CHAPTER 9
Cast :
Bi Dam : Kim Nam Gil
Deokman : Lee Yo Won
Mi Shil : Go Hyun Jung
Moon No : Jung Ho Bin
Chil Sook : Park Kil Kang
Sohwa : Park Young Hee
Yong Soo : Kim Jung Chul
Yoo Shin : Uhm Tae Wong
Cheon Myeong : Park Ye Jin
Alcheon : Lee Seung Hyo
San Tak : TETAP
-------------------------------------------------
- Kim Nam Gil - 26 Desember 2010 -
Sial. Kenapa mereka mencari masalah di saat aku sedang bersama Yo Won? Dengan geram aku menghajar Choi Min Sung dan kelima temannya bergantian. Karena khawatir, aku melirik ke arah Yo Won, dan langsung merasa geli ketika melihat gadis itu sangat bersemangat menghajar seorang anak buah Choi dengan jurus-jurus yang selama ini dipelajarinya di klub taekwondo. Walaupun kelihatannya dia bisa mengatasi pemuda itu, aku tetap tidak senang sudah membuatnya terlibat dalam masalah ini.
Aku meringis sakit saat Choi meninju rahangku dan seorang temannya menendang punggungku. Brengsek! Aku segera membalas dengan memukul, menendang dan membanting mereka lebih kuat. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat pada ayah dan istrinya, dan ini membuatku semakin bersemangat menghajar mereka untuk melampiaskan kekesalanku kepada kedua orang itu.
“Nam Gil!” aku mendengar Yo Won berseru panik.
Cepat-cepat aku berpaling dari Choi untuk melihat keadaan Yo Won. kupikir dia akhirnya kesulitan melawan pemuda yang sejak tadi dihajarnya itu, tapi ternyata tidak. Pemuda itu sudah terkapar, dan Yo Won justru sedang melompat untuk menyerang seorang teman Choi yang lain. Rupanya pemuda itu ingin menyerangku dengan sebatang kayu yang di ambilnya di pinggir lapangan, tapi Yo Won berhasil menggagalkannya. Dia menyelamatkanku lagi.
Beberapa menit kemudian, dengan napas terengah-engah, aku dan Yo Won menduduki tubuh besar Choi yang terbaring menelungkup di tanah.
“Kau bilang mau mengajakku ke tempat karaoke, tapi malah membuatku terlibat perkelahian,” gerutu Yo Won.
Aku jadi merasa tidak enak hati padanya. “Maaf—“
Yo Won menyeringai. “Aku bercanda,” selanya. “Hah… sebenarnya justru aku merasa lega sekali setelah menghajar mereka. Semua kemarahan yang kupendam selama ini bisa kulampiaskan pada mereka,” akunya.
Aku tersenyum kecil. Ternyata kami memiliki kesamaan. “Benarkah? Apa yang membuatmu marah?”
Senyum di wajah Yo Won memudar. “Bukan apa, tapi siapa,” jawabnya. “Orang yang sudah menghancurkan keluargaku. Aku sangat membencinya. Saat menghajar mereka, aku membayangkan wajah orang yang kubenci itulah yang sedang kupukul.”
Siapa maksudnya? Apakah ayahnya? Karena kesalahan ayahnya kah maka Yo Won dan ibunya pergi? hah… apakah tidak ada orangtua yang baik di dunia ini?
Selama beberapa saat suasana terbilang cukup hening—hanya terdengar erangan kesakitan Choi dan teman-temannya—sampai aku berdeham dan mulai menyampaikan apa yang kupikirkan sejak tadi.
“Emm, terima kasih,” gumamku.
Yo Won menoleh dan menampilkan ekspresi tak mengerti. “Untuk apa?”
“Karena kau sudah percaya padaku. Bahwa aku tak mungkin melakukan hal buruk seperti itu,” kataku sambil tersenyum tulus. “bahkan guru Jung—orang yang sepertinya paling mengenalku—sekalipun pasti akan mengira akulah pelakunya bila dia mendengar hal ini.”
Yo Won tersenyum kecil, lalu menumpangkan tangannya di atas tanganku. “kau salah,” katanya. “Kalau dia sampai bisa berpikiran seperti itu, berarti dia justru tidak mengenalmu sama sekali.”
Aku menatap tangannya yang menggenggam tanganku. Dia orang pertama yang menyentuhku dengan tulus dan tanpa maksud apapun. Bukan untuk menyakitiku ataupun untuk mendapat sesuatu dariku. Setelah beberapa saat barulah aku mengangkat kepala untuk menatap wajahnya. Hatiku terasa hangat dengan kepercayaan dan ketulusannya padaku.
