Cast :
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
Mi Shil : Go Hyun Jung
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Alcheon : Lee Seung Hyo
Bo Jong : Go Do Bin
San Tak : (TETAP)
Go Do : Ryu Dam
Jook bang : Lee Moon Shik
Seok Poom : Hong Kyung In
---------------------------------------------
Chapter 2
- Kim Nam Gil - 2 September 2010 -
Siapa bilang jalan masuk sekolah hanya gerbang depan? Aku memanjat pagar halaman belakang sekolah sambil tersenyum puas. Apa Uhm Tae wong merasa dirinya pintar? Hah… sudah jelas tak sepintar aku. Kalau aku jadi dia, pasti aku akan menyuruh orang berjaga-jaga di pagar belakang juga.
Mana mungkin aku mau menandatangani absen bodoh itu? Kunci motorku pasti akan ditahan lebih lama oleh si tua Go Young Jae bila dia mendapat pemberitahuan dari kepala sekolah bahwa aku selalu terlambat datang selama tiga hari berturut-turut, atau mungkin nantinya malah lebih.
Hupp… pendaratanku yang berlangsung mulus membuatku menyeringai senang. Setelah mengamati keadaan sekitar, aku buru-buru masuk ke gedung sekolah.
“Perkenalkan, namaku Lee Yo Won,”
Saat semakin dekat dengan ruang kelasku, lagi-lagi aku mendengar suara yang membuat bulu kudukku berdiri. Astaga, jangan bilang kalau…
“Kim Nam Gil!” geram Baek Sung Hoo. Dia guru… Biologiku…? Atau mungkin guru sejarahku…? Atau mungkin juga… “Kim Nam Gil! Sedang apa kau berdiri diam di sana? Kau mau masuk kelas ini atau tidak?”
Sengaja ingin membuatnya kesal, aku masuk sambil tersenyum jail. Si gadis pembuat bulu kudukku berdiri itu menjulurkan kepalanya melewati tubuh besar pak Baek Sung Hoo untuk menatapku. Merasa iseng, aku mengedipkan sebelah mata padanya. Haha… ekspresi wajahnya lucu sekali. Entah dia kaget melihatku bisa masuk sekolah, atau kaget karena aku mengedipkan mata padanya.
Rasa nyeri di dadaku kembali muncul. Berusaha tak menghiraukannya, aku terus berjalan menuju kursiku. Ini keberuntungan, kesialan, atau hanya takdir? Kenapa aku bertemu dengan gadis itu terus?
“Ada dua kursi kosong di kelas ini,” kata guruku itu pada si murid baru. “Tapi demi kebaikanmu sendiri, kusarankan kau duduk di sebelah Ryu Dam saja,” sarannya.
Aku mendengus keras-keras. Biar saja dia mendengar. Dasar gajah tua, dipikirnya aku virus mematikan atau apa? Memangnya kenapa kalau gadis itu memilih kursi kosong di sebelahku?
“Gadis baru itu cantik juga, ya?” kata San Tak padaku dari kursinya yang berada tepat di depanku. Matanya tak lepas memandangi gadis baru yang sedang berjalan menuju kursi di sebelah si gendut Ryu Dam.
Aku mendelik padanya. Entah kenapa aku merasa kesal mendengar San Tak tertarik pada si murid baru. “Lalu kenapa kalau dia cantik? Kau tak mungkin masuk hitungannya.”
San Tak balik mendelik padaku sambil memonyongkan bibirnya. “Aku tidak bermaksud mendekatinya,” protesnya. “Aku hanya mengatakan dia cantik. Apa salah memuji orang?” gerutunya.
Aku pura-pura tak mendengar, dan langsung mengeluarkan sembarang buku dari dalam tasku. Tapi sialnya San Tak tak mau berhenti bicara. “Walaupun misalnya aku tertarik pada gadis itu, tak mungkin aku akan mendekatinya. Tak mungkin aku sengaja mencari masalah denganmu hanya karena berebut seorang gadis.”
Aku membanting bukuku dengan keras. Kutatap wajahnya dengan tajam. “Siapa bilang aku mengincarnya?”
“Eh, yah, kau tak perlu bilang pun aku sudah tahu,” jawabnya gugup. “saat masuk tadi kau mengedipkan mata padanya, lalu barusan kau marah karena aku memuji—“
“Argh! Sudah-sudah, aku tidak mau dengar lagi!”’ bentakku.
“Bagus!” seru Pak Baek Sung Hoo dari depan kelas. “Bagus sekali! Kalau pelajaranku begitu memuakkan bagimu, seperti aku yang muak melihat tingkahmu, maka keluar saja. Ayo keluar!”
San Tak semakin salah tingkah melihat pelototan marahku padanya. Dasar bodoh. Gara-gara dia aku jadi dapat masalah. Awas saja kau nanti.
“Baiklah, baiklah, aku minta maaf,” mohon San Tak saat jam istirahat. “Tapi salahmu sendiri berteriak padaku saat jam pelajaran.”
“Sudahlah, kau jauh-jauh saja dariku,” desahku kesal. “Moodku sedang tidak bagus sekarang. Kalau tidak mau jadi sasaran kemarahanku, sebaiknya kau pergi saja.”
Benar-benar sial si gajah tua tadi. Padahal aku sudah meminta maaf dan mencoba menjelaskan, tapi dia tidak mau dengar. Dan semakin sial saat dia mendatangi mejaku dan melihat buku yang kubuka di meja adalah buku pelajaran sastra dan bukannya buku kimia, pelajaran yang sedang diajarkannya. Dasar pemarah.
“Oh ya, sore ini akan diadakan balap motor lagi di Incheon. Kau ikut, kan? Kali ini uang-nya lebih banyak,” katanya mengiming-imingiku. “Bukankah katamu ingin menyumbang pada korban bencana alam di… Indonesia? Tapi belum tercapai karena kau sedang tidak punya uang. Nah, kalau kau menang lagi di lomba kali ini, uangnya lumayan juga. Tapi… tentu saja, sebelum disumbangkan pada Negara lain, kau harus menyumbangkan sedikit untukku dulu,” lanjutnya sambil menyeringai seperti orang bodoh.
Benar. Aku memang berencana memberikan sedikit bantuan ke sana. “Sayangnya motorku sedang disita sekarang,” kataku.
“Apa? Astaga, padahal aku sudah berharap sekali kau bisa menang…”
“Kalaupun aku ikut bertanding dan kemudian menang, apa kau pikir aku akan memberi-kannya padamu? Yang benar saja.”
“Nam Gil!”
Aku menghentikan langkahku dan memutar tubuh ke arah datangnya suara yang memanggilku tadi. Ternyata Do Bin dan salah seorang sahabatnya, Hong Kyung In.
“Ada apa?” tanyaku dingin.
Do Bin tersenyum. Aku kesal melihatnya tersenyum. Dia jadi terlihat mirip Ibu. “Kami butuh batuanmu.”
“Apa imbalannya?”
Dia melambai-lambaikan sebuah kunci. “Kudengar kau butuh motor? Kau boleh pakai milikku.”
“Sebutkan saja,” perintahku.
***
- Lee Yo Won - 2 September 2010 -
“Yo Won, kau harus hati-hati,” kata Ryu Dam saat kami sedang makan siang di kafetaria. “Jangan dekat-dekat dengan Nam Gil. Dia itu tukang buat onar.”
“Benar. Bila dalam seminggu kau tidak melihatnya berkelahi, itu pertanda kiamat sudah dekat,” sambung Lee Moon Shik.
Aku hanya menanggapi dengan anggukan acuh tak acuh karena mulutku sedang penuh dengan makanan. Aku tidak takut pada Nam Gil hanya karena dia tukang buat onar, tapi aku memang agak kurang nyaman di dekatnya. Setiap di dekatnya aku merasa aneh. Hal-hal tak normal terus saja terjadi bila di dekatnya. Seperti di kelas tadi, saat dia berkedip padaku, tiba-tiba saja aku mendapat kilasan lagi. Dalam kilasan pengelihatanku itu, lagi-lagi ada pria yang sangat mirip dengan Nam Gil. Pria itu keluar dari kegelapan dan tiba-tiba mengedipkan mata kanannya padaku. Gayanya sama persis seperti yang dilakukan Nam Gil saat memasuki kelas. Dan melihat kedua kedipan mata itu membuat jantungku berdebar kencang.
“Ahh… kenyang,” desahku puas saat selesai menelan suapan terakhir.
Seharusnya kak Ye Jin masuk sekolah bersamaku hari ini, tapi kemarin dia terserang flu. Kasihan sekali. Tapi, kalau besok kakak masuk, berarti dia akan duduk di sebelah Nam Gil? Hmm… kak Ye Jin begitu halus dan lembut, dia pasti akan sangat tak nyaman berdekatan dengan orang seperti itu. Tapi aku juga merasa enggan pindah tempat duduk.
Lamunanku terhenti saat seseorang menyentuh bahuku. Si wajah datar yang tadi pagi. Aku baru membuka mulut untuk bertanya ada apa, saat mendapat kilasan pengelihatan lagi. Kali ini aku merasa seperti sedang didekap erat dari belakang. Rasanya hangat dan nyaman. Tapi kali ini bukan pria yang mirip dengan Nam Gil itu yang kulihat, melainkan pria lain. Pria itu berpakaian seperti prajurit jaman dulu dan… anehnya wajah sangat mirip dengan si wajah datar. Apa lagi ini?
“Hei, aku bertanya padamu,” si wajah datar menyadarkanku kembali ke dunia nyata. “Kau kenapa?” tanyanya lagi dengan heran.
“Eh, ah, tidak… tidak apa-apa,” jawabku tergagap. Rasanya sulit berkonsentrasi mencerna perkataannya saat kepalaku sedang dipusingkan dengan kejadian-kejadian aneh yang kualami sejak pagi.
“Aku bertanya, apa ini milikmu?” tanyanya sambil menyodorkan gantungan ponsel berwarna perak dan berbentuk bintang dengan huruf Y di tengah-tengah bintangnya—yang merupakan inisial namaku.
Aku merogoh ke saku rokku dan melihat ponselku memang kehilangan gantungannya. “Ya, itu milikku. Bagaimana bisa ada padamu?” tanyaku.
“Kau menjatuhkannya. Tanpa sengaja aku menginjaknya,” jawabnya sambil memberikan gantungan itu. “Permisi,” lanjutnya sambil berjalan pergi.
“Nah, yang itu baru pilihan tepat bila kau mencari pacar,” kata Moon Shik sambil tersenyum. “Namanya Uhm Tae Wong. Dia ketua OSIS dan putra kepala sekolah kita.”
“Aku—“
“Atau,” sela Ryu Dam cepat, dengan mulut yang penuh makanan. “kau bisa pilih sahabatnya. Itu, yang baru saja duduk di sebelah kak Tae Wong. Dia wakil ketua OSIS. Namanya Lee Seung Hyo. Dia tegas dan sama bisa diandalkannya dengan ketua OSIS kita.”
“Tapi,” potongku cepat, sebelum mereka mulai bicara lagi. “Aku tidak pernah bilang sedang mencari pacar, kan?”
“Oh, kau sudah punya kekasih? Yah, kami hanya sekedar memberi informasi,” kata Moon Shik. “Asal tahu saja, mereka berdua itu termasuk yang paling populer di kalangan gadis seantero sekolah. Bahkan banyak juga murid perempuan dari sekolah lain yang mengincar keduanya.”
“Aku—“
“Tapi, tapi,” potong Ryu Dam lagi. “Nam Gil juga sangat populer. Dia digilai banyak gadis SMU seantero Seoul. Tentu saja karena dia sering berkeliaran, jadi banyak yang mengenalnya. Walaupun aku heran kenapa bisa ada gadis yang menyukai berandalan sepertinya. Yah, memang wajahnya lumayan juga, kuakui. Apalagi paman dan bibinya sangat kaya.”
“Aku tidak memiliki pacar, dan juga tidak sedang berburu lelaki,” omelku. “Kalian ini suka sekali menyela perkataan orang.”
“Ya, ya, baiklah, mulai sekarang kami akan tutup mulut,” gerutu Moon Shik.
“Benar,” Ryu Dam menyetujui. “Kami tidak akan bicara sepatah kata pun.”
Aku tersenyum masam melihat tingkah mereka yang seperti anak kecil. Dasar. Begitu saja ngambek. Tapi senyumku segera menghilang saat melihat pemuda yang baru saja memasuki kafetaria. Itu… tidak mungkin… itu Go Do Bin!?
“Moon Shik… Ryu Dam… itu… siapa dia? Siapa nama anak yang sedang memillih makanan itu?” tanyaku gugup. Hening. Tak ada jawaban.
Moon Shik dan Ryu Dam berpura-pura tak mendengar perkataanku dan dengan sengaja tak mau memandangku.
“Hei!” aku berseru sambil mengguncang tubuh keduanya bergantian. “berhentilah bersikap menggelikan begini. Ayo, jawab aku!”
Kedua teman baruku itu melayangkan pandangan penuh pertimbangan padaku, lalu meli-rik pemuda yang kukira adalah Go Do Bin.
“Mereka berdua? Itu Go Do Bin dan Hong Kyung In. Mereka—“
Aku tidak mendengar kelanjutan informasi dari Moon Shik. Aku terlalu kalut. Ternyata benar. Ingatanku tidak salah. Dia memang Go Do Bin. Putra kedua Go Hyun Jung. Musuhku dan Ibu.
Film-film itu jelas bohong. Mereka selalu menceritakan orang-orang yang berpisah saat kecil tak akan saling mengenal ketika sudah dewasa. Nyatanya wajah setiap orang tak berubah begitu jauhnya walau mereka beranjak dewasa. Meskipun terakhir kali aku melihat Do Bin saat berumur enam tahun, aku masih mengingatnya. Dia hanya setahun lebih tua dariku. Berarti saat ini dia sudah kelas tiga.
“Kau tertarik pada yang mana? Go Do Bin atau Hong Kyung In?” tanya Ryu Dam. “Tapi kalau menurutku lebih baik dengan Go Do Bin. Walaupun sama sombongnya dengan temannya, tapi dia sangat kaya. Dia kan—“
“Ya ampun, sudahlah,” selaku. “aku tidak mengincar siapa-siapa,” gerutuku. Mengincar Go Do Bin? Yang benar saja. Walaupun seluruh pria di dunia ini punah, dan hanya tersisa putra-putra Go Hyun Jung, aku tak akan memilih mereka. Lebih baik aku menjadi perawan tua hingga akhir hayat. Aku tidak sudi dihubung-hubungkan dengan keturunan Go Hyun Jung. Tidak sudi!
***
- Kim Nam Gil - 2 September 2010 -
Hah… bisa juga si anak kesayangan Ibu membuat masalah. Do Bin, Kyung In, dan tiga teman mereka yang lain—yang tidak kukenal—sedang mendiskusikan penyerangan anak SMU Yanmook, tapi aku malas ikut menanggapinya. Terserah mau berapa banyak jumlahnya, asalkan cepat selesai dan aku bisa meminjam motor Do Bin.
“Apa jumlah kita cukup?” tanya salah seorang teman Do Bin yang terlihat resah.
Do Bin tersenyum sombong sambil menjawab, “Tentu saja cukup. Mereka tidak kuat dan jumlah merekapun tak banyak. Apalagi ada aku, Kyung In dan Nam Gil. Sebentar saja pasti selesai.”
Tapi temannya itu masih terlihat tak percaya. “Yah, kalian bertiga memang ahli taekwondo, tapi kami kan tidak.”
“Sudahlah, yakin saja semua pasti beres,” kata Kyung In tak sabar. “Jangan jadi pengecut begitu.”
“Yah, tapi sebenarnya karena apa mereka menyerang kemari?” tanya yang lain penasaran.
Kyung In melirik Do Bin ragu-ragu, sebelum menjawab, “Do Bin merebut gadis yang diincar seorang murid Yanmook.”
Aku mendengus keras. Jadi karena gadis? Menggelikan. Wanita memang hanya membuat masalah saja. Contoh paling tepat adalah ibuku sendiri.
“Tapi, apa kalian sudah memperkirakan berapa orang yang akan datang kemari?” tanya yang lain lagi.
“Kurasa… sekitar sepuluh orang,” jawab Do Bin acuh tak acuh. Lagi-lagi dia menampilkan senyum sombongnya yang menyebalkan itu.
Aku melihat ada serombongan orang berseragam biru-hitam-merah mendekat. “Tebakan-mu salah,” ejekku sambil tertawa. “Itu mereka. Dua puluh… mungkin lebih.”
Nah, aku puas melihat senyum menyebalkan di wajah Do Bin memudar dan digantikan rasa terkejut.
“Bagaimana mungkin dia punya komplotan sebanyak itu?” desis Do Bin.
Aku tak tahan untuk tidak tertawa melihat ekspresi Do Bin dan kegelisahan teman-temannya. “Kau ini naïf sekali,” olokku. “Tentu saja sainganmu itu meminta bantuan anggota geng sekolahnya. Kau tidak pernah dengar? Bos geng SMU Yanmook itu sangat ditakuti di sekolahnya sana,” tambahku, sengaja menakut-nakuti.
Tiba-tiba gerombolan SMU Yanmook berlari cepat menuju kami sambil mengayun-ayunkan kayu dan beragam senjata lain yang mereka bawa.
“Serang!!!” teriakku dan Do Bin bersamaan.
Jumlahnya memang tidak imbang, tapi justru tantangan itu yang mengasyikkan. Aku memukul seorang yang bertubuh paling besar dengan kayu yang kubawa, lalu menendang perutnya dengan keras. Kulihat Do Bin juga dengan cepat menumbangkan musuhnya, dan balas melirikku.
“Ingat, ini idemu. Jangan bawa-bawa aku kalau Go Young Jae mendengar tentang ini,” kataku memperingatkannya.
Do Bin memukul punggung seseorang dengan kayunya hingga roboh, lalu menyeringai padaku. “Tenang saja,” sahutnya.
Aku membalas seringaiannya sambil menghajar dua orang sekaligus. Hah… makin lama ini makin mengasyikkan. Tapi tiba-tiba sudut mataku menangkap gambaran seorang gadis sedang berdiri tak jauh dari tempat kami berkelahi. Astaga, itu si gadis baru!
Bukk… karena lengah ketika melihat gadis itu, seseorang mengambil kesempatan untuk meninju perutku. Cukup keras. Sial. Cepat-cepat aku menghantam kepalanya, lalu berlari menuju si gadis baru.
“Sedang apa kau disitu!?” teriakku. “Pergi!” Mungkin jalan pulangnya memang lewat jalan ini, tapi hari ini dia harus memutar lewat jalan lain bila tidak ingin celaka.
Gadis itu tersentak kaget mendengar teriakanku. Dia langsung berbalik pergi, tapi sialnya seorang siswa Yanmook yang keburu melihatnya, segera menangkap gadis itu. Melihat si brengsek itu berani menyentuh si gadis baru, membuat kepalaku pusing dengan amarah. Dadaku terasa sesak dengan emosi yang meluap-luap. Aku segera berlari dengan membabi buta untuk menolongnya, tapi ternyata si gadis baru bukanlah bunga yang rapuh. Dengan sigap dia menyikut perut pemuda itu, menonjok rahangnya, lalu yang terakhir, menendang selangkangannya. Tanpa kusadari, tiba-tiba aku sudah tersenyum bangga melihat keberanian-nya. Tapi tetap saja dia tidak boleh ada di tempat ini.
“Kenapa kau disini!?” bentakku. “cepat pergi!”
Gadis itu melotot marah. “Ini jalan pulangku. Mana kutahu sedang ada perkelahian di sini!?” sahutnya marah.
“Gadis itu! Dia gadis SMU Chongjan! Tangkap dia!” teriak bos geng SMU Yanmook pada seluruh anak buahnya
“Sial,” makiku sambil mengambil posisi melindungi gadis baru itu.
“Ada apa ini!?” Aku menengok ke arah datangnya suara itu dan melihat Tae Wong berlari mendekat dengan wajah cemas.
Berdua dengan sang ketua OSIS, aku berusaha melindungi si gadis baru dari jangkauan murid-murid SMU Yanmook.
“Menjauhlah!” perintahku. “Jangan ada yang berani mendekat. Kalau ada yang berani menyentuhnya, akan kuhabisi!” ancamku. Dan aku bukan bersikap sok pahlawan. Aku benar-benar serius dengan perkataanku. Entah kenapa aku merasa harus melindunginya semampuku. Padahal biasanya aku tak begitu perduli pada orang asing.
Aku dan Tae Wong terpaksa tak dapat leluasa bergerak karena juga harus melindungi si gadis baru. Kami benar-benar dikepung. Do Bin, Kyung In, dan tiga teman mereka yang lain juga sedang di kepung oleh sebagian murid SMU Yanmook yang lain dan tak bisa membantu.
Merasa sangat kesal, aku melampiaskannya pada bos mereka yang dengan beraninya meninju rahangku hingga terasa sakit. Walaupun dia sudah terjatuh, aku terus menghajarnya dan sekaligus menghajar anak-anak buahnya yang berniat membantu bos mereka dengan mengeroyokku.
“Nam Gil, awas!” tiba-tiba si gadis baru meneriakiku.
Dan bodohnya aku, begitu mendengarnya menyebut namaku, tubuhku langsung berubah kaku. Bulu kudukku kembali berdiri, dan ada perasaan aneh di hatiku yang sullit diungkapkan. Salah satu hal yang kurasakan adalah… gembira.
Aku terkejut melihat gadis itu mengangkat tasnya tinggi-tinggi sambil berlari ke arahku. Bukk… dia melempar tas itu ke wajah bos anak-anak SMU Yanmook yang rupanya berhasil bangkit dan berniat menusukku dengan pisau kecilnya saat melihatku lengah dan melamun. Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku segera merebut pisau kecilnya dan membuangnya jauh-jauh, lalu menendang perutnya dengan keras hingga dia jatuh terduduk.
Terdengar suara sirine mobil polisi. Dengan panik gadis itu mengambil kembali tasnya, lalu meraih tanganku dan tangan Tae Wong, kemudian menarik kami berdua berlari bersama-nya. Dan seperti orang bodoh, aku hanya bisa mengikutinya. Aku… tercengang.
Dia… si gadis baru… dia menyelamatkanku. Dia menyelamatkanku. Tak pernah ada yang menyelamatkanku sebelumnya. Orang-orang biasanya meminta pertolonganku untuk membantu mereka, tapi gadis ini justru menyelamatkanku. Dia menyelamatkanku.
***
- Lee Yo Won - 2 September 2010 -
Aku sudah tidak kuat lagi berlari. Napasku terasa sesak. Aku menghentikan lariku sambil mengatur napas dengan susah payah. Kutengok kebelakang, dan tak melihat tanda-tanda kami diikuti. Syukurlah. Tapi… saat kutengok ke sekelilingku… dimana ini?
Seseorang berdeham. Aku baru tersadar kalau ternyata masih memegangi tangan Nam Gil dan kak Tae Wong. Dengan malu aku buru-buru melepaskan peganganku.
“Emm, apa ada yang tahu sekarang kita di mana?” tanyaku setenang mungkin. Kutatap Nam Gil. “aku benar-benar tidak tahu jalan.”
Bukannya menjawabku, pemuda itu hanya berdiri diam sambil memandangiku lekat-lekat. Aku merasa risih diperhatikan seperti itu. Bukan hanya karena caranya memandangku, tapi juga karena melihat sosok Nam Gil mengingatkanku pada kilasan pengelihatan yang kudapat di tempat perkelahian tadi.
Saat Nam Gil berdiri di depanku dengan gaya melindungi, dan mengeluarkan ancaman agar para berandalan itu tidak berani mendekatiku, tiba-tiba terlintas di benakku kejadian yang hampir serupa. Dalam kilasan itu lagi-lagi aku melihat seorang pria yang sangat mirip dengan Nam Gil. Pria berpakaian lusuh dengan model seperti pesilat itu berdiri melindungiku persis seperti yang dilakukan Nam Gil. Pria itu juga mengancam gerombolan pria asing berpakaian prajurit kuno yang mengacungkan pedang pada kami. Benar-benar gila. Apa yang terjadi padaku? Memangnya kapan aku pernah berada dalam situasi seperti itu?
“Kau tidak apa-apa?” lagi-lagi kak Tae Wong yang menyadarkanku dari lamunan.
“Ah, ya, tidak. Aku tidak apa-apa,” jawabku cepat. Kulirik Nam Gil, dan ternyata dia masih juga memandangiku.
“Kau baru pindah ke Seoul?” tanya kak Tae Wong.
Aku mengangguk. “Baru sekitar seminggu,” jawabku.
“Kalau kau mau, aku bisa membantumu mencari jalan pulang,” tawarnya. “Dimana alamatmu?”
Aku menyebutkannya, dan kak Tae Wong terlihat terkejut. “Rupanya kau dan keluargamu yang menjadi tetangga baruku,” katanya. “Rumahku di sebelah rumahmu.”
Aku tertawa. “Benarkah? Kebetulan sekali.”
Suara musik menyela pembicaraan kami. Aku dan kak Tae Wong menatap Nam gil yang baru tersadar bahwa itu bunyi ponselnya.
“Ya?” tanyanya pada orang yang meneleponnya dengan suara keras. Dia terdiam mendengarkan kata-kata dari orang yang meneleponnya sambil melirikku. “Baiklah, aku akan segera ke sana. Ya.”
“Kenapa kalian berkelahi tadi?” tanya kak Tae Wong pada Nam Gil setelah pemuda itu mengakhiri pembicaraannya.
Nam Gil meringis. “Aku hanya membantu. Anak-anak SMU Yanmook yang lebih dulu menyerang Do Bin dan Kyung In,” jawabnya cepat. “Maaf, tanya-jawabnya dilanjutkan nanti saja. Aku buru-buru. Sampai jumpa,” katanya. Dia melirikku sekilas, kemudian berlari menjauh.
Kak Tae Wong mengamati kepergian Nam Gil sambil menghela napas. “Baiklah, ayo kita pulang,” ajaknya.
Karena rumah kami dekat dengan sekolah, maka kami hanya perlu berjalan kaki dan tak usah naik bus atau kereta. Kak Tae Wong juga menunjukkan jalan lain menuju rumah bila tidak bisa melewati jalan pulang-pergiku sebelumnya. Tak seperti dugaanku ternyata dia orang yang cukup ramah, walaupun memang bisa dibilang pendiam.
“Yo Won,” sapa kak Ye Jin dari depan pagar rumah kami.
“Kakak? Bukannya kakak masih sakit?” tanyaku. Cepat-cepat aku mendekatinya.
Kak Ye Jin tersenyum. “Aku sudah lebih sehat sekarang,” jawabnya. Dia melirik kak Tae Wong. “Temanmu?”
Aku balik tersenyum. “Kak, perkenalkan, ini Uhm Tae Wong, senior kita di sekolah. Dia juga ketua OSIS dan tetangga kita,” kataku memperkenalkan. “Kak Tae Wong, perkenalkan, ini kakakku, Park Ye Jin.”
Kulihat kak Tae Wong sedikit mengerutkan kening—mungkin dia heran mendengar perbedaan nama keluargaku dan kakak—sebelum kemudian tersenyum ramah pada kak Ye Jin yang juga membalas senyum itu dengan ramah pula.
“Baiklah, aku permisi,” kata kak Tae Wong sopan, setelah sebelumnya bersalaman deng-an kak Ye Jin.
Kulihat kakak mengamati kak Tae Wong hingga menghilang ke dalam rumahnya, lalu dia tersenyum lebar padaku. “Bagaimana sekolah baru kita?” tanyanya.
Aku mendesah. “Ceritanya panjang, jadi aku akan cerita di dalam saja,” kataku sambil menariknya masuk.
Aku terbangun. Kulihat kak Ye Jin masih tidur nyenyak di ranjangnya. Sekarang tepat jam 12.00 malam. mimpi barusan… aku bermimpi ada seorang pria menyodorkan rangkaian bunga kuning cerah padaku. Wajah pria itu terkesan kekanakan, apalagi ditambah dengan senyum lebarnya yang jenaka. Melihat senyumnya hatiku terasa hangat dan melambung tinggi. Tapi saat aku akan meraih bunga yang disosorkannya padaku, aku terbangun.
Rasanya dulu aku juga pernah mengalami mimpi yang sama… Ah! Ya, saat aku masih kecil, saat kabur bersama Ibu, aku memimpikan pria itu juga. Dulu aku tidak mengenali wajahnya, tapi… sekarang aku tahu. Pria yang ada di mimpiku tadi adalah pria yang sama dengan pria yang kulihat dalam kilasan pengelihatan saat di sekolah. Pria yang berwajah mirip dengan Nam Gil.
Tapi kenapa? Kenapa pria itu bisa muncul di mimpi dan di benakku? Siapa pria itu? Apa hubungannya dengan Kim Nam Gil? Dan yang terpenting, apa hubungannya denganku?
“Yo Won?” terdengar suara pelan kak Ye Jin. “Ada apa? Kenapa kau terbangun malam-malam begini? Apa kau masih memikirkan sepupumu itu?” tanyanya, mengingat ceritaku saat di sekolah bertemu dengan Go Do Bin.
Aku mendengus. Untuk apa memikirkannya? “Dia nukan benar-benar sepupuku,” kataku. “Kami tidak memiliki hubungan darah. Dia hanya sepupu tiri.”
“Kau masih memikirkan cara membalas dendam pada ibunya?” tanya kak Ye Jin dengan nada khawatir. “Itu tidak baik, Yo Won. Lupakan masa lalu, lanjutkan saja hidupmu. Lupakan orang-orang yang menyakitimu dan ibumu. Pada saatnya nanti mereka akan mendapat balasannya sendiri. Balas dendam hanya akan menimbulkan masalah saja,” sarannya.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum pada kakak. Kak Ye Jin terlihat begitu khawatir. “Tenang saja,” kataku.
Pura-pura menguap, lalu aku bersemunyi dalam selimut. Dengan sengaja aku ingin mengakhiri pembicaraan tentang pembalasan dendamku. Kak Ye Jin yang baik, halus dan lembut hati tak akan mungkin mengerti. Dia beruntung. Dia memiliki orangtua lengkap yang saling mencintai dan juga sangat menyayanginya. Tidak sepertiku.
Kakak tak akan mungkin mengerti perasaanku. Bagaimana takutnya aku saat berumur enam tahun. Betapa takutnya aku melihat Ibu sekarat. Ibu yang kucintai dan satu-satunya orang yang benar-benar mencintaiku tanpa syarat. Aku takut Ibu mati dan meninggalkanku. Aku takut sendirian. Dan aku memang sendiri setelah Ibu tiada. Paman, Bibi, dan kak Ye Jin memang baik dan menyayangiku seperti bagian keluarga mereka sendiri, tapi mereka tetap orang asing. Sedangkan Ayah yang seharusnya menyayangiku, malah tak memperdulikan keberadaanku. Dan karena Ayah dan saudara tirinya, Ibuku meninggal.
Salahkah aku bila membenci mereka? Berdosakah aku memikirkan untuk membalas sakit hati yang aku dan Ibuku rasakan?
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar