CHAPTER 17
Cast :
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
Mi Shil : Go Hyun Jung
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Yong Soo : Kim Jung Chul
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Choon Choo : Yoo Seung Ho
Alcheon : Yoo Seung Hyo
Yeom Jong : TETAP
San Tak : TETAP
Ha Jong : Go Jung Hyun
Bo Jong : Go Do Bin
Young Mo : Qri
--------------------------------------------------------
- Lee Yo Won - 24 Maret 2011 - Gyeongju -
Sudah menjadi tradisi sekolah untuk membawa murid-murid kelas dua melakukan tur ke tempat-tempat bersejarah. Dan tahun ini diputuskan untuk pergi ke Gyeongju, yang sering dikatakan museum tanpa dinding dan masuk peringkat sepuluh besar sebagai lokasi paling bersejarah oleh UNESCO di tahun 1995.
Aku sangat bersemangat ingin melihat tempat itu, karena selama ini hanya pernah melihatnya di TV dan buku. Sepertinya teman-teman yang lain pun merasa begitu, bila dilihat dari semangat mereka semenjak naik bus ini. Sayangnya aku dan Nam Gil terpisah. Karena tadi pagi aku dan kak Ye Jin sedikit terlambat, maka kami terpaksa bergabung dengan bus kelas lain.
“Apa ini perasaanku saja, atau tadi Qri memang memelototi kita?” tanyaku pada kak Ye Jin, sambil memandangi Qri yang duduk di bagian depan.
“Bukan kita, tapi aku,” koreksi kak Ye Jin.
“Kau? Tapi kenapa?” tanyaku terkejut.
“Kau tidak memperhatikan? Dia sudah bersikap memusuhiku semenjak hari valentine dulu,” kata kak Ye Jin. “Dia tidak suka saat mengetahui aku memberikan cokelat pada kak Tae Wong. Kau tahu sendiri… Qri menyukainya.”
“Tapi aku juga memberi kak Tae Wong cokelat. Kenapa dia hanya marah padamu?”
“Karena… aku sempat berpacaran selama tiga hari dengan kak Tae Wong,” jawab kak Ye Jin malu-malu.
“Apa!?” seruku kaget. Untung saja suasana di bus sedang ramai sehingga tak ada yang menghiraukan suara nyaringku. “Kalian berpacaran!? Bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya!?”
“Sudah tidak lagi,” sergah kak Ye Jin. “sehari setelah hari valentine, aku menyatakan perasaanku padanya, dan dia menerimanya. Aku merasa malu bercerita padamu, dan lagi saat itu sepertinya kau sedang punya masalah jadi…“
Ah, ya, setelah valentine suasana hatiku memang buruk karena melihat Nam Gil dicium gadis penggoda itu. “Lalu? Kakak sangat menyukainya, kan? Kenapa baru tiga hari kalian sudah putus?”
“Itu keputusan bersama,” katanya. “Setelah tiga hari, kami menyadari kurangnya minat satu sama lain.”
“Maksudmu?”
“Apa kau tak sadar kalau… kak Tae Wong tertarik padamu?” tanya kak Ye Jin hati-hati.
Aku tersentak kaget. “Tidak. Yah, dulu sempat terpikir olehku, tapi kemudian sikapnya biasa saja… Apa dia mengatakan itu padamu?”
Kak Ye Jin tersenyum. “Dia sengaja tak menunjukkan perasaannya karena melihatmu sangat tertarik pada Nam Gil. Dia mengatakannya di hari kami putus,” kata kakak.
Selama beberapa saat aku kehabisan kata-kata. “Pasti kakak sangat sedih,” kataku tak enak hati. “Aku tak menyangka kak Tae Wong akan setega itu mengatakan—“
“Tidak begitu,” potong kak Ye Jin. “hari itu aku juga membuat pengakuan padanya bahwa setelah beberapa hari berpacaran dengannya, akhirnya aku sadar bahwa selama ini yang kurasakan padanya hanyalah kekaguman, tidak lebih.”
“Benarkah?” desakku tak yakin.
Kak Ye Jin mengangguk. “Kau… mungkin kau tidak tahu, tapi… aku tertarik pada kakak Kim Nam Gil, Kim Jung Chul—“
Aku langsung tertawa. Astaga… “Aku memperhatikan sikapmu memang jadi aneh setiap bertemu dengannya,” kataku setelah tawaku reda. “Tapi karena kalian baru bertemu beberapa kali… aku tidak menyangka kau masih mengingatnya hingga sekarang.”
“Ada hal lain lagi yang perlu kuceritakan padamu, Yo Won,” kata kakak sambil bergerak-gerak gelisah di kursinya. “Mungkin kau akan menganggapku aneh, atau gila, atau—“
“Katakan saja,” selaku lembut.
“Baiklah. Emmm, begini, ya, aku menyukai Kim Jung Chul, karena di mataku dia sosok idamanku selama ini. Kurasa dia pria paling sempurna yang pernah kutemui. Dewasa, tampan, penampilan rapi, dan yah… hal-hal semcam itu,” kata kakak. “Tapi, selama ini aku juga sudah beberapa kali menyukai seseorang, dan belum pernah aku mengkhayalkan hal-hal gila seperti yang sekarang sedang kualami.”
“Hal-hal gila?”
Kak Ye Jin mengangguk. “Semenjak bertemu dan bersentuhan dengannya, aku terus mengalami mimpi-mimpi dan… semacam—“
“Kilasan pengelihatan?” tebakku.
“Benar!” seru kakak bersemangat. “Dia terus muncul dalam mimpi dan kilasan pengelihatanku dalam sosok yang sama tapi juga berbeda.”
Ingatan mengenai pria bernama Bi Dam melintas di benakku. “Apakah maksudmu pria itu terlihat memakai pakaian tradisional Korea?” tanyaku.
“Ya, pakaian tradisional dan juga pakaian perang,” kak Ye Jin menyetujui.
Bagaimana bisa aku dan kakak sama-sama mengalami mimpi-mimpi dan kilasan pengelihatan aneh seperti itu?
“Aku juga—“
“Sudah sampai!” seru seorang guru, memotong perkataanku. “Ayo, turun dengan tertib,” perintahnya.
Walau sudah diperintahkan untuk tertib, tetap saja semua berebut untuk turun lebih dulu, membuatku dan kak Ye Jin yang sedang berjalan menuju pintu bus tergencet-gencet oleh mereka.
“Kau mau bilang apa tadi?” tanya kakak setelah kami sampai di luar.
“Aku—“ Ponselku bergetar. SMS dari Nam Gil.
Coba tengok ke arah jam Sembilan, kau akan melihat pemuda tertampan sejagat raya.
Sambil tertawa geli, aku menengok ke samping kiriku, dan melihatnya sedang berjalan mendekat dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya.
“Kau benar,” seruku padanya. “Dia memang yang tertampan sejagat raya,” olokku, menunjuk San Tak yang berjalan di sisi Nam Gil.
Seketika wajah Nam Gil mengerut kesal. “Pergi kau,” usirnya pada San Tak.
“Ha? Kenapa? tadi kau bilang—“
“Itu tadi,” sanggah Nam Gil. “Kau pergi dengan yang lain saja. Aku dan Yo Won ada urusan.”
Walaupun dongkol dan jelas heran dengan kelakuan temannya, San Tak tetap menurut dan menjauh pergi bersama rombongan murid pria yang lain.
“Kenapa selaramu tiba-tiba berubah menjadi buruk?” omel Nam Gil setelah tiba di hadapanku.
Aku tertawa. “Aku hanya bercanda,” sahutku geli. “Tentu saja kau yang tertampan.”
“Eh, apa kalian mau jalan berdua saja?” tanya kak Ye Jin. “Aku tidak mau mengganggu.”
“Tidak, tidak,” kataku buru-buru. “Kita jalan bersama saja.”
“Ayo, semua, kemari!” teriak seorang guru dan pemandu wisata kami.
Kami berjalan mengikuti guru-guru dan pemandu wisata menuju tempat pertama, Sacheonwang. Bangunan yang berada di seberang jalan lokasi makam Ratu Seondeok itu dibuat untuk mengenang reunifikasi tiga Negara. Di sana terdapat lukisan Raja Muyeol bersama anaknya, Raja Munmu, dan Jenderal Kim Yoo Shin. Tiga pahlawan yang berjasa dalam unifikasi tiga Negara.
Kilasan-kilasan kejadian langsung berputar di benakku dengan cepat. Pertama, aku melihat seorang pemuda berwajah seperti Yoo Seung Ho dalam pakaian tradisional memanggilku “Bibi”, kemudian kilasan itu segera berganti pada pria berwajah seperti kak Tae Wong dalam pakaian prajurit berwarna biru yang memanggilku “Deokman”.
Aku baru tersadar saat merasakan remasan tangan kak Ye Jin. Dia begitu terpaku memandangi lukisan-lukisan para pahlawan itu, hingga tak menghiraukan senggolan dari beberapa murid yang berlarian melewati kami. Apa kakak juga mendapat kilasan pengelihatan lagi?
Di sebelah kiriku, kudengar Nam Gil berdeham. “Ayo,” ajaknya untuk mengikuti rombongan yang bergerak ke tempat lain lagi.
Kami menyeberang ke makam sang Ratu. Begitu melihat gundukan makamnya, lagi-lagi aku melihat kilasan-kilasan kejadian dimana semua orang yang bertemu denganku menyebutku dengan sapaan “Yang Mulia” atau “Deokman”. Dadaku terasa nyeri dan kepalaku berdenyut-denyut menyakitkan. Rasanya ada sesuatu yang terlupa olehku, tapi setiap kali kucoba untuk mengingatnya, rasa sakit dan nyeri yang kurasakan akan semakin bertambah.
Sesuatu membuatku terdorong ke samping. Nam Gil. Dia terhuyung ke arahku dengan meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. Seketika, kebingungan, rasa nyeri, dan sakit yang kurasakan terlupakan dan digantikan kecemasanku terhadapnya.
“Nam Gil? Ada apa? Nam Gil!?” tanyaku khawatir sambil menopang tubuhnya yang lemas.
Beberapa saat kemudian Nam Gil berhenti meringis sakit, dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Yo Won…” bisiknya.
“Ya?”
Nam Gil menggeleng sambil memaksakan senyum. “Tidak, tidak apa-apa.” Aku meragukan perkataannya, tapi tak ingin mendesaknya lebih jauh.
Setelah dari makam Ratu Seondeok, rombongan kembali meneruskan tur ke makam Raja Jin Pyeong, Raja Muyeol, dan makam Jenderal Yoo Shin. Di setiap persinggahan itu aku terus diserang dengan kilasan-kilasan yang semakin banyak, semakin jelas, juga semakin familiar. Aku tak lagi memperdulikan sekitarku. Seluruh perhatian dan jiwaku seolah sudah tersedot untuk terfokus pada apa yang kulihat dalam kilasan-kilasan itu. Semakin lama, aku semakin yakin bahwa semua yang kulihat itu memang pernah kualami sebelumnya.
Hingga akhirnya kami memasuki Shilla Millenium Park dan melihat replika Kerajaan Shilla, yang dibangun menyerupai Shilla yang asli. Begitu melangkahkan kaki memasuki area itu, jantungku langsung berpacu dengan cepat. Napasku terasa sesak, dan kepalaku kembali berdenyut menyakitkan. Kilasan-kilasan kejadian berputar di benakku. Semakin jauh berkeliling, semakin banyak kilasan yang kulihat.
Kilasan saat aku berlatih bersama beberapa prajurit. Kilasan saat aku mengobrol bersama seorang perempuan berwajah seperti kak Ye Jin dalam jubah cokelat, yang kemudian berganti menjadi pakaian tradisional bagaikan putri, lengkap dengan mahkotanya. Kilasan saat aku berdebat dengan pria berwajah seperti kak Tae Wong yang berpakaian prajurit. Kilasan saat bertemu pasangan berwajah seperti Ayah dan Ibu dalam pakaian tradisional dan mahkota yang memancarkan keagungan juga kemewahan. Kilasan saat aku beradu pendapat dengan wanita anggun berwajah seperti Bibi Hyun Jung. Dan kilasan saat… pria bernama Bi Dam—yang berwajah mirip dengan Nam Gil—berlutut di hadapanku lalu berjanji akan setia di bawah kepemimpinanku.
Masih banyak kilasan-kilasan lain yang terus muncul selama perjalananku mengelilingi replika kerajaan Shilla tersebut, dan tak berhenti walaupun kami telah keluar dari tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju Myeonghwalsanseong. Aku merasa bagai berada di antara dua dunia. Setengah sadar, aku mengikuti rombongan tur, tapi di saat bersamaan aku juga merasa jiwaku sedang berada di dalam kilasan kejadian yang kulihat. Entah bagaimana caranya, itu memang terjadi.
Myeonghwalsanseong yang berupa lapangan luas itu dulunya merupakan lokasi perang melawan para pemberontak yang diketuai oleh mantan Perdana Menteri di zaman kepemimpinan Ratu Seondeok.
Mantan Perdana Menteri… Bi Dam!? Ingatan itu datang bersamaan dengan saat aku menjejakkan kaki di area Myeonghwalsanseong tersebut. Beragam kilasan kejadian silih berganti melintas di benakku. Semua seolah berebut untuk dapat segera kuingat. Kepalaku terasa semakin sakit dan dadaku pun semakin nyeri bagai mendapat tusukan pisau tajam. Kemudian semua menjadi jelas. Segala yang terlupakan olehku… ingatan kehidupanku yang lalu… akhirnya kembali. Kenangan manis yang bercampur kepahitan hidup sepiku.
Aku terhuyung-huyung dengan tangan di atas dadaku yang terasa nyeri. Tanpa dapat kutahan, air mata itu telah mengalir turun dari kedua mataku. Kurasakan tubuhku membentur sesuatu. Aku berbalik, dan melihat Nam Gil berdiri tegak dengan mata menerawang ke kejauhan. Air mata juga mengalir turun membasahi wajahnya. Kenapa dia menangis? Mungkinkah dia juga mendapat kilasan pengelihatan seperti yang kualami?
Seketika kenangan tentang rencana kami untuk menikah dan hidup tenang bersama melintas di benakku. Kenangan itu begitu manis, namun juga pahit menyedihkan karena begitu singkatnya kenangan indah yang kami miliki. Semua rencana yang telah dibuat akhirnya hancur dengan mudahnya akibat kesalah pahaman dan kurangnya rasa percaya kami satu sama lain.
Nam Gil… Bi Dam… Keduanya ternyata jiwa yang sama. Keduanya berhasil menarik perhatianku. Keduanya membuatku jatuh cinta. Cinta yang dulu hilang dariku, ternyata kini dikembalikan oleh takdir. Selama ini Choon Choo… Yoo Seung Ho tidak berbohong. Semua ramalannya ternyata benar adanya. Begitu pula ramalan peramal wanita di taman bermain itu… mereka tidak membual. Aku dan Bi Dam bereinkarnasi. Kami diberi kesempatan lagi untuk menjalin cinta kami. Memperbaiki apa yang dulu telah kami kacaukan. Sadarkah Nam Gil mengenai hal ini?
Tanganku terulur untuk menghapus air matanya. Akhirnya Nam Gil menatapku. Diraihnya tanganku dan ditempatkannya di atas dadanya. Aku melihat kesedihan mendalam bercampur rasa cinta terpancar dari kedua bola matanya. Mencerminkan perasaanku sendiri.
“Bi Dam.”
“Deokman.”
- Kim Nam Gil - 24 Maret 2011 - Gyeongju -
Kilasan-kilasan pengelihatan itu mulai muncul sejak di Sacheonwang tadi. Dan semakin jauh rombongan ini berjalan menjelajahi tempat-tempat lain, maka semakin banyak pula kilasan kejadian yang melintas di benakku. Semua itu tampak tak nyata sekaligus nyata. Seakan aku memang pernah mengalaminya, tapi itu mustahil terjadi.
Aku merasa seolah jiwaku terbelah. Separuh jiwaku masih menyadari keadaan di sekitarku dan mengikuti rombongan tur, tapi di saat bersamaan setengah jiwaku yang lain seperti berada di tempat lain. di dalam kilasan kejadian yang kulihat. Kedengarannya mustahil dan konyol, tapi itulah yang terjadi.
Ketika berada di makam sang ratu tadi, kilasan mengenai wanita itu terus melintas di benakku silih berganti. Aku melihatnya ketika sedang tersenyum, ketika sedang tertawa, ketika sedang merenung, ketika sedang marah, dan ketika sedang menangis. Semua emosi yang di perlihatkannya entah kenapa juga mempengaruhiku. Hatiku serasa diremas kuat, dan kepalaku berdenyut menyakitkan. Rasanya seperti ada yang terlupa olehku, tapi semakin aku berusaha mengingatnya, maka semakin sakit hati dan kepalaku.
Ketika pemandu wisata membawa kami berkeliling di Shilla Millenium Park yang merupakan replika kerajaan Shilla di masa lalu, semakin banyak kilasan yang kudapat. Sebagaian besar mengenai sang Ratu, tapi ada juga kilasan-kilasan mengenai para prajurit, mengenai orang-orang yang berwajah seperti Tae Wong, Seung Hyo, Do Bin, Jung Hyun, dan masih banyak lagi yang nampak serupa dengan orang-orang yang kukenal selama ini, tetapi juga berbeda karena pakaian yang mereka kenakan. Dari semua yang kulihat, wanita anggun dalam pakaian tradisional mewah itulah yang paling mencengangkanku. Wanita itu seperti Ibu.
Dan akhirnya semua menjadi jelas setelah aku menjejakkan kaki di tanah lapang bernama Myeonghwalsanseong. Lokasi perang terakhir sang Ratu dengan para pemberontak yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Bi Dam. Olehku. Dengan kembalinya ingatan itu, maka segala yang terlupakan olehku… ingatan kehidupanku yang lalu pun akhirnya kembali.
Hatiku terasa semakin sakit. Semua kenangan itu terbayang-bayang di benakku. Ketika pertama kali bertemu Yang Mulia Ratu… saat dia masih gadis bernama Deokman dalam pakaian Nandonya. Ketika aku ikut membantunya melawan Penjaga Stempel Istana Mi Shil—Ibuku sendiri—demi mendapat haknya agar diakui sebagai Putri Shilla. Ketika aku bersumpah akan setia dibawah kepemimpinannya. Ketika aku menyadari rasa kagumku padanya berkembang menjadi rasa cinta pria dewasa yang ingin memiliki. Ketika kami berjuang melawan pemberontakan yang dilakukan Ibu. Ketika Yang Mulia Putri Deokman akhirnya menggapai takdirnya sebagai penguasa Shilla. Ketika melewati tahun-tahun sebagai orang kepercayaannya. Ketika akhirnya rasa cinta dapat kami utarakan. Ketika rencana untuk menikah dan hidup bersama dibuat. Ketika… aku menghancurkannya dengan keraguanku pada perasaan Sang Ratu yang ternyata benar mencintaiku… Ketika terakhir kali aku melihatnya meneteskan air mata di detik-detik sebelum aku menghembuskan napas terakhir dengan menyebutkan namanya. Deokman… Deokmanku.
Penyesalan mendalam menghancurkanku. Bagaimana bisa aku tidak mempercayainya? Bagaimana bisa semua angan dan mimpiku untuk bersamanya begitu mundah runtuh akibat ulahku sendiri? Seandainya saja aku pergi sesuai perintahnya… seandainya aku menerima surat darinya… seandainya aku tidak terpengaruh perkataan Choon Choo… seandainya aku tidak tertipu Yeom Jong… seandainya, seandainya, seandainya… Tapi yang lalu tak dapat diubah. Yang bisa kulakukan hanyalah mencoba sebaik-baiknya dengan hidupku sekarang. Mencoba untuk tak lagi mengulangi kesalahanku di masa lalu.
Peramal itu ternyata berkata benar. Oleh takdir, aku diberi satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah kuhancurkan. Aku bereinkarnasi untuk menemukan cintaku lagi. Sesuatu yang begitu kuinginkan sejak dulu. Deokman. Yo Won.
Sentuhan lembut yang mengapus air mataku membuatku tersadar. Aku menoleh dan menatapnya. Yo Won… Deokman… Keduanya ternyata jiwa yang sama. Keduanya membuatku kagum. Membuatku jatuh cinta. Deokmanku. Yo Wonku. Takdir berbaik hati mempertemukan kami kembali. Tapi… tahukah Yo Won mengenai hal ini?
Kuraih tangannya dan kuletakkan di atas jantungku. Aku melihat kesedihan mendalam bercampur rasa cinta terpancar dari kedua bola matanya. Mencerminkan perasaanku sendiri.
“Bi Dam.”
“Deokman.”
Kami sama-sama tersentak kaget. Aku menyebut namanya tanpa sadar, entah bagaimana dengan dirinya. Tapi… bukankah ini berarti… Yo Won juga…?
“Kau melihat kilasan itu?” kami bertanya bersamaan.
Aku langsung merengkuhnya masuk dalam pelukanku. Yo Won… Deokmanku… Syukurlah, ternyata dia juga mendapat kilasan-kilasan pengelihatan itu. Dia juga mengetahui masa lalu kami. Cinta kami.
“Yo Won… Deokman,” bisikku pedih.
“Nam Gil… Bi Dam,” isak Yo Won sambil membalas pelukanku sama eratnya.
Selama beberapa saat kami terus berpelukan dan menangis tanpa suara. Dengan enggan kami saling melepaskan diri karena harus bergabung bersama rombongan lain yang bergerak kembali menuju Shilla Millenium Park untuk melihat teater drama, yang menurut si pemandu wisata akan melakukan pertunjukan bagaimana Hwarang bertarung.
Tapi setelah sampai di sana, ternyata persiapan pertunjukan belum selesai, sehingga kami diperkenankan berkeliaran sendiri asalkan tak terlalu jauh dan tersesat. Kesempatan ini segera aku dan Yo Won pergunakan untuk kembali menyusuri replika istana. Kami berjalan dengan tangan yang saling bergandengan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. aku tidak tahu apa alasan Yo Won, tapi aku diam untuk meresapi rasa haru dan bahagia setelah dapat mengingat Deokman lagi, juga merenungkan kesalahan-kesalahan yang dulu kubuat.
Replika istana ini benar-benar dibuat menyerupai bentuk aslinya, sehingga aku dan Yo Won dapat berkeliaran tanpa tersesat, karena dulu kami menghabiskan banyak waktu di tempat ini.
“Dulu aku suka duduk di sini. Melihat pemandangan yang menenangkan dan memikirkan strategi berikutnya yang harus kuambil demi kepentingan Negara,” kata Yo Won saat kami sampai di semacam balkon yang dulu memang tempat favoritnya untuk merenung.
Aku memandangi wajahnya yang sedang tersenyum melihat pemandangan dari tempat tinggi ini. Deokman… aku melepaskan pegangan tanganku darinya, dan berlutut di hadapannya. Di tempat ini hanya ada kami berdua, dan walaupun ada yang melihat, aku tidak akan malu terlihat dalam pose seperti ini, karena aku lebih malu pada perbuatanku di kehidupan yang lalu. Aku telah mengkhianati wanita yang kucintai, mengkhianati pemimpin yang kukagumi, karena kebodohan dan rasa tak aman dalam hatiku yang tak pernah hilang.
“Nam Gil?”
“Maafkan aku,” pintaku. “Aku sebagai bawahanmu, sebagai Perdana Menteri yang telah mengkhianati Ratunya… maafkan perbuatanku. Aku sebagai kekasihmu, sebagai Bi Dam yang telah menyakiti hati orang yang paling dicintainya di dunia… maafkan kecurigaanku padamu.”
“Bi Dam… Nam Gil…”
Aku menengadah untuk melihat wajahnya. “Perbuatanku mungkin tak termaafkan, tapi aku harap kau mau mencoba memaafkan dan memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku,” kataku tulus.
Yo Won menarikku berdiri dan menggenggam tanganku sambil menatap lurus ke dalam mataku saat bicara. “Aku memaafkanmu. Aku sudah memaafkanmu semenjak mengetahui kebenaran bahwa kita telah diadu domba. Tapi… maaf, saat itu telah terlambat… aku tak dapat menarik perintahku untuk membasmi para pemberontak. Aku tidak dapat menyelamatkanmu. Maafkan aku…” isaknya. “Seandainya aku lebih dulu menyelidiki alasan pemberontakanmu sebelum mengeluarkan perintah… mungkin akan berbeda…”
“Deokman… Yo Won…”
“Satu persatu orang yang kucintai pergi meninggalkanku… Dan ketika melihatmu mati di depan mataku… aku tidak lagi sanggup bertahan. Dengan kepergianmu, aku hidup di dunia yang sepi dan tak lagi berarti. Memang banyak orang di sekelilingku, tapi hanya kau yang kupunya. Kau tempatku untuk mencari penghiburan, tempatku merasa nyaman menjadi diriku sendiri, tempatku merasa sebagai wanita biasa yang beruntung karena dicintai oleh pria sepertimu. Untuk orang sepertiku… cintamu sangat berharga. Maafkan aku, Bi Dam… maafkan aku…”
Aku kembali merengkuhnya ke dalam dekapanku. “Deokman… Deokmanku,” desahku pedih di kelembutan dan keharuman rambutnya.
“Bi Dam…” isak Yo Won. “Aku mencintaimu.”
Mungkin aku tidak pantas mendapatkannya, tapi aku bersyukur mendapatkan cintanya. Cintanya sebagai Deokman, dan cinta sebagai Yo Won. “Aku mencintaimu. Selamanya tak pernah berubah. Aku mencintaimu…”
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar