Senin, 17 Januari 2011

THE REINCARNATION - Chap 16 - Fanfiction BIDEOK / NAMWON -

CHAPTER 16




Cast :

Bi Dam : Kim Nam Gil                             
Deokman : Lee Yo Won

Mi Shil : Go Hyun Jung                           
Se Jong : Go Young Jae
King Jin Ji : Kim Im Ho                                

Yong Soo : Kim Jung Chul
Choon Choo : Yoo Seung Ho 
Yeom Jong : TETAP                        
Ha Jong : Go Jung Hyun     
Bo Jong : Go Do Bin                                 
Kim Min Sun : NAMA ASLI


-----------------------------------------------------------


- Lee Yo Won - 19 Februari 2011 -              

Go Hyun Jung bukan bibi Nam Gil. Dia… wanita itu… ibunya. Ibunya! Go Hyun Jung ibu Nam Gil! Oh Tuhan, tidak… kenapa!?

“Dulunya Ayahku sempat bekerja sama dengan ayah tiriku, Go Young Jae, dan dari hubungan bisnis itulah dia mengenal Ibuku,” kata Nam Gil. “menurut ibu tiriku, dan gosip beberapa pelayan dan keluarga lain yang kucuri dengar, Ibu menggoda Ayahku bukan karena dia jatuh cinta, melainkan karena saat itu Ayah lebih kaya dari pada Go Young Jae. Dan bila melihat sikap dan cara pandang Ibu sekarang, aku tidak meragukan hal itu. Ibuku memang pecinta harta dan kedudukan,” lanjutnya pahit.

Aku hanya dapat terduduk diam tanpa berkata apa-apa lagi. Mendengar Nam Gil bercerita semakin banyak, maka semakin aku tercengang dan kalut. Bagaimana bisa seperti ini?

“Ibu berencana melahirkanku untuk mengikat Ayahku dalam pernikahan. Tapi dia tidak memperhitungkan cinta dan kasih sayang yang masih dirasakan Ayahku pada istrinya. Dia memang sempat tergoda pada Ibuku—tak mengherankan, karena Ibu sangat cantik—tapi dia juga segera menyesali perbuatannya itu,” kata Nam Gil lagi, setelah sebelumnya sempat terdiam selama beberapa menit. “Setelah melahirkanku, Ibu meminta pertanggung jawaban Ayahku, tapi ditolak olehnya. Ayah berkata dia bersedia membesarkanku, tapi tak akan pernah meninggalkan keluarganya untuk menikah dengan Ibu. Dan kemudian… seperti yang sudah kau tahu, aku dibesarkan oleh Ayahku dan istrinya, karena Ibu kandungku tak memerlukan dan menginginkanku lagi. Dia sangat beruntung karena suaminya masih tetap mau menerimanya kembali setelah semua yang dilakukannya.”

Kekalutan dan kemarahanku segera tersingkirkan dengan sedihku untuk apa yang dirasakan Nam Gil kecil ketika mendengar hal seperti itu tentang orangtuanya, juga rasa sepinya karena merasa tak diinginkan. Kenapa Nam Gil harus mengalami hal itu? kenapa ada orangtua yang begitu tega pada anaknya sendiri? untuk menyampaikan dukungan dan simpatiku, aku meraih kedua tangannya dan kugenggam erat-erat.

“Ibu tiriku membenciku karena melihatku mengingatkannya pada pengkhianatan Ayah. Setiap kali ada kesempatan, dia akan memarahi juga memukulku…” gumam Nam Gil dengan mata menerawang jauh.

“Memukulmu!?” seruku terkejut.


“Dia memukulku setiap kali aku membuat sedikit kesalahan. Bahkan saat aku tidak melakukan hal buruk pun terkadang dia tetap memukulku,” katanya. “tapi yang terparah adalah ketika hari ulang tahunku yang ke enam. Saat itu dia sangat marah mendengarku meminta pesta ulang tahun seperti yang diadakan teman-temanku. Dia memukulku lebih keras dari biasanya, dan menyuruh Ayahku membuangku kembali pada Ibuku.”

Hatiku benar-benar terasa sakit mendengar kisahnya. Aku tidak bisa membayangkan bocah kecil berumur enam tahun yang memohon untuk mendapatkan pesta ulang tahunnya, malah mendapat pukulan. Aku tidak bisa membayangkan betapa sepi, sedih dan ketakutannya Nam Gil selama itu.

Nam Gil tersenyum sinis. “Untungnya Ibuku dan suaminya bersedia menerimaku di rumah mereka. Dengan catatan, di mata publik, aku hanyalah keponakan yang ditampung karena kebaikan hati mereka,” katanya dingin. “Semenjak itu aku belajar untuk tak lagi mengharapkan perhatian atau kasih sayang orang lain. Hingga aku bertemu denganmu,” lanjutnya sambil menatapku dengan kedua matanya yang menyorotkan kerapuhan, kesedihan, dan kesepian.

Saat pipiku terasa basah dan sosok Nam Gil terlihat kabur, barulah aku menyadari bahwa aku telah menangis. Aku menangis untuk bocah kecil yang kesepian dan tak diperdulikan orangtuanya. Aku menangis untuk bocah yang di usia semuda itu merasa tak diinginkan kehadirannya. Aku menangis untuk Nam Gil yang selama ini menyimpan luka tanpa bisa berbagi dengan siapapun untuk meringankan kepedihannya.

Aku berlutut dan merengkuhnya kedalam pelukanku. Seerat-eratnya. Sepenuh hatiku. Dalam pelukan itu aku mencurahkan seluruh keperdulian dan rasa sayangku padanya.

Jadi inilah alasan Nam Gil membenci kekerasan pada anak kecil. Karena dia pernah merasakan sakit dan takut itu. Inilah alasannya mengamuk saat melihat seorang ibu memukul anaknya di festival musim dingin waktu itu.

“Jangan tinggalkan aku,” gumam Nam Gil. “Aku membutuhkanmu. Jangan pernah pergi dari sisiku,” pintanya.

“Tidak. Tidak akan,” sahutku pedih. “Aku tidak akan melepasmu. aku tidak akan pernah menyingkirkanmu dari hidupku, kecuali kau menginginkannya,” janjiku.

Nam Gil tidak berkata apa-apa, dia hanya balas memelukku dengan erat. Aku menyandarkan kepalaku di kepala Nam Gil dan menutup mata, meresapi kedekatan kami.

Selama ini aku mencari-cari cara untuk membalas dendam pada Go Hyun Jung. tapi sekarang, di saat aku menemukan senjata pamungkas yang dapat menghancurkan hidup dan segala mimpinya, aku justru tidak ingin mengetahuinya. Karena rahasia yang selama ini kucari, tidak hanya akan menghancurkan orang yang kubenci, melainkan juga akan menghancurkan orang yang kucintai. Nam Gil juga akan terluka bila rahasia ini terkuak. Aku tidak bisa. aku tidak bisa menyakiti Go Hyun Jung, karena itu artinya aku juga melukai Nam Gil.

Ibu, maafkan aku... hari itu aku pernah bersumpah akan membalaskan dendammu pada Bibi Hyun Jung, tapi aku tidak akan pernah bisa melakukannya. Karena aku tidak ingin menyakiti Nam Gil. Ibu, aku mencintainya. Aku mencintai putra orang yang kau benci. Apakah kau akan marah padaku? Bisakah aku memiliki perasaan ini?

Dalam sekejap di benakku melintas kilasan kejadian lain. Kali ini aku berada di dalam sebuah kuil.

Pria yang kuduga bernama Bi Dam itu berbalik menghadapku. “Yang Mulia,” sapanya agak terkejut. Sejujurnya aku pun terkejut. Mengapa dia memanggilku dengan sebutan Yang Mulia?

Tanpa kuinginkan, mulutku sudah membuka dan berkata, “Kau harus berada di sisiku. Bukan sebagai seseorang yang menekan dan mendesakku, yang membuatku merasa asing. Tapi seseorang yang berkedip padaku, yang memberiku bunga, yang selalu menghiburku, yang menggenggam tanganku yang gemetar.

“Aku membutuhkanmu. Aku berusaha menutupinya, bahkan menghapusnya. Sengaja. Aku melakukannya dengan sengaja. Aku berpikir bahwa perasaan sepele itu tidak pantas untuk seorang penguasa.”

“Yang Mulia,” gumam pria itu.

“Hanya kau yang menganggapku sebagai seorang wanita. Aku menyukainya. Kau, yang mencintaiku sebagai seorang wanita. Aku mencintaimu. Tapi, bisakah aku memiliki perasaan itu?” aku tidak mengerti apa yang baru saja kukatakan, tetapi saat mengataknnya, juga melihat ekspresi pria itu, hatiku dirambati getaran manis dan hangat. Terlebih lagi saat pria itu beranjak mendekat dan memelukku. Rasanya begitu pas. Begitu nyaman berada dalam dekapannya. Sama seperti yang kurasakan saat berada dalam pelukan Nam Gil.

Ketika mengingat Nam Gil, kilasan itu langsung menghilang, dan aku kembali pada kenyataan. Pada Nam Gil yang masih memelukku dengan erat.

Dengan enggan, aku melepaskan pelukan kami agar dapat melihat wajahnya. “Jangan menangis,” bisiknya sambil menghapus air mataku.

Aku berusaha tersenyum untuknya. Untuk Nam Gil yang berusaha tetap tegar. Aku melihat matanya berkaca-kaca, tapi dia tidak menangis. “Menangislah,” aku balas berbisik. “terkadang menangis bisa meringankan kesedihanmu.”

Nam Gil menyunggingkan senyum tipis. “Tapi aku memang tidak lagi menangis mengingat hal itu,” katanya. “Yo Won, apakah kau menganggapku buruk karena… orangtuaku?”

“Tentu saja tidak,” bantahku. “Aku pernah mengatakannya padamu, itu bukanlah kesalahanmu. Bukan maumu terlahir dalam keadaan kacau seperti itu. masa lalumu tidak mengubah perasaanku padamu.”

Nam Gil kembali menarikku ke dalam pelukannya. “Jangan tinggalkan aku.”

“Selamanya aku terikat denganmu,” sumpahku sepenuh hati.



Ketika pulang, Ayah sudah menungguku di ruang tamu. “Yo Won, kita perlu bicara,” katanya.

Pasti soal Nam Gil. aku menurut dan duduk di seberang Ayah. “Apakah ini mengenai Nam Gil?” tanyaku langsung.

Ayah mengerutkan kening. “Apakah sebelumnya kau sudah tahu mengenai hubungannya dengan Hyun Jung?” tanyanya.

Aku mengangguk. Aku tahu. Bahkan lebih dari tahu.

“Dia bukan keponakannya,” kata Ayah tiba-tiba, mengejutkanku. “Dia putra Hyun Jung.”

“Bagaimana Ayah bisa mengetahuinya?”

“Jadi kau juga sudah tahu itu?”

“Dari mana Ayah tahu?”

“Aku tahu skandal Hyun Jung dengan Kim Im Ho. Saat itu hubungan kami masih baik,” kata Ayah dengan nada datar. “Yang kutahu, setelah lahir anak itu tinggal bersama keluarga Kim. Saat dia mengatakan dirinya keponakan Hyun Jung, aku langsung meragukannya. Terlebih lagi setelah diamat-amati, dia memiliki kemiripan dengan Hyun Jung dan Kim Im Ho. Dan nama keluarga yang disandangnya menegaskan hal itu.”

“Nam Gil mulai tinggal bersama ibunya ketika berumur enam tahun,” kataku. “Dia menceritakannya padaku malam ini.”

“Bagaimana perasaanmu mengetahui hal ini?” tanya Ayah setelah hening beberapa saat.

“Aku… terkejut. Itu sudah pasti. Mengetahui orang yang…” aku terdiam sesaat, lalu melanjutkan. “mengetahui ternyata dia anak Bibi Hyun Jung. Tapi aku tidak bisa membenci Nam Gil hanya karena dia putra wanita itu.”

“Karena kau menyukainya,” kata Ayah. “Kalian berpacaran?”

“Apakah Ayah tidak setuju?” aku balik bertanya dengan was-was.

Ayah mentapku tajam. “Aku tak akan pernah melarangmu berhubungan dengannya. Seperti katamu, kita tidak dapat membencinya hanya karena dia putra Hyun Jung.”

“Terima kasih,” kataku tulus. “Tapi… menurut Ayah, apakah Ibu tidak akan—“

“Ibumu bukan orang yang picik, Yo Won,” potong Ayah. “Dia tidak akan menghakimi Kim Nam Gil atas perbuatan yang dilakukan ibunya.”

Ayah benar. Sekarang hatiku menjadi jauh lebih tenang. “Apa dia sudah tahu tentang masalah kita—“

“Belum,” selaku. “Aku akan memberitahunya. Tapi tidak dalam waktu dekat ini.”



 - Kim Nam Gil - 13 Maret 2011 -          

Sampai saat ini rasanya aku masih sulit percaya bahwa akhirnya aku dan Yo Won benar-benar berpacaran. Beberapa minggu ini merupakan hari-hari paling membahagiakan dalam hidupku. Sekarang aku memiliki seseorang yang juga menginginkan aku seperti aku menginginkannya.

Aku duduk di motorku sambil menelepon Yo Won. Hari ini adalah hari ulang tahunku, dan kami sudah berjanji untuk berkencan siang ini. tapi tidak seperti biasanya, Yo Won tidak ingin kujemput. Kami membuat janji untuk bertemu di depan taman bermain jam sebelas ini, tapi sudah hampir setengah jam berlalu dari waktu yang ditentukan, dan Yo Won belum juga datang. Ini membuatku cemas. Bagaimana bila terjadi sesuatu pada Yo Won?

“Hai!” sapa Yo Won ceria sambil menepuk pundakku.

Aku menoleh dan melihatnya sedang tersenyum lebar. “Kenapa telat?” tuntutku. “Aku meneleponmu tapi tidak kau angkat.”

“Maaf, tadi aku singgah ke suatu tempat,” katanya. “Ini untukmu.” Dia menyodorkan sebuah kotak kecil yang dilapisi sampul kado berwarna biru polos. “Selamat ulang tahun!” serunya.

Aku menerima hadiah itu dengan terpana. Tak pernah ada yang secara khusus memberiku hadiah di hari ulang tahunku. Tidak Ayah, Ibu, atau kak Jung Chul sekalipun. Hanya Yo Won.

“Terima kasih,” ucapku dengan suara parau.

“Ayo dibuka!” desaknya.

Dengan sangat bersemangat aku membukanya, penasaran apa yang diberikan Yo Won untukku. “Ini…” Aku menatap barang yang berada dalam kotak kecil itu, lalu memandang Yo Won yang sedang tersenyum lebar. “Gantungan ponsel?” tanyaku heran.

“Ya. Aku ingat kau memuji gantungan ponselku waktu itu, dan kulihat kau tidak memiliki gantungan ponsel sendiri, jadi—“ Yo Won menghentikan rentetan kalimantnya. “Ada apa? Kau tidak suka?”

Aku mengangkat gantungan ponsel berwarna perak itu sambil tersenyum geli. Aku tidak menyangka Yo Won masih mengingat, bahkan menganggap serius komentar asalku waktu itu. Padahal sudah lama sekali.

Gantungan ponsel itu memiliki dua bandul yang terkait di rantai yang sama. Berbentuk cincin dan bintang kecil. Bintang. Khas Yo Won. Eh, bukankah… “Ini inisialmu?” tanyaku terkejut, saat melihat ukiran yang membentuk huruf LYW di bagian luar bandul berbentuk cincin itu.

Yo Won tersenyum dan mengangguk, lalu memamerkan gantungan ponselnya yang baru. Gantungan yang sama persis dengan milikku. “Aku memesannya sepasang untuk kita,” kata Yo Won ceria. “Lihat, di gantungan milikku ada inisial namamu. KNG.”

Aku menyeringai lebar. “Bagus sekali. Terima kasih. Aku sangat menyukainya,” kataku tulus. Hadiah dari Yo Won. Aku benar-benar menyukainya.

“Aku ingin kita memiliki benda yang sama sebagai simbol keterikatan kita,” kata Yo Won. “Dan aku juga khusus memesan di toko itu untuk membuatkan inisial nama kita di cincinnya agar kita selalu saling mengingat.”

“Tanpa ini pun aku tidak akan lupa padamu,” godaku. “Tapi, sekali lagi terima kasih. Aku menyukainya,” kataku sambil memasang gantungan itu ke ponselku.

“Jangan pernah melepasnya,” pesan Yo Won.

Aku merangkulnya dan tersenyum. “Tidak akan pernah,” janjiku.



Saat mengantri untuk membeli tiket roller coaster, tanpa sengaja aku melihat Yeom Jong bersama beberapa anak buahnya sedang menggoda gadis-gadis di sekitar mereka. Sial. Di hari libur pun aku harus melihat tampangnya!

Setelah Choi memberitahuku bahwa Yeom Jong lah pelaku pengeroyokan adiknya, aku langsung membuat perhitungan dengan si pembawa sial itu. Karena dia, aku terus diganggu oleh SMU Haegu, dan motorku sempat di sita. Dan semenjak perdebatan waktu itu, hubungan kami yang memang tidak begitu baik semakin meruncing.

Tawa Yeom Jong seketika terhenti begitu dia melihatku dan Yo Won. Dengan terburu-buru dia membawa pergi semua anak buahnya dari tempat itu. Bagus, jangan sampai dia mengacau di hari istimewaku bersama Yo Won ini.

“Nam Gil!” aku dan Yo Won menoleh bersamaan ke arah datangnya suara itu, dan melihat Min Sun dan Choi lagi. Sial. Kenapa sepertinya aku dan Yo Won tidak bisa berkencan dengan tenang tanpa diganggu siapapun!? Terlebih, kali ini Min Sun lagi! Hah!

Kurasakan tubuh Yo Won yang berada dalam rangkulanku menegang. “Apa kau ingin kabur dari mereka?” tawarku.

Yo Won mendengus. “Aku tidak ingin kita terlihat konyol bila melakukan aksi kejar-kejaran di tempat ini,” candanya.

“Nam Gil, senang sekali akhirnya kita bertemu lagi,” kata Min Sun sambil melepas gandengannya dari Choi dan beranjak mendekatiku. “Aku berharap akan bertemu denganmu di pesta Bibi Young Jin, tapi hanya Ayahmu yang hadir,” keluhnya sambil berjalan semakin dekat.

Yo Won langsung menghadang Min Sun. aku tersenyum geli saat melihatnya memberikan tatapan tajam pada gadis itu. Jadi… dia benar-benar serius mencemburui Min Sun? aku menyeringai senang memikirkan hal itu.

“Maaf, bahkan aku tidak mengingat nama Bibi yang kau sebut itu,” kataku acuh tak acuh.

“Hai,” sapa Choi sambil menghampiriku. Terkahir kali kami bertemu, dia kesal karena melihat Min Sun menciumku.

Aku membalas sapaannya dengan anggukan. “Maaf, kami harus pergi,” kataku sambil menggandeng Yo Won menjauh.

“Tunggu!” seru Min Sun sambil menarik tanganku.

Aku segera menyentak lepas pegangannya. “Ada apa lagi?”

Min Sun tersenyum penuh percaya diri. “Aku ingat bahwa 13 Maret adalah tanggal ulang tahunmu,” katanya. “Selamat ulang tahun,” tambahnya sambil mengulurkan tangan.

Aku terkejut dia mengetahui hari ulang tahunku. Dengan enggan aku membalas jabat tangannya. “Terima kasih,” kataku, kemudian menarik tanganku lagi. “Dari mana kau mengetahuinya?”

Senyum Min Sun semakin lebar. “Sejak kecil aku sudah tahu,” katanya. “Kita sekelas selama enam tahun, Nam Gil. Hanya tanggal ulang tahunmu pasti aku tahu,” sombongnya. “Lagi pula, sebenarnya sejak dulu aku memang sudah menyukaimu. Hanya saja kau begitu pendiam dan tak mau berteman dengan siapa pun.”

“Terima kasih atas ucapan selamatnya,” kata Yo Won. “Tapi kami harus pergi,” tambahnya sambil menarikku.

“Kalian berkencan?” tanya Min Sun.

“Benar,” jawabku. “Jadi, maaf, kami buru-buru ingin berduaan. Selamat tinggal,” kataku, kemudian berbalik pergi bersama Yo Won.

“Sampai jumpa nanti!” seru Min Sun.

“Gadis menyebalkan,” gerutu Yo Won, membuatku tertawa.

“Karena kita tidak jadi naik roller coaster, sekarang kau ingin ke mana?” tanyaku.

“Aku—“

“Ayo, silakah masuk!” paksa seorang wanita dengan pakaian bergaya gipsi. Dengan penuh tekad wanita itu menarikku dan Yo Won masuk ke tendanya.

“Maaf, Nyonya, tapi kami—“

“Ayolah, sejak tadi tak ada yang berkunjung ke mari,” bujuknya dengan wajah memelas. “Sebentar saja, dan tak akan mahal.”

Sebenarnya aku malas berurusan dengan peramal lain. pasangan peramal cilik itu sudah cukup memusingkan tanpa perlu ditambah peramal lain lagi. Tapi Yo Won yang kasihan pada wanita itu membujukku untuk mencobanya. Aku tidak bisa menolak permintaan Yo Won.

“Kalian terlihat sangat serasi,” puji peramal itu berbasa-basi. “Apa kalian ingin ramalan perorang atau berpasangan?” tanyanya.

“Berpasangan saja,” pilihku langsung. Ramalan pasangan pastinya lebih cepat dibanding ramalan perorangan.

“Kalau begitu, ini ramalan untuk hubungan asmara kalian,” gumam wanita itu. “Biar kucoba lihat di bola kristalku,” katanya sambil memulai aksinya.

Hah… tingkahnya lebih mencurigakan daripada Yoo Seung Ho saat pertama kali meramalku.

Setelah beberapa menit mengamati bola kristal yang menurutku biasa saja dan tak ada istimewanya itu, wanita itu terkesiap kaget. Dia menatapku dan Yo Won dengan mata berkaca-kaca.

“Oh Tuhan… kalian malang sekali,” desahnya. “Ini… tahukah kalian bahwa ini kehidupan ketiga kalian?” tanyanya.

Yo Won tersenyum geli. “Kami dihidupkan kembali sebanyak itu?” candanya.

Wanita peramal itu menatap ketidakperdulian Yo Won dengan sedih. “Ini bukan main-main, Nona,” katanya. “Hah… Ya Tuhan, ini adalah kesempatan terakhir kalian.”

Aku mengerutkan kening. “Kesempatan terakhir?” tanyaku. Hal gila apa lagi yang diocehkan wanita ini?

Wanita peramal itu menggenggam tanganku dan Yo Won. “Jangan menganggap remeh hal ini. bila kalian memang saling mencintai, kali ini adalah kesempatan terakhir kalian untuk bersatu,” katanya.

“Kenapa begitu?” tanya Yo Won.

“Setiap manusia ditakdirkan berpasang-pasangan. Bila dalam kesempatan pertama—kehidupan pertama—kau tidak bisa bertemu atau bersatu dengan pasangan yang ditakdirkan untukmu, maka kau diberi kesempatan kedua di kehidupan selanjutnya, dan bila di kesempatan kedua pun kau tidak berhasil bersatu dengan pasangan takdirmu, maka kau diberi kesempatan ke tiga. Kesempatan terakhir. Bila di kesempatan terakhir ini kau tidak juga bertemu atau bersatu dengan pasangan takdirmu, maka di kehidupan selanjutnya takdir kalian akan diputuskan dan dipilihkan takdir baru,” jelas peramal itu. “Dan itulah yang terjadi pada kalian. Aku melihatnya dari bola kristalku. Di dua kehidupan sebelumnya, kalian juga menjadi sepasang kekasih, tapi selalu berakhir dengan tragis tanpa berhasil bersatu.”

Tiba-tiba saja jantungku terasa sakit. Entah kenapa. “Maksudmu, kami berdua juga sepasang kekasih di kehidupan kami yang lalu?” tanyaku.

Peramal itu mengangguk. “Di dua kehidupan kalian yang lalu,” koreksinya. “sayangnya kalian tak pernah berhasil bersatu. Di kehidupan pertama, kalian hampir saja menikah, tetapi karena lemahnya kepercayaan satu sama lain, kalian berhasil diadu domba dan baru menyadari kesalahan itu di saat semua sudah terlambat.

“Kemudian kalian bereinkarnasi. Di kehidupan kedua, kalian adalah pasangan kekasih yang berhubungan diam-diam karena orangtua kalian yang saling membenci tidak menyetujui cinta kalian,” lanjutnya. “Masa itu para pemuda dikirim ke medan perang untuk membela Negara, dan kau mati di perang tersebut. Sedangkan gadismu, mati setelah melahirkan anak kalian.”

“Anak!?” seruku dan Yo Won bersamaan.

“Kalian memang belum menikah, tapi… kau pasti mengerti,” kata peramal itu.

Hah…yang benar saja. apa iya selama dua kali kehidupan, aku dan Yo Won sesial itu? aku benar-benar meragukan omongan peramal ini. jangan-jangan dia hanya pembual yang suka cerita-cerita tragis.

“Dan kini, kalian bereinkarnasi kembali. Kehidupan ketiga kalian. Kesempatan terakhir,” kata peramal itu lagi. “Aku melihat akan adanya beberapa rintangan dalam masa depan kalian untuk bersama. Tapi, yakinlah, bila cinta kalian benar-benar kuat, kalian akan bersatu. Jangan sia-siakan kesempatan terakhir ini. Bila kalian bisa bersatu di kehidupan kali ini, setiap reinkarnasi yang akan datang kalian akan terus ditakdirkan bersama. Tapi, bila rintangan kali ini juga tak bisa kalian lewati… maka di kehidupan selanjutnya takdir kalian akan terputus. Berhati-hatilah,” nasehatnya dengan ekspresi serius yang meyakinkan.



Sudah sangat sore ketika akhirnya aku pulang ke rumah. Hari ini tak akan pernah terlupakan olehku. Aku memandangi gantungan ponsel pemberian Yo Won sambil tersenyum. Yah, selain pertemuan singkat dengan Min Sun dan peramal gila itu, hari ini bisa dibilang sempurna.

Aku memasuki rumah dan langsung disambut dengan keheningan. Sejak hari jumat sore, Go Young Jae, Ibu, Jung Hyun, dan Do Bin pergi berlibur ke pantai. Sebenarnya mereka mengajakku, tapi karena tidak ingin melewatkan kencan di ulang tahunku bersama Yo Won, maka aku menolak ajakan mereka.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Yo Won. “Ya? Ada apa? Baru sebentar berpisah kau sudah merindukanku?” godaku.

“Jangan besar kepala,” omel Yo Won. “Apa kau sudah sampai di rumah?” tanyanya.

“Ya, ada apa?”

Yo Won tertawa. “Sebenarnya aku masih punya kejutan untukmu selain gantungan ponsel itu,” katanya. “tanyakan saja pada pelayanmu,” tambahnya singkat, lalu memutus hubungan telepon.

Kejutan lain lagi? Apa lagi? Dengan bersemangat aku berjalan menuju dapur, tapi sebelum aku sampai di sana, seorang pelayan wanita—yang telah bekerja di rumah ini semenjak aku kecil—datang menghampiri.

“Selamat sore, Tuan Muda,” sapanya sopan sambil membungkuk hormat.

“Selamat sore,” sahutku agak tak sabar. “Apa ada sesuatu untukku?”

Pelayan itu tersenyum. “Ya, ada. Tadi siang, tak lama setelah Tuan Muda pergi, ada seorang gadis yang mengaku sebagai teman anda, datang dengan membawakan—“

“Di mana barang itu sekarang?’ potongku tak sabaran.

“Mari ikuti saya,” katanya sambil berjalan memasuki dapur yang luas dan terang. Di atas meja tampak sebuah kotak putih besar.

“Apakah ini barangnya?” tanyaku, yang dijawab dengan anggukan kepala pelayan tadi. Aku segera membukanya, dan melihat banyak kue bolu berlapis krim cokelat dengan lilin-lilin kecil tertancap di setiap kuenya. Di tutup kotak itu tertempel kartu bergambar bintang-bintang dengan tulisan Yo Won.


Selamat ulang tahun!
Aku mendoakan semoga kau bahagia, panjang umur, sehat, dan selalu ada di sisiku.
Di kotak ini ada tujuh belas kue bolu cokelat yang mewakili setiap kue ulang tahun yang mungkin tidak kau dapat selama ini. Mungkin tidak sebesar kue ulang tahun sungguhan,
tapi setiap kuenya berisi doa dan cintaku untukmu.
Milikku, selamat ulang tahun.


Dari milikmu,
L . Y .W


Memalukan. Bila ada teman yang melihatku saat ini, pasti mereka tak akan lagi takut padaku, dan malah menganggapku cengeng. Tapi aku benar-benar menitikkan air mata melihat besarnya perhatian dan perasaan Yo Won padaku.

Saat mendengar pelayan wanita itu berdeham, aku buru-buru menghapus air mataku. “Maaf, Tuan Muda,” katanya. “Tapi ini ada satu kotak lagi,” lanjutnya sambil menyodorkan kotak putih lain yang berukuran lebih kecil dari kotak kue bolu pemberian Yo Won.

“Dari siapa ini?” tanyaku heran.

“Dari Nona yang sama,” jawabnya.

Kenapa Yo Won memberi dua kotak terpisah? Penasaran, aku segera membuka tutup kotak itu, dan melihat kue ulang tahun berbentuk hati dengan krim vanilla menghiasi permukaan kue tersebut, membentuk kalimat: Aku Cinta Padamu. Hatiku bergetar dengan cinta pada Yo Won yang kurasakan semakin membesar setiap harinya.

Dan seperti sebelumnya, di tutup kotak itu tertempel kertas pesan Yo Won.


Ini yang paling spesial untukmu. Bentuknya melambangkan cintaku padamu.
Bila kue-kue yang sebelumnya mewakili tujuh belas tahun yang kau lewati dulu,
kue ulang tahun yang ini adalah untuk ulang tahunmu yang sekarang. Yang ke delapan belas.
Mulai sekarang, aku yang akan merayakan ulang tahunmu.
Sekali lagi, selamat ulang tahun!

Milikmu. Cintamu.
L . Y . W


Aku segera mengambil ponselku dan menghubungi Yo Won. “Sudah melihat kue-kuenya?” tanya Yo Won sebagai salam pembuka telepon dariku. “Bagaimana, apa kau suka?”

Tenggorokanku rasanya tercekat. “Aku mencintaimu,” bisikku.

“Aku juga mencintaimu,” sahut Yo Won lembut.



To Be Continued...

by Destira ~ Admin Park ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar