Disclaimer: Kisah ini hanya sekedar fanfics (Fiktif) belaka, nama tokoh, kisah, tanggal dan tempat kejadian yang terdapat di sini hanyalah berdasarkan rekaan penulis belaka.
Chapter 3
-Yuseong-gu, Daejeon-
“Aaah...hari ini bener-bener melelahkan!” keluh Tia, sambil menepuk-nepuk pundaknya yang pegal.
“Dasar pengeluh!” maki Syindi yang saat ini berjalan di depannya.
“Apa kau bilang?”
“Kau...pengeluh..” olok Syindi lambat-lambat.
“Kurang ajar, kamu tuh gak bisa ya, kalo sehari aja gak nyari masalah ama aku?” balas Tia geram.
“Emang kenyataan kok!”
“Kau?!” Tia tak melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba dia melihat Syindi diam sekaku patung di pintu rumah. Karena penasaran, dia menggeser tubuh Syindi untuk menyaksikan apa yang terjadi, hingga membuat Syindi syok begitu.
“Kak Hyuk-jae?!” panggil Tia, yang disapa pun menoleh ke arah pintu dan buru-buru meletakkan ponselnya di sofa. Ternyata karena terlalu asyik bermain game di ponselnya, Hyuk-jae tak memperhatikan kedatangan Syindi dan Tia. Hyuk-jae langsung menyeringai senang saat mengetahui kedatangan mereka.
“Hai, Tia, Syindi!” sapanya dengan gaya bak superstar yang sedang menyapa penggemarnya.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Syindi tajam.
Hyuk-jae berdecak, “Emangnya aku gak boleh ke sini ya?”
“Pulang aja sana! Aku gak mau ketemu kamu!” bentak Syindi.
“Ha? Pulang? Kamu ge’er banget deh...sapa juga yang bilang kalo aku ke sini buat ketemu kamu,” Hyuk-jae tertawa.
“Trus? Ngapain kalo bukan ketemu aku?”
Hyuk-jae masih tidak dapat menghentikan tawanya, “Emangnya yang tinggal di sini cuma kamu aja,” oloknya, “Aku kesini mau ngerjain tugas bareng Yuli,” lanjutnya seraya merangkul pundak Yuli yang tengah asyik mengerjakan tugasnya di meja, dan berpura-pura tak menghiraukan pertengkaran mereka. Tia yang sejak tadi mendengarkan kini mulai terkikik geli. Muka Syindi memerah karena malu, dia benar-benar kalah telak sekarang. Dia tak menyangka kalau itu bisa saja terjadi. Bodoh!, makinya dalam hati. “Kenapa? Kamu malu ya?” ledek Hyuk-jae disertai tawa terpingkal-pingkal. “Lihat tuh, mukamu semerah tomat!”
“Kau?!” geram Syindi.
“Suruh aja dia pergi Syin, dia sama sekali gak membantu di sini!” timpal Yuli yang sejak tadi hanya diam, kini mulai bersuara.
“Ah, Yul. Kamu jangan gitu dong...kita kan teman, iya deh, sini aku bantu!” rayu Hyuk-jae seraya menarik buku yang ada di tangan Yuli.
“Gak usah, pulang aja sana! Tapi jangan salahin aku kalo nama kalian gak tercantum di sampul.” ancamnya.
“Dong-hae!” panggil Hyuk-jae, “Cepat ke sini, Yuli benar-benar marah, ayo kita kerjakan tugasnya!” Dong-hae yang sejak tadi asyik mengobrol dengan Mila di meja makan, langsung lari mendekat ke arah mereka.
“Syukurin!” Syindi tersenyum puas, “makanya jangan main-main terus jadi orang.”
“Hmm...jadi sekarang si pemarah udah bisa ngeledek rupanya,” balas Hyuk-jae.
“Kamu gak denger tuh apa kata Kak Yuli tadi, pergi aja sana! Kamu gak dibutuhin di sini!” tantang Syindi sewot.
“Hah...kamu ini, sama sekali gak berubah ya. Masih aja suka marah-marah...inget Syin, kamu tuh udah jadi mahasiswa. Masak seorang mahasiswa kerjaannya marah-marah mulu,” ledek Hyuk-jae yang membuatnya dihadiahi pelototan membunuh oleh Syindi.
“Astaga, ternyata aku memang sedang tersesat di planet lain,” sindir Dong-hae yang sejak tadi terlihat bingung dengan yang dibicarakan orang-orang di sekitarnya.
“Kak, Hyuk-jae itu temenmu ya?” tanya Syindi, menanyakan hal yang tidak perlu. Karena sudah jelas sekali mereka berteman. Yuli yang sejak tadi sedang asyik menonton drama kesayangannya hanya berdeham mengiyakan. Syindi menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dan mulai sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia kesal karena dihadapkan oleh kenyataan semacam ini. Tapi ada setitik rasa senang, karena dia kembali dapat merasakan kejahilan-kejahilan Hyuk-jae padanya. Memang aneh, karena seharusnya dia merasa kesal, tapi entah mengapa itu membuatnya senang. Aku memang sudah gila, batinnya.
“Duh...yang lagi seneng, abis ketemu seseorang!” olok Tia yang baru keluar dari kamar mandi, karena letak kamar mandi yang langsung mengarah ke ruang tivi.
“Cih...gak usah ikut campur urusan orang deh!” balas Syindi.
Tia tertawa girang, “Kalo emang gak suka, gak usah sewot gitu deh!”
Syindi mendengus kesal, “Udah deh, kamu mau cari masalah ya?” Tia semakin terkikik geli, dan segera menutup pintu kamarnya, saat bantalan sofa melayang ke arahnya.
-Pelataran kampus Manajemen bisnis, KAIST-
“Hei, kamu mau kemana? Bukannya ruang kelasnya di sebelah sana ya?” tanya Tia, saat Syindi berbelok ke arah kiri bukannya ke kanan.
“Iya, kamu pikir aku bodoh!”
“Yee...gitu aja sewot, aku kan cuma ngingetin, sapa tau aja kamu lupa.”
“Udah sana, kamu pergi aja.”
“Lho? Emang kamu mau kemana?”
“ke Toilet, mau ikut?”
“Ih...kagak deh,” sahut Tia lalu bergegas pergi ke kelas. Hari ini, hari pertama mereka kuliah. Karena terburu-buru Syindi sampai tidak memperhatikan label yang tertera di pintu toilet. Dan dia menjerit kaget saat melihat seorang pria berada di sana, untunglah pria itu sedang tidak dalam posisi yang ‘aneh’.
“Sedang apa kamu di sini? Ini kan toilet pria?” tanya pria itu, wajah Syindi seketika itu juga memerah dan terasa panas karena malu. Di hari pertamanya saja, dia sudah mendapat masalah seperti ini.
“Maaf!” ujarnya setengah membungkukkan badannya. Dia hendak berbalik pergi saat tiba-tiba pria itu menariknya masuk ke bilik toilet. Syindi terkesiap, dan berusaha melepaskan diri dari cengkraman pria itu.
“Apa yang kau—“ pria itu membekap mulut Syindi dengan tangannya, membuatnya semakin meronta dan mencoba melepaskan diri.
“Sssshh....nanti mereka mendengarmu,” bisik pria itu pelan di telinga Syindi. Dan memang benar, ternyata sedang ada dua orang pria lain yang masuk ke toilet tersebut. Dipikirnya pria itu hendak berbuat sesuatu yang tidak-tidak padanya, ternyata pria itu hanya mencoba menolongnya.
“Kau mendengar sesuatu?” tanya pria itu pada temannya, karena merasa mendengar suara wanita.
“Iya, sepertinya suara itu berasal dari sini,” ujar temannya menunjuk salah satu bilik di toilet tersebut. Kontan saja jantung Syindi berdetak semakin cepat, jangan sampai mereka menemukanku, batinnya. Pria di luar mulai menggedor pintu bilik. “Siapa di dalam?” serunya.
“Ehm...” pria yang membekapnya berdeham, lalu menarik tuas penyiram di toilet. Dan untungnya, kedua pria di luar tadi berhenti bertanya dan melanjutkan kegiatan mereka, membuat Syindi bisa bernafas lega sekarang. Cukup lama kedua pria tadi mengobrol dan bercanda di dalam toilet. Hingga membuat Syindi bergerak-gerak gelisah, bukan karena takut ketahuan oleh mereka. Tapi karena kedekatan antara dirinya dengan pria yang membekapnya tadi. Pria itu cukup tampan dengan tinggi 175 cm, mata sipit, hidung mancung dan lesung pipit yang semakin menambah ketampanannya. Ternyata benar kata Tia, pria Korea memang tampan-tampan, batin Syindi. Jantungnya berdetak semakin kencang, saat dia memikirkannya. Ya Tuhan...apa yang terjadi denganku? batinnya lagi. Desahan nafas pria itu, terasa hangat menyentuh kulitnya. Hingga membuat bulu kuduknya berdiri dan kulitnya menggelenyar.
“Mereka sudah pergi,” kata pria itu, saat kedua pria tadi sudah keluar dari toilet. Syindi sempat terpaku sejenak, karena masih shock dengan apa yang baru saja terjadi. “Kau tidak ingin keluar?” tanya pria itu lagi karena tak segera mendapat jawaban dari Syindi.
“Eh...maaf,” sahut Syindi kemudian,”terima kasih karena kau telah menolongku. Aku tidak tau lagi kalau sampai mereka—“ Syindi tersenyum kikuk.
“Sudahlah...sebaiknya kau segera keluar dari sini, sebelum ada orang lain yang datang,” sarannya yang dijawab dengan anggukan oleh Syindi. Syindi pun segera bergegas keluar dan berusaha menenangkan jantungnya. Untung saja, kalau sampai kedua pria itu tau, mau diletakkan dimana mukaku? batin Syindi. Dia pun segera menuju ke toilet wanita di sebelahnya, setelah melaksanakan hajatnya dia segera ke ruang kelas karena kuliah akan segera di mulai.
“Kemana aja sih, lama amat?” gerutu Tia, saat melihat Syindi yang baru saja datang.
“Bukan urusanmu!” bentak Syindi.
“Idiiih...gitu aja sewot.” Syindi tak membalas lagi ucapan Tia, karena dia sibuk memikirkan pria yang ditemuinya tadi di toilet. Pria itu benar-benar tampan, pikirnya. Syindi menggelengkan kepalanya, mencoba untuk mengusir bayangan pria itu dari benaknya.
Syindi terkesiap kaget, saat melihat pria yang ditemuinya tadi kini masuk ke ruang kelasnya. “Itu kan..” ujarnya tak percaya.
“Emangnya kamu kenal dia?” timpal Tia yang mendengar perkataan Syindi.
“Ah...enggak....enggak!” sahutnya tapi tak mengalihkan pandangannya pada Pria ‘Toilet’ itu. Apakah dia mahasiswa baru juga? pikirnya. Tapi perkiraannya salah, karena alih-alih duduk di bangku mahasiswa, pria itu duduk di kursi dosen. Melihat keheningan yang tercipta secara tiba-tiba, Syindi semakin yakin bahwa pria itu adalah dosen yang akan mengajarnya pagi ini. Oh Tuhan...apalagi yang akan terjadi? batinnya.
“Selamat pagi semuanya!” sapa Pria itu ramah. Dia sempat melirik Syindi sekilas yang duduk di deretan bangku paling belakang, membuat jantung Syindi semakin menderu kencang. Wajah Syindi memanas, dia benar-benar malu dengan kejadian tadi. “Selamat datang di KAIST!” lanjutnya. “Oke, kita mulai saja kuliah Pengantar Manajemen pagi ini.” Seorang mahasiswi mengacungkan tangannya. “Ya?”
“Kami belum mengenal Bapak, bagaimana kalau sebelum dimulai, Bapak memperkenalkan diri dulu,” ujar mahasiswi tersebut yang disambut gemuruh setuju dari seisi kelas.
Pria itu tersenyum, “Oke, kalau begitu, sebelum kita mulai. Saya akan memperkenalkan diri dulu.”ujarnya, lalu mulai menuliskan namanya di white board, “Nama saya, Park Jung-soo.”
-Rumah kontrakan, Yuseong-gu-
“Kamu kenapa Kak? Kok wajahnya ditekuk-tekuk gitu?” tanya Yuli khawatir saat melihat Mila yang baru saja pulang dari kampus dengan wajah murung. Mila merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah dan mendesah lelah. “Ada masalah ya?” Yuli menghampiri dan mengambil tempat duduk di sebelahnya.
“Mr. Lee belum ngasih ACC ijin penelitianku,” desahnya. “Dia bilang nilaiku kurang memuaskan dan belum bisa dapet ijinnya.”
“Lho? Iya kah? Setahuku nilai Kakak baik-baik aja.”
“Enggak juga Yul, Mr. Lee emang bener, nilaiku emang sempet turun akhir-akhir ini,” sesalnya, “sejak aku sibuk pacaran ama Minu,” tambahnya lirih. “Kalo semester ini IP-ku gak nyampe angka 3,0 bisa-bisa beasiswa-ku dicabut.”
Yuli menyentuh bahu Mila untuk menenangkan, “Sabar Kak, kalo menurutku, selama ini Kakak emang terlalu lembek ama Kak Min-woo.”
“Terlalu lembek gimana Yul?”
“Kakak tuh, terlalu mentingin urusan Kak Min-woo daripada kuliah. Tiap kali Kak Min-woo minta sesuatu, pasti diturutin, padahal Kakak juga lagi sibuk kuliah. Mending, mulai sekarang Kakak kudu teges ama Kak Min-woo deh,” saran Yuli.
“Tapi kan kamu tau sendiri Yul, Min-woo orangnya paling gak suka kalo permintaannya ditolak.”
“Iya, tapi ini kan penting juga buat masa depan Kakak, masak dia gak ngertiin sih. Kalo emang dia cinta ama Kakak, dia pasti bisa ngerti deh. Lagian ini kan buat masa depan Kakak juga.”
Mila tidak menjawab, dia hanya memikirkan perkataan Yuli barusan. Yuli benar, kalau memang mencintaiku, dia pasti akan mengerti, pikirnya. Tapi, Mila kembali terbayang percakapannya dengan Min-woo beberapa waktu yang lalu di lapangan basket. Bagaimana kekesalan Min-woo saat dirinya menolak untuk datang di acara pertandingannya, padahal dia tau bagaimana pentingnya pertemuannya dengan Mr. Lee itu. Mila semakin resah memikirkannya. Haruskah aku mengorbankan hubunganku dengan Min-woo? batinnya. Tapi dia juga tak rela jika harus begitu. Dia tau, bahwa dirinya sangat mencintai Min-woo. Tiba-tiba ponselnya bergetar dan nama Min-woo tertera di layarnya.
“Hallo Minu,” sapa Mila.
“Hai Sayang, dari nada suaramu, sepertinya kamu sedang tidak bersemangat? Kamu tidak suka ya, aku menelpon-mu?”
“Ah...tidak, aku justru senang,” sahut Mila berbohong karena dia memang sedang kalut saat ini. “Bagaimana pertandingannya? Maaf aku—“
“Tidak apa-apa,” suara Min-woo terdengar agak kesal saat mengucapkannya, “jangan membahas itu lagi, sekarang aku menelponmu bukan untuk membicarakan masalah ketidakhadiranmu.”
“Lalu?”
“Kami menang!” seru Min-woo bersemangat.
“Oh ya?” ujar Mila, pura-pura bersemangat mendengarnya, karena pikirannya masih dipenuhi kekalutan.
“Ya, makanya aku menelponmu.”
“Selamat ya! Aku ikut senang,” ucap Mila tulus.
“Hmmm...kamu bersiap-siaplah!”
“Untuk apa?”
“Malam ini akan ada pesta perayaan di rumah salah satu temanku, untuk merayakan kemenangan kami—“
“Minu,” selanya.
“Ya?”
“Aku besok ada Quis dari Mr. Choi, jadi—“
“Ayolah Mil, sebentar saja. Aku janji tidak akan lebih dari jam 10 malam.”
“Tapi—“ Mila melirik Yuli di sebelahnya yang memberikan pandangan ‘kau harus bisa tegas’ padanya.
“Kumohon...kau tadi sudah tak bisa datang, sekarang kau juga tak mau datang. Ternyata kau benar-benar sudah tak perduli lagi padaku,” ujar Min-woo kesal. Jika sudah begitu, Mila tak sanggup lagi untuk menolak, karena dia tak ingin kehilangan Min-woo yang sangat dicintainya.
Mila menyerah, “Baiklah, tapi kau harus—“
“Iya, iya Sayang...aku berjanji tidak akan terlalu malam,” seru Min-woo senang. “Cepatlah bersiap-siap, satu jam lagi aku akan menjemputmu,” ujarnya lalu menutup teleponnya. Mila mendesah...
“Tuh kan bener, Kakak terlalu lembek ama Kak Min-woo,” sindir Yuli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mila tak menjawab, dia menyandarkan kepalanya di sofa, memejamkan matanya sejenak dan mendesah lelah. Kamu sama sekali tidak mengerti Yul, mungkin karena kamu belum pernah merasakannya, batin Mila.
-Fakultas Manajemen bisnis, KAIST-
“Kamu tertarik ama Mr. Park ya?” goda Tia sepulang kuliah.
Syindi terkejut mendengarnya, kenapa dia bisa mengetahuinya? pikirnya. “Hah...yang benar aja, gak mungkin lah!” sergah Syindi.
“Halaah...ngaku aja deh, dari tadi ku perhatiin kamu cuma ngeliatin dia terus.”
“Enggak kok, kamu tuh nyebelin banget ya?” gerutu Syindi. Tia terkikik geli melihat wajah Syindi yang tiba-tiba berubah merah.
“Wajahmu merah tuh, ketahuan nih yee!” ledeknya.
“Ih...kamu—“
“Syin!” panggil seseorang di belakang, Syindi menoleh ke arah si pemanggil, ternyata Hyuk-jae yang memanggilnya dan tiba-tiba saja merangkulnya saat dia tiba di sisi Syindi. “Baru pulang kuliah ya?”
Syindi melepaskan rangkulan Hyuk-jae di pundaknya. “Ngapain kamu—“
“Aku capek denger kata-kata itu dari mulutmu,” sela Hyuk-jae, “dari saat kita ketemu di dekat ruang basket, di rumah kontrakanmu dan sekarang di sini, waktu ketemu aku, kamu selalu nanya, ‘Ngapain kamu di sini?’, emangnya gak boleh kalo aku di sini, ini kan tempat umum, bukan tempat pribadimu? lagian kamu gak punya kata-kata lain ya selain itu?”
“Tapi kan ini bukan kampusmu,” Syindi benar, karena Hyuk-jae memang mengambil jurusan Biologi. “Kamu sengaja ngejar aku ya?”
“Ih...kege’eran!” oloknya.
“Abisnya kamu sekarang di sini mau ngapain?”
“Kamu bukan pacarku, juga bukan Ibuku, jadi buat apa aku harus bilang ama kamu, mau ngapain aku ke sini?” ledeknya.
“Dasar kunyuk jelek!” maki Syindi membuat Hyuk-jae tertawa terbahak-bahak.
“Udahlah Syin, kamu jangan marah-marah mulu. Sekali-kali tuh senyum gitu. Kata nenekku, kalo marah-marah mulu, ntar cepet tua lho.”
“Aku gak kenal ama Nenekmu,” balas Syindi santai.
Hyukjae menarik lengan Syindi, “Ayo, aku kenalin dulu ke Nenekku.”
“Ih...udah deh,” Syindi melepaskan tangan Hyuk-jae dengan kasar,”pergi sana! Aku males liat wajahmu itu!” gerutu Syindi.
“Heh...harusnya kamu tuh seneng, bareng sama orang cakep kayak aku. Kamu gak liat tuh, cewek-cewek pada ngiri sama kamu gara-gara deket ama aku,” ucap Hyuk-jae bangga.
“Cih...yang bener aja, mereka tuh ngeliatin kita gara-gara kamu bertingkah kayak orang gila tau!” Hyuk-jae tertawa.
“Berarti, kamu juga gila donk!”
“Hyuk-jae!!” bentak Syindi marah.
Hyuk-jae masih terbahak,” Ah...Tia, aku sampe lupa menyapamu,” sapa Hyuk-jae.
Tia tersenyum, “gak papa Kak.”
“Tumben kalian akur, kemana-mana selalu bareng. Biasanya kan bertengkar mulu!” sindir Hyuk-jae.
Tia mendesah. “Abisnya mau gimana lagi Kak? Dia satu-satunya temenku di sini.”
Hyuk-jae menepuk bahu Tia, “Yah...bersabarlah mengahadapinya,” godanya sambil melirik ke arah Syindi.
Syindi mendengus, “Terus saja mengolok-olokku, tapi buktinya kamu kangen tuh ama aku. Sampe ngejar aku ke sini. Aku mau pulang! Udah pergi sana ke kampusmu sendiri, aku males ngomong sama kamu lagi.” seru Syindi lalu melanjutkan langkahnya.
“Yey...emang ini kampus punya ayahmu? Aku ke sini bukan nyariin kamu kok, ge’er deh..!”
Syindi berbalik, “Kalo bukan nyariin aku, trus nyari sapa? Nenekmu?”
Hyuk-jae kembali terbahak, “Kamu bahkan lebih galak dari Nenekku!” olokknya. Kali ini Tia mulai terkikik geli mendengarnya.
“Setuju Kak!” timpal Tia hingga membuat Syindi semakin kesal.
“KUNYUK JELEK!!!” Syindi berteriak.
“Hush...pelanin suaramu, kamu gak malu apa diliatin banyak orang gitu!” tegur Tia sementara Hyuk-jae masih terus saja tertawa dan memegang perutnya.
“Biarin aja Tia, dia udah biasa kok ditonton orang begitu, dulunya kan dia pernah jadi topeng monyet,” gumam Hyuk-jae sambil terus tertawa terbahak-bahak.
“Bu—“ belum sempat Syindi menyelesaikan perkataannya. Hyuk-jae berteriak.
“Si-won!!” serunya.
~To Be Continued........
By Yuli ~Admin Lee~
Chapter 3
-Yuseong-gu, Daejeon-
“Aaah...hari ini bener-bener melelahkan!” keluh Tia, sambil menepuk-nepuk pundaknya yang pegal.
“Dasar pengeluh!” maki Syindi yang saat ini berjalan di depannya.
“Apa kau bilang?”
“Kau...pengeluh..” olok Syindi lambat-lambat.
“Kurang ajar, kamu tuh gak bisa ya, kalo sehari aja gak nyari masalah ama aku?” balas Tia geram.
“Emang kenyataan kok!”
“Kau?!” Tia tak melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba dia melihat Syindi diam sekaku patung di pintu rumah. Karena penasaran, dia menggeser tubuh Syindi untuk menyaksikan apa yang terjadi, hingga membuat Syindi syok begitu.
“Kak Hyuk-jae?!” panggil Tia, yang disapa pun menoleh ke arah pintu dan buru-buru meletakkan ponselnya di sofa. Ternyata karena terlalu asyik bermain game di ponselnya, Hyuk-jae tak memperhatikan kedatangan Syindi dan Tia. Hyuk-jae langsung menyeringai senang saat mengetahui kedatangan mereka.
“Hai, Tia, Syindi!” sapanya dengan gaya bak superstar yang sedang menyapa penggemarnya.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Syindi tajam.
Hyuk-jae berdecak, “Emangnya aku gak boleh ke sini ya?”
“Pulang aja sana! Aku gak mau ketemu kamu!” bentak Syindi.
“Ha? Pulang? Kamu ge’er banget deh...sapa juga yang bilang kalo aku ke sini buat ketemu kamu,” Hyuk-jae tertawa.
“Trus? Ngapain kalo bukan ketemu aku?”
Hyuk-jae masih tidak dapat menghentikan tawanya, “Emangnya yang tinggal di sini cuma kamu aja,” oloknya, “Aku kesini mau ngerjain tugas bareng Yuli,” lanjutnya seraya merangkul pundak Yuli yang tengah asyik mengerjakan tugasnya di meja, dan berpura-pura tak menghiraukan pertengkaran mereka. Tia yang sejak tadi mendengarkan kini mulai terkikik geli. Muka Syindi memerah karena malu, dia benar-benar kalah telak sekarang. Dia tak menyangka kalau itu bisa saja terjadi. Bodoh!, makinya dalam hati. “Kenapa? Kamu malu ya?” ledek Hyuk-jae disertai tawa terpingkal-pingkal. “Lihat tuh, mukamu semerah tomat!”
“Kau?!” geram Syindi.
“Suruh aja dia pergi Syin, dia sama sekali gak membantu di sini!” timpal Yuli yang sejak tadi hanya diam, kini mulai bersuara.
“Ah, Yul. Kamu jangan gitu dong...kita kan teman, iya deh, sini aku bantu!” rayu Hyuk-jae seraya menarik buku yang ada di tangan Yuli.
“Gak usah, pulang aja sana! Tapi jangan salahin aku kalo nama kalian gak tercantum di sampul.” ancamnya.
“Dong-hae!” panggil Hyuk-jae, “Cepat ke sini, Yuli benar-benar marah, ayo kita kerjakan tugasnya!” Dong-hae yang sejak tadi asyik mengobrol dengan Mila di meja makan, langsung lari mendekat ke arah mereka.
“Syukurin!” Syindi tersenyum puas, “makanya jangan main-main terus jadi orang.”
“Hmm...jadi sekarang si pemarah udah bisa ngeledek rupanya,” balas Hyuk-jae.
“Kamu gak denger tuh apa kata Kak Yuli tadi, pergi aja sana! Kamu gak dibutuhin di sini!” tantang Syindi sewot.
“Hah...kamu ini, sama sekali gak berubah ya. Masih aja suka marah-marah...inget Syin, kamu tuh udah jadi mahasiswa. Masak seorang mahasiswa kerjaannya marah-marah mulu,” ledek Hyuk-jae yang membuatnya dihadiahi pelototan membunuh oleh Syindi.
“Astaga, ternyata aku memang sedang tersesat di planet lain,” sindir Dong-hae yang sejak tadi terlihat bingung dengan yang dibicarakan orang-orang di sekitarnya.
“Kak, Hyuk-jae itu temenmu ya?” tanya Syindi, menanyakan hal yang tidak perlu. Karena sudah jelas sekali mereka berteman. Yuli yang sejak tadi sedang asyik menonton drama kesayangannya hanya berdeham mengiyakan. Syindi menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dan mulai sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia kesal karena dihadapkan oleh kenyataan semacam ini. Tapi ada setitik rasa senang, karena dia kembali dapat merasakan kejahilan-kejahilan Hyuk-jae padanya. Memang aneh, karena seharusnya dia merasa kesal, tapi entah mengapa itu membuatnya senang. Aku memang sudah gila, batinnya.
“Duh...yang lagi seneng, abis ketemu seseorang!” olok Tia yang baru keluar dari kamar mandi, karena letak kamar mandi yang langsung mengarah ke ruang tivi.
“Cih...gak usah ikut campur urusan orang deh!” balas Syindi.
Tia tertawa girang, “Kalo emang gak suka, gak usah sewot gitu deh!”
Syindi mendengus kesal, “Udah deh, kamu mau cari masalah ya?” Tia semakin terkikik geli, dan segera menutup pintu kamarnya, saat bantalan sofa melayang ke arahnya.
-Pelataran kampus Manajemen bisnis, KAIST-
“Hei, kamu mau kemana? Bukannya ruang kelasnya di sebelah sana ya?” tanya Tia, saat Syindi berbelok ke arah kiri bukannya ke kanan.
“Iya, kamu pikir aku bodoh!”
“Yee...gitu aja sewot, aku kan cuma ngingetin, sapa tau aja kamu lupa.”
“Udah sana, kamu pergi aja.”
“Lho? Emang kamu mau kemana?”
“ke Toilet, mau ikut?”
“Ih...kagak deh,” sahut Tia lalu bergegas pergi ke kelas. Hari ini, hari pertama mereka kuliah. Karena terburu-buru Syindi sampai tidak memperhatikan label yang tertera di pintu toilet. Dan dia menjerit kaget saat melihat seorang pria berada di sana, untunglah pria itu sedang tidak dalam posisi yang ‘aneh’.
“Sedang apa kamu di sini? Ini kan toilet pria?” tanya pria itu, wajah Syindi seketika itu juga memerah dan terasa panas karena malu. Di hari pertamanya saja, dia sudah mendapat masalah seperti ini.
“Maaf!” ujarnya setengah membungkukkan badannya. Dia hendak berbalik pergi saat tiba-tiba pria itu menariknya masuk ke bilik toilet. Syindi terkesiap, dan berusaha melepaskan diri dari cengkraman pria itu.
“Apa yang kau—“ pria itu membekap mulut Syindi dengan tangannya, membuatnya semakin meronta dan mencoba melepaskan diri.
“Sssshh....nanti mereka mendengarmu,” bisik pria itu pelan di telinga Syindi. Dan memang benar, ternyata sedang ada dua orang pria lain yang masuk ke toilet tersebut. Dipikirnya pria itu hendak berbuat sesuatu yang tidak-tidak padanya, ternyata pria itu hanya mencoba menolongnya.
“Kau mendengar sesuatu?” tanya pria itu pada temannya, karena merasa mendengar suara wanita.
“Iya, sepertinya suara itu berasal dari sini,” ujar temannya menunjuk salah satu bilik di toilet tersebut. Kontan saja jantung Syindi berdetak semakin cepat, jangan sampai mereka menemukanku, batinnya. Pria di luar mulai menggedor pintu bilik. “Siapa di dalam?” serunya.
“Ehm...” pria yang membekapnya berdeham, lalu menarik tuas penyiram di toilet. Dan untungnya, kedua pria di luar tadi berhenti bertanya dan melanjutkan kegiatan mereka, membuat Syindi bisa bernafas lega sekarang. Cukup lama kedua pria tadi mengobrol dan bercanda di dalam toilet. Hingga membuat Syindi bergerak-gerak gelisah, bukan karena takut ketahuan oleh mereka. Tapi karena kedekatan antara dirinya dengan pria yang membekapnya tadi. Pria itu cukup tampan dengan tinggi 175 cm, mata sipit, hidung mancung dan lesung pipit yang semakin menambah ketampanannya. Ternyata benar kata Tia, pria Korea memang tampan-tampan, batin Syindi. Jantungnya berdetak semakin kencang, saat dia memikirkannya. Ya Tuhan...apa yang terjadi denganku? batinnya lagi. Desahan nafas pria itu, terasa hangat menyentuh kulitnya. Hingga membuat bulu kuduknya berdiri dan kulitnya menggelenyar.
“Mereka sudah pergi,” kata pria itu, saat kedua pria tadi sudah keluar dari toilet. Syindi sempat terpaku sejenak, karena masih shock dengan apa yang baru saja terjadi. “Kau tidak ingin keluar?” tanya pria itu lagi karena tak segera mendapat jawaban dari Syindi.
“Eh...maaf,” sahut Syindi kemudian,”terima kasih karena kau telah menolongku. Aku tidak tau lagi kalau sampai mereka—“ Syindi tersenyum kikuk.
“Sudahlah...sebaiknya kau segera keluar dari sini, sebelum ada orang lain yang datang,” sarannya yang dijawab dengan anggukan oleh Syindi. Syindi pun segera bergegas keluar dan berusaha menenangkan jantungnya. Untung saja, kalau sampai kedua pria itu tau, mau diletakkan dimana mukaku? batin Syindi. Dia pun segera menuju ke toilet wanita di sebelahnya, setelah melaksanakan hajatnya dia segera ke ruang kelas karena kuliah akan segera di mulai.
“Kemana aja sih, lama amat?” gerutu Tia, saat melihat Syindi yang baru saja datang.
“Bukan urusanmu!” bentak Syindi.
“Idiiih...gitu aja sewot.” Syindi tak membalas lagi ucapan Tia, karena dia sibuk memikirkan pria yang ditemuinya tadi di toilet. Pria itu benar-benar tampan, pikirnya. Syindi menggelengkan kepalanya, mencoba untuk mengusir bayangan pria itu dari benaknya.
Syindi terkesiap kaget, saat melihat pria yang ditemuinya tadi kini masuk ke ruang kelasnya. “Itu kan..” ujarnya tak percaya.
“Emangnya kamu kenal dia?” timpal Tia yang mendengar perkataan Syindi.
“Ah...enggak....enggak!” sahutnya tapi tak mengalihkan pandangannya pada Pria ‘Toilet’ itu. Apakah dia mahasiswa baru juga? pikirnya. Tapi perkiraannya salah, karena alih-alih duduk di bangku mahasiswa, pria itu duduk di kursi dosen. Melihat keheningan yang tercipta secara tiba-tiba, Syindi semakin yakin bahwa pria itu adalah dosen yang akan mengajarnya pagi ini. Oh Tuhan...apalagi yang akan terjadi? batinnya.
“Selamat pagi semuanya!” sapa Pria itu ramah. Dia sempat melirik Syindi sekilas yang duduk di deretan bangku paling belakang, membuat jantung Syindi semakin menderu kencang. Wajah Syindi memanas, dia benar-benar malu dengan kejadian tadi. “Selamat datang di KAIST!” lanjutnya. “Oke, kita mulai saja kuliah Pengantar Manajemen pagi ini.” Seorang mahasiswi mengacungkan tangannya. “Ya?”
“Kami belum mengenal Bapak, bagaimana kalau sebelum dimulai, Bapak memperkenalkan diri dulu,” ujar mahasiswi tersebut yang disambut gemuruh setuju dari seisi kelas.
Pria itu tersenyum, “Oke, kalau begitu, sebelum kita mulai. Saya akan memperkenalkan diri dulu.”ujarnya, lalu mulai menuliskan namanya di white board, “Nama saya, Park Jung-soo.”
-Rumah kontrakan, Yuseong-gu-
“Kamu kenapa Kak? Kok wajahnya ditekuk-tekuk gitu?” tanya Yuli khawatir saat melihat Mila yang baru saja pulang dari kampus dengan wajah murung. Mila merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah dan mendesah lelah. “Ada masalah ya?” Yuli menghampiri dan mengambil tempat duduk di sebelahnya.
“Mr. Lee belum ngasih ACC ijin penelitianku,” desahnya. “Dia bilang nilaiku kurang memuaskan dan belum bisa dapet ijinnya.”
“Lho? Iya kah? Setahuku nilai Kakak baik-baik aja.”
“Enggak juga Yul, Mr. Lee emang bener, nilaiku emang sempet turun akhir-akhir ini,” sesalnya, “sejak aku sibuk pacaran ama Minu,” tambahnya lirih. “Kalo semester ini IP-ku gak nyampe angka 3,0 bisa-bisa beasiswa-ku dicabut.”
Yuli menyentuh bahu Mila untuk menenangkan, “Sabar Kak, kalo menurutku, selama ini Kakak emang terlalu lembek ama Kak Min-woo.”
“Terlalu lembek gimana Yul?”
“Kakak tuh, terlalu mentingin urusan Kak Min-woo daripada kuliah. Tiap kali Kak Min-woo minta sesuatu, pasti diturutin, padahal Kakak juga lagi sibuk kuliah. Mending, mulai sekarang Kakak kudu teges ama Kak Min-woo deh,” saran Yuli.
“Tapi kan kamu tau sendiri Yul, Min-woo orangnya paling gak suka kalo permintaannya ditolak.”
“Iya, tapi ini kan penting juga buat masa depan Kakak, masak dia gak ngertiin sih. Kalo emang dia cinta ama Kakak, dia pasti bisa ngerti deh. Lagian ini kan buat masa depan Kakak juga.”
Mila tidak menjawab, dia hanya memikirkan perkataan Yuli barusan. Yuli benar, kalau memang mencintaiku, dia pasti akan mengerti, pikirnya. Tapi, Mila kembali terbayang percakapannya dengan Min-woo beberapa waktu yang lalu di lapangan basket. Bagaimana kekesalan Min-woo saat dirinya menolak untuk datang di acara pertandingannya, padahal dia tau bagaimana pentingnya pertemuannya dengan Mr. Lee itu. Mila semakin resah memikirkannya. Haruskah aku mengorbankan hubunganku dengan Min-woo? batinnya. Tapi dia juga tak rela jika harus begitu. Dia tau, bahwa dirinya sangat mencintai Min-woo. Tiba-tiba ponselnya bergetar dan nama Min-woo tertera di layarnya.
“Hallo Minu,” sapa Mila.
“Hai Sayang, dari nada suaramu, sepertinya kamu sedang tidak bersemangat? Kamu tidak suka ya, aku menelpon-mu?”
“Ah...tidak, aku justru senang,” sahut Mila berbohong karena dia memang sedang kalut saat ini. “Bagaimana pertandingannya? Maaf aku—“
“Tidak apa-apa,” suara Min-woo terdengar agak kesal saat mengucapkannya, “jangan membahas itu lagi, sekarang aku menelponmu bukan untuk membicarakan masalah ketidakhadiranmu.”
“Lalu?”
“Kami menang!” seru Min-woo bersemangat.
“Oh ya?” ujar Mila, pura-pura bersemangat mendengarnya, karena pikirannya masih dipenuhi kekalutan.
“Ya, makanya aku menelponmu.”
“Selamat ya! Aku ikut senang,” ucap Mila tulus.
“Hmmm...kamu bersiap-siaplah!”
“Untuk apa?”
“Malam ini akan ada pesta perayaan di rumah salah satu temanku, untuk merayakan kemenangan kami—“
“Minu,” selanya.
“Ya?”
“Aku besok ada Quis dari Mr. Choi, jadi—“
“Ayolah Mil, sebentar saja. Aku janji tidak akan lebih dari jam 10 malam.”
“Tapi—“ Mila melirik Yuli di sebelahnya yang memberikan pandangan ‘kau harus bisa tegas’ padanya.
“Kumohon...kau tadi sudah tak bisa datang, sekarang kau juga tak mau datang. Ternyata kau benar-benar sudah tak perduli lagi padaku,” ujar Min-woo kesal. Jika sudah begitu, Mila tak sanggup lagi untuk menolak, karena dia tak ingin kehilangan Min-woo yang sangat dicintainya.
Mila menyerah, “Baiklah, tapi kau harus—“
“Iya, iya Sayang...aku berjanji tidak akan terlalu malam,” seru Min-woo senang. “Cepatlah bersiap-siap, satu jam lagi aku akan menjemputmu,” ujarnya lalu menutup teleponnya. Mila mendesah...
“Tuh kan bener, Kakak terlalu lembek ama Kak Min-woo,” sindir Yuli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mila tak menjawab, dia menyandarkan kepalanya di sofa, memejamkan matanya sejenak dan mendesah lelah. Kamu sama sekali tidak mengerti Yul, mungkin karena kamu belum pernah merasakannya, batin Mila.
-Fakultas Manajemen bisnis, KAIST-
“Kamu tertarik ama Mr. Park ya?” goda Tia sepulang kuliah.
Syindi terkejut mendengarnya, kenapa dia bisa mengetahuinya? pikirnya. “Hah...yang benar aja, gak mungkin lah!” sergah Syindi.
“Halaah...ngaku aja deh, dari tadi ku perhatiin kamu cuma ngeliatin dia terus.”
“Enggak kok, kamu tuh nyebelin banget ya?” gerutu Syindi. Tia terkikik geli melihat wajah Syindi yang tiba-tiba berubah merah.
“Wajahmu merah tuh, ketahuan nih yee!” ledeknya.
“Ih...kamu—“
“Syin!” panggil seseorang di belakang, Syindi menoleh ke arah si pemanggil, ternyata Hyuk-jae yang memanggilnya dan tiba-tiba saja merangkulnya saat dia tiba di sisi Syindi. “Baru pulang kuliah ya?”
Syindi melepaskan rangkulan Hyuk-jae di pundaknya. “Ngapain kamu—“
“Aku capek denger kata-kata itu dari mulutmu,” sela Hyuk-jae, “dari saat kita ketemu di dekat ruang basket, di rumah kontrakanmu dan sekarang di sini, waktu ketemu aku, kamu selalu nanya, ‘Ngapain kamu di sini?’, emangnya gak boleh kalo aku di sini, ini kan tempat umum, bukan tempat pribadimu? lagian kamu gak punya kata-kata lain ya selain itu?”
“Tapi kan ini bukan kampusmu,” Syindi benar, karena Hyuk-jae memang mengambil jurusan Biologi. “Kamu sengaja ngejar aku ya?”
“Ih...kege’eran!” oloknya.
“Abisnya kamu sekarang di sini mau ngapain?”
“Kamu bukan pacarku, juga bukan Ibuku, jadi buat apa aku harus bilang ama kamu, mau ngapain aku ke sini?” ledeknya.
“Dasar kunyuk jelek!” maki Syindi membuat Hyuk-jae tertawa terbahak-bahak.
“Udahlah Syin, kamu jangan marah-marah mulu. Sekali-kali tuh senyum gitu. Kata nenekku, kalo marah-marah mulu, ntar cepet tua lho.”
“Aku gak kenal ama Nenekmu,” balas Syindi santai.
Hyukjae menarik lengan Syindi, “Ayo, aku kenalin dulu ke Nenekku.”
“Ih...udah deh,” Syindi melepaskan tangan Hyuk-jae dengan kasar,”pergi sana! Aku males liat wajahmu itu!” gerutu Syindi.
“Heh...harusnya kamu tuh seneng, bareng sama orang cakep kayak aku. Kamu gak liat tuh, cewek-cewek pada ngiri sama kamu gara-gara deket ama aku,” ucap Hyuk-jae bangga.
“Cih...yang bener aja, mereka tuh ngeliatin kita gara-gara kamu bertingkah kayak orang gila tau!” Hyuk-jae tertawa.
“Berarti, kamu juga gila donk!”
“Hyuk-jae!!” bentak Syindi marah.
Hyuk-jae masih terbahak,” Ah...Tia, aku sampe lupa menyapamu,” sapa Hyuk-jae.
Tia tersenyum, “gak papa Kak.”
“Tumben kalian akur, kemana-mana selalu bareng. Biasanya kan bertengkar mulu!” sindir Hyuk-jae.
Tia mendesah. “Abisnya mau gimana lagi Kak? Dia satu-satunya temenku di sini.”
Hyuk-jae menepuk bahu Tia, “Yah...bersabarlah mengahadapinya,” godanya sambil melirik ke arah Syindi.
Syindi mendengus, “Terus saja mengolok-olokku, tapi buktinya kamu kangen tuh ama aku. Sampe ngejar aku ke sini. Aku mau pulang! Udah pergi sana ke kampusmu sendiri, aku males ngomong sama kamu lagi.” seru Syindi lalu melanjutkan langkahnya.
“Yey...emang ini kampus punya ayahmu? Aku ke sini bukan nyariin kamu kok, ge’er deh..!”
Syindi berbalik, “Kalo bukan nyariin aku, trus nyari sapa? Nenekmu?”
Hyuk-jae kembali terbahak, “Kamu bahkan lebih galak dari Nenekku!” olokknya. Kali ini Tia mulai terkikik geli mendengarnya.
“Setuju Kak!” timpal Tia hingga membuat Syindi semakin kesal.
“KUNYUK JELEK!!!” Syindi berteriak.
“Hush...pelanin suaramu, kamu gak malu apa diliatin banyak orang gitu!” tegur Tia sementara Hyuk-jae masih terus saja tertawa dan memegang perutnya.
“Biarin aja Tia, dia udah biasa kok ditonton orang begitu, dulunya kan dia pernah jadi topeng monyet,” gumam Hyuk-jae sambil terus tertawa terbahak-bahak.
“Bu—“ belum sempat Syindi menyelesaikan perkataannya. Hyuk-jae berteriak.
“Si-won!!” serunya.
~To Be Continued........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar