Selasa, 01 Februari 2011

ANOTHER LOVE STORY...Chap 1

Annyoong Member, aku ada FF baru nih...tapi masih agak bingung mau diterusin apa enggak, takutnya ceritanya kurang menarik. jadi sekarang aku publish dulu chapter awalnya biar kalian semua bisa baca dan komen, kira-kira menarik gak? kalau menarik nanti saya lanjutkan....tapi kalau membosankan yah, gak jadi dilanjot hihihi..*dasarr gak niat*, jadi mohon komentarnya yang jujur yaa!! makasiii......*bow*

_____________________________________________

Disclaimer: Kisah ini hanya sekedar fanfics (Fiktif)  belaka, nama tokoh, kisah, tanggal dan tempat kejadian yang terdapat di sini hanyalah  berdasarkan rekaan penulis belaka.


ANOTHER LOVE STORY...


 
Chapter 1



-Bandara Soekarno-Hatta-

“Doakan aku ya Bu!” kata Syindi kepada Ibunya. Saat ini, dia akan berangkat ke Korea, tepatnya ke Kota Daejeon untuk meneruskan kuliahnya di KAIST (Korea Advanced Institute of  Science and Technology).  Tiga bulan yang lalu, dia bahagia sekali karena mendapat pemberitahuan bahwa dirinya diterima kuliah di Korea dengan beasiswa. Betapa tidak, selama ini, dia sangat memimpikan bisa kuliah di negeri itu. Apalagi saat ini dia mendapatkannya dengan beasiswa full credit, tentu itu sangat membanggakan. Walaupun dengan persyaratan yang cukup ketat, karena setelah 2 tahun kuliah, beasiswanya bisa saja dicabut apabila Indeks Prestasinya tidak mencapai angka 3. Aku harus berjuang!!, pikirnya saat itu.

“Ibu dan Ayah akan selalu mendoakanmu Nak! Kau hati-hatilah di sana. Jangan sampai sakit, dan ingat, belajar yang rajin ya, jangan sia-siakan kesempatan ini. Ayah dan Ibu sangat bangga padamu.” Ibunya lalu memeluk Syindi dengan berlinangan air mata karena harus berpisah dengan putrinya dalam jangka waktu yang cukup lama dan terpisah dengan jarak yang tidak dekat.

“Baik Bu,” sahutnya seraya membalas pelukan Ibunya. Hatinya cukup sedih, karena harus terpisah jauh dari kedua orang tua tercintanya. Tapi, ini adalah jalan hidup yang dipilihnya sendiri, dia harus tegas.

“Masuklah, pesawatmu akan segera berangkat!” kata Ayah Syindi, yang tiba-tiba menyela adegan mengharukan tersebut.

“Iya Ayah, aku pergi dulu,” ucap Syindi pilu lalu bergegas menuju ke terminal pemberangkatan, setelah mencium kedua tangan orang tuanya.




-Stasiun Seoul-

“Ugh...berat sekali!” keluh Tia saat mengangkat koper-koper bawaannya yang lumayan besar dari bagasi Taksi. Perjalanan selama beberapa jam tadi membuatnya lelah. Tapi dia harus meneruskan perjalanannya ke kota Daejeon, tempat universitasnya kini berada. Dia benar-benar senang saat mengetahui dirinya adalah salah satu yang terpilih sebagai mahasiswa jurusan manajemen bisnis di KAIST, apalagi dengan beasiswa full credit. Kenyataan tersebut yang membuatnya kembali bersemangat untuk segera sampai di kota tujuan, walaupun kini lelah melandanya.

Setelah membeli tiket kereta, dia bergegas ke ruang tunggu. Akan tetapi, alangkah kagetnya dia saat melihat seorang gadis berambut sebahu yang sangat dikenalnya sedang duduk di salah satu kursi. “Syindi?” serunya tak percaya, gadis itu pun tak kalah kagetnya saat melihat kehadiran Tia. “Bagaimana kau bisa ada di sini?” tanya Tia tajam.

“Memangnya tempat ini, milik Ayahmu?” seru Syindi tak kalah tajam. Kedua gadis itu memang berasal dari sekolah yang sama. Namun, keduanya tak pernah bisa akur satu sama lain. Bagi Tia, Syindi adalah seorang gadis menyebalkan yang sok tau dan sok pintar. Sedangkan sebaliknya, bagi Syindi Tia adalah seorang gadis manja yang tidak bisa diandalkan.

“Kau—“ Tia tak jadi meneruskan kata-katanya karena sangat malas harus berdebat dengan ‘musuh bebuyutan’nya itu. Lagi pula, kereta ke kota Daejeon pun telah tiba. Jadi, dia lebih memilih untuk naik ke kereta. Akan tetapi, alangkah kagetnya dia saat melihat Syindi juga masuk ke kereta yang sama dengan dirinya. “Kenapa kau mengikutiku?”

“Apa? Aku mengikutimu? Apa kau tidak salah? Kau lah yang mengikutiku.”

“Enak saja, aku duluan yang naik ke kereta ini.”

Syindi mendengus kesal, “Tapi aku dulu yang datang ke stasiun ini, dan membeli tiket ke Daejeon. Jadi jangan salahkan aku bila aku masuk ke kereta ini.”

“Daejeon?” seru Tia tak percaya, gadis itu juga ke Daejeon? Untuk apa? Tidak, dia tidak mungkin kuliah di sini juga kan? Pikirnya.



-Yuseong-gu, Daejeon-

Mila meletakkan teh di meja ruang tamu, “Minumlah!” ujarnya pada Min-woo kekasihnya. Sudah 6 bulan ini mereka menjalin hubungan. Min-woo adalah ketua tim basket di kampusnya. Pria itu benar-benar tampan, selain itu, karena posisinya sebagai ketua tim basket membuatnya banyak digilai wanita. Saat Min-woo menyatakan perasaannya padanya dan ingin menjalin hubungan dengannya, dia sempat kaget dan tak pernah menyangka bahwa pria tampan itu menaruh hati padanya, dan tentu saja dia tak akan menolaknya. Mila sangat mencintai pria itu, hingga dia rela melakukan apa saja untuk menyenangkan kekasihnya itu.

“Aku merindukanmu sayang,” seru Min-woo, lalu memnyekap Mila dengan kedua tangannya di sofa, karena kesibukan Min-woo menghadapi turnamen basket yang akan dilaksanakan seminggu lagi membuat mereka tak bisa bertemu selama beberapa hari ini. Dan sore ini, dirinya sengaja menyempatkan waktu untuk bertemu dengan kekasihnya.

“Minu? Apa yang kau lakukan?” seru Mila gugup, pria itu semakin mendekatkan wajahnya ke arah Mila yang semakin gugup menerima perlakuan kekasihnya. Tapi...



Yuli baru saja pulang dari kampus, dan hendak membuka pintu rumah kontrakannya, ketika tiba-tiba dia melihat, kakak seniornya Mila sedang berada dalam kondisi yang ‘mencurigakan’ dengan kekasihnya Min-woo. “Ah...maaf, anggap saja aku tak melihat apapun,” serunya seraya menutup pintu itu kembali dengan bunyi berdebam. Astaga, apa yang dilakukan Kak Mila? tapi kenapa aku yang harus malu? pikirnya. Hah...

“Permisi,” seru seorang gadis di belakangnya yang kontan membuatnya menoleh. Dilihatnya dua orang gadis muda sedang berdiri di belakangnya dengan membawa beberapa koper besar.

“Ya?”

“Apakah benar ini adalah alamat yang tertera di sini?” tanya salah satu gadis yang berambut sebahu dengan bahasa korea yang masih kaku, seraya menunjukkan kertas bertuliskan alamat ke arahnya. Yuli mengamati kertas itu sejenak, untuk membacanya. Kemudian kembali mengamati kedua gadis yang tampak lelah itu. Mereka pasti mahasiswa baru tahun ajaran ini, pikirnya.

“Ya benar, ini alamatnya,” sahut Yuli dengan bahasa Indonesia, “Jadi kalian mahasiswa baru yang diceritakan Pak Anggoro?” Pak Anggoro adalah guru di sekolah mereka yang memerantarai program beasiswa di KAIST ini. Dan dari Pak Anggoro lah kedua gadis itu mengetahui alamat rumah kontrakan yang sudah biasa ditempati secara turun-temurun oleh mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa di sana. Karena selain harganya murah, rumah itu juga cukup besar dan rapi.

“Ya benar sekali, kau Kak Yuli atau Kak Mila?” tanya gadis yang berambut panjang menimpali.

“Aku Yuli.”

“Kenalkan, aku Destira, tapi panggil saja Tia,” serunya sambil menyodorkan tangannya.

“Oh, hallo Tia,” balas Yuli seraya menjabat tangan gadis itu.

“Dan ini temanku Syindi,” ujarnya menunjuk gadis yang berambut sebahu tadi.

“Hai Syindi,” balas Yuli, ”Ah...Selamat datang di Daejeon!“ Yuli menunjukkan senyum ramahnya untuk menyambut kedua gadis itu.

Tiba-tiba pintu rumah terbuka “Masuklah Yu—“ kata-kata Mila berhenti di tengah jalan saat melihat ada dua gadis lain di depan rumah. “Eh, siapa mereka?” tanyanya seraya memperhatikan kedua gadis baru itu.

“Mereka mahasiswa baru dari Indonesia Kak!”

“Ah...jadi kalian sudah sampai. Masuklah!” sapa Mila ramah dan dijawab dengan anggukan senang kedua gadis itu. Namun sebelum mereka masuk, tiba-tiba seorang pria korea tampan keluar dan mengecup kening Mila lembut.

“Aku pulang dulu sayang.”

“Ya, hati-hati di jalan Minu!” seru Mila pada kekasihnya, mesra.

“Itu tadi kekasihmu Kak?” tanya Tia pada Mila antusias yang dibalas dengan anggukan mantapnya. “Waa...lelaki Korea memang tampan-tampan ya!” seru Tia yang sejak tadi masih mengamati punggung Minu sampai menjauh dan masuk ke mobilnya.

“Hah...kau ini, jangan-jangan kau mengambil beasiswa ke sini hanya untuk mengejar pria-pria korea,” olok Syindi.

“Kau? Bisakah kau tak membuatku marah sekalipun?” tegur Tia marah.

“Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar?” Mila menengahi, “Masuklah! Kalian pasti lelah setelah mengalami perjalanan jauh.”



“Bagaimana perjalanan kalian tadi?” tanya Mila ramah, di ruang tengah sesaat setelah makan malam.

“Melelahkan sekali Kak, tapi syukurlah sekarang sudah sampai,” sahut Tia.

“Syukurlah kalian segera tiba di sini, tempat ini terasa sangat sepi saat beberapa senior kami baru saja lulus dan hanya tinggal kami berdua saja di sini,” timpal Yuli seraya mengambil tempat duduk di samping Mila dan mulai menyalakan televisi.

“Yah, benar sekali kata Yuli tadi. Syukurlah kalian datang. Aku senang sekali saat mendapat kabar dari pak Anggoro kemarin.”

“Aku jadi merindukan rumah, kalau mengingat Indonesia,” kenang Mila. Dua tahun sudah dia merantau ke Daejeon untuk menuntut ilmu, wajar saja jika saat ini dia sangat merindukan kampung halamannya itu.

“Ya, memang berat jika harus berpisah dari orang tua, dan dalam waktu yang cukup lama,” timpal Tia, “tadi aku tak hentinya menangis di pelukan Ibu, Ayah dan Kakakku. Aku pasti akan merindukan mereka.”

“Ah...sudah dimulai!” seru Yuli yang kini tengah asyik menonton televisi.

“Apanya yang dimulai?” tanya Tia penasaran.

“Drama favoritku!”

“Hah...dia memang begitu, suka autis kalau sudah menonton drama favoritnya.”

“Aku juga suka drama korea,” sahut Tia, “Tapi, sayang sekali pengetahuan bahasa koreaku masih belum cukup memadai. Jadi, pasti sulit jika harus menonton tanpa terjemahannya.”

“Tidak apa-apa, kita bisa belajar perlahan, lagipula, perkuliahan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, jadi kau tak perlu khawatir. Literatur yang digunakan juga terdapat dalam dua bahasa, bahasa Inggris dan Korea,” ujar Mila menenangkan.

“Benar kata Kak Mila, aku dulu juga tak terlalu lancar berbahasa Korea saat pertama kali datang ke mari. Tapi seiring berjalannya waktu, kita akan semakin paham kok,” timpal Yuli sambil tetap tak mengalihkan tatapannya dari televisi.

“Aku dengar, di sini ada kursus bahasa Korea juga ya Kak?” tanya Syindi.

“Ya, benar. Kalian juga bisa kursus bahasa Korea, yang memang disediakan bagi mahasiswa non-Korea di sini,” sahut Mila.

Cukup lama mereka berempat saling berbincang dan berbagi tentang kehidupan di Korea. Hingga waktu menunjukkan pukul 10 malam.

“Ah...sudah jam 10 malam, sebaiknya kalian istirahat saja, selamat menikmati kehidupan di sini ” ucap Mila sambil beranjak dari sofa.

“Tapi, kita belum membereskan barang-barang kita Kak,” kata Syindi.

“Tidak apa-apa, besok saja membereskannya. Yang penting tempat tidur sudah bisa dipakai untuk istirahat. Bukankah besok masih ada waktu?”

“Benar tuh, kata Kak Mila,” timpal Tia setuju.

“Hah...kau memang pemalas!” gerutu Syindi.

“Bukannya aku pemalas, tapi aku memang sudah capek dan ingin segera istirahat. Kalau kau memang ingin membereskan barang-barangmu silahkan saja. Tapi aku tidak—”

“Sudah...sudah...kalian ini sebenarnya teman atau musuh sih? Dari tadi, kok ribut saja?” tanya Yuli heran.

“Musuh...!” seru Tia dan Syindi kompak, membuat kedua senior mereka hanya bisa melongo tak percaya.



Di kamarnya, Syindi tetap tak bisa tidur. Dan hanya bisa mengerjap-ngerjapkan matanya. Benar kata Kak Mila, tubuhku memang lelah dan butuh istirahat, tapi, mengapa aku tetap tak bisa tidur? pikirnya. Ingatannya kembali pada kejadian siang tadi. Ketika pertama kali bertemu Tia di Stasiun Seoul. Selama sehari ini mereka selalu saja bertengkar, mulai dari hal-hal kecil yang tak penting pun mereka pertengkarkan. Syindi kembali mengenang bagaimana perdebatan mereka saat memilih alat transportasi yang akan mereka gunakan untuk menuju ke rumah kontrakan di Yuseon ini. Dia lebih memilih menggunakan Bus karena dia pikir biayanya lebih murah, sedangkan Tia ngotot menggunakan taksi, karena menurutnya mereka belum paham jalan-jalan di sana, jadi lebih baik menggunakan taksi dan langsung menuju ke alamat yang dituju. Dia tak habis pikir, kenapa harus dipertemukan lagi dengan ‘musuh bebuyutan’nya dan harus tinggal satu atap dengannya? Semoga saja masalahnya tidak semakin rumit, harapnya. Sambil terus mencoba untuk tidur.

Kecemasan yang sama juga menimpa Tia, karena dia merasa tak nyaman jika setiap hari harus bertengkar dengan Syindi. Buktinya, dalam sehari saja, sudah beberapa kali mereka bertengkar, lalu bagaimana jika harus bersama selama 4 tahun? desahnya. Tapi, dia berusaha menghilangkan pikirannya tentang itu dan mencoba mengenang kembali saat-saat di Bandara tadi.

“Kau hati-hatilah Nak, makan teratur, jaga kesehatan dan jangan terlalu capek!” nasihat Ibunya, yang membuat Tia tak sanggup menahan deraian air mata haru. Ini pertama kalinya dia harus terpisah jauh dari orang tuanya, hal itu pasti membuatnya sedih dan takut. Tapi melihat kebanggaan di mata ayahnya, yang mengetahui bahwa putrinya menerima beasiswa di KAIST, dia mencoba menenangkan dirinya dan kenyataan bahwa Korea adalah salah satu tempat impiannya, semakin membakar semangat juangnya. Tia pun tersenyum mengenangnya.


-Kampus KAIST, Daejeon-

“Nah, ini dia kampus kita!” ucap Mila memperkenalkan kampus kebanggaannya kepada kedua mahasiswi baru tersebut. “Bagaimana, megah bukan?”

“Waaa...megah sekali!” seru Tia senang.

Walaupun acara perkuliahan masih akan dimulai dua hari lagi, tapi Mila sengaja membawa kedua juniornya itu untuk mengunjungi kampus, agar mereka bisa mempelajari seluk-beluk kampus barunya saat ini. Lagi pula dia sedang tak ada kegiatan hari ini.

“Terima kasih Kak Mila, kau baik sekali mau mengantar kami berkeliling,” kata Syindi merasa tak enak hati.

“Tidak apa-apa, lagi pula aku sedang free hari ini. Kalau melihat gadis seusia kalian, aku jadi ingat adikku Dian, di rumah.”

“Oh...kau punya adik yang sebaya dengan kami?” tanya Tia.

“Yah, tapi sayang...orang tuaku tidak mengijinkannya kuliah di sini juga.”

“Lho kenapa?”

“Mungkin, karena di rumah sudah sepi karena aku di sini. Dan kami hanya dua bersaudara, jadi Dian tidak diijinkan untuk pergi jauh-jauh,” jelasnya.

“Oh...begitu rupanya. Sayang sekali ya!”

“Yah...tapi tidak apa-apa, katanya liburan Bulan depan. Dia mau berkunjung kemari.”

“Benarkah? Wah...pasti menyenangkan sekali jika kita bisa berlibur bersama, aku juga ingin sekali berkeliling ke tempat-tempat indah di kota ini,” seru Tia senang.

“Sebaiknya, kau pikirkan kuliahmu dulu! Belum-belum sudah mau jalan-jalan saja,” tegur Syindi.

“Biarkan saja, itu urusanku!” balas Tia sewot, Mila yang memperhatikan mereka hanya bisa menggeleng-geleng heran dengan tingkah keduanya.

“Sudahlah, kalian ini kan sama-sama perantau, jadi sebaiknya hentikan permusuhan kalian itu!” nasihatnya.

Tiba-tiba BUKK!!!...sebuah bola basket menghantam bahu kiri Tia dengan keras. Kontan dia langsung merintih kesakitan.

“Astaga, kau tidak apa-apa?” tanya Mila khawatir. Syindi yang melihat kejadian itu, justru terkikik geli. Terang saja Tia semakin geram padanya, dan melontarkan tatapan tajam, seolah-olah ingin membunuh gadis itu. Tapi tatapan tajam Tia, justru semakin membuat Syindi geli dan tertawa terbahak-bahak.

“Sa—“ belum sempat dia melontarkan kata-katanya, tiba-tiba seorang pria tampan memakai baju olah raga berwarna merah tanpa lengan hingga memperlihatkan otot-otot lengannya yang kekar telah berada di depannya dan memandangnya khawatir. Pria itu lalu berjongkok di dekatnya.

“Maaf, aku tidak sengaja. Bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja? Apa perlu aku membawamu ke bagian kesehatan?”

“Ah, tidak. Aku tidak apa-apa,” sahut Tia gugup, dia tak hentinya memandang pria tampan di depannya itu. Pria ini benar-benar seksi dengan titik-titik keringat membasahi wajahnya, pikirnya.

“Syukurlah, maaf. Sekali lagi aku minta maaf,” kata pria itu penuh penyesalan.

“eh...kau tidak perlu meminta maaf begitu, aku baik-baik saja kok,” ujar Tia malu-malu. jantungnya kini berdegup sangat kencang, hingga dia berpikir mungkinkah lelaki itu dapat mendengarnya?

Syindi mendengus, “Hah...coba yang melakukannya seorang pria jelek, dia pasti akan sangat marah!” gerutu Syindi pelan, hingga membuat Tia kembali melayangkan tatapan kesal ke arahnya.

“Yah...kalau begitu aku pergi dulu. Eh, sepertinya aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya. Kau mahasiswi baru ya?”

“I-iya,” sahut Tia terbata.

“Pantas saja, ehm...ngomong-ngomong, siapa namamu cantik?”

“Ah...eh...” pujian pria itu semakin membuat Tia gugup dan membuatnya kehilangan kata-kata, selain karena dia juga belum terlalu banyak memiliki kosakata bahasa korea, ketampanan pria itu semakin membuatnya melupakan kata-kata yang telah dihafalkannya sebelumnya “Aku...namaku...Tia.”

“Kau dari Indonesia juga ya?” tanyanya seraya melirik Mila yang berada di dekatnya, Tia tau yang dimaksudnya dengan 'juga' adalah dirinya dan Mila.

“Eh...iya.”

“Oke,” pria itu beranjak berdiri, “kalau begitu, aku mau melanjutkan permainanku dulu. Sampai jumpa Tia,” ujarnya dengan senyum yang menawan, membuat jantung Tia semakin berdebar kencang, dan seakan-akan dapat melompat keluar saat itu juga. Lalu pria itu meliat ke arah Mila dan berkata “Mila, aku pergi dulu,” dan hanya dibalas dengan anggukan oleh Mila. Belum jauh pria itu melangkah, Tia memanggilnya lagi, karena dia baru ingat bahwa dirinya belum menanyakan nama pria itu.

“Eh, Kak...aku belum tau namamu!” serunya. Pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Tia.

“Aku...Ho-young, Son Ho-young!”

“Senang bertemu dengamu Kak Ho-young,” serunya seraya menyunggingkan senyum terbaiknya. Tia tak henti menatap punggung pria itu, sampai menjauh.

“Cih!” maki Syindi membuat Tia mengalihkan tatapannya ke arahnya.

Tia tersenyum mengejek, “Kenapa? Kau iri, karena aku dipuji cantik oleh pria tadi?”

“Apa? Aku iri padamu? Yang benar saja!”

“Lalu—“

“Sudahlah, bisakah kalian berdamai dulu sebentar?” sahut Mila mencoba menengahi. “Bahumu benar-benar tidak apa-apa kan Tia? Harusnya tadi kau menerima tawarannya untuk dibawa ke bagian kesehatan.”

“Eh, tidak Kak, aku baik-baik saja,” sahut Tia sambil memegang bahu kirinya yang tadi terkena bola.

“Benarkah? Tapi, tadi kulihat bolanya keras sekali menimpa bahumu.”

“Tidak, aku sudah baik-baik saja sekarang,” seru Tia senang, lalu melirik Ho-young yang kini tengah asyik bermain di lapangan basket. Baginya, rasa sakitnya tadi telah tergantikan dengan rasa senangnya karena telah bertemu pria nan tampan dan seksi tadi. Kak Ho-young...batinnya masih terpesona dengan ketampanannya. “Sepertinya kau mengenal pria tadi kak?”

“Ya, tentu saja aku kenal, dia salah satu teman Min-woo di klub basket.”

“Hah...dasar gadis gila! Sudahlah Kak Mila, kita pergi saja dari sini, bukankah dia bilang tidak apa-apa,” gerutu Syindi lagi. Lalu berbalik pergi, tapi saat dia berbalik matanya bertemu dengan seorang pria yang tidak asing lagi baginya. “Kau?!” serunya, yang kini membuat Tia terkikik geli.



~ To Be Continued........


By Yuli YooheeLee ~Admin Lee~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar