Sabtu, 22 Januari 2011

THE REINCARNATION - Chap 28 - Ending - Fanfiction BIDEOK / NAMWON -

CHAPTER 28



Cast :

Bi Dam : Kim Nam Gil                                   
Deokman : Lee Yo Won

Mi Shil : Go Hyun Jung                                 
King Jin Pyeong : Lee Min Ki
Chil Sook : Park Kil Kang                                  
Sohwa : Park Young Hee

Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Yong Soo : Kim Jung Chul                                
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Alcheon : Lee Seung Hyo
Choon Choo : Yoo Seung Ho                                 
Bo Ryang : Yoo Eun Bin                            
Young Mo : Qri                               
San Tak : TETAP
Bo Jong : Go Do Bin
Ha Jong : Go Jung Hyun                                 
Kim Min Sun : Go Min Sun
Jook Bang : Lee Moon Shik                                
Go Do : Ryu Dam


-------------------------------------------------------------


- Lee Yo Won - 19 Februari 2021 - Bali, Indonesia -       

Hatiku dilanda kecemasan kuat yang tak kunjung hilang semenjak mendapat telepon dari Nam Gil beberapa hari lalu. Dia mengirimiku tiket dan memintaku datang ke Bali untuk menolongnya tanpa mengatakan lebih rinci alasannya. Dan setelah telepon singkat itu, Nam Gil tak dapat dihubungi sama sekali.

Walaupun panik, aku tetap berusaha tenang demi mengurus segalanya dengan cepat untuk keberangkatanku. aku hanya menceritakan rencana kepergianku ke Indonesia pada Ayah—itupun hanya versi singkat dariku yang mengatakan ingin berlibur, karena aku tak ingin membuatnya khawatir—tapi aku tidak bisa berpamitan padanya saat akan berangkat, karena sehari sebelum keberangkatanku, Ayah pergi untuk urusan bisnis di luar kota.

Kini, aku telah tiba di bandara Ngurah Rai. Aku menarik koperku menuju pintu keluar. Hari mulai gelap, membuatku semakin resah. Aku merogoh ke dalam tas tanganku untuk mengambil kertas alamat tempat yang harus kutuju—kertas itu ada di dalam amplop cokelat bersama kiriman tiket Nam Gil waktu itu. Uluwatu. Nama yang asing bagi telinga dan bibirku saat mencoba mengucapkannya. Tempat macam apa itu? kenapa Nam Gil menyuruhku pergi ke sana? Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? jantungku berdebar-debar penuh kecemasan.

Saat mengedarkan pandangan memilih taksi mana yang akan kupakai jasanya, aku dikejutkan dengan suara yang memanggilku. Aku menoleh dan lebih terkejut lagi ketika melihat kedua pria di hadapanku. Go Jung Hyun dan Go Do Bin! Kakak-kakak tiri Nam Gil.

“Sedang apa kalian di sini?” tanyaku cepat.

“Menjemputmu,” jawab Do Bin singkat. “Ayo,” ajaknya sambil berbalik menuju mobil CRV hitam yang terparkir tak jauh dari tempatku berdiri.

“Ayo,” ulang Jung Hyun.

Otakku seolah lumpuh dan tak mampu mencerna dengan baik apa yang terjadi. “Kenapa kalian menjemputku? Akan pergi ke mana kita? Sedang apa kalian di sini?” tuntutku dengan serentetan kalimat cepat. Tapi kemudian jawaban dari semua pertanyaan itu melintas di kepalaku begitu saja. “Nam Gil,” gumamku. “Kalian tahu di mana Nam Gil? apakah dia yang menyuruh kalian menjemputku?”

Jung Hyun meringis. “Tidak bisakah kau masuk ke mobil saja dulu? Kita bicarakan nanti,” katanya tak sabaran. “Kalau kau masih ingin melihat Nam Gil hidup, cepat ikut kami.”

“Apa!?” seruku. “Nam Gil terluka?”


Do Bin berdecak kesal. “Jangan dengarkan dia,” katanya. “Tapi kita memang harus cepat pergi. tenang saja, kami akan membawamu menemuinya.”

Tanpa banyak bicara lagi aku masuk ke dalam mobil itu. berbagai pertanyaan berputar-putar dalam kepalaku. Apa yang terjadi? Kenapa Jung Hyun dan Do Bin bisa ada di Negara ini juga? apa Nam Gil menghubungi keduanya juga? untuk apa? Dia memintaku datang untuk menolongnya, tapi bila ada kedua saudaranya… sebenarnya dia dalam keadaan bahaya atau tidak?

“Apakah kita akan pergi ke Uluwatu?” tanyaku pada Jung Hyun yang duduk bersamaku di kursi belakang—Do Bin duduk di depan bersama sopir.

“Yah, sesuatu yang namanya sepertinya begitu,” jawab Jung Hyun agak tak yakin. “Sejujurnya aku tidak hapal nama tempatnya.”

“Apakah Nam Gil sehat-sehat saja?” tanyaku lagi dengan lebih mendesak.

“Terakhir kali kulihat dia tidak apa-apa,” jawab Jung Hyun.

Do Bin menoleh ke belakang. “Kau tak perlu khawatir, dia baik-baik saja,” tambahnya.

Debaran jantungku mulai memelan hingga menjadi normal. Nam Gil baik-baik saja. kelegaan memenuhi dadaku. Syukurlah. Bersamaan dengan hilangnya kecemasanku, rasa kantukpun datang menyerang. Selama beberapa hari ini aku kurang tidur memikirkan keadaan Nam Gil, tapi setelah tahu dirinya baik-baik saja… aku menguap, dan tepat sebelum mataku terpejam, aku melihat keindahan pemandangan matahari terbenam. Bali. Akhirnya aku menjejakkan kaki di tempat ini. begitu indah. Seandainya aku melihatnya bersama Nam Gil…

Aku seolah kembali pada kehidupan pertamaku dulu. Pada pertemuan pertamaku dengannya. Pertemuan yang menentukan takdir kami. dalam sebuah goa, ketika dia muncul dari balik kegelapan dan mengedipkan matanya padaku. Dan setelahnya bagaikan air yang mengalir, aku terus berpindah dari satu kejadian pada kejadian lain. Di setiap gambaran yang kulihat itu, selalu ada dirinya. Bi Dam. Nam Gil.

Ada saat-saat bahagia ketika dia membuatku tertawa karena tingkah dan senyumnya, juga saat-saat sedih, seperti ketika aku memeluknya setelah kematian Penjaga Stempel Istana Mi Shil. Ibunya.

“Yo Won,” sebuah suara mengusik tidurku. “Yo Won, ayo bangun.”

Dengan enggan aku membuka mataku, dan melihat Ayah. “Ayah!” seruku. Seketika kantukku hilang, digantikan rasa terkejut yang amat sangat.

Ayah tersenyum sambil membimbingku turun dari mobil. “Ayo masuk,” ajaknya.

“Kenapa Ayah bisa ada di sini?” desakku lagi sambil melangkah keluar dari mobil. “Bukankah Ayah pergi ke Taegu? Sedang apa Ayah di sini?”

Senyum Ayah semakin melebar. “Seseorang mengundangku,” jawabnya.

“Seseorang?” Aku mengalihkan perhatianku pada Jung Hyun dan Do Bin yang berjalan di depan kami, dan si sopir yang membawa koperku menuju sebuah bangunan indah. “Di mana ini?”

“Villa Karang Putih,” jawab Ayah perlahan, menyebutkan apa yang juga tertulis di kertasku—dengan sedikit kesulitan menyebutkan nama tersebut. “Di Uluwatu.”

“Ini tempatnya?” gumamku pada diri sendiri. Dengan kagum aku mengamati Villa Karang Putih yang dikelilingi daun-daun hijau dan bunga-bunga tropis yang sedang berbunga, juga terlihat birunya laut samudra hindia Uluwatu yang mempesona sebagai latar belakang bangunan vila tersebut. Walau sekarang telah malam, tapi cahaya bulan yang bersinar terang dan lampu taman membuatku tetap dapat melihat semua keindahan itu. “Nam Gil!? dia ada di sini?” tanyaku cepat setelah tersadar dari kekagumanku.

“Tentu saja,” jawab Ayah. “Tapi kau tidak akan menemuinya sekarang,” lanjutnya sambil membimbingku menaiki tangga bagian depan rumah yang di sisi kiri dan kanannya dijaga patung singa.

Hatiku memberontak, aku ingin segera bertemu dengannya, tapi aku mencoba lebih tenang dan bersabar. “Ada apa sebenarnya?” tuntutku. “diakah yang mengundang Ayah kemari?”

“Benar,” jawabnya singkat. Kami terus berjalan mengikuti si sopir yang membawa koperku, sedangkan Do Bin dan Jung Hyun entah hilang ke mana di salah satu ruangan dalam bangunan ini. “Itu kamarmu. Masuklah,” perintah Ayah, menyuruhku masuk ke sebuah ruangan yang sebelumnya dimasuki si sopir untuk menaruh koperku.

“Kamarku?” Lama-lama aku sendiri pun muak mendengar pertanyaan yang terus keluar dari mulutku.  Dengan patuh aku memasuki kamar berubin terracotta berwarna abu-abu tua tersebut. Di tengah ruangan terdapat sebuah tempat tidur berukuran besar yang mendominasi ruangan.

“Yo Won, aku sudah tak sabar menunggu kedatanganmu!” Aku menoleh ke arah munculnya suara tersebut dan melihat kak Ye Jin keluar dari sebuah pintu lain yang terhubung dengan kamar ini.

“Kakak!” seruku.

“Akan kutinggal kalian,” kata Ayah dengan nada geli, lalu menutup pintu kamar.

“Apa yang sebenarnya terjadi di sini!?” tuntutku makin tak sabaran. Rasa penasaran dan kesal—karena sepertinya hanya aku yang tak tahu apa yang sedang terjadi—berpadu dalam diriku. “Kenapa kakak juga ada di sini?”

Kak Ye Jin tersenyum lebar sambil berjalan menghampiriku lalu memelukku erat. “Tentu saja aku harus ada di sini untuk menyaksikan pernikahanmu!”

“Pernikahanku!?” ulangku dengan berseru.

Kak Ye Jin mengangguk antusias. Dia berjalan cepat ke arah lemari putih besar berhias panel berbentuk singa yang diletakan di belakang tempat tidur, bersebelahan dengan sebuah cermin antik besar. Dari dalam lemari itu kakak mengeluarkan sebuah gaun putih indah yang membuatku terpana memandanginya.

Mata kak Ye Jin terlihat berkaca-kaca. “Akhirnya… aku dapat melihatmu menjadi wanita sesungguhnya. Menikah. Berkeluarga. Memiliki seseorang sebagai tempatmu bersandar dan mencari perlindungan,” gumamnya.

Aku langsung memeluknya.”Kakak…” gumamku dengan suara bergetar penuh rasa haru, teringat pesannya dulu sebelum ajal menjemput di kehidupan pertamanya.

Kak Ye Jin mendorongku halus. “Sudahlah, tak boleh menangis di hari sebahagia ini,” katanya. “Ayo, cepat lepas pakaianmu dan kenakan gaun ini.”

“Kakak serius? Pernikahanku?” tanyaku lagi. “Nam Gil merencanakan ini!?”

“Dia romantis sekali,” desah kakak sambil tersenyum bahagia. “Tiba-tiba saja dia menghubungi rumahku dan meminta kami segera berangkat ke mari untuk membantunya menyiapkan kejutan untukmu. Dengan bantuan teman semasa kuliahnya, dia berhasil mengurus surat ijin menikah kalian dan hal-hal lain yang diperlukan untuk pernikahan ini dengan cepat. Astaga, aku masih sulit percaya ini benar terjadi!”

Aku lebih tak percaya lagi. terkejut, bahagia, kesal, semua bercampur aduk dalam dadaku. Aku terkejut karena Nam Gil merencanakan semua ini tanpa membicarakannya denganku, dan aku bahagia… amat sangat bahagia memikirkan bahwa akhirnya kami dapat bersatu dalam pernikahan,  tapi… aku juga kesal padanya yang membuatku cemas setengah mati beberapa hari ini memikirkan dirinya sedang dalam situasi buruk.

“Saat ini Nam Gil mungkin sudah selesai bersiap-siap dan sedang menunggumu,” kata kak Ye Jin lagi. “Jangan membuatnya menunggu terlalu lama, cepatlah berdandan.”

“Gaun itu… rancangan Anne Barge?” tanyaku kagum.

Kak Ye Jin tersenyum. “Saat Nam Gil memintaku memilihkan gaun pengantin untukmu dengan cepat, aku begitu bersemangat. Tadinya aku ingin memilih gaun sensasional rancangan Vera Wang—berhubung Nam Gil tidak membatasi budget untuk gaunmu—tapi kemudian aku teringat caramu memandangi gaun Anne Barge ini ketika dulu kau menemaniku memilih gaun pengantin,” kata kakak riang. “Kau terlihat sangat menginginkannya.”

“Ya,” gumamku dengan suara serak. “Gaun ini elegan dalam cara yang anggun dan sederhana. Tidak terlalu meriah dan modelnya pun tak lekang oleh waktu. aku sangat menyukainya.” Gaun putih itu terbuat dari bahan tulle bertali kecil yang memang dirancang untuk menonjolkan kerampingan pinggul pemakainya. Rok panjangnya jatuh dengan lembut dari pinggang hingga mata kaki dengan memberi kesan seperti awan tipis yang melayang mengitari tubuh si pemakainya.

“Benar, memang sederhana, tapi gaun ini tetap membuat Nam Gil mengeluarkan uang yang tidak sedikit,” gumamnya.

“Apakah sangat mahal?” tanyaku sedikit khawatir.

“Tenang saja, Nam Gil bahkan tak mengacuhkan sedikitpun ketika kusebutkan harganya,” kata kak Ye Jin disertai senyum. “Dia lebih dari mampu. Tidakkah kau perhatikan vila ini? dia juga yang membayari tiket pesawat kami semua. Kurasa pekerjaannya memberinya pendapatan yang lebih dari cukup—sampai sekarang aku masih penasaran apa sebenarnya profesinya.”

Rasa penasaran itu juga menghantuiku selama ini walaupun berusaha kutekan demi kenyamanan hubunganku dan Nam Gil—karena tampaknya dia benar-benar tidak suka membicarakan pekerjaannya.

Dengan jantung berdebar-debar penuh harap dan kebahagiaan yang membuncah, aku memakai gaun pengantin tersebut dengan bantuan kak Ye Jin. Rasa tak sabar untuk segera bertemu Nam Gil dan bersatu dengannya memenuhi kepala dan hatiku.

“Siapa saja yang menghadiri pernikahan ini?” tanyaku sambil memakai lipstick.

“Hanya keluarga. Ayahmu, orangtuaku, Ayah Nam Gil, aku, Jung Chul, dan putriku, juga kedua kakak tiri Nam Gil yang lain dan Ibunya. Oh, tentu saja teman kuliah Nam Gil dan istrinya juga diundang.”

Bibi Hyun Jung juga ada. Nam Gil benar-benar bergerak cepat.

“Astaga, begitu terburu-buru, aku sampai melupakan buket bunga untukmu!” gerutu kak Ye Jin. “Dan rambutmu. Apa tak masalah bila digelung sederhana saja? aku kurang pandai merias rambut. Hah… kenapa Nam Gil memaksa ingin menikah malam ini juga, dan tidak menunggu besok pagi atau siang.”

Aku juga heran dengan pilihan waktu Nam Gil, tapi karena aku sendiri pun tak sabar ingin menjadi pasangannya secara resmi, aku tak keberatan dengan semua ketergesaan ini.

“Biarkan saja, aku akan mengurai rambutku saja,” kataku tenang. “Dan tak usah memusingkan buket bunganya,” tambahku sambil menghampiri vas yang berhiaskan bunga mawar putih. Aku mengambil satu tangkai dan mengguntingnya dengan gunting yang berada di meja rias, lalu menyelipkannya di atas telinga kananku. “Cukup satu bunga ini saja, tidak perlu banyak bunga.” sama sepertiku yang tak memerlukan yang lain selain Nam Gil.

“Apa tidak terlalu sederhana? Memang benar ini hanya pesta keluarga, tapi—“

“Tidak apa-apa, aku lebih suka begini,” kataku menenangkan.

“Oh ya, ini juga ada pemberian Nam Gil,” kata kak Ye Jin sambil mengeluarkan kotak beledu kecil dari laci meja rias. “Aku belum membukanya karena menunggumu. Ayo buka.”

“Anting berlian,” gumamku. Rasa hangat menjalari hatiku saat memandangi anting berlian bulat besar itu. “Indah sekali.”

“Benar-benar indah! Cocok sekali bila dipakai bersama gaun pengantinmu,” kata kak Ye Jin antusias.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarku. kak Ye Jin bergegas membukakan pintu, dan tampaklah Do Bin yang telah berganti pakaian dengan jas berwarna cokelat tua. “Nam Gil memintaku memberikan ini untuk Yo Won,” katanya pada kakak sambil menyerahkan sebuah kotak besar. “permisi.”

“apa lagi ini?” gumam kak Ye Jin saat menyerahkan kotak itu padaku.

Aku membawa kotak tersebut ke kursi rotan putih yang ada di kaki tempat tidur, lalu membukanya. Di dalam kotak tersebut terdapat banyak barang. Pertama-tama aku mengeluarkan bantalan kuning cerah berbentuk bintang yang paling mencolok diantara barang-barang lainnya. Di bantal itu tertempel kertas kecil bertuliskan : Yo Won, selamat ulang tahun ke dua puluh. Semoga bantal ini bisa membuat tidurmu dihiasi mimpi indah. Tanpa disadari bibirku melekuk membentuk senyuman.

Benda kedua yang menarik perhatianku adalah keempat bingkai foto berwarna putih berbentuk bintang yang menghiasi foto-foto kami semasa remaja dalam balutan pakaian tradisional Korea. Tenggorokanku langsung tercekat. Nam Gil…

Di salah satu bingkai tersebut juga ditempeli sebuah kertas yang bertuliskan :


Yo Won, selamat ulang tahun ke Sembilan belas. Sebenarnya ada lima bingkai dengan lima foto, tetapi salah satunya pecah dan aku belum sempat mencari gantinya. Maaf. Semoga kau menyukainya.


Menyukainya!? Aku sangat menyukainya! Dengan bersemangat aku mengeluarkan benda-benda lain. aku mengaluarkan dua buah kotak perhiasan yang isinya berbeda. Yang satu anting perak berbentuk bintang, sedangkan yang satu lagi berisi jam tangan emas dengan rantai berbentuk bintang yang saling mengait. Indah sekali… Di kotak perhiasan anting-anting perak tersebut tertempel kertas bertuliskan :


Yo Won, selamat ulang tahun ke dua puluh satu. Begitu melihat anting-anting ini aku langsung teringat padamu dan membayangkan kau akan memakainya suatu saat nanti.


Mataku terasa panas setelah membacanya, air mataku seolah mendesak untuk mengalir.

“Ini, jangan sampai make upmu luntur,” kata kak Ye Jin, menyodorkan tisu padaku.

Aku segera menerima tisu tersebut dan sehati-hati mungkin mengelap air mata yang nyaris tumpah sambil membaca kertas lain yang tertempel di kotak perhiasan berisi jam tangan emas :


Yo Won, selamat ulang tahun ke dua puluh dua. Aku yakin jam tangan ini akan terlihat indah ketika melingkari tanganmu.


Senyumku kembali mengembang walau rasa haru itu tetap ada dalam hatiku. Dan yang terakhir, sebuah kotak musik kaca berbentuk bintang. saat kubuka tutup kotak musik itu, terlihat bintang-bintang kecil berwarna keemasan memancarkan sinarnya dari dalam kotak tersebut dengan diiringi alunan musik lembut. Di kotak kaca itu juga ditempeli kertas bertuliskan:

Yo Won, selamat ulang tahun ke dua puluh tiga. Aku membelinya karena tahu kau akan menyukai bintang yang berkilauan di dalamnya. Tapi yakinlah, cintaku untukmu lebih bersinar dari kilauan apapun juga.


Nam Gil… ya, aku meyakininya.

“Ada surat,” kata kak Ye Jin, menunjuk sebuah kertas berwarna krem yang terlipat rapi di dasar kotak besar itu. aku mengambil dan membacanya.


Semua ini adalah hadiah ulang tahunmu dariku, yang selama ini hanya kusimpan tanpa pernah mengirimnya padamu. Walaupun terlambat bertahun-tahun, tapi aku ingin kau menerima semua hadiah ini. aku menyesal tak memberikannya bertahun-tahun lalu, tapi kuharap aku bisa menebusnya dengan membahagiakanmu hingga napas terakhirku nanti.

Yang selalu mencintaimu
K . N . G


“Manis sekali,” desah kak Ye Jin yang ikut membaca surat dan  pesan-pesan dari Nam Gil. “Bahkan Jung Chul pun tak pernah bersikap semanis ini. kau beruntung, Yo Won.”

“Ya, aku memang sangat beruntung,” sahutku dengan suara parau. Benar-benar beruntung menerima cinta sebesar itu darinya. Dari Bi Dam. Dan dari Nam Gil. aku sangat beruntung.

Aku bergerak ke meja rias dengan membawa kotak perhiasan berisi anting-anting perak itu, lalu memakainya.

“Anting itu memang cantik, tapi… bukankah lebih anggun menggunakan anting berlian ini?” komentar kak Ye Jin heran.

Lewat cermin aku tersenyum padanya. “Ya, tapi anting berlian semahal apapun tak akan pernah seberharga anting perak ini,” kataku. Anting ini salah satu bukti bagaimana kami tetap saling mencintai walaupun terpisah selama bertahun-tahun ini. “Aku sudah siap.” Dengan bersemangat aku berjalan menuju pintu, tetapi kak Ye Jin menghentikanku.

“Ganti dulu sepatumu,” katanya geli. Kak Ye Jin bergerak mengambil kotak sepatu yang ditaruhnya di bawah kursi rotan.

Setelah akhirnya semua siap, kami keluar kamar dan disambut oleh Ayah yang menunggu di pintu depan. Bertiga, kami berjalan menuruni tangga depan yang mengarah ke taman yang sebelumnya kulewati, lalu mengikuti jalan kecil yang menuntun kami menuju kolam renang terrazzo yang terletak tepat di tepi jurang. Di dekatnya terdapat sebuah ruang duduk terbuka yang besar, lengkap dengan sebuah meja tepanyaki untuk 8 orang dan perlengkapan dapur yang mewah. Dari ruang duduk tersebut orang-orang dapat menikmati pemandangan kolam renang, Samudra Hindia sampai Nusa Lembongan, hingga pulau yang ada di seberang lautan.

Ruang duduk itu telah disusun untuk pesta, dan orang-orang sudah menunggu di tempat itu. Keluarga. Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee. Kak Jung Chul yang menggendong Cheon Myeong. Bibi Hyun Jung. Do Bin. Jung Hyun dan… Kim Min Sun? Siapa dua bocah laki-laki dalam gendongan mereka? Selain mereka, ada seorang pria tinggi berambut pirang dan seorang wanita pribumi cantik yang kuduga teman-teman Nam Gil.

“Nam Gil dan pendeta sudah menunggu,” kata Ayah, mengarahkanku menuju altar di dekat kolam renang di tepi jurang, tempat Nam Gil telah berdiri bersama pendeta.

rasa haru itu kembali menyelimuti hatiku. Benarkah ini? apakah semua ini memang nyata? Bukan sekedar mimpi? Aku dan Nam Gil benar akan menikah? Menjadi suami istri? Hidup bersama seperti yang dulu kuimpikan bersamanya. Akhirnya…

“Jangan menangis,” bisik kak Ye Jin.

Aku tertawa. Ya, ini hari yang membahagiakan, aku tidak boleh menangis, walaupun itu tangis haru. jantungku berdebar semakin kencang saat aku dan Ayah berjalan semakin dekat dengan Nam Gil.

“Kuserahkan putriku padamu,” kata Ayah, menyatukan tanganku dan tangan Nam Gil yang tersenyum cerah. “Jaga dia baik-baik,” pesannya dengan suara parau.

Nam Gil mengangguk tegas. “Akan kujaga dan kubahagiakan dia dengan seluruh hidup dan kemampuanku,” janjinya dengan sungguh-sungguh, membuat hatiku dirambati getaran manis. Getaran cintaku padanya.

“Aku mempercayaimu,” sahut Ayah.



- Kim Nam Gil - 19 Februari 2021 - Bali, Indonesia -  

Rasanya bagai mimpi. Begitu tugas terakhir di Vietnam selesai, aku langsung menghubungi orang-orang untuk meminta bantuan dalam mengatur pernikahanku dan Yo Won secepatnya. Bali menjadi pilihan terbaik karena semasa remaja tempat ini adalah impian kami berdua. Tak ada tempat yang lebih sempurna selain Bali untuk membuat kenangan indah pernikahan kami.

Cincin pernikahan telah kupesan lama—saat membeli cincin pertunangan untuk Yo Won dulu—dan telah meminta pembuatnya mengirimkan cincin tersebut pada Jung Hyun yang akan membawakan cincin-cincin tersebut ke Bali, karena aku tak akan sempat untuk singgah di Korea. Gaun pengantin Yo Won ditangani Ye Jin. Vila ini kusewa lewat internet. Tiket-tiket kupesan lewat telepon. Dan bantuan dari Rick—teman kuliahku di Los Angeles—dan istrinya untuk mengurus pendeta dan surat-surat ijin lainnya dengan cepat. Kini, saat yang telah kunanti-nantikan sejak lama telah tiba. Akhirnya aku dan Yo Won bisa bersatu. Bi Dam dan Deokman dapat bersama. Tenggorokanku tercekat. Rasa haru dan bahagia bercampur aduk dalam dadaku.

Yo Won begitu cantik. Begitu bersinar dalam balutan gaun pengantinnya yang sederhana namun tetap anggun dan elegan. Mencerminkan dirinya.

“Anting itu,” gumamku terkejut, saat melihat anting perak berbentuk bintang di telinga Yo Won. “Kau memakainya.” Khayalanku kini menjadi nyata. Aku dapat melihatnya memakai anting-anting itu.

“Bukankah kau berkata ingin melihatku memakainya?” tanya Yo Won disertai senyum manis. “Tak ada waktu yang lebih tepat dibanding hari pernikahan kita untuk memakainya. Terima kasih.”

Bibirku melekuk membentuk senyuman. Tak ada yang dapat melukiskan betapa bahagianya aku saat ini.

Upacara pernikahan kami berlangsung khidmat. Tak ada suara apapun yang menyela penyatuan suci ini selain bunyi deburan ombak dan semilir angin.

“Apa kalian memiliki cincin?” tanya sang pendeta beberapa saat kemudian.

Jung Hyun langsung maju dan mengeluarkan kotak beledu hitam yang di dalamnya terdapat dua cincin. Cincin yang kupesan khusus untuk kami. kudengar Yo Won terkesiap kaget ketika melihat kedua cincin tersebut.

“Itu—“

“Seperti cincin yang kau berikan padaku dulu,” bisikku. “Memang tidak persis sama, karena sulit untuk menggambarkan apa yang ada dalam ingatanku tentang cincin itu pada pembuatnya.”

“Nam Gil…” gumam Yo Won dengan mata berkaca-kaca.

“Tapi, kuharap sepenuh hatiku cincin ini tidak akan pernah terpisah dari kita seperti yang dulu terjadi. Selamanya mengikat kita, hingga akhir hidup kita,” bisikku.

“Ya, hingga akhir hidup kita,” sahut Yo Won.

“Pasangkan cincin itu ke jari pasangan kalian,” perintah sang pendeta.

Aku lebih dulu memasangkan cincin tersebut ke jari manis Yo Won. jantungku berdetak begitu keras dan cepat.

“Tanggal sembilan belas Februari bertahun-tahun lalu, di bawah cahaya bintang aku menjadikanmu kekasih hatiku,” ucapku setulus hati. “dan kini, di tanggal yang sama, dibawah cahaya bintang, aku menjadikanmu istriku. Sahabat sekaligus kekasihku, yang akan selalu mendampingiku dan melimpahiku dengan kasih sayang dan cinta, juga kesabaran dan kepercayaan.”

Senyum Yo Won terlihat bergetar. Dia berdeham saat memakaikan cincin di jariku. “Di tanggal  sembilan belas Februari bertahun-tahun lalu, di bawah cahaya bintang aku mengikat hatimu, dan menjadikanmu milikku. Kini, di tanggal yang sama, di bawah cahaya bintang, aku menjadikanmu suamiku. Sahabat sekaligus kekasih terbaikku. Tempatku mencari cinta kasih, perlindungan, kebahagiaan, dan kedamaian.” Hatiku tergetar mendengar pernyataannya. Getaran manis yang selalu menyertaiku setiap kali bersama Yo Won. getaran yang hanya untuknya.

Pendeta itu tersenyum. “Ulangi perkataanku, ‘aku menerimamu sebagai suamiku’,” pintanya pada Yo Won.

Yo Won menatapku tajam. “Aku menerimamu sebagai suamiku.”

Pendeta itu kembali tersenyum ramah, lalu menoleh padaku. “Dan aku menerimamu sebagai istriku,” kataku sepenuh hati, tanpa dikomando.

Ekspresi pendeta itu menunjukan kepuasan. “Di depan Tuhan dan para saksi, kunyatakan kalian sebagai suami-istri. Apa yang telah disatukan Tuhan tak dapat dipisahkan manusia,” katanya. “Kau boleh mencium mempelaimu,” tambahnya.

Aku menarik Yo Won dengan lembut ke dalam pelukanku, lalu mencium lembut bibirnya. Sesaat aku membiarkan diriku mereguk madu bibir Yo Won, tapi kemudian teringat pada para tamu, sehingga dengan enggan aku menjauhkan diri. “Kini kau benar-benar milikku,” ucapku penuh kepuasan.

Yo Won tersenyum dengan tangan yang masih melingkari leherku. “Dan kau milikku.”



Ayah Yo Won, Ayah dan Ibu, juga orangtua Ye Jin, terlihat menitikkan air mata haru saat bersulang demi kebahagiaanku dan Yo Won. makan malam setelahnya berlangsung dengan hangat. Semua berbahagia untuk penyatuan cinta kami.

Yo Won masih setengah kaget dan tak percaya saat mengetahui Min Sun menikah dengan Jung Hyun dan telah memiliki dua anak lelaki.

Do Bin datang seorang diri karena baru-baru ini putus dari kekasihnya, dan sepertinya sangat menikmati pekerjaannya sehingga tak memikirkan pernikahan dalam waktu dekat ini.

Ayah membuat Yo Won tertawa geli ketika meminta kami secepatnya memberinya cucu baru. Tapi yang menegangkan adalah pertemuan Yo Won dengan Ibu.

“Aku akan selalu mendoakan agar kalian bahagia selamanya,” kata Ibu dengan suara parau penuh haru. “Yo Won, kau pasti tahu masalah yang sempat kutimbulkan dulu pada orangtuamu… kuharap kau mau memaafkanku.”

Yo Won tersenyum sambil menggenggam tangan Ibu. “Aku tak lagi mempermasalahkannya,” katanya halus. “Itu semua adalah masa lalu. Sekarang kau menjadi Ibuku, dan aku menjadi anakmu. Sebagai keluarga kita tak boleh menyimpan dendam lama. Kuharap kau mau menerimaku dalam keluargamu.”

Ibu memeluk Yo Won. “Tentu saja, Nak, kau disambut dengan senang hati dalam keluargaku.”

“Terima kasih… Ibu,” sahut Yo Won sambil balas memeluk Ibu.

Aku menyaksikan semua itu dengan rasa haru bercampur bahagia. Dua orang yang kucintai bisa saling menerima kehadiran satu sama lain. aku benar-benar bahagia.

Setelah itu aku memperkenalkan Yo Won pada Rick dan istrinya, yang berjasa dalam terlaksananya pernikahan kami malam ini.

“Setelah pulang ke Korea kita akan mengadakan pesta lain untuk teman-teman,” kataku. “Sebenarnya aku telah mengundang Seung Ho dan istrinya, tapi mereka tidak dapat datang karena kehamilan istri Seung Ho.”

“Ya, ide bagus,” sahut Yo Won. “Teman-teman akan kecewa kalau kita tidak membuat pesta lain bersama mereka.”

Bergandengan tangan, kami berjalan menjauhi kerumunan dan berdiri di tepi jurang, memandangi lautan dan pasir pantai di bawah kami.

“Kenapa kau merencanakan semua ini tanpa menceritakannya padaku?” tuntut Yo Won tiba-tiba.

Seringaian itu tak dapat kutahan. “Aku ingin memberimu kejutan. Kuharap kau menyukainya.”

Yo Won tersenyum jengkel. “Yah, aku suka, tapi kau membuatku cemas setengah mati karena berpikir kau dalam bahaya besar hingga membutuhkan pertolonganku.”

“Tapi itu memang benar,” sanggahku. “Aku dalam bahaya besar bila kau tidak jadi menikah denganku. Lagi.”

Yo Won tersenyum dan menyentuh wajahku dengan tangannya yang lembut. “Tidak akan. Tuhan tak akan setega itu pada kita. Sudah cukup banyak ujian yang kita hadapi untuk membuktikan betapa tulus perasaan kita terhadap satu sama lain, inilah waktunya bagi kita untuk bersatu.”

Aku mengusapkan wajahku di tangannya yang berada di pipiku. “Ya, Ini saatnya kita bersatu. Selamanya.”

“Selamanya,” ulang Yo Won.



Aku menutup pintu vila dengan rasa senang dan tak sabar yang memuncak. Akhirnya aku dapat berduaan dengan istriku. Rasanya begitu puas dan bangga dapat menyebut Yo Won sebagai istriku.

Sebenarnya vila ini memiliki banyak kamar, tapi tak ada yang ingin mengganggu waktu bulan maduku dan Yo Won, sehingga mereka menginap di hotel.

Dengan langkah santai aku berjalan menuju kamar kami. Yo Won sudah lebih dulu di sana selama aku mengantar keluarga kami keluar. Tapi ketika aku memasuki kamar itu tak terlihat keberadaan Yo Won yang mungkin masih di kamar mandi. Sambil menunggunya, aku melepas jasku, lalu menarik tirai putih besar, dan membuka pintu kaca menuju beranda. Kamar ini sebenarnya bukan kamar utama, tapi justru kamar inilah yang paling sempurna untuk melihat lautan dan langit.

“Nam Gil,” panggil Yo Won. aku segera berbalik menghadapnya, dan melihatnya telah mengganti gaun pengantinnya dengan baju tidur sutra putih yang membalut tubuh rampingnya dengan lembut. Wajahnya pun sudah bersih dari make up. “Kau ingin memakai kamar mandi?

Getaran di dadaku dengan segera berubah menjadi entakan keras. Yo Won… sekarang dia istriku. Milikku sepenuhnya. Aku berdeham untuk menetralkan suaraku. “Ya,” sahutku singkat, lalu berjalan ke kamar mandi. Saat aku keluar dengan jubah mandi putih yang tergantung di kamar mandi, aku mendapati Yo Won sedang berdiri di depan pintu kaca yang terbuka. Menikmati hembusan angin laut, sinar bulan dan bintang, juga suara debur ombak. Perlahan aku mendekatinya dan memeluknya dari belakang.

“Kau pasti letih sekali. setelah tiba tak sempat beristirahat dan harus segera bersiap untuk upacara pernikahan kita,” gumamku di dekat telinganya.

Yo Won menggeleng pelan, lalu mendesah. “Ya, kuakui cukup melelahkan, tapi semua itu sebanding dengan kebahagiaan yang kuterima. Terima kasih,” ucapnya sambil memutar tubuhnya menghadapku, lalu mengecup bibirku lembut. “Terima kasih, suamiku.”

Hatiku mengembang dengan rasa bangga dan bahagia. Aku senang mendengar sebutan itu. “suamiku” terdengar bagai alunan musik terindah sepanjang hidupku. “Terima kasih juga untuk istriku,” bisikku lembut. “Yang telah bersedia menerimaku, dengan semua kekuranganku.”

Yo Won tersenyum. “Aku pun tak sempurna, tapi kau tetap mencintaiku.”

Selama beberapa saat kami berdiri berpelukan dalam keheningan yang menenangkan, lalu aku menggandeng dan membimbingnya ke tempat tidur besar di belakang kami. “Sudah malam, kau harus istirahat,” kataku. “Berbaringlah,” tambahku.

Yo Won berbaring sambil mendesah. “Nyaman sekali. aku baru sadar kalau tubuhku benar-benar kelelahan,” gumamnya.

Aku duduk di pinggir ranjang sambil menggenggam tangan kanannya dengan tangan kiriku.

“Jantungku berdebar-debar,” bisik Yo Won.

Aku mengerutkan kening. “Kenapa? apa kau mencemaskan sesuatu?” tanyaku cepat, mengingat dulu dia seperti itu ketika sedang cemas.

Yo Won tersenyum. “Kau mengingatnya?” tanyanya kemudian. Tanpa perlu bertanya, aku tahu yang dimaksudnya. Malam ketika aku menemaninya hingga tertidur di kehidupan pertama kami sebagai Bi Dam dan Deokman.

“Ya, aku mengingatnya,” sahutku. “Kau merasa cemas seperti dulu? Karena apa?” tanyaku khawatir. Aku meletakkan tangan kananku di dadanya seperti dulu. “Apa jantungmu masih berdebar?”

“Semakin cepat,” jawab Yo Won.

Kecemasanku sendiri semakin menjadi. Aku menepuk-nepuk dadanya untuk menenangkan. “Cobalah untuk lebih santai,” saranku.

Yo Won menggeleng. “Tidak bisa,” sahutnya. “Debaran jantungku bukan karena cemas, melainkan karena aku begitu bersemangat dan bahagia bisa bersamamu seperti ini,” lanjutnya, seketika menghapus kecemasanku.

“Kita punya banyak waktu untuk selalu bersama seperti ini,” kataku lembut. Tanganku tak henti memberikan tepukkan menenangkannya.

Dari cahaya bulan yang menerobos masuk ke kamar, aku dapat melihat wajah Yo Won tampak merona cantik. “Kali ini kau tidak akan meninggalkanku tidur sendiri seperti dulu, kan?” tanyanya.

Jantungku langsung berpacu dengan kecepatan tak terkira. Aku memandanginya penuh rasa damba. “Tidak. Kali ini aku akan terus menemanimu. Tak akan meninggalkanmu,” janjiku dengan suara bergetar penuh rasa haru.

Aku mencondongkan tubuhku untuk mengecup keningnya, tapi ketika aku hendak menarik diri, Yo Won memelukku. Dan saat itu, pertahanan diriku hancur. Aku balas memeluknya erat dan mencium lembut bibirnya. Kali ini tak seperti ciuman pertama kami bertahun-tahun yang lalu, Yo Won balik menciumku. Membuat darahku berdesir penuh kenikmatan. Ciumanku semakin kuperdalam. Seluruh cinta dan kasihku kucurahkan sepenuhnya dalam setiap ciuman dan belaian yang kuberikan padanya.

“Aku mencintaimu,” bisik Yo Won.

“Aku juga mencintaimu,” sahutku sepenuh hati.

Bulan dan bintang yang mengintip lewat pintu kaca yang tak tertutup menjadi saksi penyatuan cinta kami berdua. Debur ombak bagaikan melodi indah yang mengiringi larutnya kami dalam badai asmara. Sedangkan hembusan angin malam seolah tak berarti bagi panas membaranya cinta di antara kami.



- 3 Mei 2010 - Seoul, Korea - 

Aku menonton siaran pertandingan sepak bola di TV sambil bersandar santai di sofa. Setelah berbulan madu cukup lama di Bali, sepulangnya ke Korea aku dan Yo Won langsung mencari rumah untuk dijadikan istana kami. Dan sebuah rumah indah dan cukup besar yang tak jauh dari kawasan perumahan Ayah Yo Won menjadi pilihan kami. sudah dua bulan kami menempati rumah ini. belum terlalu banyak barang karena Yo Won sangat teliti dan selektif dalam memilih perabotan. Aku tidak keberatan. Asalkan bersamanya, aku tak perduli rumah ini akan jadi seperti apa.

“Suara TV-nya nyaring sekali,” gerutu Yo Won dari arah dapur. Saat dia berjalan menghampiriku untuk mengambil remote, aku segera menariknya ke pangkuanku.

Yo Won tertawa geli dan melawan untuk membebaskan diri dari pelukanku, sehingga kami bergulat di sofa, yang kemudian membuat kami terjatuh ke karpet. “Aku belum memelukmu hari ini,” aku pura-pura menggeram di telinganya.

Aku sangat suka menyentuhnya. Sekecil apapun sentuhan itu selalu dapat membuat hatiku mengembang penuh rasa bahagia. seketika aku teringat bulan madu yang kami habiskan di Bali. Bermain-main di pantai, dia berjemur sambil menontonku berselancar. Saat dia tertidur, aku mengubur tubuhnya dengan pasir dan menciumi wajahnya hingga dia terbangun dengan menggerutu. Kami bersepeda bersama. Bermain layangan di taman bagai anak kecil. Makan bersama di beranda kamar kami sambil memandangi matahari terbenam. Dan yang paling menantang untuk Yo Won adalah saat tengah malam aku mengajaknya berenang berdua di kolam renang pribadi di vila… tanpa busana.

“Oh ya? Lalu tadi pagi ketika aku sedang memasak itu kau sebut apa?” tantang Yo Won.

“Hmm… yah, aku belum memelukmu untuk kedua kalinya hari ini,” kilahku sambil menciumi lehernya hingga Yo Won terkikik geli.

“Kedua kalinya?” sindirnya. “Bagaimana dengan saat aku keluar dari kamar mandi? Juga—“

“Baiklah,” potongku. “Aku memang sudah memelukmu berkali-kali. Tapi sudah hakku sebagai suami untuk dapat memelukmu kapanpun aku mau.”

“Kau ini…” Yo Won pura-pura menggerutu.

“Aku—“ Sebelum sempat menyelesaikan perkataanku, terdengar dering telepon. “Ah, pengganggu. Tidak usah diangkat saja. lebih baik kita ke kamar,” godaku.

Yo Won memukul bahuku pelan. “Jangan begitu. Siapa tahu penting?” katanya sambil bangkit berdiri dan meraih telepon di meja dekat sofa. “Halo?” sapanya pada si penelepon. “Ya, benar. Oh, baik, sebentar. Temanmu,” katanya padaku.

“Siapa?” tanyaku, yang dijawab dengan gelengan kepala Yo Won. “Halo?” sapaku pada si penelepon.

“Bersiaplah untuk berangkat Spanyol,” kata suara yang kukenal.

“BB,” desisku. Aku melirik Yo Won yang duduk mengamatiku dari sofa.

“Liburanmu sudah selesai. Sampai jumpa nanti,” katanya dengan nada datar, lalu menutup telepon.

Sial. Brengsek!

“Ada apa?” tanya Yo Won.

“Atasanku mengirimku untuk sebuah tugas di luar negeri,” jawabku kaku.

Yo Won bangkit berdiri dan memandangku tajam sambil bersedekap. “Sebenarnya apa pekerjaanmu?”



“Agen rahasia!?” seru Yo Won beberapa saat kemudian dengan terkejut. “Kau… kau serius!?”

“Sebelumnya aku tidak bisa memberitahumu, tapi kini kau telah menjadi istriku. Walaupun tetap tidak sepantasnya kau tahu, tapi tak ada yang bisa menyalahkan seorang agen memberitahu keluarganya asalkan mereka bisa menjaga rahasia. Dan aku sangat yakin kau dapat menjaga rahasiaku,” kataku.

“Jadi… inikah alasan dari kepergianmu yang lama?” tanya Yo Won. “Tapi itu pekerjaan yang berbahaya, Nam Gil!”

“Aku tahu,” sahutku mencoba tenang. “Tenang saja, setelah kontrak kerjaku dengan mereka habis, aku akan mengundurkan diri dan mencari pekerjaan lain yang membuatku dapat terus dekat denganmu.”

Yo Won yang sebelumnya mondar-mandir di depanku, tiba-tiba menghempaskan dirinya di sofa sebelahku. “Tapi, bagaimana bila kali ini kau celaka? Bagimana bila—“ Yo Won menggenggam tanganku erat. “Aku tidak akan sanggup bertahan bila sekali lagi harus kehilanganmu.”

Hatiku terasa berat untuk meninggalkannya, tapi aku harus menjalankan kewajibanku. “Aku pun tak akan sanggup bila kehilanganmu lagi,” kataku. “Tapi ini sudah tugasku. Aku tak bisa mengabaikannya.”

Ketika Yo Won diam saja, aku mendekati dan memeluknya. “Tenang saja, aku akan selalu berhati-hati. mengetahui ada kau yang menungguku di rumah, aku tak akan berbuat ceroboh hingga mati terbunuh. Doakan aku dan percayalah padaku. Secepatnya aku akan kembali padamu.”

Wajah Yo Won melukiskan kesengsaraan persis seperti yang sedang kurasakan sekarang, tapi Yo Won wanita yang kuat. Dia mengangguk sambil memaksakan senyum untuk menenangkanku. “Aku percaya padamu,” katanya. “Tapi berjanjilah kau akan berhati-hati. pulanglah dengan selamat.”

“Aku berjanji,” kataku serius.

“Aku akan membantumu berkemas,” kata Yo Won sambil bangkit berdiri. Aku langsung mengikutinya menuju kamar kami. “Tapi sebelumnya ada yang ingin kuberikan padamu. Kemarin aku membawanya dari rumah Ayahku.”

Yo Won membuka lemari dan mengeluarkan sebuah keranjang rotan. “Aku begitu menikmati pernikahan kita hingga melupakan ini,” katanya.

“Ini…” Di dalam keranjang itu terdapat foto-foto kue ulang tahun yang di bagian belakang fotonya terdapat tulisan tanggal dan ucapan selamat ulang tahun dari Yo Won untukku. Tenggorokanku tercekat. Aku menatap wajah istriku yang sedang tersenyum padaku. “Kau merayakan ulang tahunku?”

“Bukankah aku pernah berjanji padamu?” kata Yo Won. “Pada ulang tahunmu kemarin aku lupa menunjukannya padamu.

Masih banyak benda-benda lain dalam keranjang itu, tetapi tanpa melihatnya aku menaruh keranjang tersebut di tempat tidur dan menarik Yo Won ke dalam pelukanku. “Terima kasih untuk cintamu. Aku sangat mencintaimu,” bisikku. “Aku pasti akan kembali untukmu.”

Yo Won balas memelukku erat. “Aku juga sangat mencintaimu. Cepat kembali. Aku akan menunggumu.”



EMPAT PULUH TAHUN KEMUDIAN



- Lee Yo Won - 9 April 2061 -         

“Ibu berulang tahun hari ini, jadi seharusnya Ibu tidak di dapur. Temui para tamu saja, biar kami yang mengurus makanan dan minuman,” kata Yoo Hee, putri tertuaku.

“Benar, serahkan urusan dapur pada kami,” timpal Yoo Ri, putri keduaku.

Aku tersenyum pasrah sambil menuruti perkataan mereka. Setelah menikah, tak lama kemudian aku langsung hamil. Untung saja Nam Gil pulang dan menemaniku dalam proses kelahiran anak-anak kembar kami. bukan dua atau tiga, melainkan kembar lima. Lima orang gadis. Yoo Hee yang tertua, disusul Yoo Ri, Dae Jia, Shin Woo, dan yang terakhir, Tae Ra.

“Ibu, teman-temanmu mencarimu,” kata Shin Woo dan Tae Ra kompak. Keduanya menggandengku menuju halaman belakang, tempat diadakannya pesta ulang tahunku siang ini.

“Di mana Dae Jia?” tanyaku.

“Bersama Ayah dan anak-anak di gazebo,” jawab Shin Woo.

“Ini dia yang berulang tahun,” seru para tamu ketika aku muncul. Sebenarnya aku tidak ingin mengadakan pesta, tapi Nam Gil dan anak-anak memaksaku.

Aku tersenyum memandangi tamu-tamu yang hadir. Kak Ye Jin dan kak Jung Chul bersama anak dan cucunya. Seung Ho dan Eun Bin. Kak Tae Wong dan Qri—yang menikah setahun setelah pernikahanku. Kak Seung Hyo dan Eun Mi. San Tak, Moon Shik dan Go Do bersama istri-istri mereka—Go Do dengan istri keduanya. Jung Hyun dan Min Sun beserta kedua putra dan cucu-cucu mereka. Do Bin bersama istri dan anaknya. Juga tak ketinggalan kelima pria yang merupakan menantu-menantu terbaikku.

Ditemani Shin Woo dan Tae Ra, aku menyalami mereka semua. Aku tak dapat berhenti tersenyum. Kami larut dalam nostalgia masa muda kami, tapi aku tak sabar ingin segera mencari Nam Gil, karena itu aku mengundurkan diri dengan halus, lalu berjalan menuju gazebo. Senyumku semakin melebar saat melihat suamiku… Nam Gil tengah bercerita pada cucu-cucu kami yang mengelilinginya. Dan Dae Jia yang berdiri mengawasi anak-anak yang lebih kecil.

“Jung Ho, jangan lompat-lompat di kursi,” omelan Dae Jia terdengar olehku. “Bagaimana kalau kau jatuh? Kau ingin dimarahi ibumu?” dia menegur putra terkecil Yoo Ri. “Deokman, jangan mencubit Kyong Won!” tambahnya lagi saat melihat Deokman—namaku dulu yang diberikannya pada putrinya—mencubit Kyong Won, putri Tae Ra.

“Kyong Won lebih dulu mencubitku!” protes Deokman.

“Tapi kau lebih dulu menginjak kakiku!” balas Kyong Won.

“Sst!” desis Bi Dam, cucu laki-laki tertuaku, putra Shin Woo—yang lebih dulu menikah diantara kelima putriku. “Kakek sedang bercerita,” omelnya, membuat kedua adik sepupunya terdiam.

“Tapi apa Kakek tidak berbohong?” tanya Seung Pyo, cucu laki-lakiku yang kedua, putra Yoo Hee. “karena teman-temanku tak percaya saat aku bercerita bahwa kakekku dulunya seorang mata-mata seperti yang kami tonton di TV,” keluhnya.

Bi Dam berdecak kesal layaknya orang dewasa—mungkin karena di usianya yang ke empat belas tahun dia merasa paling besar. “Anak-anak bodoh itu tahu apa?” ejeknya. “kakek kan tidak mungkin berbohong.”

“Tapi—“

“Lihat saja, nanti aku juga akan menjadi seperti kakek, dan kau bisa menceritakan profesiku dengan bangga pada teman-temanmu,” kata Bi Dam dengan percaya diri.

Aku tertawa sambil berjalan semakin dekat. dia begitu mirip dengan Nam Gil. hah… apalagi yang kubutuhkan selain ini semua? Hari ulang tahunku yang ke enam puluh delapan begitu bahagia. Aku memiliki suami tercinta, putri-putri dan menantu tersayang, juga cucu-cucu manisku. Belum lagi keluarga besar dan teman-teman yang terus berhubungan baik denganku dan Nam Gil selama bertahun-tahun ini.

“Apa yang kalian ributkan?” tanyaku sambil duduk di sebelah Jung Ho dan merangkulnya.

Nam Gil tersenyum geli—senyumannya masih seindah dulu, masih membuat jantungku berdebar penuh cinta. “Aku bercerita mengenai pengalamanku sebagai agen rahasia Korea,” terangnya dengan gaya bercanda.

“Tapi kalau kakek memang agen rahasia, kenapa berhenti?” tuntut Seung Pyo.

“Kakek kan sudah tua,” sahut si kecil Jung Ho—yang mengidolakan kakek dan kakak sepupunya, Bi Dam—polos.

Nam Gil, aku dan Dae Jia seketika tertawa. “Kakek berhenti karena tidak ingin berpisah lama dengan Nenek kalian,” jawab Nam Gil sambil menatap wajahku dengan lembut. “Pekerjaan itu tidak lagi mengasyikkan karena kakek tidak sabar untuk segera pulang setiap kali menjalankan misi.”

Bi Dam mendesah. “Sayang sekali,” komentarnya. “Aku tidak akan menikah. Jadi tak akan ada yang membatasiku. Aku akan menjadi agen rahasia terhebat nanti,” katanya serius.

Deokman dan Kyong Won tertawa. “Mana mungkin kau tidak menikah? Setelah besar kan semua orang harus menikah?” komentar Deokman polos.

“Iya,” timpal Kyong Won antusias. “Hari itu saat main di rumahmu, aku dan Deokman menguping pembicaraanmu dengan seorang gadis lewat telepon. Kau bilang, ‘aku cinta padamu. Setelah dewasa nanti aku akan menikahimu’,” ejeknya.

Wajah Bi Dam memerah karena malu dan gusar, apalagi saat aku, Nam Gil, dan Dae Jia tertawa.

“Sudah-sudah,” lerai Dae jia sebelum pertengkaran terjadi. “Kurasa sudah saatnya Ibu meniup dan memotong kue,” katanya.

“Kau benar,” sahutku. “Tapi aku butuh suamiku untuk menemaniku meniup dan memotong kue,” kataku sambil mengulurkan tangan pada Nam Gil yang segera berdiri dan meraih tanganku.

Berdua, kami berjalan dengan santai menuju kerumunan keluarga dan sahabat kami. Nam Gil melingkarkan tangannya di pinggangku dan berbisik di telingaku. “Selamat ulang tahun, istriku.”



- Kim Nam Gil - 9  April 2061 -      

“Terima kasih, suamiku,” sahut Yo Won sambil mengecup pipiku.

Hatiku mengembang penuh rasa bahagia. Tuhan tidak membenciku. Kurasa dia justru sangat menyayangiku. Dia memberiku wanita paling sempurna untukku, anak-anak yang mencintaiku, juga cucu-cucu yang lucu.

“Kalian seperti masih pengantin baru saja,” goda kak Jung Chul.

Aku dan Yo Won tersenyum menanggapi perkataannya. Mengamati keluarga dan teman-teman yang hadir hari ini, aku merasa sangat terlengkapi. Tuhan memberi cobaan hidup, tapi dengan murah hati dia juga memberi kebahagiaan tak terkira untukku dan Yo Won.

“Kakek, nanti ceritakan lagi tentang petualangan kakek di Rusia,” bisik Bi Dam.

Aku tertawa geli, tapi tetap mengangguk. diantara semua cucuku, Bi Dam lah yang paling mempercayai semua ceritaku dan bertekad untuk menjadi sepertiku di saat sudah besar nanti, sedangkan cucu-cucuku yang lain mungkin hanya menganggap aku mendongeng.

“Ayo tiup lilinnya!” desak semua pada Yo Won.

Tertawa, Yo Won menuruti kemauan mereka. Dengan diiringi nyanyian dari keluarga dan teman-teman, istri tercintaku itu menutup mata dan memanjatkan doa dalam hati, lalu meniup lilin di tengah kue.

Aku ikut bertepuk tangan bersama yang lain. empat puluh tahun yang membahagiakan. Tak terasa kami bersama selama itu. kuharap, bila memungkinkan, kami bisa terus bersama puluhan tahun lagi.

Setelah berhenti bekerja pada BB, aku membeli saham di perusahaan ayah mertuaku, dan bersama Yo Won membantu memperbesar kerajaan makanan ringan tersebut. Kini, di usia kami yang sudah tak lagi muda, kelima putri kamilah yang meneruskan usaha tersebut. Dengan kerja keras, kini perusahaan kami menjadi yang terbaik di Korea. Aku tidak menyesal sama sekali karena berhenti dari profesi lamaku, karena dengan begitu aku bisa selalu dekat dengan Yo Won dan anak-anakku. Tak ada yang lebih penting selain mereka.

“Harapan apa yang kau panjatkan tadi?” bisikku di telinga Yo Won.

“Aku berharap agar kita masih diberi banyak waktu untuk bersama. Dan bila memang sudah waktunya untuk berpisah, kuharap di kedidupan berikutnya kita kembali dipertemukan,” jawab Yo Won dengan berbisik padaku.

“Pasti Tuhan akan mengabulkannya,” kataku. “Dia tak mungkin tega menolak permintaan wanita secantikmu,” godaku.

“Hah… Nam Gil,” Yo Won pura-pura menggerutu.

“Ibu, ayo potong kuenya!” seru kelima putri kami.

Setelah memotong kue, Yo Won memberikan potongan pertama untukku. “Untuk suami yang paling kucintai,” katanya, disambut gelak tawa dan tepuk tangan dari orang-orang yang menonton kami. “Terima kasih karena sudah memberiku cinta yang tulus sejak dulu… hingga kini tanpa berubah sedikitpun.”

Tenggorokanku tercekat. Aku menerima piring kecil berisi kue itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku menarik tubuhnya masuk dalam pelukanku. “Terima kasih juga karena bersedia menjadi istriku. Menemaniku, mendukungku, dan memberiku cinta hingga sekarang. Terima kasih. Aku mencintaimu,” kataku, lalu mengecup bibirnya sekilas namun penuh rasa sayang.

“Aku juga mencintaimu,” balas Yo Won sambil memelukku, membuat tepukan tangan dan seruan gembira dari para tamu semakin menjadi.

Perasaan dan situasi seperti inilah yang mungkin akan kami dapatkan dalam kehidupan pertama kami sebagai Bi Dam dan Deokman andai saja dulu kami tidak terpedaya oleh adu domba pihak lain yang tak ingin kami bersama. Tapi tak ada gunanya menyesali yang lalu. Yang terpenting sekarang adalah aku dan Yo Won akhirnya dapat bersatu. Hidup bersama selama puluhan tahun. Saling mencinta dan menjaga. Membentuk keluarga yang bahagia. Jiwa Bi Dam dan Deokman yang ada dalam diriku dan Yo Won pun kini dapat tenang, karena setelah sekian lama, apa yang dulu mereka impikan dapat terwujud. Bi Dam dan Deokman telah hidup damai bersama. Berdua. Selamanya.



***



Marah, curiga, dan dendam timbulkan kecewa
Sepi, pedih, dan sedih menghancurkan jiwa
Rindu, sayang, dan cinta kekalkan rasa
Lewati ujian pererat kasih di hati
Tulus cinta berikan bahagia abadi



~ TAMAT ~


by Destira ~ Admin Park ~

3 komentar:

  1. buat FF bideok lagi donk??? aq suka bgt FF bideok yg ini...

    BalasHapus
  2. wah...kayaknya kalo FF Bideok balom ada lagi, kalau mau baca FF Bideok silahkan buka blog all about bidam Deokman Fanfiction...Link-nya ada di sebelah kiri bawah daftar blog saya ^^

    BalasHapus