“Karena,” Yo Won melanjutkan. “aku saja yang baru mengenalmu beberapa bulan, bisa melihat bahwa dibalik sikap kerasmu sebenarnya kau memiliki hati yang baik,” katanya sambil tersenyum manis.
Dia melakukannya lagi. Dia orang pertama yang menganggapku baik. tidak ada yang pernah menganggapku baik selama ini. Tidak guru Jung yang bangga dengan prestasiku, tidak juga San Tak yang setia mengikutiku… tidak pernah ada. Mereka mengecapku sebagai anak nakal, pembuat onar, dan orang yang tak berperasaan. Tidak ada yang pernah menganggapku baik. Yo Won yang pertama. Hanya dia.
Tiba-tiba jantungku berdebar kencang. “Benarkah?” tanyaku dengan suara serak.
Yo Won melepaskan genggamannya. “Yah, bukan berarti aku setuju dengan caramu menyelesaikan segala hal dengan kekerasan—kuakui terkadang memang diperlukan, bila dalam keadaan terdesak seperti sekarang. Tapi menurutku orang yang memiliki prinsip tak akan pernah melukai anak kecil pasti memiliki hati yang baik,” katanya.
“Yo—“
Kata-kataku terhenti karena erangan Choi yang semakin keras. “Erghhh… kalau kalian ingin saling mencurahkan isi hati… tolong… jangan di atas tubuhku,” pintanya.
Yo Won langsung meloncat berdiri, baru tersadar bahwa sejak tadi dia menduduki punggung Choi. “Maaf,” gumamnya.
Aku tetap di tempatku—menduduki bokong pemuda itu—dan bertanya, “Bila aku melepaskanmu kali ini, apakah kau mau berjanji tidak akan mencoba menyerangku lagi?”
Choi memaki. “Aku benar-benar tidak berbuat apa-apa pada adikmu selain memarahinya untuk tidak lagi bermulut besar. Selebihnya tidak. Menyakiti anak kecil bukan gayaku,” lanjutku.
“Kenapa aku harus percaya padamu?” desisnya.
“Karena kau harus,” jawabku enteng. “apakah adikmu pernah mengatakan bahwa dia melihatku ada diantara orang-orang yang menghajarnya?”
Selama beberapa saat Choi terdiam. “Tidak,” jawabnya pada akhirnya. “Tapi dia memang tidak melihat jelas siapa saja orang yang menghajarnya, karena kejadian itu begitu cepat.”
Aku mendengus keras. “Yang benar saja, Choi,” geramku. “Melawanmu dan keenam temanmu saja aku tidak butuh bantuan banyak orang—eh, bukannya aku tidak menghargai bantuanmu, Yo Won.”
“Ah, tidak masalah. Aku tidak tersinggung sama sekali,” sahut gadis itu.
“Terima kasih,” komentarku sambil tersenyum padanya. “Nah, jadi untuk apa aku membawa pasukan bila hanya melawan seorang bocah SMP?” lanjutku pada Choi.
Lagi-lagi Choi terdiam. “Entahlah…”
Aku berdiri sambil mendesah kesal. “Sudahlah. Hentikan saja masalah kita. Selidiki siapa pelaku sebenarnya, dan jangan pernah muncul dihadapanku lagi,” perintahku. “Yo Won, ayo kita pergi menyanyi,” lanjutku sambil menaiki motor.
“Kau masih berniat pergi karaoke?” tanya Yo Won heran.
“Kenapa tidak?” aku balik bertanya.
“Seharusnya lukamu diobati,” omel Yo Won saat aku menyanyi.
“Nanti saja sesampainya dirumah,” sahutku. “Lagi pula hanya luka kecil. Ayo, ikut nyanyikan lagu ini,” ajakku, kemudian kembali menyanyikan lagu soundtrack sebuah film remaja yang populer beberapa tahun lalu itu.
Yo Won berdiri dan berjalan mendekatiku. “Paling tidak elap darahnya,” katanya sambil mengelap luka di pipiku dengan sapu tangannya. “Tenang saja, sapu tanganku bersih,” tambahnya ketika aku sempat sedikit menghindar.
Seketika keinginanku untuk menyanyi langsung hilang. Seperti orang terpesona, aku terus memandanginya. Lagi-lagi dia membuatku terkejut. Bahkan Ibu sekalipun tak pernah berkomentar bila melihatku pulang sekolah dalam keadaan yang lebih parah dari luka yang kudapat sekarang. Tapi Yo Won perduli padaku.
Seseorang mengetuk pintu ruangan kami, dan sesaat kemudian seorang pelayan masuk membawa minuman dan makanan kecil pesanan kami. Yo Won menjejalkan sapu tangannya ke tanganku, lalu kembali duduk untuk memakan snack dan meminum air mineral pesanannya.
Setelah tersadar dari keterpukauanku, aku ikut duduk di sebelahnya dan meminum soju pesananku. Sial. Kenapa tiba-tiba aku jadi merasa gugup begini?
“Kau… tinggal bersama Bibi Hyun Jung?” tanya Yo Won tiba-tiba. “Maaf, bukannya aku bermaksud ikut campur—“
“Ya,” jawabku cepat. “Aku tinggal bersamanya.”
“Kenapa? Apakah… maaf, apakah orangtuamu sudah tidak ada? Tapi… bukankah kau masih memiliki kakak?”
Aku meneguk sojuku dengan cepat, lalu menjawab pertanyaan Yo Won. “Kakakku tidak tinggal di Korea. Dia bekerja di Amerika dan pulang ke mari hanya untuk berkunjung,” kataku. “Sedangkan orangtuaku… mereka masih hidup. Ayah ada di Seoul juga.”
“Lalu kenapa?” desak Yo Won.
Aku memang agak heran dengan keingin tahuannya, tapi entah kenapa aku malah menceritakan kisah hidupku. “Aku adalah anak Ayahku dengan kekasih gelapnya,” mulaiku pahit. “hingga usiaku enam tahun, aku memang tinggal bersamanya dan istrinya—ibu kak Jung Chul. Tapi kemudian… istrinya memutuskan tak mau lagi mengurusku. Kehadiranku di dunia ini tidak diharapkan siapapun—yah, mungkin Ibuku pernah sangat mengharapkanku demi mendapatkan Ayahku, tapi setelah ayah menolak meninggalkan istri yang masih dicintainya… aku tak lagi dibutuhkan oleh Ibu. Mungkin seharusnya aku sangat bersyukur bahwa istri Ayah masih mau menampungku selama beberapa tahun sebelum akhirnya dia muak dan meminta Ayah menyingkirkanku.”
“Lalu Ayahmu menitipkanmu di rumah bibimu?” lanjut Yo Won dengan sedih.
Haruskah aku menceritakan bahwa Go Hyun Jung sebenarnya adalah Ibuku dan bukannya Bibiku?
“Emm… Yo Won—“
“Tenang saja,” sela Yo Won lembut. Dia kembali meremas pelan tanganku. “Aku tak akan pernah menceritakan apa yang baru saja ku dengar ini pada siapapun. Aku bersumpah.”
Sebenarnya bukan itu yang ingin kukatakan, tapi mungkin lain kali saja aku menceritakan tentang Ibu. Aku balas meremas pelan tangannya dan tersenyum sambil menatap tajam kedua matanya. “Terima kasih. Aku percaya padamu,” kataku tulus.
“Jangan membenci dirimu sendiri karena merasa sebagai pengganggu yang tak diinginkan oleh siapapun,” katanya lagi. “Bukan salahmu bila memiliki orangtua yang—“
“Bejat,” lanjutku, geli melihat Yo Won tak enak hati untuk mengatai orangtuaku.
Yo Won tersenyum masam. “Yah, apapun sebutannya,” sahutnya. “justru dalam masalah ini kau hanya korban. Jadi jangan merasa rendah diri atau menyalahkan diri sendiri. Mungkin orangtuamu tak cukup perduli dan menginginkanmu, tapi masih ada teman-teman yang menginginkan kehadiranmu dan perduli padamu.”
Kau salah. Tidak pernah ada. Mereka ada di sisiku karena takut padaku. Bukan karena tulus perduli dan menginginkan kehadiranku. Hanya kau yang memperlihatkan kepedulian dan terlihat nyaman di sisiku. tidak ada yang lain. Hanya kau.
Debaran jantungku kembali menggila. Sial. Aku sengaja memasang tampang konyol. “Hei, kita kemari untuk bersenang-senang. Kenapa sekarang malah bicara hal-hal cengeng seperti ini?” gurauku.
Aku mengamati dengan sedikit perasaan kecewa ketika Yo Won melepaskan genggaman tangannya dariku, dan bersandar di sofa sambil memejamkan mata.
“Mungkin karena aku sedang dalam suasana hati cengeng seperti katamu,” gumamnya.
“Ada apa? Kau sedang punya masalah?” tanyaku cepat.
Yo Won membuka matanya dan melirikku. “Sebenarnya kita memiliki kesamaan,” katanya. “Kesamaan masalah dengan orangtua,” lanjutnya.
“Ayahmu?” tebakku.
Dia mengangguk pelan. “Saat usiaku enam tahun, Ibuku membawaku pergi meninggalkan Ayah setelah menangkap basah Ayahku sedang berciuman dengan wanita lain,” katanya. “hari ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengannya setelah sekian lama.”
Aku mendengar kesedihan dalam suara Yo Won, dan ini mendorongku untuk balas menenangkannya dengan menggenggam tangannya. “Sayang sekali kita tidak bisa memilih orangtua yang sesuai dengan selera kita,” candaku.
Yo Won tersenyum kecil. “Kau benar,” sahutnya. “Untungnya Ibu memiliki sahabat-sahabat yang baik seperti Bibi Young Hee dan Paman Kil Kang. Mereka orangtua kak Ye Jin. Setelah Ibuku meninggal, mereka yang merawatku.”
Jadi itulah sebabnya Yo Won dan Ye Jin sangat akrab dan selalu pergi berdua. Kasihan sekali Yo Won. setidaknya, selama ini aku tinggal bersama Ibuku sendiri, dan dua saudara seibu, bukan dengan orang yang tak memiliki hubungan keluarga denganku seperti yang dialami Yo Won.
“Karena kita sedang dalam suasana hati yang buruk, bagaimana kalau kita menyanyikan lagu ini saja, kataku menunjuk sebuah judul di buku daftar lagu. “Saranghamyeon an doen,” usulku.
Yo Won tersenyum geli. “Terserah padamu,” sahutnya.
Tapi pada akhirnya aku menyanyikan lagu itu sendiri, sementara Yo Won hanya duduk bersandar sambil memperhatikanku menyanyi. Ketika aku selesai menyanyikan bait terakhir, dan menengok ke arah gadis itu, aku melihatnya meneteskan air mata.
“Hei, apa suaraku seburuk itu?” gerutuku.
Yo Won buru-buru menghapus air matanya dan memaksakan senyum. “Tidak, tidak,” bantahnya segera. “Justru aku terkejut mendengar suaramu ternyata cukup bagus. Aku sendiri tidak mengerti kenapa, tapi mendengarmu begitu menghayati lagu tadi tiba-tiba saja air mataku mengalir keluar.”
“Oh, itu artinya kau sangat terharu mendengar kemerduan suaraku,” kataku sombong.
“Jangan besar kepala,” gerutunya. “Ah, sebentar,” katanya sambil merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan ponsel. “Kak Tae Wong? Ada apa?” tanyanya.
Uhm Tae Wong? Ada urusan apa dia menghubungi Yo Won? Dengan perasaan tidak senang aku terus memperhatikan Yo Won mengobrol dengan si wajah datar itu lewat ponsel. Kenapa Yo Won tertawa? Memangnya Tae Wong bisa melucu? Cih…
“Baiklah, nanti aku akan ke rumahmu untuk mengambilnya,” janji Yo Won. “Ya. Sampai jumpa nanti. Dah.”
Yo Won berpaling padaku dan mengerutkan kening. “Kenapa menatapku seperti itu?”
Hmm, kenapa? aku sendiri tidak tahu. “Gantungan ponselmu bagus,” ocehku asal.
Yo Won tersenyum sambil mengamati gantungan ponselnya. “Memang bagus, kan?” gumamnya. “Oh ya, apa kau masih ingin di sini lebih lama?” tanyanya.
“Kenapa? kau buru-buru ingin pulang?” tanyaku kesal. Pasti ini ada hubungannya dengan telepon Tae Wong tadi.
“Yah, ya…” jawab Yo Won.
“Baiklah, kita pulang saja,” kataku sedikit ketus. “Aku akan mengantarmu pulang.”
“Terima kasih.”
“Tunggu,” tahanku sambil menarik lengannya, saat gadis itu membuka pintu. “Kenapa Tae Wong meneleponmu? Apa kau sangat akrab dengannya? Kau sering ke rumahnya?” cecarku.
Yo Won mengerutkan kening lagi. “Yah, kami memang akrab. Kak Tae Wong teman yang menyenangkan. Dan ya, aku sering bermain ke rumahnya atau dia main ke rumahku karena rumah kami bersebelahan. Kami tetangga,” jawabnya. “Tadi dia menelepon untuk memberitahuku bahwa dia sudah mendapatkan DVD film kolosal yang ingin kami tonton sejak lama—karena dulu tidak sempat menontonnya di bioskop,” lanjutnya.
Sial. Tetangga!? Apa ada kebetulan yang lebih menyebalkan daripada ini?
“Kenapa kau bertanya?” tanya Yo Won.
Aku menyeringai sambil membuka pintu. “Oh, tidak apa-apa. Aku hanya penasaran,” jawabku.
“Eh, sebenarnya aku bisa pulang sendiri,” mulai Yo Won. “Aku tidak mau merepotkanmu—“
“Tidak merepotkan,” bantahku. “Aku akan mengantarmu pulang,” kataku tegas. Harus. Aku harus tahu alamat Yo Won. Hah… sial. Pantas saja si wajah datar itu sering pulang bersama Yo Won. Mereka tetangga! Cih…
***
- Lee Yo Won - 26 Desember 2010 -
Kupandangi tanganku dengan serius. Aku memegang tangan Nam Gil. Hah… sebenarnya awalnya tidak sengaja. Saat melihatnya sedih seperti tadi… tiba-tiba ada desakan dalam diriku untuk menyentuhnya. Astaga, mengingatnya saja sudah membuat jantungku berdebar-debar lagi.
Saat pertama kali menyentuh tangannya… rasanya seperti tersengat listrik. Aku terkejut dan ingin segera menarik tanganku kembali, tapi ekspresi wajahnya menahanku… dia terlihat rapuh dan kesepian. Seolah butuh untuk disentuh. Aku jadi tidak tega untuk melepas genggaman tanganku. Apalagi setelah dia menceritakan masa kecilnya. Aku semakin bersimpati padanya. Kim Nam Gil yang selama ini terlihat kuat, pemberani, dan acuh tak acuh, ternyata juga rapuh dan kesepian.
Hah… apakah tidak ada ayah yang baik di dunia ini? Kasihan sekali Nam Gil. Paling tidak selama ini aku tinggal bersama orang-orang yang menyayangiku—walaupun mereka tidak punya hubungan darah denganku—sedangkan Nam Gil, walaupun tinggal bersama keluarganya, tapi paman, bibi, dan sepupu-sepupunya—kak Jung Hyun dan Do Bin—kurasa bukanlah pribadi hangat seperti yang dibutuhkan seorang anak kecil.
Aku menatap layar TV, tapi tidak mengerti dan juga tidak perduli dengan jalan cerita film yang sedang diputar itu. Pikiranku terus saja melayang kembali pada saat-saat bersama Nam Gil tadi. Pergi bersama Nam Gil ternyata menyenangkan. Walaupun tidak semulus yang direncanakan—dengan adanya perkelahian dengan geng SMU Haegu—tapi tetap sangat membantuku menyingkirkan sedikit rasa sedih setelah bertemu Ayah. Ini kedua kalinya dia menghiburku. Aku sangat berterima kasih untuk hal itu.
“Kenapa tersenyum?” tanya kak Tae Wong, mengagetkanku. “Kau suka adegan pembantaian? Sejak tadi kau bertingkah aneh,” komentarnya.
Benar. Di layar TV sedang menampilkan adegan pembantaian oleh si tokoh pemeran utama pria yang kalau tidak salah ingat… ingin membalas dendam pada sekelompok orang yang telah membunuh keluarganya? Rasanya begitu cerita yang kudengar dari teman-teman yang sudah menontonnya. Jelas saja kak Tae Wong heran melihatku malah tersenyum melihat adegan kekerasan seperti itu.
“Kuambilkan minum dulu,” katanya sambil beranjak pergi.
Setelah diantar pulang oleh Nam Gil, aku langsung pergi ke rumah kak Tae Wong untuk meminjam DVD-nya, tapi ternyata dia juga belum menonton film itu dan mengusulkan agar kami nonton bersama saja di rumahnya. Aku menelepon kak Ye Jin dan mengajaknya nonton bersama, tapi ternyata kakak sedang pergi dengan beberapa teman sekelas, jadilah aku dan kak Tae Wong nonton berdua saja di rumahnya.
Setelah ini aku harus menanyakan beberapa hal pada Bibi Young Hee. Benarkah Ayah pernah mengirimi almarhum Ibu surat? Pernahkan ada orang tak dikenal—yang merupakan suruhan Ayah—datang untuk menjemputku tapi kemudian diusir oleh Paman dan Bibi? Aku tidak menyalahkan mereka bila semua itu benar. Aku tidak marah hanya karena mereka tidak menceritakan hal itu padaku. Aku memahami mereka melakukannya untuk melindungiku dan karena menjalankan wasiat Ibu yang meminta mereka merawatku hingga dewasa. Tapi aku butuh untuk tahu yang sebenarnya. Apakah Ayah bicara jujur, atau berbohong demi menutupi kesalahannya?
“Ini,” kata kak Tae Wong sambil tersenyum dan menyodorkan segelas air.
“Terima kasih,” sahutku, kemudian menyambut gelas yang disodorkannya padaku. ketika itu jari kami sempat bersentuhan dan sebuah kilasan kejadian langsung menyerbuku. Aku melihat seorang pria berpakaian prajurit kuno berwarna biru sedang tersenyum padaku. Pria itu bagai jelmaan kak Tae Wong dalam sosok yang jauh lebih dewasa. Senyum hangatnya membuatku merasa tenang dan senang.
Saat akhirnya kembali sadar, aku melihat kak Tae Wong masih berdiri menjulang di hadapanku dengan sorot mata menerawang. Ada apa dengannya?
“Kak Tae Wong? Kau tidak apa-apa?” tanyaku. tidak mungkin dia juga mengalami apa yang baru saja kualami, kan?
Kak Tae Wong duduk di sebelahku sambil tersenyum menenangkan. “Tidak apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu tadi,” katanya.
Melihat senyum kak Tae Wong yang begitu mirip dengan senyum pria dalam kilasan pengelihatanku tadi, entah kenapa tiba-tiba jantungku berdebar-debar. Astaga, ada apa denganku sebenarnya? Saat menyentuh Nam Gil tadi jantungku berdebar-debar, kenapa sekarang melihat senyum kak Tae Wong juga membuatku bereaksi seperti ini? Aku tidak mungkin suka pada kak Tae Wong, kan? Dia memang cukup menarik, tapi selama ini aku hanya menganggapnya teman biasa, kan? Iya, kan?
“Yo Won?” tegur kak Tae Wong. “kenapa menatapku seperti itu?”
“Eh? Tidak. Tidak apa-apa. Sudahlah, kita menonton lagi saja,” kataku, sengaja mengalihkan pembicaraan.
- 3 Januari 2011 -
“Maaf, aku tidak bisa,” tolakku. “Hari ini aku sibuk,” alasanku.
“Apakah kau benar-benar tidak bisa makan malam di rumah denganku?” tanya Ayah dengan nada kecewa.
“Ya. Aku tidak bisa. maaf,” ulangku. “Ah, pelajaran sudah hampir dimulai. Kita lanjutkan lagi nanti,” kataku, kemudian memutus sambungan telepon. Hah…
Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee sudah mengiyakan perkataan Ayah padaku waktu itu, mengenai surat yang dikirimnya dan orang suruhannya untuk menjemputku. Ya, Ayah ternyata tidak bohong tentang hal itu, tapi… aku belum yakin sepenuhnya bahwa Ayah tidak berselingkuh dengan bibi Hyun Jung. aku tidak begitu pasti… kejadiannya sudah lama sekali. yang kuingat hanyalah melihat bibir Ayah menempel di bibir Bibi Hyun Jung. Lagi pula, Ibu tidak mungkin berkeras tak mau kembali pada Ayah tanpa alasan yang jelas, kan? Pasti keputusan Ibu memiliki dasar yang kuat, kan? Atau… mungkinkah benar kata Ayah mengenai kekeras kepalaan Ibu? Astaga, siapa yang harus kupercaya sekarang?
“Apa kau tidak kasihan padanya?” tanya kak Ye Jin, yang dimaksudnya adalah Ayahku.
Aku duduk di kursiku sambil melengos. “Bukan begitu,” bantahku. “tapi… entahlah.”
“Hai,” sapa Nam Gil sambil mendekati mejaku. “Ini sapu tanganmu,” katanya sambil menyodorkan sapu tanganku. “Oh ya, selamat tahun baru.”
Melihatnya membuatku langsung teringat pada genggaman tangan kami waktu itu, dan otomatis jantungku langsung berdebar-debar lagi. Astaga. Menggelikan sekali reaksiku. “Hai,” balasku setenang mungkin. “Terima kasih. Selamat tahun baru juga,” kataku.
“Semua duduk!” perintah Bu Gu Kyong Won, guru sejarah kami.
Dengan menggerutu kesal, Nam Gil beranjak pergi dan kembali ke mejanya. Bu Gu pun langsung memulai pelajarannya. Kali ini yang dibahas olehnya adalah mengenai kerajaan Shilla di bawah kepemimpinan Ratu Seondeok.
“Putri Deokman menjadi Raja wanita pertama di Korea, yang kemudian bergelar Ratu Seondeok—“ aku hanya mendengar penjelasan awal Bu Gu karena kemudian aku sibuk memperhatikan keanehan yang terjadi pada Nam Gil—lagi pula sebelumnya aku juga sudah sering mendengar tentang sejarah ini. Pemuda itu benar-benar menarik perhatian karena tiba-tiba tubuhnya sekaku patung, dengan mata melebar terkejut tapi menerawang, dan mulutnya yang membuka dan menutup seperti sedang menggumamkan sesuatu. Ada apa dengannya?
“Ratu Seondeok wafat tiga hari setelah berhasil memberantas pemberontakan yang dipimpin oleh mantan perdana menteri Bi Dam—“
Bi Dam… aku jelas sudah pernah mendengar namanya dan kisah pengkhianatannya sebelumnya, tapi entah kenapa kali ini mendengar namanya disebutkan tiba-tiba saja jantungku terasa seolah diremas kuat hingga terasa sakit. Lalu kilasan itu muncul… pria yang mirip dengan Nam Gil itu lagi. Dalam pakaian prajurit hitamnya. Dia berdiri tak jauh dariku, dan tanpa kusadari mulutku sudah membuka dan mengeluarkan suara menyebut; “Bi Dam.” Begitu mendengar suaraku, pria itu segera berpaling padaku dan dengan wajah cerah bersemangat, dia menghampiriku.
“Yo Won? Yo Won?” bisik kak Ye Jin terus menerus sambil mengguncang lenganku.
Pria itu menghilang, dan semua kembali terlihat normal. Apa maksudnya itu? apakah pria yang mirip dengan Nam Gil itu bernama Bi Dam?
“Kau kenapa?” tanya kak Ye Jin. “Hentikan melamun bila tidak ingin mendapat terguran dari Bu Gu juga,” bisiknya.
“Juga?” tanyaku heran. Tapi sebelum kak Ye Jin menjelaskan, aku sudah dapat menebaknya. Nam Gil. Aku menoleh ke arah pemuda itu dan melihatnya sedang menggaruk kepala sambil mendengarkan omelan Bu Gu.
Bagaimana bisa Nam Gil sangat mirip dengan pria berpakaian prajurit hitam itu? siapa pria itu? Bi Dam?
Hari ini telah dibuka pendaftaran bagi siapa saja yang ingin mencalonkan diri sebagai ketua OSIS menggantikan kak Tae Wong. Seharusnya penyeleksian ini di lakukan berbulan-bulan lalu, tapi karena adanya festival musim dingin dan banyak kegiatan lain, maka pendaftaran ini pun diundur.
“Padahal kak Tae Wong sudah melakukan tugasnya sebagai ketua OSIS dengan sangat baik,” komentar kak Ye Jin saat melihat tulisan di papan pengumuman.
“Yah, tapi dia sudah hampir lulus, karena itu dia tidak bisa lagi memikul segala tanggung jawab sebagai ketua OSIS,” kataku.
“Kurasa tak akan ada yang bisa memimpin sebaik dia,” kata kak Ye Jin.
“Mungkin,” sahutku acuh tak acuh. “Aku penasaran ingin tahu siapa saja yang mencalonkan diri,” lanjutku.
“Aku,” kata Nam Gil, tiba-tiba muncul di tengah-tengah antara aku dan kak Ye Jin.
“Kau?” seruku dan kak Ye Jin bersamaan.
Nam Gil tersenyum lebar dan memamerkan deretan gigi putih sempurnanya. “Ya. Aku.”
Aku dan kak Ye Jin berpandangan, lalu, “Yang benar saja,” gumam kami kompak.
“Kau meragukan kemampuanku?” tanya Nam Gil tersinggung.
“Bukan begitu,” bantahku. “Tapi… dengan reputasimu… apa kau yakin akan ada yang memilihmu?”
Nam Gil tampak merenungkan perkataanku, dan kemudian menyeringai. “Justru dengan reputasiku, siapa yang berani tidak memilihku?”
Aku mengerutkan kening. “Jangan bertingkah yang aneh-aneh,” kataku memperingatkan. “kalau kau serius ingin menjadi ketua OSIS menggantikan kak Tae Wong, cobalah perbaiki citra dirimu di mata murid-murid lain, dan hilangkan segala ide gila untuk memaksa mereka memilihmu. Hasilnya tidak akan bagus,” saranku.
Nam Gil cemberut saat mendengarku bisa menebak pikirannya, tapi hanya sebentar, lalu dia kembali menyeringai. “Tenang saja. aku punya caraku sendiri,” katanya sambil melenggang pergi dengan bersiul-siul riang.
“Entah kenapa aku seperti mendapat firasat buruk,” gumam kak Ye Jin.
Semoga saja anak itu tidak melakukan hal-hal bodoh hanya demi mendapatkan posisi sebagai ketua OSIS.
Guru Jung mengumumkan bahwa dia akan memilih dua orang murid pria dan dua orang murid wanita terbaik untuk diikutkan dalam pertandingan taekwondo tingkat SMU yang di selenggarakan oleh sebuah perusahaan makanan beberapa bulan yang akan datang.
Hari ini guru jung melakukan seleksi, dan semua terlihat begitu antusias melakukan yang terbaik. Bahkan aku pun bersemangat, walaupun masih terbilang baru mempelajari taekwondo dan kemungkinan terpilih oleh guru hanya sekitar 20% - 30% saja, tapi aku tetap bersemangat. Begitu juga kak Tae Wong, kak Seung Hyo, dan Nam Gil. Terutama Nam Gil. Dia seperti robot yang mendapat baterai baru. Sangat bersemangat, lincah, gesit dan kuat. Aku tersenyum geli setiap kali dia berhasil merubuhkan lawan, karena setelahnya dia selalu tersenyum lebar padaku, seperti menyombongkan keberhasilannya. Dia benar-benar seperti anak kecil bila sedang bertingkah begini.
Yah, sebenarnya aku sudah bisa menebak satu diantara dua murid pria yang akan dipilih oleh guru Jung pastilah Nam Gil, yang merupakan murid favoritnya, dan Nam Gil sendiri pasti tahu itu, tapi entah kenapa dia begitu bersemangat menunjukkan semua kemampuannya hari ini. Bahkan kulihat guru Jung pun beberapa kali mengerutkan kening saat melihat keseriusan Nam Gil, walaupun juga diiringi dengan senyum puas di bibirnya.
Tibalah saatnya Nam Gil dan kak Tae Wong berhadapan. Awalnya biasa saja, tapi kemudian keduanya menjadi aneh. tepat setelah kak Tae Wong berhasil menjatuhkan Nam Gil, keduanya terdiam mematung. Ada apa dengan mereka?
“Kim Nam Gil. Uhm Tae Wong,” panggil guru Jung. “Apa yang kalian lakukan? Kenapa diam saja?” tegurnya.
Rupanya teguran itu berhasil menyadarkan mereka. Nam Gil segera melompat berdiri dan balik menyerang kak Tae Wong. Mereka bertanding serius walaupun ini bukan pertandingan yang sebenarnya. Pada akhirnya, setelah bertarung sengit cukup lama, kak Tae Wong berhasil menang. Kurasa Nam Gil bisa saja memenangkannya, tapi sepertinya sehabis mematung tadi konsentrasinya terganggu.
Sekarang giliran murid-murid perempuan untuk dites kemampuannya, tetapi aku tidak tertarik melihat kedua seniorku yang sedang bertanding memperlihatkan kehebatan mereka, karena aku lebih penasaran dengan keadaan Nam Gil. Kak Tae Wong sepertinya langsung bisa mengendalikan diri setelah sempat mematung tadi, tapi tidak begitu dengan Nam Gil. Sekarang dia sedang duduk di sudut ruangan sambil melamun. Apa yang sedang dipikirkannya?
Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya. “Kau kenapa?” tanyaku. “Kenapa tadi tiba-tiba kau melamun?”
Nam Gil mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk, dan menatapku. “kau hanya menatapnya,” gumamnya tak jelas.
“Ha? Apa maksudmu?”
Nam Gil seperti baru tersadar. Dia langsung menyeringai jail dan berkata, ”Tidak, aku hanya asal bicara. Entahlah, belakangan ini sepertinya aku jadi gila.”
Yah, satu lagi kesamaan kami, belakangan ini aku juga merasa gila. Sebenarnya aku masih penasaran dengan kata-katanya barusan, tapi Nam Gil kembali diam untuk merenung, membuatku tak enak untuk mendesaknya. Selama beberapa saat kami berdua hanya duduk diam di pojok ruangan itu dan merenung.
“Lee Yo Won!” panggil guru Jung tiba-tiba.
“Ah, ini giliranku,” kataku sambil berdiri.
Nam Gil menengadahkan kepalanya untuk menatapku. “Semoga berhasil,” katanya.
Aku tersenyum. “Terima kasih,” sahutku, kemudian berlari kecil mendatangi guru Jung dan gadis yang menjadi lawanku. Masalah Ayah, Nam Gil, dan kegilaanku harus disingkirkan dulu. Sekarang aku harus berkonsentrasi menghadapi lawanku.
To Be Continued...
by Destira ~ Admin Park ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar