitu rumah Kim Jung Chul, putra pertamanya. Segera saja aku menghubungi stasiun TV tersebut dan memaksa mereka memberitahu alamat pasti keluarga Go yang baru.
Tapi sayangnya aku tidak bisa secepatnya pergi ke Amerika karena disibukkan dengan banyak ujian, dan harus menunggu hingga liburan kali ini. sebenarnya kepergianku ke Amerika bertepatan dengan hadiah liburan ke Bali yang kumenangkan, tapi aku tak lagi memperdulikannya. Bila tak bersama Nam Gil, tak ada artinya aku pergi ke sana.
“Tenanglah, Yo Won,” kata kak Ye Jin geli. “tak perlu segugup itu. kau hanya akan menemui kekasihmu, bukan presiden Amerika.”
Kekasihku… tapi dia memutuskan hubungan kami. Bisakah aku tetap menyebutnya sebagai kekasihku?
Rasa pedih itu masih membekas di hatiku hingga sekarang. Ingatan saat terakhir kalinya aku bertemu Nam Gil, ketika dia mengatakan hubungan kami telah berakhir, dan ketika aku melihat berita kepergiannya ke Amerika. Luka hatiku masih segar. Aku tak percaya hubungan kami yang kukira akan berlangsung selamanya ternyata serapuh ini.
Kepergiannya membuatku kembali merasakan sedih dan sepi yang dulu kurasakan saat menjadi seorang Ratu. Tak ada Nam Gil yang tersenyum jail padaku. Tak ada Nam Gil yang tertawa bersamaku. Tak ada Nam Gil yang menenangkanku yang sedang sedih. Tak ada Nam Gil yang memegang tanganku yang gemetar. Tak ada Nam Gil yang memelukku. Tak ada Nam Gil di sisiku. aku bisa hidup tanpa orang lain asalkan Nam Gil ada di sisiku untuk menemani dan mendukungku. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa Nam Gil walaupun berjuta orang mengerubungiku.
“Bagaimana bila dia tidak mau mendengar penjelasanku?” tanyaku sambil memasuki taksi.
“Kupikir Nam Gil tidak sejahat itu,” kata kak Ye Jin menenangkan. Dia memberikan catatan alamat rumah Nam Gil pada supir taksi yang kemudian segera menjalankan mobilnya.
“Kuharap juga begitu,” gumamku.
Pemandangan asing yang kami lalui tak membuatku terkesan sama sekali karena aku begitu gugup. Bagaimana reaksi Nam Gil bila melihatku? Apakah dia akan senang? ataukah akan merasa terganggu?
“Rumah-rumah yang indah,” gumam kakak kagum saat kami mulai memasuki kawasan Beverly Hills.
Semakin dekat. Jantungku berpacu semakin kencang. Nam Gil…
Taksi berhenti di seberang rumah Nam Gil. rumah besar bertingkat dua, bercat putih, dan berpagar besi berukiran rumit itu membuatku makin terintimidasi. Asing. Lingkungan yang asing. Membuatku merasa semakin jauh dengan Nam Gil, walaupun bisa dibilang saat ini kami sudah sangat dekat.
“Tunggu apa lagi?” tanya kak Ye Jin heran. “Ayo kita turun.”
“Ya,” sahutku.
“Eh, bukankah itu—“
Sebelum sempat membuka pintu, aku melihat Nam Gil berjalan di trotoar menuju rumahnya. Tapi dia tidak sendiri. Dia bersama Kim Min Sun. Gadis itu dengan ceria dan manja menyodorkan es krim yang dipegangnya pada Nam Gil. awalnya Nam Gil terlihat menolak, tapi kemudian tersenyum geli melihat paksaan gadis itu, dan menjilat es krim tersebut. Hatiku serasa diremas kuat. Kenapa? kenapa gadis itu bisa ada di sini? Kenapa dia bisa bersama Nam Gil?
“Siapa gadis itu?” tanya kak Ye Jin heran. “Ya tuhan!” serunya tiba-tiba dengan kaget.
Kekagetan kakak tidak sebanding dengan apa yang kurasakan saat ini. bila hatiku terbuat dari kaca, pastilah sekarang sudah hancur berkeping-keping ketika melihat Kim Min Sun mengecup sudut bibir Nam Gil, lalu entah bagaimana awal mulanya, tiba-tiba saja Nam Gil memeluk tubuh gadis itu.
Aku memalingkan wajah, tak sanggup melihat lebih jauh adegan yang dilakoni Nam Gil dan Kim Min Sun. dadaku terasa sesak dengan amarah dan kecemburuan. Luka hatiku kembali berdarah. Bagaimana bisa? semudah itu Nam Gil melupakanku? Menggantikan posisiku di hatinya dengan gadis itu!? air mata menggenangi mataku. Jadi… benar sudah berakhir? Dia sudah memulai hidup yang baru di tempat ini. Termasuk gadis baru.
“Yo Won,” gumam kak Ye Jin khawatir.
“Kita pergi ke hotel yang kau pesan itu saja,” sahutku pelan dengan suara serak.
“Baiklah,” kata kak Ye Jin, lalu meminta supir taksi itu mengantar kami ke Wilshire Plaza Hotel.
Untuk terakhir kalinya, tepat sebelum mobil melaju pergi, aku menguatkan hati memandangi sosoknya. Sosok yang kucintai. Nam Gil… Bertepatan dengan itu, Nam Gil memutar kepalanya ke arah taksi yang kutumpangi. Isakan itu keluar dari mulutku tanpa dapat ditahan. Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat wajahnya. Sekilas sepertinya dia sempat menatapku, tapi kemudian taksi sudah melesat meninggalkan kawasan itu.
Mungkin ini yang terbaik. Kim Min Sun tak akan mungkin membuat Nam Gil terluka, seperti yang berulang kali telah aku lakukan padanya. Tadi wajah Nam Gil terlihat ceria, tidak seperti ketika terakhir kali aku melihatnya di Rumah Sakit. saat itu kedua mata Nam Gil memancarkan kesedihan mendalam.
“Seharusnya kau turun dan bicara padanya tadi,” omel kak Ye Jin halus.
“Aku tak ingin mengganggunya,” jawabku pelan. “dia sudah melanjutkan hidupnya. Dia terlihat bahagia di sini. Bersama gadis itu. tanpaku. Kami memang telah berakhir…” Saat mengucapkannya hatiku hancur untuk kesekian kalinya. Aku tidak mau percaya, tapi ternyata memang telah berakhir.
Nam Gil… selamat tinggal.
- Kim Nam Gil - 10 Mei 2011 - Los Angeles, Amerika -
Menuruti kemauan Ayah, hari ini aku pergi berjalan-jalan bersama Min Sun. walaupun terkadang dia menyebalkan, tapi ternyata dia juga bisa menjadi teman yang menyenangkan. Aku cukup terhibur dengan kehadiran dan candanya.
Hari udah sore ketika akhirnya kami pulang. “Aku tidak mau,” tolakku saat dia menyodorkan es krim yang dibelinya tadi.
“Ayolah, coba. Enak sekali,” desaknya sambil terus menyodorkan es krim itu ke wajahku.
“Tidak.”
“Ayo, ayo, ayo!” paksanya dengan ekspresi aneh yang membuatkku tersenyum geli.
“Baiklah,” gerutuku, dan menjilat sedikit es krim tersebut, kemudian membuka pagar rumahku.
“Eh, ada es krim di sudut bibirmu,” kata Min Sun. “biar kubersihkan,” tambahnya, menawarkan diri. Sebelum aku sempat bereaksi, tiba-tiba saja Min Sun menjilat sambil mengecup sudut bibirku.
“Hei!” seruku, reflek aku menjauh, dan rupanya gerakan kasarku yang tiba-tiba mendorongnya membuat Min Sun kehilangan keseimbangan. Untung saja aku segera menangkapnya, bila tidak dia akan terjatuh. Tapi sialnya Min Sun memakai kesempatan itu untuk langsung memelukku erat. Dasar anak ini. “Lepas!” perintahku.
“Kau ini galak sekali,” gerutunya dengan wajah cemberut.
Suara mesin mobil mengalihkan perhatianku dari Min Sun. saat aku menoleh, aku melihat sebuah taksi—yang tadi terparkir di seberang rumahku—melaju dengan cepat meninggalkan asap kelabu dibelakangnya. Jantungku langsung berdegup kencang. Entah kenapa tadi aku seperti melihat wajah Yo Won di balik kaca jendela taksi itu walaupun tak terlalu jelas. Sudah jelas itu tidak mungkin. Aku berhalusinasi karena terlalu merindukannya.
Yo Won… sedang apa dia sekarang? Bersama siapa? Tae Wong? Brengsek! Untuk apa aku mengingat hal itu lagi!?
“Nam gil?” panggil Min Sun. “Nam Gil, kau memikirkan apa?” tanyanya.
“Tidak. Tidak ada,” jawabku. “Ayo kita masuk,” ajakku.
Tak ada jalan untuk kembali. Aku sudah membuka kesempatan bagi Yo Won dan Tae Wong untuk bersama. Aku dan Yo Won memang telah berakhir…
LIMA TAHUN KEMUDIAN
- Lee Yo Won - 14 Februari 2016 - Seoul -
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Lima tahun telah berlalu. Aku telah lulus kuliah dan kini bekerja di perusahaan Ayah yang bergerak dalam bidang makanan ringan. Makanan-makanan ringan produksi kami merupakan salah satu yang terbaik di Korea.
Dan sudah lima tahun ini juga aku benar-benar tinggal bersama Ayah di rumah kami. Walaupun awalnya agak berat meninggalkan Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee, apalagi setelah kak Ye Jin memutuskan untuk meneruskan sekolah musik di Amerika. Tapi justru Paman dan Bibilah yang mendesakku. Bukan karena mereka tidak ingin mengurusku lagi, tapi mereka berpikir sudah seharusnya seorang anak tinggal bersama orangtuanya.
Kepergian kakak ke Amerika membuatku semakin kesepian, tapi aku sangat berbahagia karena kepindahannya kesana mempertemukannya lagi dengan Kim Jung Chul—kakak Nam Gil, sekaligus reinkarnasi Bangsawan Yong Soo, almarhum suami kakak di kehidupan pertamanya—dan membuat mereka akhirnya bisa berhubungan. Setelah bertahun-tahun berpacaran, hari ini keduanya akan menyatukan diri dalam ikatan pernikahan.
Kehidupan percintaanku sendiri tak seberuntung kakak. Setelah putusnya hubunganku dengan Nam Gil, selama beberapa waktu aku tak tertarik sama sekali untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Tak mudah berusaha menyingkirkan bayang-bayang Nam Gil dari hidupku. Dan setelah aku mulai membuka hati bagi pria-pria lain, aku menemukan diriku selalu membandingkan mereka dengan Nam Gil—dan tak ada yang dapat menyainginya, karena mereka bukan Nam Gil—sehingga aku memutuskan untuk menghentikan kencan-kencan singkatku bersama mereka. Bahkan hingga sekarang, aku masih tetap sendiri.
“Kakak terlihat sangat cantik,” pujiku saat mengamatinya yang memakai gaun pengantin berwarna gading.
“Kuharap Jung Chul juga akan berpendapat begitu,” kata kakak girang.
Terdengar ketukan pintu, lalu masuklah Seung Ho dan Eun Bin. “Ibu cantik sekali!” puji keduanya kompak.
Kakak langsung bergerak mendekati pasangan yang baru datang itu dan memeluk mereka. “Aku merindukan kalian, padahal beberapa hari yang lalu kita baru bertemu,” kata kakak dengan senyum lebar.
Seung Ho mengerutkan keningnya. “Setelah pesta pernikahan ini, kau dan Ayah akan kembali ke Amerika, ya?” tanyanya. “Kita akan berpisah lama lagi,” keluhnya.
Seung Ho memang telah mengetahui siapa Kim Jung Chul di kehidupannya yang lalu ketika dia berjabat tangan dengan pria itu beberapa hari yang lalu, tetapi Kim Jung Chul sendiri tidak mengetahui masalah reinkarnasi itu. Memang menurut kak Ye Jin calon suaminya itu berkali-kali seperti mendapat kilasan tentang kehidupannya dulu, namun tidak pernah mengingat keseluruhannya seperti kami. Kak Ye Jin tak mempermasalahkannya, juga tidak memaksa Kim Jung Chul untuk mengingatnya, karena yang terpenting baginya adalah di kehidupan kali ini mereka kembali saling mencintai dan akan hidup bersama. Sesuatu yang juga kudambakan bersama Nam Gil tapi tak tercapai.
“Tapi dua tahun lagi mereka akan kembali ke Korea untuk selamanya,” kataku, ikut dalam pembicaraan tersebut untuk menyingkirkan rasa sedihku karena mengingat Nam Gil.
“Benar, dua tahun lagi Jung Chul akan membuka firma hukumnya sendiri di Korea, dan kita bisa berkumpul lagi,” kata kak Ye Jin ceria.
Kami terus mengobrol dengan gembira hingga Paman Kil Kang datang dan mengatakan ini sudah saatnya untuk sang mempelai wanita menemui pengantin pria di altar.
“Kau tidak apa-apa, Yo Won?” tanya kakak hati-hati, saat kami berjalan keluar dari kamar riasnya.
“Tidak apa-apa,” jawabku heran. “Memangnya kenapa?”
“Mungkin Nam Gil akan hadir di pesta ini,” kata kak Ye Jin.
Aku langsung membisu. Aku menyadari hal itu. aku juga telah mempersiapkan hatiku untuk bertemu dengannya, karena bagaimana pun juga kakaknya lah yang menikah hari ini. rasa gugup dan harap-harap cemas memenuhi dadaku sejak pagi. Bagaimana reaksinya ketika melihatku? Bagaimana reaksiku saat bertatap muka dengannya?
Tapi nyatanya kecemasanku sia-sia saja. bahkan setelah upacara selesai dan pesta dilanjutkan di ballroom hotel milik keluarga Go, tak nampak tanda-tanda kehadiran Nam Gil. kekecewaan mennyelubungiku. Kenapa dia tidak datang? Apakah dia begitu tak ingin melihatku sehingga tidak mau menghadiri pesta pernikahan kakaknya?
“Makan ini,” perintah kakak sambil menyodorkan sepiring makanan padaku.
Aku tersenyum geli. “Kenapa justru sang pengantin yang mengambilkan makanan untuk tamunya?” godaku.
Kak Ye Jin tidak membalas senyumku. Dia duduk di kursi di sebelahku dan menatapku tajam. “Sudah lima tahun. Waktu yang kurasa sudah cukup lama. Sudah saatnya kau benar-benar melanjutkan hidupmu. Walaupun sulit, cobalah lupakan Nam Gil.”
Kata-kata kakak bagai sayatan pisau di hatiku. “Aku sudah mencobanya,” sahutku singkat.
“Kau tidak berusaha lebih keras, karena di lubuk hatimu masih mengharapkannya,” bantah kakak. “Kau bahkan tidak melihat cinta yang begitu dekat denganmu,” tambahnya.
“Apa maksudmu?”
“Kak Tae Wong. Dia mencintaimu. Sejelas dan sepasti pagi berganti menjadi malam. tapi kau tak menghiraukannya sama sekali. sejak tadi aku memperhatikan dia beberapa kali mengajakmu berdansa dan mengobrol, tapi kau tolak karena kau begitu gugup mengharapkan kedatangan Nam Gil.”
Mataku bergerak melirik kak Tae Wong yang sedang mengobrol bersama kak Seung Hyo dan Eun Mi—kekasih kak Seung Hyo. Kak Tae Wong memang sangat baik. dia juga banyak menghiburku di awal-awal kepergian Nam Gil, tapi…
“Nam Gil tidak akan datang,” kata kak Ye Jin lagi, saat dilihatnya aku diam saja. “Tadi dia menelepon Jung Chul dan berkata sedang mendapat tugas penting dari kantornya sehingga tidak dapat menghadiri pesta ini.”
Aku berusaha menyembunyikan kekecewaanku. “Apa pekerjaannya?” Pekerjaan apa yang begitu penting hingga tidak dapat menyempatkan waktu untuk menghadiri pernikahan saudaranya sendiri? kurasa dia hanya ingin menghidariku…
“Entahlah, Jung Chul dan ayah mertuaku pun tak tahu pasti pekerjaannya. Mereka hanya tahu Nam Gil mendapatkan pekerjaan itu ketika berlibur ke Korea di tahun terakhir kuliahnya—“
“Nam Gil pernah pulang ke Korea?” tanyaku kaget. Aku tidak tahu itu.
Kak Ye Jin mengangguk. “Entah untuk apa, dan itu pun hanya sebentar. Kalau tidak salah ingat, dia telibat sebuah kekacauan di bandara, dan beberapa hari kemudian langsung berangkat lagi entah kemana selama dua minggu,” jawab kakak. “katanya saat itulah dia mendapatkan pekerjaannya sekarang ini.”
“Ye Jin,” panggil suaminya sambil menghampiri kami. “Sudah saatnya kita memotong kue,” katanya.
Setelah kepergian kak Ye Jin, aku kembali merenung sendiri. hari valentine yang dipilih kakak untuk hari pernikahannya ini mengingatkanku pada valentine pertama dan satu-satunya yang kuhabiskan bersama Nam Gil dulu. Ketika aku memberinya cokelat berbentuk bintang yang amat disukainya. Saat-saat itu rasanya begitu manis. Tapi, seperti kata kakak, aku memang harus benar-benar melanjutkan hidupku. Tak ada gunanya mengikat diri dengan kenangan lama semanis apapun itu. saat-saat itu telah lama berlalu. Tapi… bisakah aku benar-benar melupakannya?
- Kim Nam Gil - 14 Februari 2016 - Bern, Swiss -
Aku bergerak di tengah-tengah kerumunan turis untuk menyamarkan keberadaanku. Secepat kilat aku melepas mantel hitam yang kupakai diatas jaket merahku, memberikannya pada seorang bocah kecil di sebelah kiriku, memakai topi dan kacamata yang kukantongi, lalu bergerak cepat ke sebuah kafe pinggir jalan dan duduk santai di sebuah kursi sambil melihat buku menu yang tersedia di meja tersebut tanpa benar-benar membacanya. Aku tidak bernapsu untuk makan sama sekali.
Sial. Hampir saja tangan kanan Xander Bow—penyelundup permata curian yang sedang diincar oleh badan intelejen tempatku bekerja sebagai agen rahasia—berhasil mengejarku. Saat sedang mengikuti dan memotret transaksi yang dilakukan Bow di sebuah toko perhiasan, aku melakukan sedikit kecerobohan yang membuat tangan kanannya menyadari keberadaanku dan langsung mengejarku. Untung saja lariku lebih cepat, dan aku terbantu dengan banyaknya turis yang berkerumun di jalanan kota hingga bisa menyamarkan keberadaanku.
Brengsek. Karena perintah BB—Big Boss—aku tidak dapat menghadiri pernikahan kak Jung Chul. Dan tak dapat bertemu Yo Won… itu jugalah salah satu alasan yang membuatku kehilangan sedikit konsentrasi saat menjalankan tugas tadi, karena aku terus teringat pada Yo Won. Sial. Sekarang Bow akan lebih berhati-hati dan pengamanannya akan semakin diperketat. BB tak akan senang mendengar hal ini.
Aku menurunkan sedikit buku menu itu dari wajahku, dan melihat anak-anak buah Bow kebingungan di tengah kerumunan orang banyak, lalu berbalik kembali ke jalan yang mengarah ke toko perhiasan tadi. Aku harus memutar otak untuk mencari lebih banyak bukti dan mengambil kembali berlian langka yang dicuri oleh Bow dari seorang milyuner Jepang, ketika milyuner tersebut sedang berada di Korea dalam rangka penjualan permata tersebut.
Tak pernah terpikir olehku akan berprofesi sebagai agen rahasia yang hanya pernah kutonton di film-film. Segalanya terjadi begitu saja. Di tahun terakhir kuliah, aku pergi ke Korea karena merindukan kampung halamanku dan juga ingin melihat keadaan Yo Won, tapi kemudian ketika sampai di bandara, aku malah terlibat kekacauan yang disebabkan seorang gembong narkoba. Tanpa sengaja aku membantu penangkapan pria itu ketika berusaha kabur dari kejaran beberapa polisi, lalu keesokan harinya dua orang pria tak dikenal membawaku menghadap sang Big Boss yang menawariku pekerjaan sebagai mata-mata badan intelejen Korea. Dia terkesan dengan ketangkasan dan kekuatanku, dan setelah menyelidiki latar belakangku—termasuk keahlian taekwondoku—dia semakin tertarik untuk merekrutku.
Aku tak langsung setuju karena aku tahu pekerjaan tersebut beresiko tinggi. Tapi setelah diam-diam menjenguk Yo Won di rumahnya, dan melihatnya pergi bersama Tae Wong, aku memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Aku butuh pelarian untuk mengalihkan pikiranku dari Yo Won, dan pekerjaan yang menantang maut itu terdengar cukup mengasyikkan. Dan setelah mendapat pelatihan lebih lanjut selama beberapa bulan, aku mulai diterjunkan dalam misi—walaupun awalnya agak sulit karena aku masih harus menyelesaikan kuliahku.
Sebenarnya ketika dalam perjalanan ke Korea waktu itu, aku setengah berharap hubungan Yo Won dan Tae Wong tak berhasil, tapi melihat keakraban mereka, rupanya harapan bodohku itu tidak terkabul. Yo Won dan Tae Wong tetap bersama setelah sekian tahun berlalu. Mungkin merekalah pasangan takdir yang sebenarnya. Tanpa dapat dicegah, aku kembali patah hati, tapi aku ikut bahagia bila Yo Won bahagia.
Aku pun berusaha mencari bahagiaku sendiri. aku mencoba berhubungan dengan beberapa gadis, tapi tak pernah berlangsung lama karena aku terus saja menemukan kekurangan mereka. Mereka tidak pengertian seperti Yo Won. Mereka tidak perhatian seperti Yo Won. mereka tidak mempercayaiku seperti Yo Won. Mereka bukan Yo Won.
Tak sedikit diantara mereka sebenarnya jauh lebih cantik dari Yo Won, tapi aku mencintai Yo Won bukan hanya secara fisiknya. Aku menyukai kepribadiannya. Dan tak ada satupun gadis yang kutemui setelahnya bisa menyaingi Yo Won. Tidak satupun. Yo Won tak tergantikan untukku. Bahkan hingga sekarang. Entah sampai kapan ini akan berlangsung. Entah kapan aku baru bisa melupakannya. Mungkin tak akan pernah…
“Nam Gil!?” seru sebuah suara. Aku terkejut ketika melihat San Tak yang terlihat jauh lebih dewasa dengan kumis tipis, datang menghampiri mejaku bersama seorang wanita Korea mungil manis dalam rangkulannya.
“San Tak!” aku balas berseru. Terakhir kali aku melihat dan berkomunikasi dengannya adalah saat aku menghajar almarhum Yeom Jong di depan ruang klub taekwondo. “Apa kabarmu?”
“Baik, baik,” jawab San Tak antusias. “Bagaimana denganmu? Kau seperti menghilang di telan bumi. Bahkan pindah ke Amerika pun tanpa bicara pada siapapun. Lee Yo Won terlihat sangat kehilanganmu saat itu,” katanya, mengejutkanku.
“Benarkah?” tanyaku dengan lagak tak perduli. “Kami sudah putus.”
“Yah, aku tahu, karena dia langsung dekat dengan kak Tae Wong setelah kepergianmu. Kemana-mana selalu berdua,” komentarnya.
Aku berusaha mempertahankan senyum tipisku tetap tersungging mendengar hal tersebut. walaupun aku sudah menduganya, hatiku tetap terasa sakit mendengar kemesraan mereka. “Yah, senang bertemu denganmu lagi. sedang apa kau di sini?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.
San Tak menyeringai. “Perkenalkan ini istriku, Kang Hye Jin. Kami sedang berbulan madu di sini,” katanya penuh kebahagiaan.
“Tak kusangka ada wanita yang berhasil terjerat olehmu,” olokku. “Kuucapkan selamat, Nona, kau tak salah memilih. San Tak teman yang setia, kurasa dia akan jadi suami yang setia juga,” kataku.
“Terima kasih,” sahut Kang Hye Jin malu-malu.
San Tak tertawa gembira mendengar perkataanku. “Kita harus bertukar nomor telepon agar bisa saling berkomunikasi lagi,” katanya.
“Kau benar,” kataku. Senang rasanya bertemu teman lama. Aku memberikan nomor telepon pribadiku, dan mencatat nomor teleponnya.
“Ah, semalam aku mendapat telepon dari Moon Shik, katanya hari ini pesta pernikahan Park Ye Jin. Apa kau sudah tahu?”
Aku tersenyum masam. “Tentu saja. Park Ye Jin menikah dengan kakakku.”
“Apa!? Tapi, lalu—“ perkataan San Tak terputus dengan datangnya pramusaji yang menanyakan pesanan kami. Setelah memesan, barulah dia melanjutkan pertanyaannya. “Lalu, kenapa kau tidak menghadirinya?”
“Aku mendapat tugas mendesak dari kantorku,” jawabku.
"Apa pe—“
Sebelum San Tak menanyakan pekerjaanku, buru-buru aku mengubah topik pembicaraan kembali pada pernikahan dan kehidupannya selama kami berpisah, dan berhasil, karena perhatian San Tak segera teralihkan. Profesiku adalah rahasiaku.
Walaupun senang bertemu dan mengobrol dengan San Tak, melihatnya memunculkan kenangan-kenangan lama masa sekolahku di Korea. Kenanganku bersama Yo Won. bagaimana kabarnya sekarang? Apakah dia masih mengingatku?
Hari valentine… mengingatkanku pada cokelat bintang pemberian Yo Won. bahkan sampai sekarang kotak berisi cokelat tersebut masih tersimpan di laci apartemenku di New York—tempatku bersantai seorang diri bila sedang tidak bertugas. Cokelat valentineku satu-satunya. Pertama dan terakhir dari Yo Won. seperti Yo Won yang merupakan cinta pertama, dan mungkin cinta terakhirku…
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar