Kamis, 03 Februari 2011

LETTER TO HEAVEN - Chap 2 - (By Patricia Jessica)

Chapter 2


─Kim So Eun, Seoul, 2009─

“Benar nih, sudah merasa lebih baik?” tanyaku cemas saat Kak Han Geng berjalan bersamaku melangkah di atas trotoar yang mulai dipenuhi timbunan salju. Wajahnya terlihat sama pucatnya dengan kemarin.

“Ya, sudah lebih segar sekarang,” ia mengangkat tangannya dan memamerkan ototnya. ”Dan aku sudah kangen sama lapangan itu...”

Pelan, kusupkan tanganku ke lengannya. ”Aku tidak mau Kakak berlari dulu sementara ini. Aku tidak mau melihatmu jatuh...”

Rasanya setiap kali kututup mataku, semua kejadian itu masih bisa kugambarkan dengan tepat. Seperti gerakan lambat yang seakan hendak menghujam jantungku.

”Aku takut sekali kemarin...” ucapku tanpa pikir panjang.

Kak Han Geng menepuk pipiku dan tersenyum. ”Aku akan berhati-hati...” ia beruaha menenangkanku. ”Kemarin sangat memalukan ya?” ia mendesah dan menghembuskan nafas keras-keras.

Pipiku merona merah mengingat tatapan matanya yang lurus dan tajam.

”So Eun?” Kak Han Geng memiringkan wajahnya dan menatapku. ”Kau melamun kenapa? Pipimu merah sekali...”

Dengan terbata-bata, aku menjawabnya. ”Aku, sangat menyukai mata Kak Han Geng saat berlari. Rasanya jadi berdebar-debar...”


”Oh ya?” senyuman malu muncul di wajahnya. “Aku, selalu serius terhadap banyak hal. Salah satunya lari. Dan terutama, perasaanku padamu...” kali ini ia menatapku langsung di mataku.

Matanya tajam menatapku, seolah hendak menembusku. Dengan gugup, kubalas tatapan mata itu. Wajah kami semakin dekat, dan nafasnya terasa hangat namun segar menyapu hidungku.

Pelan, ia menciumku. Bibirnya terasa dingin bagai salju, namun perasaanku nyaris meleleh dalam ciumannya yang memabukkanku. Lebih dari sejam yang lalu, semenit yang lalu, setiap detiknya aku semakin menyukainya.

Seandainya bisa bersama Kak Han Geng selamanya, aku tidak akan pernah meminta lebih.


─Han Geng, Seoul, 2009─

BRUKH!!

”Ya ampun, Han Geng!!” Mama berseru kaget ketika melihatku terjatuh beberapa anak tangga.

”Kau kenapa, Kak?” Kim Bum menghampiriku kaget. Matanya memandangku dengan awas.

”Tidak apa-apa, mataku sedikit kabur tadi... Mungkin karena baru bangun tidur siang, jadinya masih agak linglung...”

”Akhir-akhir ini kau agak kurang sehat, Han Geng...” Mama menatapku cemas. ”Tempo hari kau jatuh di lapangan. Dan kemarin seharian kau sakit kepala...”

”Mungkin aku sedang tidak fit saja, Ma... Atau mungkin gejala flu...” sahutku sambil tersenyum.

”Kau memang agak aneh akhir-akhir ini, Kak...” Kim Bum memandangku lalu mendukung pendapat Mama. ”Mungkin sebaiknya dia periksa ke dokter, Ma...”

”Benar, bagaimana kalau ke dokter saja, Han Geng?”

”Sudahlah, Ma... Aku benar tidak apa-apa, kok...” tukasku lalu bangkit sambil berjalan ke ruang duduk dan menghidupkan televisi. ”Kapan-kapan saja ke dokternya,” ujarku malas.

Akhir-akhir ini aku hanya sedang tidak enak badan saja, pikirku sambil memusatkan perhatianku ke televisi. Setiap kali mendengar kata dokter disebut, ada perasaan tidak nyaman singgah di dadaku.

Kuharap, itu bukan suatu firasat buruk. Aku tahu kondisi badanku sendiri. Dan kurasa, ini semua hanya penyakit ringan saja. Nanti juga akan sembuh dengan sendirinya. Iya kan?


─Kim Bum, Seoul, 2009─

Kamis sore, So Eun duduk di kursi yang biasa, menunggu kedatangan kakakku. Ia mengangkat wajahnya dan tersenyum saat melihatku datang menghampirinya.

”Hai,” sapanya sambil tersenyum tulus.

Kurasa akhir-akhir ini status pacaran mereka nyaris dalam tahap yang menyenangkan. Kalau melihat wajahnya seceria ini, selalu saja dugaan itu yang muncul di otakku.

”Kau sadar tidak, Kakakku itu akhir-akhir ini jadi agak aneh?” tanyaku pada So Eun, melontarkan kecemasan utamaku akhir-akhir ini.

”Aneh bagaimana?” So Eun memandangku dengan bingung.

”Minggu ini sudah dua kali dia jatuh di tangga rumah kami. Alasannya karena matanya agak kabur lantaran baru bangun tidur siang. Dan kepalanya juga sering sakit... Kau tahu kenapa?”

So Eun terpekur mendengarkan, lalu menggeleng bingung. ”Kemarin juga, saat pulang bersama, kami sempat berhenti dan duduk sebentar di pinggir taman, karena kata Kak Han Geng, kepalanya agak pusing...”

”Nah, dan dia jadi sangat keras kepala. Dia benar-benar menolak ke dokter. Padahal biasanya dia tidak sebandel itu...”
So Eun tersenyum kecil mendengar caraku menyebut Kakakku bandel. ”Kalau begitu, kurasa memang agak aneh. Jadi, kapan kalian akan ke dokter?”

”Itulah, mana bisa kalau dia sendiri tidak mau?”

”Ah, itu dia!” So Eun serta merta bangkit berdiri melihat sosok Kak Han Geng berjalan ke arah kami sambil berlari-lari kecil.
”Maaf ya, aku lupa kalau hari ini hari Kamis, dan kemarin aku sudah janji dengan pelatihku untuk latihan lebih lama...”
Sorot kekecewaan di wajah So Eun dengan cepat tertangkap mataku. Kakakku tidak biasanya pelupa seperti ini. Ia sangat rapi dan disiplin dalam membuat janji. Semua ini jadi semakin aneh saja, pikirku.

”Tidak apa-apa,” So Eun tersenyum sabar. ”Biar kutunggu saja... Lagipula, aku sedang tidak ada kerjaan...”

”Tidak, kau jangan menunggu di sini. Udaranya kan dingin sekali, So Eun...” Kakakku menepuk kepalanya dan tersenyum. ”Kalian berdua pulang duluan saja, oke? Jangan khawatirkan aku...” ia berbalik dan segera berlari pergi meninggalkan kami berdua.

Nah, ini lebih aneh lagi, pikirku. Kapan sih, kakakku pernah menolak pulang bareng dengan So Eun. Memang sih, cukup rasional untuk tidak membiarkan So Eun menunggu di udara sedingin ini. Tapi... Ah, sudahlah! Apa aku terlalu banyak berpikir?

So Eun segera menatapku ketika Kak Han Geng telah jauh meninggalkan kami. Ia memutar bola matanya dan tersenyum menyetujui, ”Kau benar, dia memang jadi aneh sekarang...”


─Kim So Eun, Seoul, 2009─

“Kak, aku di sini!!” seruku sambil melambai-lambaikan tangan. Cowok itu kelihatan kesulitan mencariku. Ia celingukan ke kanan dan ke kiri, kemudian akhirnya berjalan ke arahku dengan mata dipicingkan sedikit.

“Mungkin aku perlu pakai kacamata,” ujarnya sambil menertawakan dirinya sendiri.

Aku memandangnya dengan cemas. “Nanti kita beli kacamata, ya? Tapi, Kakak perlu ke dokter dulu...” dengan khawatir kupandang wajahnya yang tampan. “Nah, ayo kita makan es krim!!” seruku sambil bergelayut di lengannya.

Ia tertawa dan berjalan bersamaku. Hari ini bisa dibilang kencan pertama kami, dan aku sama sekali nggak mau merusaknya dengan bersikap terlalu menuntutnya untuk memeriksakan diri ke dokter.

Setelah membeli dua ice cream cone, kami mengambil tempat dan duduk di sebuah kursi taman yang tidak jauh letaknya dari tukang es krim itu.

”Oh ya, aku ada hadiah untuk Kakak!!” wajahnya tampak gembira ketika menerima bungkusan dariku di tangannya. ”Eit, jangan dibuka! Coba tebak apa isinya!”

Kak Han Geng menatapku lalu tersenyum jahil. ”Ada kata kuncinya, nggak?”

”Ada. Aroma yang nggak terlupakan...” sahutku senang.

Aku mengetahui dari Kim Bum kalau Kak Han Geng sangat menyukai cokelat cake yang ada aroma rhum­-nya. Karena itu, semalaman kubuat. Hasilnya bagus dan aromanya sangat enak. Bahkan aku sendiri nggak menduga kalau aku bisa membuat hasil sebagus itu.

”Maaf, aku, kok,” ia menampakkan wajah bingung saat mengendus bungkusan itu. ”Aku tidak bisa menebaknya,” ujarnya sambil tertawa heran.

”Coba pinjam, Kak...” saat kudekatkan hidungku, otomatis aroma kental rhum terasa memenuhi udara. ”Kak, sedang flu ya?” godaku sambil tersenyum. ”Aromanya kan kental banget...”

”Biar kubuka ya,” Kak Han Geng menatapku lalu membuka kadonya dan berseru senang. ”Wah, iya, ini kue kesukaanku...” ia memakannya dengan wajah gembira. ”Aneh ya, masa aroma sekental ini aku kesulitan menciumnya?”
Pelan-pelan, dadaku bergemuruh melihat wajah gembiranya yang tampak begitu polos. Satu demi satu kejadian aneh berputar di kepalaku bagai memori pendek. Ia jadi sering jatuh, penglihatannya kadang terganggu, dan kini... penciumannya.

”Kak,” Kak Han Geng menghentikan kegiatannya mengunyah saat tanganku yang gemetar menyentuh lengannya.
”Ada apa, So Eun?”

”Ternyata... Kim Bum benar... Kakak jadi aneh...”

”Aku? Aneh? Apanya?” ia mengangkat daguku, memaksaku menatap matanya. ”Kau kenapa menangis, So Eun?”

”A-aku takut... Kakak sepertinya sakit. Kita periksa ke dokter ya?”

”So Eun, ya ampun, aku tidak apa-apa...” ia mencoba melepaskan tangannya dariku, dan menenangkanku.
Aku tidak bisa melepaskan tangannya. Sambil tetap menggeleng keras, aku menggigit bibir untuk tidak menangis. ”Aku takut terjadi sesuatu...Aku tahu, pasti ada yang salah...”

Kak Han Geng menatapku dengan bingung, lalu menyurukkan kepalaku di dadanya. Samar-samar bisa kudengar jantungnya yang berdegup cepat. ”Baiklah, aku akan ke dokter. Jangan menangis lagi...”


─Han Geng, Seoul, 2009─

”Jadi, bagaimana hasilnya, dokter?” ranyaku sambil berusaha tampak tenang.

Dokter itu mengamatiku dari balik kacamatanya. ”Kurasa masih terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan, Nak. Mungkin kau seharusnya mengadakan check up keseluruhan dan CT scan...”

”Tapi, penyakit saya tidak seserius itu, kan, dokter?”

Dokter itu tidak menjawab apapun. Di sampingku, Mama menatapku cemas. Pelan, bisa kurasakan tangan dinginnya meremas tanganku perlahan.


”Bagaimana hasilnya?”

Di rumah, ada dua orang yang rupanya menunggu kepulanganku. So Eun dan Kim Bum. Mereka berdua menatapku dengan ekspresi cemas.

”Aku harus melakukan pemeriksaan menyeluruh dulu, dokternya aneh,” tukasku sambil tersenyum. Wajah Kim Bum mengerut bingung, sementara So Eun menampakkan kecemasan.

”Kurasa itu artinya tidak apa-apa...” ujarku lagi.

Setelah mendengarnya, So Eun lantas tersenyum lega. ”Ya, kurasa tidak apa-apa...” suaranya seolah ditujukan pada dirinya sendiri.

”Semoga kau tidak apa-apa, Kak...” Kim Bum menatapku sekilas dan tersenyum. Tidak biasanya ia begini cemasnya padaku.


Keesokan harinya, serangkaian test dilakukan di rumah sakit yang lebih besar. Kepalaku berdenyut sakit di tempatnya. Kadang kala seperti ini, menyakitkan sampai membuat perasaanku mual.

Seusai test dilakukan, kuhampiri Mamaku yang menunggu di kursi ruang tunggu. ”Tidak ada masalah, tinggal tunggu hasilnya keluar saja dalam beberapa hari ini,” ujarku menjelaskan.

Mama mengangguk paham, lalu menggandengku pulang. Sekilas, kulihat raut wajah mama pucat dan sedih. Dan sudut matanya sembab. Kenapa? ”Mama sakit ya? Mama kelihatannya habis menangis...”

”Tidak apa-apa, Han Geng... Tadi Mama hanya ngobrol banyak dengan dokter. Dan ia meminta Mama sabar menunggu hasil test-nya saja...” jawab Mama sambil kembali terdiam dan memandangi kaca jendela.

Firasat buruk kembali menerpa dadaku. Apa yang dibicarakan dokter? Kenapa Mama begini sedih? Apakah penyakitku gawat? Jantungku mulai berdetak gugup di tempatnya. Seandainya So Eun ada di sampingku, perasaanku tidak akan sekalut ini. Cukup dengan melihat senyumannya, itu saja.


─Kim Bum, Seoul, 2009─

Malam hari, terdorong oleh rasa haus, kakiku menuruni tangga dan berjalan menuju dapur. Lampu ruang makan masih menyala. Kulihat Mama berdiri di depan kamar Han Geng dengan penampilan kusut. Sepulang dari rumah sakit hari ini, Mama memang jadi agak pendiam.

”Ma? Kenapa belum tidur?” tanyaku sambil menyentuh bahunya.

Mama menatapku kaget, sudut bibirnya bergetar. Ia tersenyum, lalu menggeleng. ”Tidak bisa tidur... Kau sendiri?”

”Aku haus,” jawabku sambil tersenyum singkat dan menuntun Mama untuk duduk di kursi ruang makan. Sementara aku minum, kulihat Mama membenamkan wajahnya ke telapak tangannya.

”Pusing, Ma?” tanyaku sambil mengambil posisi duduk di hadapannya.

Mama menyentuh tanganku dan meremasnya. Tangannya terasa dingin dan gemetar di kulitku. Sudut bibirnya berkedut. Ia terliht berusaha keras tersenyum, tetapi kemudian gagal. Air mata berjatuhan di pipinya.

”Apa yang harus, Mama lakukan...?” suaranya pecah oleh tangisan. Mama menutup wajahnya dengan tangan dan menangis terisak-isak.

”Ma? Ada apa? Kenapa?!” tidak mungkin kejadian itu tidak mengejutkanku. Mama tidak pernah menangis seperti ini sebelumnya. Bahkan ketika Papa memutuskan untuk bekerja di luar negeri, Mama tidak menangis.

”Kakakmu... Kakakmu...” Mama menutup wajahnya dengan tangan. Bahunya bergerak naik turun. ”Dokter mengatakan, Kakakmu sakit...”

”Kenapa Kakak, Ma?” jantungku berdebar naik turun dengan gelisah. ”Dia sakit apa?” bahkan pertanyaan terakhir itu terlalu menyakitkan saat keluar dari tenggorokanku.

”Dia kanker otak, Kim Bum...”

Lututku nyaris kehilangan tenaga di tempatnya. Tanganku menekan pinggiran meja dengan kuat. Kak Han Geng kanker otak? Tidak mungkin.... tidak mungkin!!! Apa yang harus kukatakan padanya? Apa yang harus kukatakan pada So Eun?!


To Be Continued......



Tidak ada komentar:

Posting Komentar