Chapter 3
-Kim Nam-gil-
Dia tersenyum, senyum malu-malu dan paling manis yang pernah kulihat, dan kini senyum itu ditujukan kepadaku, hanya kepadaku. Hatiku bergetar dan merasakan aliran hangat karenanya. Sudah lama aku menantikan saat-saat seperti ini. Sejak sebulan yang lalu, gadis itu dan senyumnya telah mengganggu pikiranku. Ya, sejak hari pertunangan Dae-jia dan Si-won, aku melihatnya tengah termenung di taman seorang diri dan memandang jauh ke depan. Kembali teringat olehku saat pertama kali aku bertemu dengannya.
“Namanya Lee Yoo-hee,” kata sebuah suara di belakangku saat aku tengah asyik memperhatikannya. Kontan aku pun menoleh dan mencari asal suara itu. “Dia kakak sepupuku,” tambahnya sembari tersenyum.
“A..aku—,”
“Kulihat kakak memperhatikannya sejak tadi,” potong Dae-jia seraya memperlihatkan senyum penuh arti kearahku. Aku pun hanya bisa mengangguk lemah, bagaikan seorang anak yang tertangkap basah ibunya telah melakukan kesalahan. “Tak perlu merasa malu kak, kalau kau memang tertarik padanya, aku akan mendukungmu.”
“Maksudmu? Jadi…dia belum punya kekasih?”
“Belum, atau tepatnya dia sedang menghukum diri-sendiri karena menganggap dirinyalah orang yang paling bersalah atas kematian kekasihnya.” Aku hanya bisa diam tak bersuara memperhatikan cerita Dae-jia dan menunggunya melanjutkan ceritanya. “Tiga tahun lalu terjadi kecelakaan tragis yang menimpa kekasihnya, Kak Hyun-jae, padahal mereka sudah merencanakan pernikahan dalam waktu dekat, Kak Yoo-hee benar-benar terpukul karenanya. Dan hingga kini dia belum juga membuka hatinya untuk pria lain. Makanya, aku senang saat tau kakak tertarik padanya, sudah beberapa kali aku mencoba untuk bicara dan meminta Kak Yoo-hee untuk membuka hatinya pada pria lain, dan menjalin hubungan baru, tapi dia tetap tak bergeming. Aku harap dengan kehadiran kakak, akan mengobati luka hatinya. Selain itu, karena aku percaya, kakak adalah orang baik.” Hatiku miris mendengarnya, sekarang aku mengerti, kekeraskepalaannya yang membuatnya seperti itu, pasti akan sangat sulit untuk menaklukkan hatinya, tapi akan kucoba.
“Terima kasih atas kepercayaanmu,” ucapku tulus.
“Tidak perlu berterima kasih padaku kak, justru aku yang harus berterima kasih padamu.” Aku pun mendapat banyak informasi tentangnya dari Dae-jia, tapi saat aku akan pergi menghampirinya di taman, tempat duduk itu kosong, dia sudah tak ada lagi di sana. Kemana dia pergi? Kuedarkan pandanganku ke seluruh bagian taman itu, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan dirinya. Aku mendesah frustasi dan menghempaskan tubuhku ke kursi taman. Tapi saat akan beranjak pergi, mataku menangkap sesuatu yang berkilauan di tanah, sebuah liontin perak dengan bandul berbentuk hati tergeletak di sana. Kuambil liontin itu, dan kuperhatikan, siapakah pemiliknya? Saat kuperhatikan dengan seksama, tertulis inisial di balik bandul itu, YH, dan sebuah kata-kata di bawahnya “Mencintaimu, selamanya”. Mungkinkah ini milik nona tadi, bukankah tadi Dae-jia bilang namanya Yoo-hee? Ya, liontin ini pasti miliknya. Apakah ini sebuah pertanda baik?
“….Tuan? hallo….apakah kau mendengarku?” suara wanita itu mengembalikanku ke masa kini.
“Ah…iya, maaf.” Bodohnya, aku tak sadar sudah terpaku beberapa lama di hadapannya. Dia kembali tersenyum ke arahku.
“Terima kasih, maafkan aku karena terus berpikiran buruk tentangmu, harusnya malam itu aku mendengarkanmu.” Dia minta maaf padaku? Benar-benar sulit dipercaya, bukankah dia sangat membenciku? “Tapi kau belum menjawab pertanyaanku tadi, dimana kau menemukan ini? Aku sudah mencarinya kemana-mana. Dan benar-benar frustasi karenanya.”
“Aku menemukannya di sebuah taman, saat pesta pertunangan Dae-jia.”
“Jadi, kau—“
“Ya, aku ada di sana saat itu,” selaku dia tampak kaget dan tak percaya.
“Tapi bagaimana aku tak melihatmu di sana?”
“Yah…mungkin karena kau terlalu sibuk dengan pikiranmu sendiri.”
“Maksudmu? Ah..sudahlah, aku tak ingin merusak hubungan kita lagi, sekali lagi terima kasih.” Hubungan kita? Jadi sekarang dia mengakuiku sebagai temannya?
“Jadi, sekarang kita berteman?”
“Ya, kita berteman,” sahutnya sembari mengulurkan tangan kepadaku, dan aku membalas uluran tangan itu dengan senang hati. Aku tau, cepat atau lambat pasti akan bertemu dengannya—karena Dae-jia memberitahuku bahwa dia juga akan hadir di pesta pernikahannya di Jeju—aku benar-benar bersemangat saat mengetahuinya, tapi tak kusangka akan bertemu dengannya dengan cara seperti itu. Siang itu, aku baru saja pulang dari Gym, dan hendak menyegarkan tubuhku dengan berendam di kamar mandi. Tapi alangkah terkejutnya aku saat kulihat gadis itu—gadis yang selama ini mengganggu pikiranku—berada di kamarku dan tengah menatapku tajam. Kupikir itu hanya khayalanku saja, tapi saat mendengar kata-kata kasarnya, aku sadar itu bukan hanya khayalanku. Aku sedikit menyesal karena tak dapat menahan diri saat itu, aku benar-benar tak dapat berpikir jernih bila berada di dekatnya, auranya yang menunjukkan kerapuhan seorang wanita, membuatku ingin merengkuhnya dalam dekapanku, memeluknya erat dan tak melepaskannya lagi. Tapi syukurlah, malam ini kami telah berbaikan, aku tak ingin merusak hubungan kami lagi dengan reaksiku yang diluar dugaan itu.
“Oh…aku permisi dulu,” ucapnya menyela lamunanku, “Ibuku sudah memanggilku ke sana, dan sekali lagi terima kasih.” Aku pun mengangguk dan menatap punggungnya hingga menjauh dan sedikit berharap, ini akan menjadi awal yang lebih baik bagi hubungan kami.
***
Pagi ini, kami kembali ke Seoul, setelah acara pernikahan yang meriah semalam—Dae-jia dan adikku Si-won telah terbang ke Paris untuk melanjutkan bulan madunya selama dua minggu di sana—dan tentu saja aku akan berpisah dengan si nona keras kepala itu. Tapi kali ini, aku tidak akan melepasnya lagi, aku sudah bertekad untuk mendapatkannya dan aku pun sudah berjanji pada Dae-jia untuk membahagiakannya. Jadi, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Kuedarkan pandanganku ke seluruh tempat di bandara Gimpo, berharap akan menemukan sosok yang kucari. Dan di sanalah dia, terlihat sangat manis dengan menggunakan celana jins dan jaket putih tebal serta penutup kepala—karena cuaca yang sangat dingin di Bulan Desember—sedang menanti keberangkatan pesawat menuju Seoul.
“Hai,” sapaku, “Apa aku boleh duduk di sini?” ucapku sambil menunjuk bangku kosong di sebelahnya.
“Ah…ya, silahkan. Sebenarnya, aku ingin bertanya sesuatu padamu.”
“Apa itu?”
“Bagaimana kau bisa tau bahwa liontin itu milikku?”
“Karena ada inisial namamu di balik bandulnya,” jawabku jujur. “Sepertinya liontin itu sangat berharga bagimu? Hingga kau memaafkanku secepat itu, kala kau melihatnya”
“Ya,” sahutnya pendek. Mungkin dia memang tak ingin menceritakan tentang liontin itu padaku, ya sudahlah kalau begitu. “Apakah benar kau tidak marah lagi padaku?”
“Tidak, asal kau mau berjanji tak membuat masalah lagi.”
“Kalau begitu, aku tak bisa berjanji,” godaku sambil menyeringai jahil yang membuatnya tak sanggup menahan tawa. Aku senang melihatnya tersenyum, apalagi bila tertawa renyah seperti ini.
“Baiklah kalau begitu, aku akan menunggu keonaranmu selanjutnya ‘Tuan Pembuat Onar’.”
“Oh..akhirnya kau memutuskan nama kesayangan untukku ‘Nona keras kepala’.” Kami pun tertawa bersama hingga tak terasa waktu terus berlalu dan pesawat yang kami tunggu sudah siap berangkat.
-Lee Yoo-hee-
Aku tak menyangka akan berbaikan dengan si ‘Pria pembuat onar’ ini, sejak semalam dan karena liontin itu. Aku benar-benar sangat malu padanya, karena sudah berprasangka buruk. Tapi, hal itu tak dapat disalahkan juga, mengingat sikapnya padaku siang itu. Kembali terkenang olehku, kejadian semalam saat dia memaksaku membuka kotak beledu hitam pemberiannya. Sebelumnya, aku sangat kaget, dan menuduhnya yang tidak-tidak. Tapi saat melihat isinya adalah liontin perak pemberian Kak Hyun-jae yang hilang beberapa saat lalu, liontin itu sangat berharga bagiku, aku benar-benar frustasi saat mengetahui liontin itu tiba-tiba raib begitu saja, untunglah dia menemukannya, aku pun tak tahan untuk menahan senyumku dan merasa malu atas prasangka burukku padanya. Jadi, inikah urusan yang ingin diselesaikannya denganku? Hah…bodohnya aku! Harusnya aku mendengarkannya malam itu. Apakah benar, aku sekeras kepala itu?
“Sampai jumpa lagi,” ucapnya saat kami sampai di Incheon.
“Ya, sampai jumpa lagi,” sahutku pendek.
***
Ahh…kuregangkan tubuhku yang kaku karena bekerja terlalu lama. Sudah seminggu aku menyibukkan diri dengan tugas-tugas kantor yang menjadi deadline akhir tahun, laporan bertumpuk dan benar-benar menyita perhatianku. Aku harus menyelesaikan semuanya secepatnya, karena aku tak ingin bekerja pada saat libur tahun baruku. Sudah dua tahun aku bekerja sebagai staf keuangan di salah satu perusahaan eksport-import ternama di korea.
“Kau tidak pulang?” tanya Hae-ra teman sekantorku yang tengah bersiap-siap untuk pulang.
“Iya, sebentar lagi. Aku harus menyelesaikan laporanku yang terakhir, kau duluan saja.”
“Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu, kekasihku sudah menunggu di depan. Selamat Tahun Baru!” Aku hanya mengangguk menanggapinya, malam ini, malam tahun baru. Pasti dia terburu-buru untuk merayakannya bersama kekasihnya. Karena merasa tak ada orang yang perlu kutemani untuk merayakan tahun baru bersama—sejak kematian kak Hyun-jae, aku tak pernah lagi merayakan tahun baru—kembali kutekuni laporan terakhirku itu, tiba-tiba poselku bordering, hingga membuatku menghentikan sejenak pekerjaanku. Mungkin dari Ibu. Tapi aku salah, alih-alih nama Ibu, terpampang nomor tak dikenal di sana. Siapa ini?
“Hallo, dengan—“
“Keluarlah, aku menunggumu!” sela seseorang dari seberang sana. Sepertinya aku mengenal suaranya.
“Aku sibuk, dan aku tak ingin diganggu. Katakan saja siapa kau dan apa keperluanmu?” ucapku kesal.
“Kau tak mengenali suaraku?” Astaga!
“Kau—“
“Ya, aku…keluarlah!” selanya lagi.
“Bukankah—“ klik, ponsel ditutup, sial. Dia benar-benar tak mau mendengarkanku. Apakah pria ini tak mengenal kata tidak? Segera kumatikan komputerku dengan perasaan dongkol, memakai jaket tebalku dan bergegas keluar kantor untuk menemuinya. Sepertinya aku harus mengerjakannya di rumah. Ketika sampai di luar, kulihat dia si ‘Pria pembuat onar’ itu telah berdiri di sebelah mobilnya, kutatap wajah tampannya yang tengah tersenyum ke arahku.
“Sedang apa kau di sini? Bagaimana kau tau aku bekerja di tempat ini? Dan dari mana kau mendapatkan nomer ponselku?” cecarku.
“Bisakah kau bertanya satu per satu? Mulutku hanya satu untuk menjawabnya.”
“Baiklah…sekarang jawab saja pertanyaanku.”
“Bukankah kau menungguku untuk berbuat onar?” ucapnya sambil menyeringai jahil.
“Ya, tapi—,”
“Masuklah dulu,” ucapnya seraya membukakan pintu mobilnya untukku, “di luar sangat dingin.” Aku pun masuk ke mobil sedan hitam itu dengan enggan.
“Aku sudah masuk, sekarang jawablah.”
“Kau ini tidak sabaran sekali ya,” ucapnya sambil melajukan mobil sedan itu ke jalan raya.
“Ya, aku memang tidak sabaran, ayolah!”
“Baik, ada seseorang yang memberitahuku.”
“Siapa? Siapa orang itu? Cepat katakan padaku!”
“Oke, aku akan mengatakannya padamu. Asal kau berjanji tak akan marah padanya.”
“Aku tak bisa berjanji.”
“Kalau begitu, aku tak bisa mengatakannya padamu.”
“Oh, ayolah! Baiklah…aku berjanji.”
“Akan kupegang janjimu,” ucapnya, “Adik sepupumu, Dae-jia yang memberitahuku.”
“Dae-jia?” sahutku tak percaya, jadi adik sepupuku itu yang berada di belakang semua ini, “Apa saja yang kau ketahui tentangku?”
“Semua, aku tau semua tentangmu.” Sial, apa tujuan Dae-jia melakukan ini semua. “Ingat, kau sudah berjanji bahwa kau tidak akan marah padanya,” ucapnya saat melihat perubahan ekspresiku. “Aku yang memintanya untuk menceritakan semua tentangmu. Jadi, kau tak perlu marah padanya.” Apa? Dia yang memintanya? Untuk apa?
“Kenapa kau ingin tau tentangku?”
“Karena aku tertarik padamu.”
“Apa? hentikan mobil ini. Kau tidak salah mengartikan pertemanan yang kita mulai seminggu yang lalu, kan?”
“Tidak, bukan seminggu yang lalu,” ucapnya tenang, “Tapi sejak sebulan yang lalu, saat aku melihatmu tengah duduk termenung di taman itu,” koreksinya. Oh…tidak, jadi selama ini dia…
“Hentikan mobilnya!” seruku.
“Aku tidak bisa, karena ada hal yang ingin kutunjukkan padamu.”
“Apa itu?”
“Lihat saja nanti.”
Aku tak bersuara sedikit pun setelahnya, apa benar yang dikatakannya? Aku shock dan tak menyangka sudah sebulan yang lalu dia memperhatikan aku. Aku benar-benar tak ingin membuatnya kecewa, karena aku tak mungkin menerima cintanya. Sejak tiga tahun yang lalu hatiku sudah kututup rapat-rapat dan tak kubiarkan seorang pun masuk ke sana. Tidak seorang pun.
Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, hingga tak menyadari kalau kami sudah sampai di tempat tujuan. Sebuah bukit yang menampilkan keindahan seluruh kota Seoul, indah sekali. Bukit ini kerap sekali menjadi tempat bagi para pengunjung untuk melihat parade kembang api saat malam pergantian tahun. Karena masih agak sore, baru ada segelintir orang yang datang ke tempat ini.
“Kenapa kau membawaku kemari?” tanyaku.
“Untuk menikmati indahnya malam tahun baru bersamamu, aku tau, kau sudah lama tak menikmatinya” katanya.
“Apa maksudmu?”
“Aku mengajakmu kemari bukan untuk bertengkar denganmu Nona,”
“Lupakan saja aku!” ucapku kemudian. “Aku tak mungkin membalas cintamu.”
“Lihatlah, pemandangannya sangat indah, bukan?” serunya tak mempedulikan ucapanku.
“Tolong dengarkan aku, aku hanya tidak ingin mengecewakanmu,” lanjutku. “Lupakan aku, dan carilah gadis lain. Aku yakin kau akan menemukannya dengan sangat mudah.”
“Kenapa? Karena kau masih dihantui rasa bersalahmu terhadapnya?”
“Itu bukan urusanmu!” segahku.
“Itu akan menjadi urusanku, karena aku peduli padamu, karena aku mencintaimu. Sampai kapan kau akan begini? Hidupmu masih panjang untuk disia-siakan Yoo-hee, tidak ada gunanya meratapi masa lalu, dan aku yakin Hyun-jae pasti akan sedih bila melihatmu seperti ini. Ku mohon, buanglah kekeraskepalaanmu itu!” Dia bahkan mengetahui nama Kak Hyun-jae? Sejauh itukah Dae-jia menceritakannya?
“Maaf, tapi aku tidak bisa. Pergilah, cari wanita lain yang bisa membalas cintamu”
“Kau pasti bisa, asal kau memberi kesempatan pada hatimu untuk menerima orang lain,” ucapnya seraya memegang kedua bahuku erat. “Dan percayalah padaku, bahwa aku akan membahagiankanmu.” Matanya menatapku penuh harap, dan cinta. Kualihkan pandanganku dari matanya, aku tak sanggup melihatnya seperti ini, aku pun tak sanggup mengkhianati cinta kak Hyun-jae. Apa yang harus aku lakukan? “Tataplah aku Yoo-hee!?” tapi aku hanya menunduk menghadap salju seputih kapas di bawah.
“Tidak, aku tidak akan bisa,” sahutku parau, “Lupakan aku, pergilah dari hidupku, aku tidak akan pernah bisa membuka hatiku untuk siapa pun.” Aku berbalik pergi meninggalkannya seorang diri, tak kupedulikan kata-katanya yang terus memanggilku di belakang sana, aku terus berlari dan berlari tak tentu arah. Kau harus melupakanku, harus!
***
“Yoo-hee? Kau kah itu?” tanya ibu dari ruang tivi saat mendengar suara pintu dibuka.
“Ya, Bu,” sahutku lemah.
“Kenapa baru pulang? Astaga! Kau menangis? Kenapa mata dan wajahmu merah begitu?”
“Tidak Bu, aku tidak apa-apa, aku hanya merindukan Ayah dan kak Hyun-jae,” dustaku. “Sudah lama kita tak merayakan tahun baru bersama.” Ibu memelukku erat dan mengelus rambutku. Rasanya damai sekali berada dalam dekapan Ibu seperti ini. Aku tidak sepenuhnya berdusta pada Ibu, karena aku memang merindukan saat-saat itu, tapi aku tidak mungkin menceritakan kejadian malam ini pada Ibu.
“Sudahlah, Ayahmu dan Hyun-jae pasti sedih bila melihatmu seperti ini. Hentikan tangismu, cepat mandi dan ganti pakaianmu, jaketmu sudah basah karena salju, Ibu tak ingin kau jatuh sakit karenanya. Ibu juga sudah menyiapkan makanan kesukaanmu.”
“Baik Bu,” sahutku pendek lalu bergegas ke kamar dan melakukan apa yang Ibu perintahkan. Setelah memakan makan malamku, aku pamit untuk beristirahat dulu pada Ibu dan segera merebahkan tubuhku yang lelah di ranjang. Pikiranku berkelana ke beberapa tahun silam, saat Ayah dan Kak Hyun-jae masih hidup dan kami merayakan tahun baru bersama, saat-saat itu sangatlah indah dan membuatku ingin kembali ke masa itu. Tapi kemudian, pikiranku kembali pada pria itu, Kim Nam-gil, sebesar itukah harapannya terhadapku? Tusukan rasa bersalah kembali menusuk hatiku, kenapa aku harus merasa bersalah terhadapnya? Dia sendiri yang salah, karena mengharapkanku. Tapi, semoga tidak terjadi sesuatu padanya. Aku pun memejamkan mataku berharap dapat beristirahat sejenak.
***
“Kak Hyun-jae? Kau kah itu?” kulihat orang yang kucintai itu tengah berdiri di hadapanku di sebuah gazebo berukiran indah memakai pakaian serba putih dan tersenyum ke arahku. Aku pun berlari ke arahnya dan mendekapnya erat. “Aku merindukanmu, sangat merindukanmu.” Tapi tak ada balasan darinya.
“Yoo-hee!?” suara seseorang yang sangat kukenal memanggilku di sisi lain.
“Ayah?” aku benar-benar tak percaya pada penglihatanku, dan segera menghambur ke dalam pelukannya, kedua pria yang kucintai kini berada di hadapanku. Hatiku hangat seketika, apakah aku berada di surga? Kutatap keduanya satu per satu. Kalau memang ini mimpi, aku berharap takkan pernah bangun lagi.
“Pergilah!” kata kak Hyun-jae kemudian.
“Ke…kenapa kau menyuruhku pergi?”
“Pergilah!” kemudian mereka berdua menghilang dan aku terbangun saat mendengar ponselku berdering di atas nakas. Aku menggerutu pelan, dan melirik jam wekerku di atas nakas yang masih menunjukkan pukul 2 pagi, siapa sih yang menelepon di pagi buta begini?. Setengah terkantuk dan menyipitkan mataku kuraih ponselku, Nam-gil? Kenapa dia meneleponku pagi-pagi sekali?
“Apa yang—“
“Apakah benar ini Nona Lee Yoo-hee?” alih-alih Nam-gil, suara wanita di seberang sana mengagetkanku.
“Siapa ini? Ya benar, aku Lee Yoo-hee.”
“Aku, Kim Yeon-rin adik Kak Nam-gil—“ suaranya terhenti dengan isak tangis tertahan setelahnya. Kenapa dia menangis? Apa yang terjadi padanya?
“Ada apa? Kenapa kau meneleponku sepagi ini?”
“Kakakku…..” dia kembali terisak, dan tak dapat melanjutkan kata-katanya. Oh..tidak, Tuhan…tidak lagi. “Dia... kecelakaan…” Jantungku bagai berhenti berdetak saat itu juga, kata-kata itu bagaikan sebuah parang yang menusuk tepat di jantungku. Tidak…jangan lagi…tidak…
~to be continued……
By Yuli ~Admin Lee~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar