Jumat, 11 Februari 2011

ANOTHER LOVE STORY...Chap 5

Disclaimer: Kisah ini hanya sekedar fanfics (Fiktif)  belaka, nama tokoh, kisah, tanggal dan tempat kejadian yang terdapat di sini hanyalah  berdasarkan rekaan penulis belaka.


Chapter 5


-Kampus KAIST, Daejeon-

“Nyesel ya?!” olok Syindi sepulang latihan.

“Enggak kok!” sahut Tia cuek sembari melenggang pergi.

“Halah...ngaku aja deh Tia, kamu pasti nyesel deh. Aku kan tau kamu ikutan klub tari buat ngejar Si-won. Lagian setahuku kamu gak pernah tuh ikutan grup-grup seperti itu.”

Tia mendengus, “Sejak kapan kamu peduli ama aku? Udahlah, lagian masih ada Kak Ho-young,” ujarnya santai. Syindi hanya menggeleng-geleng heran mendengar jawaban Tia tersebut.

“Kamu harus mengganti waktu istirahatku!” ujar Syindi kemudian.

“Apa?” Tia tak mengerti.

“Kamu gak inget, aku udah nungguin kamu latian dari tadi. Dan itu udah bikin waktu istirahatku berkurang,” gerutu Syindi.

“Ih...kamu ini, gak tulus banget sih!”

“Sejak kapan aku tulus ama kamu?!”

Tia kembali mendengus, “Halah...kamu seneng aja abis ketemu Kak Hyuk-jae,” ledeknya seraya tersenyum jahil.
“Kamu tuh yaa—“

“Udah...jadian aja, kalian udah cocok tuh!” Tia menyeringai senang karena kini ia berhasil memancing emosi Syindi. Tapi dia segera lari saat melihat Syindi mulai marah dan hendak memukulnya dengan buku yang dipegangnya.

“Jangan lari kamu!” geram Syindi terus mengejar Tia yang sudah jauh di depannya dan masih tertawa-tawa mengejeknya sambil sesekali menoleh ke belakang.


Tiba-tiba BRUKK!!! Tia menubruk sesuatu yang agak keras dan hangat, karena terlalu kencang dia berlari hingga membuatnya jatuh tertelungkup dan menimpanya. Terdengar kikikan geli Syindi di belakangnya. Tia baru menyadari bahwa saat ini dia sedang menindih tubuh seorang pria yang ditabraknya tadi. Pantas saja aku tak merasa sakit sedikitpun, pikirnya. Selama beberapa detik mereka bertahan dalam posisi itu. Hingga pria itu berkata, “Apa kau akan bertahan dengan posisi seperti ini?” Mendengar kata-kata itu Tia terkesiap kaget, dan segera berdiri dengan gugup. “Sepertinya kita tak bisa bertemu dengan cara biasa ya?!” celetuk pria itu, karena terlalu gugup dan kaget dengan apa yang baru saja dialaminya Tia tak sempat memperhatikan siapa yang ditabraknya itu. Dan dia baru saja menyadarinya, ternyata Son- Ho-young, dia kembali bertemu dengan pria itu secara tidak sengaja dan dalam posisi yang memalukan. Tia tersenyum kikuk.

“Eh, Kak Ho-young,” wajahnya mulai memanas karena malu. “Maaf, apa ada yang sakit?” tanyanya khawatir sekaligus untuk mencairkan suasana di antara mereka.

Pria itu tersenyum, “Kau berat juga ya!” godanya. Tia pura-pura kesal dan mengerucutkan bibirnya membuat Ho-young tertawa.

“Kau semakinmenggemaskan kalau begitu!” Jantung Tia mulai berdegup kencang saat mendengar kata-kata Ho-young tadi.

“Kalau begitu, aku marah saja terus!” gerutunya.

“Yah...jangan! kalau kau tersenyum jauh lebih manis,” rayunya membuat hatinya semakin mengenbang senang. “Eh, ngomong-ngomong ini sudah ketiga kalinya kita bertemu.”

Disinggung masalah tersebut, wajah Tia kembali merona. Memang benar, sudah ketiga kalinya mereka bertemu, dan setiap kali bertemu selalu diawali dengan ketidaksengajaan. Dan sekaranglah yang paling parah, batinnya. “Ya, dan pertemuan tersebut selalu diawali oleh kecelakaan,” gumam Tia.

Ho-young tersenyum, “Apakah mungkin itu pertanda bahwa kita jodoh?” godanya membuat Tia semakin merona dan tersenyum kikuk ke arahnya.

“Aku pulang dulu Tia!” celetuk Syindi yang sedari tadi memperhatikan mereka sembari melangkah pergi.

Tia mendesah, kau mengganggu saja Syin, batinnya. “Kak aku pulang dulu ya,” pamit Tia, “sekali lagi maaf, aku tidak sengaja.”

“Tidak apa-apa, aku juga salah tidak melihatmu tadi,” ujarnya. “Eh, kau tinggal serumah dengan Mila ya?”

“Iya Kak,” sahut Tia pendek.

“Bolehkah kalau kapan-kapan aku main ke sana?” tanyanya diiringi senyum paling menawan.

Tia tersenyum mendengarnya, “Boleh...tentu saja boleh!” sahutnya buru-buru, terlihat jelas kalau dia sangat gugup,“Aku permisi dulu Kak, temanku sudah meninggalkanku,” Tia menunjuk Syindi yang sudah berada jauh di depannya dengan tangannya. Ho-young mengangguk senang.

“Baiklah, hati-hati!” serunya seraya melambaikan tangan ke arah Tia, Tia pun membalas dengan lambaian tangan juga.



-Rumah Kontrakan, Yuseong-gu-

Tia masih saja tersenyum sendiri saat mengenang kembali pertemuannya dengan Ho-young tadi. Dia tak menyangka, bagaimana bisa dia dipertemukan untuk yang ketiga kalinya dan pertemuannya itu selalu tidak sengaja dan tidak wajar. Disebut tidak wajar karena setiap kali bertemu selalu diawali dengan kecelakaan. Kembali teringat olehnya saat lengannya tertimpa bola basket yang dilempar Ho-young, saat pagi hari dia hampir jatuh tergelincir dan ditolong oleh Ho-young dan sore tadi saat dia tak sengaja menubruknya dan jatuh tertelungkup menimpanya. Benar-benar memalukan, batinnya, tapi tak dapat dipungkirinya bahwa hal itu sangat menyenangkan. Mengingat betapa kekarnya otot pria itu, debaran jantungnya dan betapa dekatnya tubuhnya dengan tubuh pria itu. Apa benar yang dikatakan Kak Ho-young tadi bahwa mereka memang berjodoh?, batinnya.

Kini dia tak lagi bingung, dan menyambut dengan terbuka penawaran yang diberikan Ho-young tadi, seandainya itu datang kemarin, mungkin masih ada keraguan di hatinya, karena dia masih mengharapkan Si-won. Tapi sekarang tidak lagi, semenjak dia tahu bahwa Si-won telah memiliki kekasih. Tia menggeleng, mencoba untuk menepis bayangan Si-won dari benaknya. Kenapa aku masih memikirkannya?, pikirnya.

“Tia kenapa Syin? Kok dari tadi ku liat cuma senyam-senyum gak jelas gitu?” tanya Mila pada Syindi yang tengah menghabiskan mie-nya. Mereka bertiga tengah menikmati makan malam saat ini. Saat melihat Tia yang sedari tadi hanya melamun dan sama sekali tak menyentuh mie-nya membuat Mila bertanya.

“Lagi kasmaran Kak!” jawab Syindi santai sembari terus menyantap mie-nya.

“Kasmaran?” Mila kembali bertanya.

“Hmmm...” balas Syindi acuh tak acuh, “Eh Kak, ngomong-ngomong Kak Yuli mana? Belum pulang ya?” tanya Syindi mengalihkan pembicaraan saat melihat ketidakhadiran Yuli. “Biasanya jam segini dia kan udah siap-siap di depan Tivi buat nonton drama kesayangannya?”

Mila memandang pintu kamar Yuli yang saat ini tertutup, “Dia lagi ada masalah.”

“Masalah? Masalah apa?” kali ini Syindi ganti bertanya.

“Sore tadi dia pulang dengan menangis,” cerita Mila, Syindi tak menjawab dan hanya menunggu sampai Mila melanjutkan ceritanya,”praktikumnya gagal total, bukan cuma gagal tapi kacau.”

“Kok bisa?” tanya Syindi tak sabar.

“Dia gak sengaja nyenggol salah satu alat gelas di laboratorium itu yang harganya selangit.”

“Trus alat itu pecah?” tanya Syindi, lebih pada pernyataan.

“Hmmm...” sahut Mila, “saat ini dia sedang sedih sekaligus kesal, sedih karna dia harus ngeganti alat itu dan juga praktikum yang dia laksanain tadi sore gagal total, kesal karna yang nyebabin dia nyenggol tuh alat gara-gara tingkah aneh kedua temannya yang kemarin ke mari.”

“Maksud Kakak, Hyuk-jae?” tanya Syindi.

“Ya,” jawab Mila singkat.

Syindi menggeram, “Dasar Kunyuk, dari dulu emang gak pernah bisa diem!” makinya. “Awas ya kalo ketemu!”

“Sudahlah! Biar Yuli yang nyelesaikan masalah ini, kamu jangan semakin memperumit masalah dengan marah-marah ama Hyuk-jae,” saran Mila.

Syindi mendengus, tapi yang dikatakan Mila ada benarnya. “Emang harga alatnya berapa sih Kak?”

“Kalo kata Yuli sih bisa mencapai ratusan ribu won, kebayang kan kalo kita yang selama ini hidup dengan beasiswa harus nguras tabungan buat beli alat itu.” Syindi mengangguk setuju.

“Trus, mereka mau ngebantu gak?”

“Entahlah...kalo mereka ngerasa bersalah, pasti dibantu. Belom lagi dia musti ngulang praktikumnya itu. kalo enggak, dia gak dapet nilai.”

“Kasian Kak Yuli,” gumam Syindi.

“Kak Yuli kenapa?” tanya Tia tiba-tiba, saking asyiknya melamun dia sampai tak memperhatikan pembicaraan mereka.
Syindi melotot, “Tau ah!” sahutnya kesal, lalu beranjak ke wastafel untuk mencuci piringnya meninggalkan Tia yang masih kebingungan mencerna apa yang sebenarnya terjadi dan mereka bicarakan.

“Mau kemana Yul?” tanya Mila saat melihat Yuli sudah memakai pakaian rapi dan baru saja keluar dari kamarnya.

“Aku mau nyari kerja part-time Kak!” sahut Yuli masih dengan tampang sayu.

“Malem-malem gini?”

“Yah, mau gimana lagi. Aku harus cepet ngumpulin duit itu. aku pergi dulu ya Kak!” pamitnya. Mila hanya memandang kepergian Yuli dengan menggeleng.

“Emangnya ada apa sih ama Kak Yuli?” Tia kembali bertanya, karena dia belum mendapat balasan.

Syindi mendengus, “Gak ada siaran ulang!”


-La Cellier Cafe & Restaurant-

Kemarin karena tak sempat membatalkan janji temunya dengan Min-woo, hari ini Mila terpaksa membatalkan rencananya ke perpustakaan untuk memenuhi janjinya keluar dengan kekasihnya itu. Sejak pagi mereka pergi ke toko sepatu untuk membeli sepatu basket baru milik Min-woo. saat ini mereka sedang menikmati makan siang di La Cellier Cafe & Restaurant yang terletak di stasiun Subway kota Daejeon.

“Minu?!”

“Ya?” Min-woo menghentikan makannya dan menghadap ke arah kekasihnya. “Ada apa? Apa makanannya tidak enak?”

“Bukan,” sergah Mila, Mila terlihat ragu-ragu, dia hendak membicarakan tentang dilema yang dihadapinya akhir-akhir ini. Akhirnya dia menyadari bahwa dia memang kurang tegas terhadap Min-woo selama ini dan sejak berangkat pagi tadi dia sudah menguatkan niatnya untuk membicarakannya, apapun hasilnya nanti.

“Kenapa?” tanya Min-woo khawatir seraya menyentuh tangan Mila yang terletak di meja dengan lembut dan perhatian.

Mila mencoba menguatkan hatinya, “Aku—“

“Apa? Kenapa kau terlihat ragu-ragu, katakanlah apa yang ingin kau katakan!”

“Setelah ini, kau antar aku pulang ya?” pinta Mila.

“Kenapa? Bukannya ini masih siang, aku masih ingin mengajakmu ke tempat lain,” sergah Min-woo.

“Tapi aku harus ke perpustakaan Minu.” Mila memohon.

“Besok saja ke Perpustakaannya, hari ini kau temani aku saja.” Min-woo bersikeras.

“Tapi—“

“Kau sepertinya tak suka menemaniku,” sela Min-woo.

“Beberapa hari yang lalu aku sudah pernah bilang padamu, bahwa aku ada masalah dengan kuliahku. Dan mulai sekarang aku harus lebih rajin lagi, agar nilaiku tidak semakin hancur.”

“Jadi benar, kau menyalahkan aku akan hal itu,” ujarnya dengan nada kecewa.

“Aku tidak pernah menyalahkanmu Minu,” sergah Mila, “Aku hanya ingin meminta pengertianmu bahwa aku membutuhkan waktu—“

“Oh...jadi kau menganggap bahwa selama ini aku tak pernah pengertian terhadapmu,” suara Min-woo mulai meninggi.

“Aku tak pernah bilang begitu—“

“Lalu? Apa maksudmu berkata seperti itu!” tuntut Min-woo.

Mila mulai merasa resah, tapi dia sudah bertekad dan sudah sampai di tengah jalan, pantang untuk mundur, batinnya. “Tolong, dengarkan aku dulu,” pinta Mila menenangkan Min-woo yang mulai terlihat emosi. “Bukankah hari ini aku sudah mengantarmu mencari sepatu, dan aku sudah meluangkan waktuku untuk menemanimu jalan dan makan siang bersama. Jadi—“

“Jadi sekarang kau begitu perhitungan dengan kekasihmu sendiri, apa kau tidak tulus menemaniku?” Min-woo terlihat semakin emosi.

“Bukan beg—“

“Atau jangan-jangan kau sudah bosan denganku, jadi kau mencari-cari alasan untuk bisa jauh dariku!” tuduh Min-woo, “Benarkah begitu?”

“Minu!” kini Mila mulai emosi, dan merasakan sesak di dadanya, matanya panas dan penuh sesak dengan air mata yang medesak untuk keluar, kenapa sulit sekali untuk mendapatkan pengertiannya?, batinnya. “Terserah kau mau bilang apa? Aku sudah—“

“Jadi, benar kau sudah bosan denganku, atau jangan-jangan kau sudah memiliki pria lain di sisimu?”

“Cukup Minu!," seru Mila dengan suara tinggi, dia tak peduli pandangan orang-orang yang kini ditujukan ke arahnya dan Min-woo, "Aku sama sekali tak ada maksud lain, apalagi yang berhubungan dengan pria lain, aku hanya memohon pengertianmu, dan tolong dengarkan pendapatku dulu, jangan berspekulasi yang macam-macam ataupun menuduhku dengan tuduhan yang tak jelas seperti itu! Aku juga manusia Minu, aku juga memiliki keperluan dan urusan sendiri dan aku memiliki hak untuk berpendapat.” Min-woo tak menjawab dan hanya memandang Mila dengan tatapan menuduh. Mila tak tahan lagi dia mulai beranjak pergi dari kursinya. “Aku pergi!”

“Tunggu!” tahan Min-woo.

“Apa lagi? Kau ingin menuduhku apa lagi?” cecar Mila.



-Ruang Kuliah Kampus Manajemen Bisnis, KAIST-

Di siang hari seperti ini, ruang kuliah terasa semakin membosankan. Hal itu terlihat sekali dari wajah-wajah mahasiswa yang saat ini tengah mengikuti kuliah pengantar manajemen di ruang tersebut. Ada beberapa mahasiswa yang asyik mengobrol sendiri dengan temannya, ada yang merapikan dandanannya karena sekitar 15 menit lagi jam kuliah akan selesai dan ada pula yang tertidur pulas. Hanya ada beberapa mahasiswa yang benar-benar mendengarkan dan mengikuti kuliah siang itu.

Sedangkan Syindi, dia terlihat antusias sekali memperhatikan dosen yang tengah menjelaskan tentang pengertian dan jenis-jenis manajemen di depan kelas. Sayangnya, bukan pelajarannya yang dia perhatikan, tapi dosen tampan nan muda yang tengah sibuk mengajar lah yang membuatnya tertarik. Sejak awal jam kuliah pengantar manajemen tersebut, dia tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Mr. Park Jung Soo. Pikirannya dipenuhi oleh pria itu, kejadian di toilet dan senyumnya yang menawan dengan lesung pipitnya. Tia yang kini duduk di sebelah Syindi, menyadari hal itu, dan tersenyum geli melihatnya.

“Oke, apakah kalian semua mengerti?” tanya Mr. Park Jung Soo kepada seluruh mahasiswanya setelah selesai menjelaskan materinya. Terdengar gemuruh mengiyakan dari seisi kelas, entah itu tanda benar-benar mengerti atau tidak sama sekali. “Baiklah, kalau kalian sudah mengerti, sekarang aku akan memberikan tugas untuk kalian!” kembali terdengar gemuruh dari seisi kelas, kali ini bukan gumaman mengiyakan tetapi gumaman memprotes. Mr. Park hanya tersenyum melihat tingkah laku mahasiswanya itu. Dia mulai menuliskan tugas yang akan diberikannya di White board. “Tugas ini tugas kelompok, tiap kelompok terdiri atas 4 sampai 5 orang,” ujarnya menjelaskan.

Seorang mahasiswi yang sedari tadi memperhatikan mulai bertanya, “Bagaimana dengan pembagian kelompoknya Mr. Park?”

“Ah ya, aku membutuhkan relawan di sini, untuk membantuku memilih kelompok dan menuliskan daftar nama mahasiswa di kelas ini,” ujarnya, “Adakah yang bisa membantu?” terlihat tak ada mahasiswa yang berminat. Mendengar itu, Tia memiliki ide untuk mengerjai Syindi yang saat ini masih saja melamun. Dia tersenyum penuh maksud ke arah Syindi yang masih tak memperhatikan pembiacaraan tersebut. “Adakah yang bersedia membantu?” tanya Mr. Park lagi karena tak ada satupun mahasiswanya yang menawarkan diri secara sukarela.

“Aku ingin sekali membantu Mr. Park, tapi sayang, aku ada kuliah lagi setelah ini,” ujar mahasiswi tadi.

“Tidak apa-apa,” balas Mr. Park Jung Soo ramah, “Sekali lagi adakah yang bersedia?”

Tia mulai melancarkan aksinya, dia menoleh ke arah Syindi dan berbisik lirih, “Syin, ada kecoa di dekat bangkumu!” karena dia tau Syindi sangat benci dengan kecoa, kontan mendengar itu Syindi terlonjak kaget dan seketika itu juga berdiri dari bangkunya.

“Mana....? mana kecoa-nya?” ujarnya, untungnya dia mengatakannya dalam bahasa Indonesia jadi seisi kelas tak mengerti apa yang dibicarakannya. Sedangkan Mr. Park Jung Soo menyangka bahwa itu suatu pernyataan menerima tawarannya.

“Terima kasih Syindi, tolong bantu saya ya!” ujar Mr. Park senang. Mendengar itu Syindi semakin tak mengerti, dan hanya memandang kosong dan penuh tanya ke arah Mr. Park Jung Soo. Tia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tawa-nya agar tidak semakin keras.

“Ini lucu sekali,” gumamnya sambil menahan tawa geli.

Syindi yang mulai menyadarinya, melirik Tia dengan pandangan membunuh, “Kau?” geram Syindi, tapi Tia tetap tak bisa berhenti tertawa.



-Rumah Kontrakan, Yuseong-gu-

Yuli tengah sibuk membolak-balik koran yang baru saja dibelinya untuk mencari lowongan kerja paruh waktu. Karena pencariannya tak membuahkan hasil, dia membanting koran tersebut ke meja. Yuli menghela nafas lelah, bagaimana ini?, batinnya. Dia tak mungkin meminta bantuan ayah ibu-nya, karena dia tau, mereka sedang tak punya uang sebanyak itu. Apalagi kemarin mereka baru saja membayar biaya kuliah adiknya di fakultas kedokteran. Sedangkan uang tabungannya jelas tidak mencukupi untuk membeli alat yang harganya selangit itu. Belum lagi dia harus segera menggantinya, karena jika tidak, nilainya akan tersendat, dan praktikumnya tidak dapat dilaksanakan. Yuli menyandarkan tubuhnya di sofa dan memejamkan matanya, mencoba berpikir untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

Ting Tong!! Tiba-tiba bel pintu berbunyi, dengan enggan dia melangkah untuk membukakan pintu. Siapa sih yang bertamu siang-siang begini?, pikirnya.“Kau?” ujar Yuli tak percaya saat melihat Dong-hae sedang berdiri di depan rumah. “Untuk apa kau kemari?”

“Maaf Yul, aku datang kemari untuk meminta maaf,” ujar Dong-hae penuh sesal.

“Kau datang kemari untuk meminta maaf? Minta maaf sama sekali tak menyelesaikan masalah,” balas Yuli ketus.

“Aku tau, tapi semalam aku benar-benar menyesal, sampai-sampai aku tak bisa tidur karena memikirkan masalah ini, lihatlah ada cekungan hitam di bawah mataku,” ujarnya sembari menunjuk bagian bawah matanya. Pada saat seperti ini dia masih bisa bercanda, pikir Yuli.

“Apakah itu juga dapat menyelesaikan masalah?”

Dong-hae menunduk, “Maaf, aku akan membantu sebisaku untuk menyelesaikan masalah ini, tapi tolong maafkan aku,” pintanya tulus.

“Aku sudah memaafkanmu, jadi pergilah!” sergah Yuli.

“Sungguh, aku benar-benar menyesal, semalam aku sudah mencoba meminta uang saku tambahan dari Ayah, walaupun sempat kena marah, tapi syukurlah aku mendapat tambahan beberapa won untuk membantumu mengganti alat tersebut. Kau tau kan harga alat itu sangat mahal, bahkan berkali lipat dari uang sakuku selama sebulan. Saat ini Hyuk-jae juga sedang berusaha mencari tambahan uangnya, kau jangan khawatir,” jelasnya. Yuli mulai melunak mendengar penjelasan Dong-hae, apalagi melihat ketulusan yang kini terpancar dari mata pria itu.

“Baiklah, kalau kau memang ingin membantu. Aku butuh satu bantuan lagi,” pinta Yuli.

Dong-hae tersenyum, “Apa itu?” tanyanya bersemangat.

“Bantu aku mencari kerja paruh waktu!”

Dong-hae mengangguk mantap, “Oke! Kau jangan khawatir, aku akan membantumu,” ujarnya. “Ku dengar harga alat itu sekitar 600 ribu won lebih,” sekitar 5,4 juta rupiah lebih, batin Yuli. “Sedangkan aku hanya memiliki 200 ribu won, jadi kurang 400 ribu won lagi.” Yuli mengangguk.

“Oleh karena itu, bantu aku mencari kerja paruh waktu, agar kita bisa cepat mengumpulkan uang tersebut.” Dong-hae mengangguk setuju.

“Lalu bagaimana dengan praktikumnya? Bukankah kau harus mengulanginya lagi?” tanya Dong-hae.

“Kita selesaikan masalah ini dulu, nanti kalau kita sudah berhasil membeli alat itu. baru kita pikirkan tentang praktikum itu,” saran Yuli.

“Baiklah kalau begitu, kalau kau butuh bantuan, katakan saja padaku,” ujar Dong-hae tulus, Yuli tersenyum mendengarnya.

“Ya, semoga Kau dan Hyuk-jae tak membuat masalah lagi,” gumam Yuli membuat Dong-hae tertawa.

“Eh Yul, ngomong-ngomong Mila ada di rumah tidak?” tanyanya tiba-tiba.

Yuli mengerutkan keningnya, “Kak Mila?” tanyanya. “Ada urusan ap—Ah...aku lupa, kau kan tertarik padanya,” goda Yuli membuat Dong-hae tersenyum kecil. “Sayangnya Kak Mila sedang keluar dengan kekasihnya.”

“Kekasih? Jadi dia sudah punya kekasih?” terlihat jelas bahwa dia kecewa mendengarnya.

“Memangnya Kak Mila belum menceritakannya padamu?” tanya Yuli. Dong-hae menggeleng. “Bukannya kalian mengobrol lama saat itu?”

“Ya, tapi dia sama sekali tak menyinggung tentang kekasihnya,” ujarnya masih dengan nada kecewa, “Apakah dia sedang ada masalah dengan kekasihnya?” tanyanya penuh harap.

“Bagaimana ka—“ belum sempat Yuli menyelesaikan kata-katanya terdengar suara pintu mobil yang dibanting dengan keras hingga menimbulkan bunyi berdebam. Kontan mereka berdua melihat ke arah sumber keributan tersebut, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.



~To Be Continued......

By Yuli ~Admin Lee~



Tidak ada komentar:

Posting Komentar