CHAPTER 25
Cast :
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
Mi Shil : Go Hyun Jung
Moon No : Jung Ho Bin
Chil Sook : Park Kil Kang
Sohwa : Park Young Hee
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Yong Soo : Kim Jung Chul
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Alcheon : Lee Seung Hyo
Choon Choo : Yoo Seung Ho
Bo Ryang : Yoo Eun Bin
San Tak : TETAP
Ha Jong : Go Jung Hyun
Bo Jong : Go Do Bin
Kim Min Sun : NAMA ASLI
-------------------------------------------------------
- Lee Yo Won - 13 Maret 2016 -
“Apa yang kau bawa itu?” tanya Ayah heran ketika melihatku berjalan keluar dari dapur dengan membawa kotak putih berukuran sedang.
“Kue,” jawabku. “Ayah boleh memakannya nanti.”
“Kue? Lalu kenapa kau bawa ke atas?” tanyanya, ketika aku menaiki tangga menuju kamarku di lantai dua.
“Ada yang harus kulakukan,” jawabku sambil mempercepat langkahku.
Sesampainya di kamar, aku menaruh kotak itu di atas kasur, membuka tutupnya dan menancapkan lilin di tengah kue ulang tahun tersebut. Aku meraih ponselku dari meja rias, mencari korek api dari dalam laci, dan kembali ke kasur. Setelah menyalakan lilinnya, aku mencari foto lama yang masih kusimpan di ponselku. foto Nam Gil yang tersenyum lebar di bawah sorot lampu jalan ketika dia menemaniku menunggu bus. Aku tersenyum melihat ekspresi polos dan lucunya.
“Sudah lima tahun, Nam Gil,” kataku pada foto itu. “Tapi aku masih tetap memegang janjiku untuk merayakan ulang tahunmu. Memang tidak bersamamu, tapi aku tetap merayakannya.”
Di mana kau sekarang? Apakah ada yang merayakan hari penting ini bersamamu? Keluargamu? Kekasihmu?
“Happy birthday to you… happy birthday to you… happy birthday, happy birthday, happy birthday to you…” aku menyanyikan lagu itu dengan suara parau, kemudian meniup lilin yang kunyalakan. Dadaku terasa sesak. “Selamat ulang tahun, Nam Gil,” ucapku sekali lagi pada foto di ponselku. “Aku merindukanmu…” bisikku.
Aku berdiri dan berjalan menuju rak bukuku untuk mengambil kamera yang kupajang di sana, kemudian memotret kue ulang tahun yang masih berada dalam kotaknya itu. saat lembar foto hasil potretanku keluar dan cukup kering, aku menuliskan tanggal dan ucapan selamat di bagian belakangnya, lalu menaruh lembar foto tersebut di keranjang rotan yang kusimpan di dalam lemariku, tempatku menaruh foto-foto kue ulang tahun yang beberapa tahun ini selalu kupotret sebagai bukti perayaanku untuk ulang tahun Nam Gil dan juga barang-barang kenangan kami dulu; gantungan ponsel kembar kami, hasil foto dari photobox, foto-foto kami dalam pakaian tradisional, dan kartu ucapan selamat ulang tahunnya untukku.
Aku melirik teleskop yang selama lima tahun ini terus berdiri di depan jendela kamarku. Hadiah ulang tahun pertama dan satu-satunya dari Nam Gil. kuelus foto kue terbaru itu sekali lagi.
“Tapi maaf, ini adalah terakhir kalinya aku merayakannya,” gumamku pedih. “Benar kata kak Ye Jin, aku harus melanjutkan hidupku. Benar-benar melanjutkan hidupku. Tanpamu. Tanpa bayang-bayangmu.” Ini yang terakhir. “Selamat ulang tahun, Nam Gil.”
Air mata menggenangi mataku ketika aku memasukkan keranjang rotan tersebut kembali ke dalam lemariku dan menutup rapat pintunya.
- Kim Nam Gil - 9 April 2016 - New York, Amerika -
Aku benar-benar lelah. Tapi untungnya sekarang aku bisa beristirahat setelah beberapa bulan mengejar dan berusaha meringkus Xander Bow, sekaligus mengambil kembali berlian curiannya. Karena aku sudah berhasil menyelesaikan tugasku, maka selama sebulan ini aku akan hidup tenang di apartemen ini.
Begitu memasuki apartemen, aku langsung disambut kegelapan dan suasana sunyi. Sesampainya di kamar, aku langsung menghempaskan tubuh ke atas kasur dan menaruh kepalaku dengan nyaman di atas bantal kuning besar dan empuk berbentuk bintang. satu-satunya benda berwarna cerah di antara dekorasi kamarku yang serba hitam-putih. Aku menarik bantal itu dan memandanginya. Saat pertama kali melihat bantal ini, aku teringat pada Yo Won, karena hari itu merupakan ulang tahunnya yang ke dua puluh. Aku membelinya sebagai hadiah ketigaku untuknya—walaupun tak pernah sampai padanya.
Aku bangkit dan memandangi kelima bingkai foto putih berbentuk bintang yang tersusun di atas nakasku. Masing-masing bingkai tersebut berisi foto-fotoku dan Yo Won dalam balutan pakaian tradisional Korea. Aku meraih salah satunya, menatap wajah Yo Won yang tersenyum cerah dalam rangkulanku. Seketika hatiku dirambati getaran manis bercampur pahit karena terkenang pada masa-masa indah kami waktu itu.
Kelima bingkai foto ini adalah hadiah keduaku untuk Yo Won—yang juga tidak tersampaikan padanya—yang kubeli untuk ulang tahun kesembilan belasnya. Ketika melihatnya di sebuah toko, aku teringat pada bingkai foto yang dulu dibelinya untuk memajang fotonya dan Ye Jin, sehingga aku terinspirasi untuk juga memajang fotoku dan dirinya di bingkai berbentuk bintang kesukaannya.
Aku menarik laci nakasku, dan mengeluarkan kotak perhiasan kecil, lalu membukanya. Di dalamnya terdapat sepasang anting perak berbentuk bintang. hari itu, tepat di ulang tahun ke dua puluh satu Yo Won, aku pergi berkencan dengan seorang gadis, dan gadis itu membawaku ke toko perhiasan. Ketika dia mencoba anting ini, aku terbayang wajah Yo Won. aku membayangkan dia yang mengenakannya, dan detik itu juga aku langsung membeli anting tersebut. Bukan untuk pacarku, melainkan untuk Yo Won. gadis itu marah dan cemburu karena aku membeli anting tersebut bukan untuknya sehingga dia memutuskanku. Tapi aku tak perduli karena aku memang tidak benar-benar menyukainya.
Dari dalam laci yang sama, aku mengeluarkan kotak perhiasan lain. tapi kali ini bukan anting, melainkan sebuah arloji emas dengan rantai berbentuk bintang yang saling mengait. Aku membelinya untuk ulang tahun ke dua puluh dua Yo Won. arloji ini pasti akan terlihat indah di pergelangan tangan Yo Won. sayangnya aku tak akan pernah melihatnya dipakai oleh Yo Won.
Aku melirik jam dindingku, dan melihat jarum jam menunjukkan pukul dua belas lewat sepuluh menit. Sudah memasuki tanggal 9 April. Tanggal kelahiran Yo Won.
Dengan cepat aku bergerak mendekati koperku dan mengeluarkan kotak musik kaca berbentuk bintang dari dalamnya. Barang yang kubeli sesaat sebelum pergi dari Swiss. Setelah mengambil kotak musik tersebut, aku kembali menghampiri meja nakasku untuk memandangi foto wajah Yo Won. kubuka tutup kotak musik itu, dan langsung terlihat bintang-bintang kecil berwarna keemasan memancarkan sinarnya dari dalam kotak tersebut dengan diiringi alunan musik lembut.
Aku tersenyum pada potret wajah Yo Won yang sedang tersenyum. “Selamat ulang tahun, Tuan Putri,” bisikku lembut. “Semoga kau selalu bahagia.”
Mungkin kami tidak ditakdirkan bersama, tapi cinta dan doaku akan tetap selalu menyertainya.
“Dia langsung dekat dengan kak Tae Wong setelah kepergianmu. Kemana-mana selalu berdua.” Perkataan San Tak terngiang-ngiang di benakku. Walaupun pedih, aku tetap berusaha tersenyum pada foto Yo Won. “Mungkin aku memang bukan Pangeran yang tepat untukmu, tapi aku ikut berbahagia karena kau telah menemukan Pangeranmu,” kataku. “Selamanya kau Putri bagiku, tapi… mungkin sudah saatnya aku mencari Putri lain untuk kuberikan kesetiaanku, karena kau tak lagi membutuhkanku.”
Aku mencium foto Yo Won sepenuh hatiku. “Selamat ulang tahun.”
EMPAT TAHUN KEMUDIAN
- Lee Yo Won - 26 Agustus 2020 - Seoul -
Terjadi keheningan diantara aku dan kak Tae Wong. Belakangan ini hubungan kami merenggang. Seakan ada jurang lebar yang memisahkanku dan dirinya. Ini terjadi semenjak aku mulai memimpikan Nam Gil lagi setelah sekian tahun berlalu. Mungkin karena tertekan dengan mimpi-mimpi itu, sikapku jadi kurang menyenangkan dan membuat kami saling menjauh.
“Apa kau cukup beristirahat belakangan ini?” tanyaku, memulai pembicaraan pada kak Tae Wong yang terlihat lelah. Kesibukannya sebagai polisi membuatnya sering lupa makan dan beristirahat.
Kak Tae Wong tersenyum kecil. “Aku dan timku harus bekerja lebih keras dalam mencari bukti perdagangan senjata gelap yang dilakukan Oem Hyo Soeb,” katanya. “Tapi sekarang aku bisa sedikit bersantai karena akhirnya dia dinyatakan bersalah.”
Nama itu rasanya tak asing. “Rasanya aku pernah mendengar namanya,” gumamku sambil menyuap makananku.
Sepulang kerja aku langsung pergi ke apartemen kak Tae Wong dan memasak makan malam untuknya agar bisa makan bersama. Sudah dua tahun belakangan ini kami berpacaran, dan makan bersama setiap malam sabtu sudah menjadi rutinitas kami.
Kak Tae Wong melirikku. “Dia paman almarhum Yeom Jong,” sahutnya.
Sendokku terhenti di udara. Paman Yeom Jong. Napsu makanku seketika menghilang. Paman Yeom Jong… Tuan Oem, adalah orang yang barnya dirusak oleh Nam Gil dulu. Nam Gil… aku kembali teringat padanya. Ketika dia menghajar pria mesum yang meraba-raba tubuhku di bar. Ketika dengan membabi buta Nam Gil menghadapi beberapa penjaga keamanan bar tersebut—yang berusaha melerai perkelahiannya—tanpa perduli bahwa tindakan nekatnya itu membuatnya terluka. Dia melakukannya demi diriku. Gumpalan beragam emosi menyesaki dadaku.
“Yo Won?” panggil kak Tae Wong heran. “Ada apa?”
Aku berusaha tersenyum. “Tidak. Tidak apa-apa,” jawabku pelan.
“Oh ya, apa kau bisa meminta cuti bulan depan?” tanya kak Tae Wong tiba-tiba.
Aku mengerutkan kening heran. “Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?” tanyaku.
Kak Tae Wong tersenyum. “Bulan depan aku berencana meminta cuti,” katanya. “Dan bila kau juga bisa cuti, aku ingin mengajakmu berlibur. Kurasa kita perlu menghabiskan waktu berdua.”
Aku sedang tidak ingin bepergian ke mana-mana. Entah karena suasana hatiku yang kurang enak setelah teringat kenangan lamaku bersama Nam Gil yang berusaha kulupakan, atau karena aku memang tidak bersemangat untuk bepergian, tapi aku tetap berusaha terlihat antusias mendengar rencana kak Tae Wong. “Ke mana?” tanyaku.
“Indonesia. Bali. Kudengar di sana—“
“Tidak!” tanpa sadar aku membentaknya.
“Ada apa?” tanya kak Tae Wong heran melihat reaksiku.
Hatiku kembali sakit saat mengingat hadiah berlibur ke Bali yang dulu kudapat, juga rencanaku dan Nam Gil untuk pergi berdua ke tempat itu. Tidak mungkin aku pergi ke Bali tanpa teringat pada Nam Gil. walaupun tak jadi pergi bersama, Bali adalah impianku bersamanya. Aku tidak bisa pergi ke sana seorang diri… apalagi bersama pria lain.
“Aku tidak bisa,” kataku. “Aku tidak bisa pergi ke sana bersamamu.”
“Kenapa?” tanyanya heran.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak menyukai tempat itu,” dustaku.
Terjadi keheningan cukup lama. “Bukan itu alasan yang sebenarnya, kan?” tanya kak Tae Wong lagi. “Aku pernah dengar dari Ye Jin, dulu kau sempat berencana pergi ke Bali bersama—“
Aku segera bangkit dari kursi yang kududuki. “aku tidak ingin membahasnya. Maaf, kurasa aku harus pulang sekarang.”
Kak Tae Wong bergerak cepat untuk menghalangi jalanku. Wajahnya terlihat murung. “Kau masih tak dapat melupakannya? Kau masih mencintainya?”
“Kenapa bertanya seperti itu? apa kau meragukanku?” tanyaku marah. Marah karena kak Tae Wong menyinggung kebenaran yang kupendam di lubuk hati terdalam.
Dia menggeleng sedih. “Selama dua tahun berhubungan, tak pernah aku melihat keceriaan di wajahmu seperti yang dulu selalu terpancar saat kau bersama Nam Gil. salahkah aku bila bertanya?”
Tusukan rasa bersalah itu membuatku semakin tak tenang. Aku tidak ingin menyakiti hati kak Tae Wong. Dia pria yang baik. dan juga mencintaiku. “Tidak,” sahutku akhirnya. “Tapi aku tidak suka membicarakan masa lalu. Maaf, kepalaku sakit. kita bicara besok lagi,” kataku sambil berjalan melewatinya.
“Aku tahu tak mungkin bisa menggantikan tempatnya di hatimu,” kata kak Tae Wong lagi, membuatku menghentikan langkahku tepat di depan pintu apartemennya. “Tapi, setelah dua tahun berhubungan, aku berharap dapat membuat tempat baru di hatimu untukku.”
Aku menoleh padanya. Yoo Shin… kak Tae Wong… “Kau selalu memiliki tempat tersendiri di hatiku. Tidak perlu meragukan itu,” kataku jujur. Bagaimana pun juga di kehidupan pertamaku dia adalah cinta pertamaku. Dan sekarang dia kembali menjadi kekasih sekaligus sahabat yang baik. aku menyayanginya. Tentu saja dia memiliki tempat tersendiri di hatiku.
“Yo Won…”
“Kita bicarakan besok saja. selamat malam,” kataku, kemudian keluar dari apartemennya.
“Nam Gil!” jeritku, lalu terbangun dalam keadaan basah kuyup. Mimpi buruk itu kembali datang menghantuiku. Mimpi melihat Nam Gil meninggalkanku dengan ekspresi penuh kebencian. Mimpi yang dulu sering kudapat di awal-awal kepergian Nam Gil.
“Ya Tuhan,” gumamku. Entah kenapa beberapa bulan belakangan ini aku terus mengingat Nam Gil. setelah beberapa tahun cukup berhasil menyingkirkan bayang-bayangnya, kini dia seolah kembali menghantuiku.
Bangkit dari ranjang, aku menghampiri lemariku dan setengah sadar membukanya lalu mengeluarkan keranjang rotan yang menampung benda-benda kenanganku bersama Nam Gil. aku duduk di lantai dan mengamati benda-benda itu satu per satu. Setelah empat tahun tak tersentuh, semua benda kenangan itu menimbulkan kehangatan di hatiku.
“Empat tahun telah berlalu, aku sudah mencoba melupakanmu, Nam Gil. aku bahkan berhubungan serius dengan kak Tae Wong. Tapi ternyata bayanganmu terlalu kuat untuk disingkirkan begitu saja.”
Aku mengambil foto yang memperlihatkan ekspresi terkejut Nam Gil ketika aku mengecup pipinya, dan tanpa terasa air mata menetes membasahi pipiku.
“Kau masih tak dapat melupakannya? Kau masih mencintainya?”
Benar. Kak Tae Wong benar. Aku berpikir aku sudah berhasil melupakannya, tapi ternyata tidak. Aku tak dapat melupakannya. Aku masih mencintainya. Dan itu tak adil bagi kak Tae Wong. Dia seharusnya mendapatkan seseorang yang benar-benar mencintainya. Dan orang itu bukan aku. karena cintaku… hanya untuk Nam Gil.
Aku bangkit berdiri dan keluar dari kamar menuju gudang di ujung ruangan lantai dua ini. aku menyalakan lampu, lalu melepas kain putih penutup teleskop pemberian Nam Gil. aku mengusap teleskop tersebut dan membuat keputusan untuk berdamai dengan hatiku. Memang sudah saatnya aku tidak lagi memaksakan diri. Kenyataannya aku tidak bisa melupakannya. Aku tidak bisa melupakan Nam Gil, maka tidak seharusnya aku berhubungan dengan kak Tae Wong dan membuatnya sakit hati karena hatiku yang mendua. Kak Tae Wong memang berarti bagiku, tapi dengan cara yang berbeda dari perasaanku untuk Nam Gil. hubungan kami harus diakhiri.
Nam Gil… di mana dia sekarang? Sudah setahun terakhir ini dia menghilang dan tak berkomunikasi dengan keluarganya—aku mengetahui ini dari kak Ye Jin dan kak Jung Chul—karena begitu sibuk dengan pekerjaannya. Masih ingatkah dia denganku?
“Nam Gil…”
- Kim Nam Gil - 26 Agustus 2020 - New York, Amerika -
Aku mendesah nyaman saat merasakan semburan air dari shower. Lima jam yang lalu aku baru tiba di New York setelah kurang lebih setahun ini aku dan seorang rekanku menjalankan misi di Rusia. Aku hampir celaka ketika rekanku terluka setelah mendapat tembakan dari pihak musuh yang akhirnya mengetahui bahwa kami adalah mata-mata yang menyelidiki mengenai komplotan teroris mereka. Untung saja bantuan segera dikirim. setidaknya kami sudah mengumpulkan banyak informasi bagi agen lain yang ditunjuk untuk menggantikanku dan rekanku.
Begitu pulang, mesin penjawab teleponku penuh dengan pesan-pesan Ibu, Ayah, kak Jung Chul, Jung Hyun, Do Bin, San Tak, dan beberapa kenalanku di Amerika. Salah satunya adalah gadis yang sekarang sedang berada di kamarku. Penelope. Dia salah satu mantan kekasihku. Ketika dia menelepon dan menawarkan diri untuk diundang ke mari, aku menyetujuinya bukan karena aku benar-benar menginginkannya, melainkan karena aku sedang butuh seseorang untuk menenangkan sarafku.
Setelah selesai membilas tubuh, aku mematikan shower dan melilitkan handuk di pinggulku, kemudian keluar dari kamar mandi.
“Tak kusangka kau menyimpan benda seperti ini,” goda Penelope sambil tertawa geli. Ditangannya terdapat bantal besar berbentuk bintang. sudah lama aku tak melihat bantal yang kusimpan di dalam lemariku itu. “Rupanya kau punya sisi lembut juga?” tambahnya.
Milik Yo Won. itu bantal milik Yo Won. aku segera merebutnya. “Kau menggeledah lemariku!?” geramku.
Penelope mengernyit kaget melihat reaksiku. “Aku tidak bermaksud begitu,” bantahnya. “Kau sangat lama di kamar mandi dan aku bosan, lalu—“
“Lalu kau menggeledah lemariku,” potongku tajam. “Sejak dulu sudah kukatakan aku tidak suka masalah ataupun barang pribadiku disentuh.”
Penelope beringsut mundur di atas kasurku. Dia terlihat takut, tapi berusaha terlihat berani. “Ya, aku ingat. Itu juga salah satu alasan putusnya hubungan kita. Kau tak pernah membiarkanku terlalu dekat denganmu,” katanya marah. “Kenapa? karena gadis kecil ini!?” tuntutnya sambil bergerak membuka laci nakas dan menarik keluar salah satu fotoku bersama Yo Won.
Dia juga menggeledah isi laciku. Aku mengulurkan tanganku padanya. “Berikan padaku,” perintahku.
Wajah cantik Penelope berkerut jelek saat kemarahannya semakin memuncak. Dia melempar bingkai foto itu ke lantai hingga pecah. “Kau tak pernah menganggap keberadaanku! selama tiga tahun aku terus berusaha memperlihatkan cintaku padamu, bahkan setelah kita putus. Tapi kau tetap tak menghiraukanku! Aku! Aku yang ada di sisimu setiap kau pulang ke kota ini! Aku yang setia menunggumu! Bukan dia! Bukan gadis itu!” teriaknya.
Amarah bergejolak dalam darahku saat memperhatikan pecahnya bingkai fotoku dan Yo Won. “Keluar,” perintahku singkat. Aku berusaha mengendalikan emosiku. Salahku karena membiarkannya datang malam ini.
“Apa kelebihan gadis itu yang tidak kupunyai!?” tuntutnya dengan terisak.
“Keluar,” ulangku.
“Apa kekuranganku!?” jeritnya.
“Keluar!” bentakku. Aku tak tahan lagi menghadapi rengekannya.
Sambil menangis, Penelope segera berpakaian dan berlari keluar dari kamar. sayup-sayup kudengar dia membanting pintu apartemenku. Aku tak memperdulikannya, karena perhatianku sudah tersita pada pecahan bingkai fotoku dan Yo Won. kenang-kenangan kami. Hadiahku untuk Yo Won. dengan hati-hati aku membersihkan pecahan tersebut, mengeluarkan foto dari bingkai yang telah rusak itu, dan memandanginya.
Sudah empat tahun aku tak melihatnya. Aku memaksa diri untuk tak melihat benda-benda yang mengingatkanku pada Yo Won, walaupun tetap saja setiap kali melihat wanita asia berambut hitam panjang di jalan, jantungku langsung berdebar-debar penuh harap. Harapan yang sia-sia. Sudah Sembilan tahun aku tak bertemu dengannya. Berusaha melupakannya. Tapi tak bisa…
Aku merebahkan diri di kasur, mendekap bantal berbentuk bintang itu sambil memandangi foto Yo Won. aku amat sangat merindukannya. “Tuan Putri, aku gagal menemukan Putri lain untuk kuserahkan kesetiaanku,” kataku. “Sepertinya selamanya hanya kau satu-satunya Tuan Putriku. Tak ada yang lain. tak bisa yang lain.”
Aku menutup mata dengan lelah. Pekerjaanku yang menuntut konsentrasi memang cukup banyak membantuku mengalihkan pikiran dari Yo Won, tapi belakangan aku mulai tidak menikmati pekerjaan itu lagi. aku merasa semakin kesepian. Memang belum terlalu lama waktu yang kulewati dengan profesi ini, tapi kurasa satu atau dua tahun lagi aku akan mengundurkan diri. Penghasilan yang kudapat selama beberapa tahun ini bisa dibilang lebih dari cukup, dan untungnya, berkat saran-saran professional dari Do Bin yang berprofesi sebagai pialang saham, aku berhasil menginvestasikan sebagian uangku di tempat yang tepat. Sekarang, sebenarnya tanpa harus bekerja keras pun aku masih cukup kaya, tapi aku harus menyelesaikan kontrak kerjaku dengan BB. Saat itu barulah aku akan memutuskan untuk melakukan apa. Mungkin membuat usaha entah apa. Dan berkeluarga.
Aku kembali memandangi foto wajah Yo Won. mencoba membayangkan seandainya aku bisa membentuk sebuah keluarga bersamanya. Anak-anak perempuan yang manis sepertinya. Tusukan perih menghujam jantungku. Aku tahu itu tidak mungkin, tapi aku tak bisa mengenyahkan bayangan indah itu.
Entah siapa wanita yang nanti akan kupilih untuk membentuk keluarga denganku, hati, jiwa, dan cintaku akan tetap untuk Yo Won.
“Yo Won…”
- Lee Yo Won - 29 Agustus 2020 - Seoul -
Inilah harinya. Saatnya aku memutuskan hubunganku dan kak Tae Wong secara baik-baik. setelah makan malam bersama di apartemennya, kami belum bertemu lagi karena kesibukan masing-masing. Dan mungkin juga karena sama-sama memikirkan tak adanya masa depan hubungan kami.
Kami membuat janji temu di Namsan Park. Dia telah menungguku. Berdiri di depan patung Jenderal Kim Yoo Shin yang tampak gagah berani di atas kudanya. Aku tersenyum sedih memandanginya. Yoo Shin… dulu dia pernah begitu berarti bagiku. hingga Bi Dam hadir… menyusup masuk ke dalam hatiku dan menggantikan tempat Yoo Shin.
“Hai,” sapa kak Tae Wong.
“Hai,” balasku.
“Kita harus bicara,” kata kami secara bersamaan. Kak Tae Wong tersenyum sedih. “Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Sebenarnya sudah lama aku menyadari bahwa kau tak dapat melupakannya, tapi aku berkeras mengubah hal itu,” katanya.
“Bukan maksudku ingin melukaimu,” kataku.
“Tidak. Tentu saja tidak,” bantah kak Tae Wong. “Akulah yang keras kepala. Aku berusaha memaksakan diriku untukmu. Tapi sekarang aku sadar, ini saatnya aku menyerah. Dua tahun waktu yang cukup lama. Aku cukup bahagia bisa bersamamu, menjadi kekasihmu selama dua tahun ini.”
Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Aku menyayangimu. Jangan sangsikan itu. walaupun tidak bisa sama seperti yang kurasakan untuknya, tapi kau juga istimewa bagiku.”
Kak Tae Wong menarikku ke dalam pelukannya. “Aku pun menyayangimu. Kau sudah tahu, aku mencintaimu,” katanya. “Bukan salahmu kalau kau tidak ditakdirkan untukku. Walau sulit, aku dapat menerimanya.”
Aku balas memeluknya erat. Kak Tae Wong… Yoo Shin… aku melirik ke atas, memandang patung Jenderal Kim Yoo Shin. Dia cinta pertamaku, bagaimana pun juga rasaku untuknya akan terkenang selamanya. Kenangan manis kami bersama.
Masa hubunganku dengan kak Tae Wong lebih lama dari pada hubunganku dan Nam Gil semasa SMU, dan sempat terpikir olehku mungkin dialah takdir cintaku yang sebenarnya. Tapi waktu membuktikan bahwa ternyata itu tidak benar. Hubungan singkatku bersama Nam Gil terus membekas tak terlupakan. Cintaku padanya akan terus tertanam di hatiku hingga akhir napas. Karena dialah cinta sejatiku.
“Terima kasih,” bisikku dalam dekapannya. terima kasih karena dia memahami kesulitanku. Terima kasih karena selama beberapa tahun ini dia terus ada di sisiku. terima kasih karena pernah menjadi kekasih yang baik untukku.
Setelah berpisah dengan kak Tae Wong di taman, aku langsung kembali ke kantor. Tapi dalam perjalanan kak Jung Chul menghubungiku dan mengabari kak Ye Jin sedang dalam proses melahirkan di sebuah rumah sakit, sehingga aku segera memutar mobilku untuk menuju tempat tersebut.
Sesampainya di sana, putri cantik yang dilahirkan kak Ye Jin telah berada dalam gendongan ayahnya yang tersenyum bangga. Kak Ye Jin sendiri walau terlihat lelah, tapi terus menyunggingkan senyum puas. Bisa dimaklumi karena dia dan suaminya telah cukup lama menantikan kelahiran putri pertama mereka ini.
Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee menitikkan air mata haru melihat cucu pertama mereka. Seung Ho dan Eun Bin yang telah menjadi sahabat keluarga ini juga hadir dan terseret dalam suasana penuh kebahagiaan.
“Aku punya adik,” bisik Seung Ho padaku. “Perempuan. Dia cantik sekali.”
Aku tersenyum memandangi pemuda yang tumbuh semakin dewasa dan tampan itu. “Eun Bin sendiri sedang hamil,” kataku, mengomentari istrinya—untuk kesekian kalinya—yang tengah hamil muda. “Apa kau berharap anakmu perempuan?”
Seung Ho dan Eun Bin bertatapan sambil tersenyum mesra. Melihat kebahagiaan mereka dan juga kebahagiaan keluarga kak Ye Jin, aku merasa iri.
“Terserah saja. aku menyukai anak laki-laki dan perempuan. Yang mana saja sama,” jawab Seung Ho.
“Yo Won,” panggil kak Ye Jin.
Aku segera beranjak mendekati ranjangnya. “Selamat, kak. Bayimu sangat cantik. Apa kau sudah memberinya nama?”
Kak Ye Jin tersenyum. “Terima kasih,” sahutnya. “Jung Chul memilihkan nama Cheon Myeong. Dia mendapat ide menggunakan nama itu setelah mendapat kilasan lain lagi tentangku di kehidupan pertama kami.”
Aku melirik kak Jung Chul. “Itu dulu namamu. Kurasa bagus sekali bila dipakai putrimu.”
“Memang,” kata kakak setuju. “Hah… aku benar-benar bahagia. Hidupku terasa sempurna sekarang. Aku memiliki orangtuaku, suamiku, kau, Seung Ho dan Eun Bin, teman-teman yang baik, pekerjaan yang menyenangkan sebagai guru musik, dan kini aku memiliki Cheon Myeong.”
Aku tersenyum. “Kau memang beruntung.”
Kak Ye Jin langsung menatapku tajam. “Tidak, masih ada satu yang kurang sempurna dari hidupku. Aku belum melihatmu hidup bahagia dalam pernikahan. Kapan kau dan kak Tae Wong akan melanjutkan hubungan kalian ke tahap yang lebih serius? Umurmu sudah dua puluh tujuh tahun, Yo Won,” katanya.
Senyumku memudar. “Aku dan kak Tae Wong telah berakhir. Baru saja kami putus.”
Selama beberapa saat kak Ye Jin tak bersuara, dan hanya menatapku tajam. Tapi kemudian dia tersenyum. “Siapa aku, sampai memaksamu? Bila kau lebih bahagia sendiri, aku akan ikut berbahagia untukmu.”
Aku memeluk kakak. ‘Terima kasih,” gumamku. Tapi… aku tidak bahagia sendiri seperti ini. aku juga menginginkan kebahagiaan seperti yang kakak miliki. Mempunyai keluarga sempurna. Suami dan anak. Tapi, aku tidak bisa melakukannya dengan orang selain Nam Gil. mungkin hingga akhir hidupku aku akan terus sendiri seperti di kehidupan pertamaku…
- Kim Nam Gil - 1 September 2020 - Seoul -
Pagi tadi aku baru sampai di Korea, dan setelah beristirahat di hotel keluarga yang sekarang dikelola Jung Hyun—setelah lulus kuliah dia kembali ke Korea untuk menjalankan bisnis ayahnya—aku menyewa sebuah mobil untuk berkeliling kota.
Tanggal 29 Agustus kemarin kak Jung Chul menghubungiku dan memintaku untuk hadir di pesta perayaan kelahiran putri pertamanya yang akan dilangsungkan besok siang. Sebenarnya BB telah memberiku tugas lain, tetapi aku tak menghiraukannya. Sudah cukup buruk aku tak dapat menghadiri pesta pernikahan kak Jung Chul dan Ye Jin, tanpa harus melewatkan pesta kelahiran keponakan ketigaku. Ketiga, karena Jung Hyun sudah lebih dulu memberiku keponakan. Putra kembarnya dan Min Sun.
Aku tersenyum geli mengingat pasangan itu. siapa sangka mereka akan berpacaran lalu menikah? Awal kedekatan mereka adalah saat di Los Angeles, ketika Min Sun terus datang ke rumah Ibu untuk menemuiku, dan Jung Hyun tertarik padanya. Setelah melalui serangkaian aksi pengejaran, akhirnya Jung Hyun berhasil mendapatkan Min Sun. dan kini keduanya berbahagia bersama kedua putra mereka.
Mengikuti dorongan hati, aku mengendarai mobilku menuju rumah guru Jung. sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Bahkan aku tidak berpamitan padanya ketika pindah ke Amerika.
Rumah mungil yang terawat rapi itu tak berubah sedikitpun dari yang terakhir kali kuingat. aku membuka pagar putihnya, lalu mengetuk pintu. Seorang wanita membukakan pintu dan terkesiap kaget ketika melihatku.
“Kim Nam Gil!?” serunya.
Aku tersenyum sambil mengangguk. “Selamat sore, Nyonya Jung.”
“Ya Tuhan, kau sudah sebesar ini…” gumam Nyonya Jung—istri guru Jung—takjub. “Suamiku! Suamiku! Lihat siapa yang datang!” teriaknya.
Sebuah pintu terbuka, dan guru Jung keluar dari ruangan itu dengan ekspresi tenangnya yang biasa. “Siapa—“ ketenangan itu segera digantikan keterkejutan saat dia melihatku. “Nam Gil!”
Aku menyeringai. “Apa kabar, guru? Lama tak berjumpa.”
- Lee Yo Won - 2 September 2020 -
Aku mengendarai mobilku dengan santai di jalan raya. Sekarang jam sepuluh. Sebenarnya acara di rumah kak Ye Jin jam dua belas nanti, tapi aku memutuskan untuk datang lebih cepat. Entah kenapa sejak pagi aku tak tenang. Hatiku terus gelisah. Karena itu aku tidak ingin berdiam diri di rumah lebih lama lagi.
2 September… tanggal yang sama ketika aku pertama kali bertemu dengan Nam Gil di depan gerbang sekolah. Ketertarikan awalku padanya yang bersikap seenaknya. Aku tersenyum mengingat dia meninggalkan kak Tae Wong dan kak Seung Hyo yang menyuruhnya menandatangani buku keterlambatan. Rasanya sudah lama sekali…
Tiba-tiba saja aku ingin pergi ke sana. Ke sekolah lamaku. SMU Chongjan. Sudah lama aku tidak melihatnya. Setelah memutuskannya, aku segera melajukan mobilku menuju tempat itu.
Aku memarkir mobil di seberang sekolah. Cukup lama aku hanya duduk di dalam mobil sambil memandangi bangunan yang menyimpan banyak kenanganku bersama Nam Gil itu. tenggorokanku tercekat dengan emosi yang bercampur aduk dalam dadaku. Senang, sedih, tak dapat dibedakan lagi.
Perlahan, aku turun dari mobil dan menghampiri gerbang sekolah yang tertutup rapat. Persis seperti hari itu, ketika aku datang terlambat. Hanya saja kali ini gerbang itu ditutup karena sekarang adalah hari libur. Tanganku bergerak lambat menyusuri pagar tersebut. Seandainya saja waktu bisa diputar… seandainya saja aku bisa kembali ke masa-masa indah awal perkenalanku dengan Nam Gil, yang kemudian berlanjut hingga kami menjadi sepasang kekasih… seandainya saja…
“Yo Won?”
Aku tersentak kaget mendengar suara itu. suara yang familiar. Begitu akrab ditelingaku, bahkan setelah bertahun-tahun tak pernah mendengarnya lagi. tanpa sadar tanganku telah mencengkeram erat pagar yang kupegang. Mungkinkah… perlahan, aku berbalik menghadap pemanggilku, dan jantungku langsung berpacu cepat ketika melihat sosoknya… sosok yang kurindukan, berdiri tepat di hadapanku.
“Nam Gil…”
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Chapter 26nya mana lagi? T__T
BalasHapuspenasaran T_T
klo penasaran mo baca lanjutannya, donlot dari sini aja http://authordestira.wordpress.com/fanfiction/the-reincarnation/
BalasHapusyg di sini belum update rupanya.. ^^