Minggu, 18 Desember 2011

S W I T C H -Chap 5-

Hai...hai...hai....#Lambai2 Author Ababil dateng lagi ekekekek....jangan bosen yaa baca FFku yang sangat aneh bin ajaib ini. maklum saia bukan Novelis seperti Miss Destira aka (Admin Park). Juga bukan Author FF berbakat yang karyanya sudah melanglang buana seperti Mila Aulia (Admin Hea-in), Teresia Dian, Patricia Jessica dan masih banyak lagi yg lainnya. Saia cuma Admin Iseng gak ada kerjaan (?) yang pengen juga bikin FF hahaha #Kebanyakan Bacot nii, keburu Reader ketiduran :p

ya udah deh, aku terbitin FFnya dulu. Miaaaaaann banget kelamaan nunggunya *emang ada yg nunggu?* XD
karena udah kelamaan dan pasti udah jamuran ingatannya tentang FF satu ini, aku sengaja ngasih ringkasan cerita chapter sebelumnya. Maaf yah...*maaf mulu* ekekekek....

oke dah, aku bersih-bersih dulu Note-ku dari sarang laba-laba yang sudah lama bersarang (?) di sini #MakinNgaco
sebelum semakin kemana-mana (?) ama omongan gak jelasku, aku kasih aja deh FFnya (Reader: dari tadi kek Thor!) hahaha XD

cekidottt!!! jangan kecewa ama hasilnyaa!!! ^^


Chapter 5



Ringkasan Chapter sebelumnya:

Yu-ri berhasil menjadi yang terbaik pada audisi Taekwondo di kampusnya, namun di akhir ia harus menelan kekecewaan karena ia tak berhasil melawan Soo-hyun yang ternyata adalah senior dan pemegang sabuk hitam Taekwondo.


Dong-hae mendapati Hae-bin tengah menangis pada saat ia berkunjung ke rumah gadis itu untuk belajar bahasa Inggris, dan ia pun akhirnya menawarkan diri untuk menghibur gadis itu. Hae-bin mulai merasakan sesuatu yang aneh menjalari tubuhnya ketika ia secara tak sengaja bersentuhan dengan kekasih sahabatnya itu.


Ketika Soo-hyun tengah merenung di sebuah cafe, ia tak sengaja bertemu Yu-ri yang saat itu tengah bertengkar dan hendak berkelahi dengan seorang pria paruh baya yang dikatainya telah mengganggu ibunya. Namun Soohyun menggagalkan rencana Yu-ri, dan hal itu sukses membuat Yu-ri geram.



-Han River, Seoul-

Hae-bin menghela nafas dengan tatapan menerawang ke arah aliran sungai Han yang sore itu tampak tenang. Gadis itu menggenggam erat pinggiran bangku besi panjang yang kini didudukinya bersama Dong-hae. “Apa kau sudah merasa lebih tenang?” Dong-hae membuka percakapan setelah terjadi keheningan yang cukup panjang semenjak mereka tiba di tempat itu.

“Sedikit,” balas Hae-bin lirih.

Dong-hae berdeham, ia bingung harus mengatakan apa. ia ingin sekali menawarkan diri menjadi pendengar segala keluh kesah gadis itu, tapi ia juga tak mau memaksa Hae-bin untuk menceritakan sesuatu yang tak ingin diceritakannya. Bukankah dia bukan siapa-siapaku?, pikir Dong-hae.

“Aku minta maaf karena menggagalkan rencanamu—“

“Kau sudah mengatakan itu tadi,” potong Dong-hae.

“Ah...ya,” Hae-bin mengangguk kikuk, “maaf, aku memang gadis membosankan yang—“

“Maaf lagi?!” Dong-hae kembali memotong kalimat Hae-bin, “kata maaf memang bagus untuk meredakan amarah seseorang, tapi mengucapkan kata maaf secara terus menerus membuat kita akan tampak sebagai pribadi yang lemah. Berhenti mengatakan maaf, saat dirimu tidak membuat satu kesalahan pun.”

Hae-bin menunduk, “Lalu aku harus mengatakan apa?”

“Hah...” Dong-hae beranjak dari bangku panjang itu, berjalan lambat-lambat ke arah sungai Han yang memantulkan sinar mentari sore berwarna kemerahan. “Aku membawamu ke mari bukan untuk membuatmu semakin sedih. Bagaimana kalau kita hentikan pembicaraan ini?” ia memutar tubuhnya menghadap gadis itu.

Hae-bin menegang dan merasakan detak jantungnya kembali meningkat ketika melihat senyum tulus yang disunggingkan pria itu. Mata hitam dan jernihnya menatap mata Hae-bin lurus-lurus dan tampak begitu teduh juga menenangkan. Gadis itu tersenyum kaku, “Ya, kau benar.” Ia kembali menunduk. Tak sanggup menatap sinar mata Dong-hae yang membuat jantungnya kembali menghentak-hentak tak kenal kompromi.

“Aduh!” jeritan Dong-hae membuatnya buru-buru mengangkat wajahnya.

“Kak Dong-hae, kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir mendapati pria itu tengah berjongkok sembari memegangi kakinya di pinggir pembatas sungai Han, “Apa kau menginjak pecahan kaca atau semacamnya?” Hae-bin yang sudah tiba di sana ikut berjongkok dan mencoba memeriksa apa yang terjadi pada pria itu.


Saat gadis itu tengah menunduk memperhatikan kakinya, Dong-hae justru menyeringai jahil lalu tangannya menyentuh permukaan air sungai Han yang ketinggian airnya hampir mencapai pembatas, lalu memercikkannya pada Hae-bin.

Tersentak kaget ketika merasakan percikan air menyentuh wajahnya diikuti tawa nyaring Dong-hae, gadis itu buru-buru berdiri dan menggerutu, “Aisshh...awas kau ya?” ia pun mulai menunduk ke arah sungai dan membalas perbuatan Dong-hae dengan memercikkan air berkali-kali, namun pria itu berhasil menghindar dan berlari sejauh mungkin. “Ya! Kau pikir kau bisa lari dariku?” pekik Hae-bin sembari terus mengejar Dong-hae yang masih tetap berlari sambil tertawa-tawa.



-Hongdae-

“Ya! Kau harus membayar semua yang kau lakukan padaku?” teriak Yu-ri untuk kesekian kalinya sambil terus mengekor di belakang Soo-hyun. “Ya! Kim Soo-hyun!” suara Yu-ri meningkat satu oktaf membuat pria bernama Soo-hyun itu menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.

“Kau mau membuatku tuli?” balas Soo-hyun setelah membalikkan badannya menghadap Yu-ri.

“Oh...kupikir kau memang tuli,” komentar Yu-ri sembari mencibir. Tanpa menjawab kata-kata Yu-ri pria itu berputar dan berjalan menjauh. “Haiiisshh...pria ini benar-benar,” decak Yu-ri kesal. “Ya! Kalau kau memang tidak tuli kenapa kau tak mendengarkan kata-kataku?”

“Aku tak merasa memiliki urusan denganmu,” kata Soo-hyun dingin sambil terus berjalan.

“Apa katamu? Setelah menggagalkan urusanku kau bilang tak memiliki urusan denganku?” Yu-ri terus berusaha menjajari langkah Soo-hyun. “kalau tadi kau tak ikut campur, aku pasti sudah membuat pria tua itu menyadari kesalahannya.”

Soo-hyun berhenti melangkah, “Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan kekerasan.”

“Lihat, siapa yang bilang begitu?” dengus Yu-ri, “Seorang presiden mahasiswa yang gemar sekali menghukum anggotanya yang melanggar peraturan.”

“Tolong dibedakan antara kekerasan dan latihan kedisiplinan.”

“Latihan kedisiplinan katamu?” Yu-ri berkacak pinggang, “kau pikir kami kuliah di militer?” Soo-hyun mencibir dan kembali berjalan meninggalkan Yu-ri. “Ya! Aku tidak mau tau, pokoknya kau harus bertanggung jawab Kim Soo-hyun!” jerit Yu-ri keras-keras tak mempedulikan pandangan orang-orang padanya.

Seorang wanita paruh baya pemilik kedai yang tak sengaja mendengar teriakan Yu-ri itu segera menghadang Soo-hyun. “Hey, apa yang kau lakukan pada gadis itu?” wanita itu menunjuk Yu-ri menggunakan kemucing yang tadi dipegang untuk membersihkan kedainya. “Kau menghamilinya?”

Kontan Soo-hyun membelalakkan matanya mendengar kata-kata yang dilontarkan wanita itu. “A-apa? Au...!!!” wanita itu memukul punggung Soo-hyun keras dan berkali-kali dengan kemucingnya.

“Jangan cuma bisa membuatnya saja, kau harus bertanggung jawab! Dasar anak muda jaman sekarang!” omel wanita itu sambil tetap memukul Soo-hyun.

“Au...bukan seperti itu Bi, au...”Soo-hyun berusaha menghindar, “Ya! Shin Yu-ri, jangan diam saja! Jelaskan pada Bibi ini kalau kau tidak hamil!”

Yu-ri yang melihat kejadian itu hanya bisa tertawa terbahak-bahak hingga mengeluarkan air mata.Rasakan!, batin Yu-ri puas.



-Kediaman keluarga Park-

Hae-bin turun dari motor Dong-hae dengan berat hati menatap bangunan besar di hadapannya. Rumah yang saat ini ditempatinya memang megah dan mewah, tapi sama sekali tak memberikan rasa nyaman untuknya. Sangat berbeda dengan rumah Yu-ri yang jauh lebih sederhana dari rumah yang ada di hadapannya saat ini. Tapi di sana ia menemukan kehangatan sebuah keluarga. “Terima kasih sudah menemaniku hari ini,” gumam Hae-bin penuh syukur.

Dong-hae tersenyum, “Aku justru senang bisa menemanimu,” ia menerima helm yang disodorkan Hae-bin padanya, “lain kali kalau kau butuh bantuanku, hubungi saja aku.”

Hae-bin tertawa renyah, “Kau memang yang terbaik kak,” puji Hae-bin, “aku janji akan menjadi gadis yang lebih kuat seperti katamu tadi. aku juga berjanji akan membantumu belajar bahasa Inggris.”

“Ah...benar, aku hampir saja lupa. Bahasa Inggris,” Dong-hae meringis.

“Haha...kau jangan khawatir, tahun ini kau pasti lulus! Asal kau berjanji untuk lebih fokus.”

Dong-hae menggaruk belakang kepalanya, “Ya, kukira kita impas sekarang. Kau berjanji padaku untuk menjadi lebih kuat, dan aku berjanji padamu untuk menjadi lebih fokus. Kau setuju?”

Mendengar kata-kata Dong-hae itu justru membuat pipi Hae-bin memanas. Kenapa ia berkata begitu? Saling berjanji satu sama lain seolah pasangan kekasih?, batin Hae-bin bingung.

“Park Hae-bin, halo! Nona Park, kau mendengarku?” Dong-hae melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Hae-bin hingga hampir menyentuh hidung mancung gadis itu. “Kau setuju denganku bukan?”

“Oh? Ya, tentu saja,” balas Hae-bin kikuk merasakan jantungnya yang kini mulai tak bisa berkompromi lagi.

“Oke, sepakat!” Dong-hae mengulurkan tangannya. Walau ragu, Hae-bin akhirnya membalas uluran tangan pria itu. Merasakan sentuhan lembut tangan Dong-hae, seolah-olah mengirimkan beribu-ribu kilowatt aliran listrik dalam tubuh Hae-bin. Walau ia sadar, ini bukan pertama kalinya ia berjabat tangan dengan pria itu. Apa ini?, batinnya.



-Kedai Samgyupsal, Hongdae-

Soo-hyun meringis ketika Yu-ri mengoleskan obat di kulitnya yang terluka setelah dipukuli wanita paruh baya tadi. Wanita paruh baya yang merupakan pemilik kedai itu merasa bersalah setelah mengetahui masalah yang sebenarnya dan mempersilakan Soo-hyun dan Yu-ri mampir di kedainya terlebih dahulu untuk mengobati luka Soo-hyun akibat perbuatannya tadi. Wanita paruh baya bernama Go Sang-mi itu juga telah menyiapkan seporsi besar Samgyupsal untuk mereka berdua. “Makanlah dulu,” gumamnya sambil meletakkan semangkuk daging segar berikut pemanggangannya. “Kenapa kau tidak bilang kalau gadis itu tidak hamil?”

Yu-ri terkikik geli membuat Soo-hyun mendelik sewot, “Tidak usah terlalu repot Bibi Go,” balas Yu-ri sopan.

“Tidak apa-apa, makanlah!” wanita itu menghampiri meja mereka dan ikut duduk di sana. “Kau tidak apa-apa kan?” Soo-hyun mengangguk sembari meringis, “habisnya kalian bertengkar seperti seorang pacar yang meminta pertanggung jawaban kekasihnya,” gerutu Bibi Go.

Yu-ri kembali terkikik mendengarnya, “Ya! Kau puas sekarang?” omel Soo-hyun kesal. Hilang sudah raut wajah tenang dan dingin yang selama ini selalu diperlihatkan pria itu.

“Kau memang pantas mendapatkannya!” balas Yu-ri puas.

“Hah...ya sudah maafkan Bibi kalau begitu,” sambung Bibi Go.

“Tidak perlu minta maaf Bi, pria ini memang pantas dipukuli,” celetuk Yu-ri, tapi Soo-hyun tak menanggapi. Pria itu sibuk dengan daging panggangnya.

“Yah...aku memang agak sensitif untuk masalah seperti ini,” wanita paruh baya itu bergumam dengan pandangan menerawang seolah tengah mengenang sesuatu.

“Apakah Bibi pernah mengalaminya? Kekasihmu meninggalkanmu?” Yu-ri bertanya tak mempedulikan dengusan keras Soo-hyun.

“Bukan aku, tapi adikku,” kenang Bibi Go, “saat ia mengatakan pada kekasihnya bahwa ia hamil. Kekasihnya malah pergi meninggalkannya dan tak pernah kembali.”

Yu-ri menepuk pundak Bibi Go merasa prihatin, “Lalu apa yang terjadi pada adikmu Bi?”

“Jung-mi bunuh diri karena tak kuat menahan tekanan yang diberikan orang-orang di sekelilingnya,” cairan bening mulai membasahi pelupuk mata wanita paruh baya itu.

“Hah...dasar pria gila! Awas saja kalau bertemu denganku, pasti sudah kupiting lengannya!” geram Yu-ri terbawa suasana.Mendengar jawaban Yu-ri itu, membuat Soo-hyun tak kuasa menahan senyum. Pria yang jarang sekali tersenyum apalagi tertawa itu, akhirnya tersenyum juga. Sangat kekanak-kanakan, pikir Soo-hyun.

“Ya berjanjilah padaku, kalau kau bertemu pria itu. kau akan melakukannya,” sambung Bibi Go membuat Soo-hyun semakin geli.

“Apa yang kau tertawakan? Kau pikir aku lucu, hah?” sungut Yu-ri yang tak sengaja melihat pria itu tergelak.

“Tidak ada,” balas Soo-hyun sambil terus menahan senyum, ia beranjak dari kursinya setelah daging di mangkuknya benar-benar habis. “Aku pulang dulu,” katanya lalu meletakkan uang di meja.

“Ya! Kau mau kemana? Jangan kira urusan kita selesai sampai di sini,” Yu-ri ikut beranjak dari kursinya. “Bibi Go, kami pamit dulu ya!” katanya pada wanita paruh baya yang saat ini masih sibuk dengan kenangannya itu lalu berlari mengejar Soo-hyun yang sudah keluar lebih dulu. “Kim Soo-hyun! Tunggu aku! Kau harus ber—“ Soo-hyun membekap mulut Yu-ri  sebelum sempat gadis itu menyelesaikan kalimatnya.

“Kau mau membuatku seperti terdakwa yang menghamili anak orang lagi?” desis Soo-hyun, “Sudah cukup aku dipukuli hari ini.”

Berusaha meronta melepaskan bekapan Soo-hyun, Yu-ri yang akhirnya bisa lepas bergumam sambil mengerucutkan bibirnya, “Salah sendiri kau main kabur saja, bukankah aku sudah bilang aku masih ada urusan denganmu?”

Soo-hyun menghela nafas berat, “Apa lagi?” tanyanya setengah tak tertarik.

“Kau harus membantuku menghadapi pria tua parasit itu, hingga ia mengembalikan uang yang didapatnya dari Ibuku,” cetus Yu-ri. Soo-hyun melongo mendengar penjelasan Yu-ri.

“Kenapa harus aku?” tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Haiisshh...jangan lupa kau telah menggagalkan rencanaku menghukumnya?”

“Itu bukan urusanku!” Soo-hyun berbalik.

“Ya! Kau harus—“

“Baiklah...baiklah!” potong Soo-hyun kesal karena gadis itu tak mau menyerah. Ia tak ingin orang-orang salah paham lagi padanya, “Apa yang kau ingin aku lakukan?” Soo-hyun melipat tangannya di depan dada.

“Kau harus membuktikan padaku tentang ucapanmu tadi, bahwa kekerasan tak selamanya dapat menyelesaikan masalah. Jadi tunjukkan padaku, cara apa yang bisa kau pakai untuk menyadarkan pria itu,” tantang Yu-ri sembari menarik salah satu sudut bibirnya. Merasa puas karena berhasil membuat pria yang selalu tampak tenang itu kelabakan.

Sial, ternyata di balik tingkah konyolnya. Gadis ini pintar juga memutarbalikkan keadaan, batin Soo-hyun.



-Universitas Sogang-

Yu-ri melompat dari bangku yang didudukinya ketika mendengar seseorang mengagetinya dari belakang. “Kak Dong-hae?” pekiknya berusaha menormalkan denyut jantungnya yang meningkat.

Dong-hae tertawa lebar dan buru-buru menghindar sebelum jitakan Yu-ri sempat mampir di kepalanya. Pria itu memeletkan lidahnya untuk mengejek Yu-ri yang tidak berhasil menjitaknya.

“Kau mau melawan pemain Taekwondo sepertiku?” tantang Yu-ri dengan penuh percaya diri.

“Oh...boleh juga, jangan lupa kalau kekasihmu ini seorang penari handal,” goda Dong-hae tak mau kalah.

“Oke, kita lihat siapa yang menang?” Yu-ri menyeringai sembari bergerak selincah mungkin berusaha mendaratkan tangannya di bagian tubuh Dong-hae—manapun. Begitu pula sebaliknya, Dong-hae berusaha menghindar dari serangan Yu-ri.

Selama beberapa menit, keduanya asyik dengan kejar-kejaran manis menggunakan gaya masing-masing sambil sesekali tertawa bersama ketika salah satunya berhasil mendaratkan pukulan di tubuh yang lainnya. “Ya! Cukup...sudah!” Dong-hae duduk di bangku taman di sebelahnya terengah-engah kelelahan. “Hyukkie akan marah kalau tenagaku habis sebelum latihan dimulai,” gumamnya terus berusaha menata tarikan nafasnya yang masih tersengal-sengal.

Yu-ri menyeringai, sebelum ia ikut duduk di samping kekasihnya itu. Untuk terakhir kalinya, tangannya dengan sukses mendarat di kepala Dong-hae membuat pria itu memekik sambil menggerutu dan mengusap-usap kepalanya. “Ternyata usia memang tak bisa berbohong,” komentar Yu-ri.

“Ya! Apa maksudmu? Usia?” protes Dong-hae lalu mulai menggelitiki kekasihnya yang kini sudah duduk di dekatnya.

“Haiisshh...hentikan Lee Dong-hae! kau memang tau kelemahanku!” pekik Yu-ri berusaha meronta dari serangan bertubi-tubi Dong-hae.



Sementara itu di asrama kampus Sogang, Soo-hyun tengah duduk merenung di depan kamarnya sambil membolak-balik buku di pangkuannya, walau tak ada satupun kalimat yang ia baca berhasil masuk dalam otaknya. “Kau sudah lama menunggu?” sapa seorang gadis cantik yang baru saja tiba dengan membawa sebungkus makanan. Park Hae-bin, gadis itu duduk di hadapan Soo-hyun.

“Tidak juga,” balas Soo-hyun acuh tak acuh sambil meneruskan membuka-buka halaman bukunya.

“Aku sudah dengar tentang adikmu,” Hae-bin memulai pembicaraan. Soo-hyun mendongak menatap kekasih yang sudah cukup lama tak ditemuinya itu.

“Yu-ri yang menceritakannya padamu?”

“Eh? Yu-ri?” Hae-bin menatap Soo-hyun bingung. Kenapa Yuri?, batin  Hae-bin.

“Oh...kupikir temanmu yang tak bisa diam itu yang menceritakannya padamu,” Soo-hyun kembali memusatkan perhatiannya pada bukunya.

“Soo-hyun, tolong jelaskan padaku. Kenapa harus Yu-ri? Ada apa dengannya? kenapa ia justru lebih tau dariku?” cecar Hae-bin.

Malas menanggapi pertanyaan Hae-bin, Soo-hyun beranjak dari kursinya. “Kau tanya saja pada sahabatmu itu,” ia pun berlalu ke kamarnya meninggalkan Hae-bin yang hanya bisa melongo seorang diri.



Mencoba mencerna apa yang dikatakan Soo-hyun tadi, membuat Hae-bin jadi tak bisa fokus mendengarkan penjelasan profesor Mark yang tengah menerangkan materi conditional sentence di depan kelas. Kelas berkapasitas 100 mahasiswa itu tampak lengang, karena banyak mahasiswa yang tak dapat mengikuti kuliah. Terlalu sibuk dengan persiapan peringatan ulang tahun universitas Sogang yang akan dihelat dalam 3 hari mendatang.

Dong-hae mengendap-endap masuk melalui pintu samping yang terbuka. Pria itu duduk tepat di samping Hae-bin yang tersentak kaget karena kedatangannya yang tiba-tiba. “Kenapa kau terlambat?” desis Hae-bin.

“Lebih baik terlambat kan daripada tidak sama sekali,” sahut Dong-hae santai sembari mengedikkan bahu. Ia mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas.

“Ya, tapi kelas sudah berjalan setengah jam,” Hae-bin menunjukkan lengannya yang dihiasi arloji berwarna biru safir, cocok dengan warna kemejanya hari ini.

“Tenang saja, kan ada kau yang bisa mengulang penjelasan Profesor Mark padaku,” Dong-hae beralasan.

“Haiishh...baru kemarin kau bilang akan lebih fokus,” Hae-bin mengingatkan.

Dong-hae menyeringai, “Jangan terlalu galak padaku Ibu Guru yang cantik, aku kan masih sibuk dengan latihan tariku untuk tampil di acara ulang tahun kampus,” rayu Dong-hae. Pipi Hae-bin bersemu merah. “Eh...kau pasti datang kan? Bukankah kekasihmu ketua panitianya?”

Mengingat Soo-hyun, masalah yang tadi sempat menghilang di pikirannya. Kini kembali muncul. Ada hubungan apa antara Soo-hyun dan Yu-ri?, batinnya.

“Hey, kau belum menjawab pertanyaanku!” desak Dong-hae sambil mengguncang tubuh Hae-bin.

“Mr. Lee, Ms. Park!!! Kalau kalian tak ingin mengikuti kuliahku, sebaiknya keluar saja!” tegur Profesor Mark.



-Kediaman Keluarga Shin-

Yu-ri menekuk lutut dan menopangkan kepalanya di atasnya. Sedangkan televisi menyala di depan sofa tempatnya duduk. Bibirnya melengkungkan senyum puas ketika mengingat kejadian sore kemarin.Akhirnya aku berhasil membuatnya kelabakan, pikir Yu-ri mengenang wajah Soo-hyun yang sukses dibuatnya melongo.

“Apakah kau harus sesenang itu melihat orang lain menderita?” suara kakaknya membuat Yu-ri buru-buru menoleh dan menautkan kedua alisnya. Darimana ia tau?, batin Yu-ri heran, apa ia bisa membaca pikiran seseorang? “Kurasa drama itu sedang menampilkan adegan sedih, kenapa kau malah tersenyum?” penjelasan kakaknya itu menjadi masuk akal di benak Yu-ri sekarang. Ya, mana mungkin kakaknya tau, padahal ia belum menceritakan apapun padanya. Memangnya dia peramal?, dengus Yu-ri dalam hati.

“Ah...kak, kemarin aku bertemu dengan pria tua brengsek itu,” Yu-ri mencoba mengalihkan topik.

Mata Yoon-hee membulat dan buru-buru duduk di samping adiknya, sambil tetap menggendong stopless plastik berisi makanan ringan yang tadi dibawanya. “Benarkah? Apa kau sudah menghajarnya?”

Yu-ri mendengus, “Belum,” jawabnya muram. Kalau saja tak digagalkan oleh pria itu, pasti ia sudah membuat lelaki yang memoroti Ibunya itu babak belur. Tapi akhirnya pria sok bijak itu kena batunya juga, batin Yu-ri kembali teringat ketika Bibi Go si pemilik kedai Samgyupsal memukulinya. Yu-ri terkikik geli mengingatnya.

“Ya, kalau belum. Kenapa kau tertawa? Harusnya kau menghajarnya agar ia tau rasa dan tidak mengulanginya lagi,” protes Yoon-hee emosi. “Kau sebut dirimu itu juara Taekwondo? Kalau saja Ayah masih ada...” Yoon-hee terus menggerutu.

“Tenanglah kak,” Yu-ri menyeringai, “Pria parasit itu pasti akan kena batunya,” katanya yakin. Ia sudah bertekad. Walau Kim Soo-hyun tak berhasil dengan caranya. Ia sudah memiliki rencana sendiri untuk membuat pria-parasit itu tau rasa, dan mau mengembalikan apa yang telah diambilnya dari Ibunya.

“Jangan hanya bicara saja.”

“Kau serahkan—“ Dering ponsel Yu-ri menyela kalimatnya. “Halo, Hae-bin?!” sapanya pada si penelepon.

“Oh...hai Yu-ri,” tampak suara Hae-bin ragu-ragu di seberang.

“Kau kenapa? Apa kakak dan Ibu tirimu menyiksamu lagi?” tanya Yu-ri khawatir.

“Eh...tidak, bukan itu,” bantahan Hae-bin tak lantas membuat Yu-ri percaya. Karena ia mendengar suara sahabatnya masih tampak tak yakin. Ia sangat mengenal sahabatnya itu. Pasti ia sedang memiliki masalah, batin Yu-ri.

“Kita berteman bukan hanya setahun dua tahun Park Hae-bin, katakan saja apa masalahmu!” desak Yu-ri, “apa perlu aku datang ke rumahmu untuk memberi mereka pelajaran?”

“Ya! Sudah kubilang bukan itu!” sergah Hae-bin.

“Lantas apa?”

“Emmm...Yu-ri, apa kau...” Hae-bin menghela nafas.

“Apa? kenapa kau berhenti?”

“Begini...apa kau...kau...akan hadir di acara ulang tahun universitas Sogang?” alis Yu-ri bertaut.Aneh, pikirnya. Kalau hanya untuk membicarakan masalah itu, kenapa sahabatnya itu tampak sangat berat untuk mengungkapkannya?

“Yu-ri?”

“Ya, oh...ya, aku pasti datang,” balas Yu-ri. Pikirannya masih sibuk menerka-nerka apa masalah yang menimpa Hae-bin. Tapi ia tak ingin memperpanjang desakannya. Ia sangat mengenal sahabatnya itu, Hae-bin tak akan bercerita jika tak ingin mengungkapkannya sendiri. Aku akan menunggu saja sampai kau mau bercerita, putus Yu-ri.

“Oke, kalau begitu sampai jumpa di sana.”

“Ya, sampai jumpa,” Yu-ri menekan tombol merah di ponselnya dan menghela nafas.



-Kediaman Keluarga Park-

Hae-bin melempar ponselnya gemas ke tempat tidur berbalut sprei coklat muda yang berada tepat di sampingnya. Ia masih dibingungkan dengan kata-kata Soo-hyun pagi tadi.Tapi mendengar suara Yu-ri, bibirnya tak sanggup menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia tak mau Yu-ri salah paham padanya dan mengira ia mencurigai Yu-ri memiliki hubungan yang tidak seharusnya dengan kekasihnya itu. Bukankah dirinya juga saat ini tengah dekat dengan kekasih Yu-ri. Mungkin hanya hubungan teman seperti dirinya dan Donghae, begitu pikirnya. Tapi mengingat hubungan keduanya yang tak baik dari awal, apalagi saat pertandingan taekwondo kemarin. Ia meragukan keduanya bisa dekat.

Soo-hyun adalah sosok pria dingin yang tak gampang akrab dengan seseorang. Berbeda sekali dengan Dong-hae, pria ramah yang menyenangkan dan pandai sekali membuat orang-orang di sekitarnya tertarik. Cocok sekali dengan Yu-ridia benar-benar beruntung, batin Hae-bin. Entah mengapa ia merasa tak nyaman memikirkannya.

“Hah...Park Hae-bin, apa yang kau pikirkan?” Hae-bin bergumam pada dirinya sendiri, “Bukankah kau juga beruntung memiliki kekasih sebaik Soo-hyun?”

Ia kembali terkenang bagaimana dirinya bertemu Kim Soo-hyun pria yang saat ini menjadi kekasihnya, untuk pertama kali. Saat itu, mereka masih sama-sama kecil dan tinggal di panti asuhan yang sama.


13 Tahun yang lalu...

“Hya! Apa yang kalian lakukan? Kenapa gadis itu menangis?” Soo-hyun kecil berlari menghampiri Hae-bin kecil yang saat itu tengah menangis tersedu-sedu setelah diganggu oleh teman-temannya.

Hae-bin yang pendiam dan pemalu menjadi sasaran empuk kejahilan teman-temannya. Apalagi ia baru tiba seminggu yang lalu di panti asuhan ini. Setelah malam itu, Ibunya menitipkannya. Ibu Hae-bin berjanji akan menjemputnya saat ia telah memiliki cukup uang untuk menghidupi mereka berdua. Ya, Ibu Hae-bin mengirimnya ke panti asuhan karena saat ini mereka berdua sedang kesulitan ekonomi. Ibu Hae-bin baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai pramuniaga sebuah toko. Apalagi usia Hae-bin yang beranjak ke usia sekolah, membuat Ibunya berinisiatif untuk menitipkan Hae-bin di panti asuhan untuk sementara waktu.

 “Kau tidak apa-apa?” tanya Soo-hyun khawatir berusaha menarik tubuh kecil Hae-bin yang terduduk di tanah. Teman-temannya sudah pergi meninggalkan mereka. “Kau baru ya di sini?” Gadis kecil berusia 7 tahun itu hanya mengangguk.

“Aku merindukan Ibu,” isaknya.

“Ayo, sebaiknya kau ikut aku saja!” pria kecil itu menarik tangan mungil Hae-bin dan membawanya ke sebuah ruangan yang tampak seperti gudang. Ruangan itu berisi kusen-kusen dan kardus-kardus usang yang di susun rapi.

“Tempat apa ini?” tanya Hae-bin sambil memperhatikan sekeliling.

“Kau obati dulu lukamu,” kata Soo-hyun yang sudah muncul di samping Hae-bin dengan membawa sekotak obat-obatan.

“Kau belum menjawab ini tempat apa?”

“Ini tempat persembunyianku,” jawab pria itu, masih sibuk menempelkan plester di lutut Hae-bin yang terluka.

“Tempat persembunyian?” mata kecil Hae-bin membulat.

“Ya, kau bisa ke mari kalau kau merasa terganggu dengan teman-teman yang lain. Aku tidak keberatan, asal kau jangan menggangguku,” terang Soo-hyun.

“Oh benarkah? Terima kasih banyak,” ucap gadis itu penuh syukur, merasa memiliki teman baru yang bisa ia percaya. “Aku Hae-bin, Park Hae-bin,” cetusnya sembari mengulurkan tangan.

“Kim Soo-hyun,” balas pria kecil di depannya.



Hae-bin tak kuasa menahan senyum dan juga air mata di saat bersamaan ketika kenangan itu melintas begitu saja di otaknya. Sejak pertemuan pertama itu, setiap hari mereka berdua selalu menghabiskan waktu bersama di gudang. Walau keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Soo-hyun dengan buku-buku yang katanya ia pinjam dari perpustakaan di sekolahnya dan Hae-bin dengan foto Ibunya dan buku diary kecilnya yang selalu setia menemani. Hae-bin yang juga memiliki hoby menggambar, bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menggambar sesuatu yang ia sukai.

Keduanya memang tak banyak mengobrol satu sama lain. Tapi cukup dekat karena pertemuan setiap hari selama kurang lebih 6 tahun, hingga mereka harus berpisah. Soo-hyun mendapat orang tua angkat dan ia sendiri bertemu Ibunya kembali.

Pesan masuk di ponselnya membuyarkan lamunan Hae-bin. Ia buru-buru bangkit dan membuka pesan yang masuk.

From: Shin Yu-ri

Kalau kau sudah siap, ceritakan padaku ada apa denganmu? Aku tau kau tadi berbohong saat ditelepon.

Hae-bin tersenyum getir. Tak seharusnya ia mencurigai sahabatnya seperti ini. Pesan kedua kembali masuk ke ponsel Hae-bin sebelum sempat gadis itu membalas pesan Yu-ri.

From: Lee Dong-hae

Ibu Guru yang cantik dan baik, bolehkah besok aku ke rumahmu untuk belajar bahasa Inggris? Tugas yang tadi diberikan Profesor Mark sama sekali tak bisa kukerjakan. Boleh ya? ^^

Hae-bin tersenyum membaca pesan dari Dong-hae itu. Membayangkan pertemuannya dengan Dong-hae besok, membuat detak jantung Hae-bin kembali tak bisa berkompromi. Kenapa aku begini?,batinnya bingung.


~To Be Continued.....


By Yuli ~Admin Lee~

Bagaimana? bagaimana? jangan Lupa RCL yaa...atau klo mau ngasih makanan juga gpp, saia terima dengan senang hati (?)

1 komentar:

  1. kreeeen kreeeen crita'na,,,gg sbar nii ma klanjtannya ditunggu ya....
    ^_^

    BalasHapus