Sabtu, 10 Desember 2011

S W I T C H -Chap 4-

-Chapter 4-




-Universitas Sogang-

Pagi-pagi sekali Yu-ri sudah sampai di kampusnya. Hari ini akan ada audisi masuk klub Taekwondo. Ia benar-benar tak sabar menantikannya hingga kakak dan Ibunya sangat heran melihat Yu-ri serajin itu. “Hey Yu-ri!” kontan gadis itu menoleh ketika mendengar seseorang menyebut namanya. 

“Seung-ri?”

“Kau ikut audisi juga rupanya,” gumam pria bernama Seung-ri itu. Pria itu adalah salah satu teman Yu-ri ketika di SMA dulu, dan ia juga merupakan saingannya ketika masih tergabung di klub Taekwondo SMA mereka. “Bagus sekali,” komentar pria itu sembari menyeringai senang. Mereka berdua sama-sama pemegang sabuk biru Taekwondo yang merupakan tingkatan keempat dalam seni bela diri tersebut.

“Hmm...kau berniat melawanku lagi?” ejek Yu-ri, “jangan lupa kalau kau dulu kalah padaku.”

Pria itu tertawa, “Kau tak tau saja kalau kemampuanku sekarang sudah lebih baik,” sombongnya.

“Kalau begitu buktikan!” tantang Yu-ri lalu melangkah masuk ke dalam ruangan audisi yang sudah dipenuhi oleh mahasiswa baru yang berniat mengikutinya.

Setelah menunggu kurang lebih lima belas menit akhirnya acara itu dimulai dengan masing-masing peserta mempertunjukkan kemampuannya di hadapan para Saebum (pelatih) dan beberapa orang pengurus yang merupakan senior mereka. Acara ini diadakan juga sebagai placement test untuk menguji sejauh mana keterampilan para pendaftar agar memudahkan dalam mengklasifikasikan mereka sebagai pemegang sabuk putih (pemula), kuning, hijau, biru, merah atau bahkan tak menutup kemungkinan mereka pemegang sabuk hitam.

Yu-ri sukses pada tahap pertama ini, dengan menampilkan Goley Chagi (tendangan ganda) dan Dwi Hurigi (tendangan berputar melalui belakang) andalannya. Para senior bahkan sang Saebum pun tersenyum puas. “Bagus, kau lolos ke tahap selanjutnya Nona Shin,” komentar Saebum Goo.

“Terima kasih,” Yu-ri mengakhiri dengan sikap hormat. Ketika menuju ke tempat duduknya ia menangkap ekspresi menantang Seung-ri sementara Yu-ri membalasnya dengan senyuman samar.

Ketika seluruh peserta telah mempertunjukkan kemampuannya. Didapatkan sekitar 33 orang yang lolos ke tahap berikutnya, sementara sisa-nya harus menerima sabuk putih Taekwondo. Pertandingan tahap selanjutnya akan dilaksanakan setelah waktu makan siang, yang merupakan pertandingan peserta satu melawan peserta lainnya.


-Kediaman keluarga Lee-

“Astaga! Di mana kunci motorku, seingatku kuletakkan di meja ini,” keluh Dong-hae sembari mengacak-acak meja belajarnya. Hari ini ia sudah berjanji pada kekasihnya untuk hadir di acara audisi sekaligus placement test di klub Taekwondo. Tapi sudah tiga puluh menit ia mengacak-acak meja belajarnya bahkan kamar tidurnya tapi tetap tak menemukan yang ia cari. “Bibi Ma, kau melihat kunci motorku?” tanya Dong-hae pada salah seorang pelayan di rumahnya yang sudah ia anggap sebagai Ibunya sendiri, karena sejak kematian Ibunya, Bibi Ma-lah yang merawat dirinya dan kedua adiknya.

“Tidak Tuan Muda,” jawab Bibi Ma bingung. “Bukankah Tuan Muda yang menyimpannya?”


“Iya, tapi sudah kucari ke seluruh penjuru kamarku tapi tak kutemukan juga,” Dong-hae tampak gusar. Yuri pasti marah kalau tau aku belum juga tiba di sana, pikir Dong-hae, untuk kesekian kalinya ia melirik jam tangan yang sudah hampir menunjukkan waktu makan siang.

“Coba kau tanyakan pada Mook-jun,” saran Bibi Ma menyebut nama tukang kebun sekaligus supir keluarganya, “mungkin ia tau.”

Dong-hae menurut, ia pun menuju ke halaman rumahnya dengan terburu-buru. “Mook-jun!” panggilnya pada pemuda yang usianya tak jauh darinya itu.

“Ya, Tuan muda,” Mook-jun segera menghampirinya ketika mendengar namanya dipanggil. Pemuda itu sedang sibuk membersihkan mobil Tuan Lee, Ayah Dong-hae.

“Apa kau...” kata-kata Dong-hae terhenti ketika melihat motornya tak lagi terparkir di depan rumahnya, ia segera berlari ke garasi tapi tak juga menemukannya. Sementara Mook-jun membuntutinya dengan bingung.

“Apa yang kau cari Tuan Muda?” tanya pemuda itu membuat Dong-hae terkesiap dan baru menyadari keberadaan Mook-jun.

“Kau...melihat motorku?” tanyanya panik sambil menunjuk tempat ia biasa memarkirkan motornya dan sekarang tempat itu kosong.

“Motor? Saya pikir...Tuan muda meminjamkannya pada Nona Young-in?” gumam Mook-jun bingung sekaligus panik.

“Apa?” Dong-hae menatap Mook-jun.

“Tadi pagi, Nona Young-in bersama kekasihnya Tuan Kyu-hyun keluar menggunakan motormu dan ia bilang kalau kau sudah memberinya ijin Tuan,” cerita Mook-jun.

“YOUNG-IN!!!” geram Dong-hae frustasi.

“Bisakah kau mengecilkan suaramu?” mereka berdua sama-sama terkesiap ketika secara tiba-tiba Yoo-hee datang ke garasi sembari membawa sebuah tas kerja dan telah berpakaian rapi. Ia akan berangkat ke kantor Ayahnya untuk bekerja, sudah tiga bulan ini ia membantu Tuan Lee menjadi editor di perusahaan publishing milik Ayahnya itu.

Yoo-hee akan membuka pintu mobilnya ketika tiba-tiba Dong-hae menghampirinya dan menahan tangannya, “Yoo-hee, kumohon antar aku ke kampus!” pinta Dong-hae penuh harap. “aku bisa terlambat kalau kau tak mengantarku sekarang.”

“Kuberi waktu 3 menit, ah...tidak, aku terlalu baik,” Yoo-hee menggeleng, “satu menit, kalau kau tidak segera keluar...” Yoo-hee tak dapat menahan senyumnya melihat kakak yang hanya setahun lebih tua darinya itu lari terbirit-birit ke dalam rumah untuk mengambil tas dan barang-barang miliknya, “Mook-jun, lanjutkan saja pekerjaanmu. Nanti tolong antar Ayah ke kantor, untuk menghadiri rapat direksi,” perintahnya pada pemuda itu.

“Baik Nona!”



-Universitas Sogang-

“Kau hebat Yu-ri,” puji Hae-bin tulus sesaat setelah babak pertama usai.

Yu-ri tersenyum senang, “Tentu saja,” balasnya, “kau datang sendiri?” tanya Yu-ri sembari menoleh ke sekeliling.

“Memangnya kau berharap aku datang dengan siapa?”

Yu-ri menggeleng, “kupikir kau bersama kak Dong-hae, semalam ia bilang akan datang ke mari,” gumam Yu-ri kecewa.

“Mungkin dia sibuk, Yu-ri,” hibur Hae-bin.

“Ya, mungkin,” Yu-ri merengut, tapi tiba-tiba ia merubah ekspresinya, “Ah...bagaimana kalau kita ke kantin, sembari menunggu babak berikutnya!” cetusnya sementara Hae-bin hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.



Yu-ri menyantap dengan lahap makanannya tanpa mempedulikan pandangan orang-orang terhadapnya. “Pelan-pelan makannya Yu-ri,” Hae-bin memperingatkan, “kau seperti orang yang tak makan selama beberapa hari saja.”

“Sejak pagi aku belum sarapan Hae-bin,” Yu-ri beralasan, tadi pagi ia memang tak sempat sarapan karena terburu-buru berangkat ke kampus untuk mengikuti audisi Taekwondo.

Hae-bin menggeleng lalu menyerahkan tissue ke arah Yu-ri karena melihat ada saus yang menempel di pipi Yu-ri, “Bersihkan dulu saus itu,” gumam Hae-bin.

Yu-ri baru saja menerima tissue itu ketika tiba-tiba Dong-hae tiba di sana dengan nafas terengah-engah. “Hah...sudah kuduga kau di sini hah...” gumamnya berusaha menormalkan tarikan nafasnya.

Yu-ri bangkit dan segera menyodorkan segelas air putih miliknya pada pria itu, “Minumlah dulu!” gumamnya khawatir sembari menepuk-nepuk pundak Dong-hae, “kau seperti habis dikejar anjing saja,” komentarnya.

Setelah meminum air itu dalam sekali tegukan Dong-hae menatap Yu-ri dengan wajah menyesal, “Justru aku begini karena dirimu,” cetusnya.

“Ha? aku?” Yu-ri yang tak mengerti maksud Dong-hae, menatap kekasihnya itu dengan ekspresi bingung.

“Maaf aku terlambat,” tukas pria itu, “motorku dipakai Young-in tanpa sepengetahuanku.” Dong-hae kembali cemberut ketika mengingat tingkah adik bungsunya itu. Mendengar itu, Yu-ri benar-benar tak dapat menahan tawanya. “Hya! Kenapa kau tertawa?” protes Dong-hae.

“Lalu kau ke mari naik apa?” tanya Yu-ri tak mempedulikan kata-kata Dong-hae.

“Diantar Yoo-hee,” ungkapnya lalu mengambil tempat duduk di depannya.

“Aku tidak kaget kalau Young-in berbuat begitu,” tambah Yu-ri membuat Dong-hae kembali merengut. “Kau tak perlu takut aku akan marah kak, aku mengerti kok,” gumam Yu-ri sembari tersenyum. “Kau tidak datang juga tidak apa-apa.”

“Jadi kau tidak membutuhkanku sekarang?” Dong-hae beranjak dari kursinya.

“Hya!” Yu-ri buru-buru menahan lengan pria itu, “kau sudah di sini, kenapa mau per...” Yu-ri menghentikan kata-katanya ketika tiba-tiba Dong-hae mengusap lembut pipi kanannya.

“Ada saus di sana,” kata Dong-hae membuat Yu-ri tersadar dari keterkejutannya. “Jam berapa babak kedua dimulai?”

“Hmm...sekitar jam 3 sore ini,” balas Yu-ri lalu kembali menyantap makanannya.

“Ehm...” Hae-bin berdeham lalu berdiri membuat sepasang kekasih itu menoleh seolah baru menyadari keberadaan gadis itu di sana.

“Ah...Hae-bin, apa kabar?” sapa Dong-hae ramah.

Hae-bin tersenyum, “Baik,” sambutnya.

“Kau mau ke mana?” tanya Yu-ri ketika melihat sahabatnya itu meraih tasnya.

“Aku harus ke kelas, karena sebentar lagi kuliah bahasa Inggris dimulai,” pamitnya.

“Eh? Bahasa Inggris?” gumam Dong-hae ikut beranjak dari duduknya.

“Kenapa kak?” tanya Yu-ri bingung.

“Ah...” ia menatap kekasihnya penuh pertimbangan, “aku lupa, kalau hari ini juga ada kelas.”

Walau tampak kecewa kedua orang yang paling ia harap dapat menyaksikan aksinya di babak kedua nanti tak bisa hadir, Yu-ri menyunggingkan senyum tabah pada mereka. “Yah...aku tidak apa-apa,” ungkapnya, “doakan saja, aku meraih yang terbaik.”

“Pasti,” jawab Hae-bin dan Dong-hae hampir bersamaan, membuat Yu-ri menatap kedua orang itu heran.

“Kalian kompak sekali,” komentarnya.



“Jadi kau tidak bilang pada Yu-ri kalau kau mengulang mata kuliah bahasa Inggris?” tanya Hae-bin setelah Dong-hae menceritakan mengapa ia berbohong pada kekasihnya tadi. Ia benar-benar lupa bahwa hari ini ada kelas bahasa Inggris, dan karena sudah berjanji untuk serius mengikutinya, ia tak ingin melewatkannya walau terasa berat baginya.

“Ah...aku baru ingat,” tukas Dong-hae.

“Ingat apa?”

“Aku membutuhkan bantuanmu Hae-bin,” pintanya penuh harap pada gadis yang saat ini tampak kaget itu.

“Bantuanku? Untuk apa?” tanyanya bingung, “untuk menyembunyikan semua ini dari Yu-ri?”

Dong-hae tertawa ringan mendengar kata-kata Hae-bin tadi, “Bukan,” sergahnya, “aku butuh bantuanmu untuk memahami kuliah profesor Mark ini,” ungkap Dong-hae, “Ayah mengancamku, kalau tahun ini aku tak juga lulus, maka ia akan berhenti membiayai kuliahku,” ceritanya.

Hae-bin tersenyum samar, sembari menatap wajah tampan pria di depannya itu yang tampak tak bersemangat, “Baiklah, aku akan membantumu,” setuju Hae-bin membuat wajah Dong-hae seketika berseri-seri.

“Kau benar-benar baik!” puji Dong-hae tulus.

“Tapi tidak ada yang gratis di dunia ini,” gurau Hae-bin.

Dong-hae tertawa lebar sembari melipat tangan di dadanya, “Rupanya si gadis pendiam ini sudah bisa bernegosiasi sekarang,” komentarnya membuat Hae-bin tak dapat menahan senyum.

“Aku hanya bercanda,” gumam Hae-bin tetap tersenyum.

“Tidak, kau benar!” sergah Dong-hae, “memang tak ada yang gratis di dunia ini. apa yang kau inginkan?” tantang Dong-hae.

“Ah...sudahlah,” Hae-bin melambaikan tangannya, “lebih baik kita segera ke kelas, profesor Mark tak akan suka kalau kita terlambat.”

Dong-hae tersenyum jahil, “Hmm...sepertinya kau begitu menyukai profesor Mark,” gumam Dong-hae, “Apa kau ingin aku membantumu agar lebih dekat dengannya?” tawarnya membuatnya dihadiahi pukulan oleh Hae-bin.

“Jangan bicara yang tidak-tidak,” tukas Hae-bin lalu berputar dan mulai melangkah cepat dengan bibir masih menyunggingkan senyum cerah. Tak pernah ia merasa sesantai ini berada di dekat seseorang, apalagi seorang pria. Bahkan dengan kekasihnya sendiri, Kim Soo-hyun.



Yu-ri berhasil menyerang pertahanan Seung-ri dengan tendangan berputar miliknya, hingga pria itu jatuh terjengkang  karena kehilangan keseimbangan. Ia mengakui kemampuan pria yang dulu selalu menjadi saingannya itu sudah semakin baik sekarang. Tapi ia merasa bangga, karena dirinya masih mampu mengalahkan pria itu, yang artinya kemampuannya masih jauh lebih baik.

Ia mengulurkan tangan membantu pria itu berdiri. Tepuk tangan bergemuruh dari seluruh penjuru ruangan, membuat Yu-ri sedikit banyak merasa bangga akan kemampuannya. Seung-ri menyunggingkan senyum menantang pada gadis itu, “Aku akan berlatih lebih giat lagi,” bisiknya di telinga Yu-ri ketika mereka berdiri berdekatan, sementara Yu-ri hanya menanggapinya dengan mengangkat salah satu sudut bibirnya.

Seorang pengurus menghampiri mereka dan mengumumkan Yu-ri sebagai pemenangnya. “Baiklah, karena Nona Shin berhasil memenangkan pertandingan ini,” katanya, “Nona Shin dipersilakan untuk memilih sendiri lawan dari para sunbae-nim (senior) yang hadir di sini, untuk menguji kemampuanmu lebih jauh. Mungkin saja kemampuanmu sudah lebih dari para senior ini.”

Yu-ri mengangguk sopan lalu memperhatikan satu per satu orang-orang yang duduk di sebelah kanannnya yang tadi diperkenalkan oleh pengurus itu sebagai senior-seniornya. Matanya terbelalak lebar ketika melihat Kim Soo-hyun berada di deretan senior-senior itu. Reflek, tangannya terangkat dan menunjuk pria itu. “Ah...senior Soo-hyun,” cetus si pengurus.


Selama beberapa menit mereka berdua berhadapan. Yu-ri tak dapat menahan seringai puas ketika mengetahui lawannya adalah Kim Soo-hyun, pria yang selama ini membuatnya kesal dan tentu saja ajang ini bisa ia manfaatkan untuk melawan dan memukul bahkan menendang pria itu dengan jurus taekwondo andalannya.

Sementara Soo-hyun sendiri memandang Yu-ri dengan ekspresi datar tak terbaca. Setelah pembawa acara menyatakan dimulai, mereka berdua saling menghormat sebelum memulai pertandingan. Lalu tanpa menyia-nyiakan waktu lagi Yu-ri mengarahkan tendangan depan tapi pria itu berhasil menghindar dengan mudah, seolah bisa membaca gerakan Yu-ri.

Geram karena tak berhasil mengenai sasaran, Yu-ri kembali mengarahkan pukulan samping ke arah Soo-hyun, namun lagi-lagi pria itu berhasil menghindari pukulannya dengan gerakan cepat dan indah membuat Yu-ri semakin geram. Sial, hebat juga pria ini, pikir Yu-ri.

Menit demi menit berlalu, namun Yu-ri sama sekali belum berhasil memukul atau menendang pria itu, padahal sudah berkali-kali ia menyerang. Kekesalan Yu-ri semakin meningkat karena Soo-hyun terkesan meremehkan kemampuannya. Pria itu hanya bergerak menghindar ataupun menangkis serangan Yu-ri tanpa memberikan serangan balasan.

“Ayo serang aku!” tantang Yu-ri lirih ketika mereka berhadapan dalam jarak dekat.

Soo-hyun tersenyum samar, “kalau itu yang kau inginkan.”

“Hiaa...!!!” Yu-ri mengarahkan tendangan tengah tepat ke ulu hati pria itu, ketika dirasanya Soo-hyun lengah. Namun tanpa di sangkanya, pria itu berhasil menangkis tendangan Yu-ri dengan lengan kirinya sementara kaki kanannya menyerang kuda-kuda Yu-ri membuat gadis itu terhuyung ke samping  dan terjatuh ke matras.

Soo-hyun mengangkat salah satu sudut bibirnya lalu mengulurkan tangan untuk membantu Yu-ri berdiri, “Hanya segitukah kemampuanmu?” ejeknya pelan membuat Yu-ri semakin geram dan berniat menyerang Soo-hyun lagi tapi pria itu berhasil menahan pukulan Yu-ri dengan menangkap lengan gadis itu. “Inilah akibatnya kalau menggunakan jurus taekwondo dengan emosi untuk menang,” Soo-hyun memonologkan di depan orang-orang yang hadir di gedung olah raga itu. “Jurus-jurus taekwondo akan terekspresikan dengan baik kalau kita menggunakannya dengan tenang tanpa emosi apapun, kita tak akan pernah menang dalam pertandingan apabila kita menggunakan jurus-jurus taekwondo dengan emosi meledak-ledak seperti yang diperlihatkan oleh Nona ini,” Soo-hyun mengakhiri monolognya dengan melepaskan tangan Yu-ri.

Kontan wajah Yu-ri merah padam mendengar kata-kata Soo-hyun tadi. Sial! Dasar pria brengsek!, maki Yu-ri dalam hati. Sekali lagi tepuk tangan bergema dari seluruh ruangan. “Walau tak berhasil menyandang gelar sabuk hitam taekwondo, Nona Shin Yu-ri telah menunjukkan kemampuann terbaiknya hari ini, berikan tepuk tangan yang meriah untuknya,” pembawa acara mengumumkan sebelum mengakhiri acara itu.



“Sial...sial...sial...sial!!!” Yu-ri memukul-mukul pohon di dekat tempat parkir dengan perasaan campur aduk.

“Aku tak tau mengapa sepertinya kau sangat membenciku hingga kau harus mengorbankan gelar terbaik yang bisa kau dapatkan di pertandingan tadi,” Yu-ri terkesiap ketika merasakan suara seseorang yang sangat dikenalnya berkomentar.

Kim Soo-hyun, pria itu melangkah lambat-lambat ke arah Yu-ri. Mata Yu-ri membesar, “K-kau?”

Pria itu tersenyum samar, “Aku bukan hantu, kau tak perlu bertingkah seperti itu,” gumamnya. Yu-ri mengepalkan tangannya, mencoba menahan diri. Ia menyunggingkan senyum yang sangat dipaksakan, hingga terlihat seperti sedang meringis.

“Tidak perlu tersenyum, kalau tidak ingin,” komentar Soo-hyun dingin.

Merasa niat baiknya diremehkan membuat Yu-ri semakin geram, ia tak tahan lagi untuk menumpahkan amarahnya pada pria itu, “Hya! Jangan mentang-mentang kau orang kaya dan seorang presiden mahasiswa lalu kau dapat bersikap meremehkan pada semua orang,” sembur Yu-ri.

Soo-hyun mengerutkan kening, “Meremehkan?”

“Jangan berlagak polos!” gertaknya.

“Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan Nona,” gumam Soo-hyun, “aku ke mari hanya untuk menyampaikan salam Jung-hyun padamu,” tanpa menunggu Yu-ri menjawab, pria itu memutar tubuhnya dan meninggalkan Yu-ri seorang diri.

“Pria itu memang aneh!” gumamnya lirih sembari memperhatikan sosok Soo-hyun hingga menghilang dari pandangannya.



-Kediaman keluarga Park-

“Yu-ri, maafkan aku,” cetus Hae-bin merasa bersalah. Saat ini ia sedang berbicara melalui telepon dengan sahabatnya itu. Berita tentang kekalahan Yu-ri dan kejadian sore tadi menyebar cepat di kalangan mahasiswa.

“Minta maaf untuk apa?” balas Yu-ri.

“Karena aku tak bilang padamu kalau Soo-hyun penyandang sabuk hitam Taekwondo,” jelas Hae-bin.

Terdengar suara Yu-ri tertawa, “Sudahlah, jangan ingatkan aku dengan kejadian tadi. Sudah cukup aku merasa malu,” sergahnya mengingat kejadian sore tadi.

“Kau tidak marah padaku kan?”

“Astaga! Kenapa aku harus marah padamu? Berhenti berlaku seolah-olah semua kesalahan adalah tanggung jawabmu,” tukas Yu-ri.

Hae-bin tersenyum, “Maaf.”

“Sekali lagi kau ucapkan kata maaf, akan kujitak kepalamu!” ancam Yu-ri membuat Hae-bin tak dapat menahan tawanya.

Tok...tok...tok!!! suara pintu diketuk membuat Hae-bin menoleh. “Hae-bin, Ayah ingin bicara denganmu!” suara Tuan Park terdengar dari balik pintu membuat gadis itu buru-buru berpamitan pada Yu-ri dan menutup sambungan teleponnya.

“Masuklah Ayah,” Hae-bin mempersilakan ketika ia membuka pintu kamarnya.

“Kau tidak sedang sibuk?” tanya Tuan Park berbasa-basi.

Hae-bin menggeleng, “Tidak Ayah, apa yang ingin kau bicarakan?” Tuan Park melangkah masuk kedalam kamar Hae-bin dan berdiri mematung di depan nakas sambil memperhatikan foto Min Gyu-sun, ibu Hae-bin yang terpajang di sana. Melihat Ayahnya hanya mematung di depan foto ibunya, Hae-bin bergumam “Kau merindukan Ibu?”

Tuan Park menghapus tetes air mata di ujung matanya,“Gyu-sun, aku minta maaf karena telah membuatmu dan putri kita menderita,” Tuan Park berkata sembari mengangkat foto Ibu Hae-bin itu.

“Ayah!” Hae-bin menyentuh pundak Ayahnya lembut.

“Kau pasti benar-benar membenci Ayah sekarang,” gumam Tuan Park.

Hae-bin menunduk, “Ya, aku tak akan berbohong soal itu,” cetus Hae-bin, “aku benci mengapa Ayah dan Ibu harus melahirkan aku ke dunia ini,” tambahnya membuat Tuan Park tak dapat menahan diri untuk tak memeluk putrinya itu.

Dae-jia yang baru saja datang dari acara kencannya dengan Ji-hoon, berdiri mematung di depan pintu kamar Hae-bin yang terbuka ketika melihat kejadian itu. Tusukan rasa cemburu membuncah di hatinya. Entah sudah beberapa tahun yang lalu, sejak terakhir kali ia merasakan pelukan hangat Ayahnya. Selama ini Tuan Park selalu sibuk dengan pekerjaannya, hingga tak pernah sekalipun memberinya kasih sayang seperti itu.

Lalu yang membuatnya semakin geram dan kesal, mengapa justru Park Hae-bin, seorang adik tiri yang sangat tak diharapkannya, yang justru mendapatkan kasih sayang dari Ayahnya itu. tak ingin menyaksikan lebih jauh semua kejadian yang menyesakkan itu, ia segera berlari ke kamarnya dan membanting pintu keras-keras membuat Tuan Park dan Hae-bin tersentak dan melepaskan pelukannya.

“Ayah, maafkan aku. Kak Dae-jia pasti—“

“Biar Ayah yang menjelaskan padanya,” Tuan Park menyela perkataan Hae-bin, “Ayah tau dan sangat mengerti mengapa kakakmu bersikap begitu. Ini semua salah Ayah, dan Ayahlah yang harus menyelesaikannya. Sebenarnya, kakakmu itu gadis yang baik dan penurut. Hanya saja, mungkin berat baginya untuk menerima kenyataan ini. tolong jangan benci dia, Hae-bin!”

Hae-bin menggeleng-gelengkan kepalanya dan berusaha tersenyum maklum, “tentu saja tidak Ayah! aku mengerti semua itu.”



Beberapa hari telah berlalu semenjak kejadian itu, tapi keadaan di rumah masih tetap sama seperti biasa. Di luar dugaannya, kakak tirinya tak lagi menunjukkan sikap memusuhi seperti sebelumnya, hanya saja ia merasa akhir-akhir ini kakaknya selalu menghindar seolah-olah Hae-bin adalah penyakit menular yang bisa menjangkitinya kapan saja.

“Pagi kak!” sapa Hae-bin ragu-ragu ketika pagi ini ia melihat kakak tirinya itu sedang sibuk di depan laptopnya. Dae-jia menoleh ketika mendengar sapaan itu, tapi tak menjawab dan kembali meneruskan pekerjaannya. Hae-bin menghela nafas, dan memilih melangkah ke dapur untuk mengambil makanan karena dirasanya perutnya sudah lapar. Ketika melintas di samping Dae-jia ia tak sengaja melihat kakaknya sedang sibuk mendesain sesuatu. Tertarik dengan apa yang dilihatnya, Hae-bin bergerak mendekat dan berdiri di belakang kakaknya itu. Seperti sebuah cover, pikirnya. “Apakah itu untuk cover novelmu?” cetus Hae-bin membuat Dae-jia tersentak kaget dan segera menoleh ke belakang.

“Berhenti menggangguku!” sergah Dae-jia lalu menutup laptopnya dan beranjak dari sofa.

“Aku bisa membantumu kalau kau mau,” tawar Hae-bin.

Dae-jia menghentikan langkahnya, ia memang sudah tak pernah marah-marah lagi pada adik tirinya itu, semenjak sang Ayah berusaha menjelaskan padanya malam itu dan memohon pengertiannya. Tapi ia hanya berjanji pada Ayahnya untuk tak melampiaskan amarah pada Hae-bin, bukan untuk menerimanya sebagai seorang adik. Oleh karenanya, selama beberapa hari ini ia hanya menunjukkan sikap acuh pada gadis yang hanya dua tahun lebih muda darinya itu.

“Aku tau kau membenciku kak,” Hae-bin memberanikan diri bergumam, walau dirasa tenggorokannya tercekat oleh rasa kecewa dan takut.

“Baguslah kalau kau tau!” balas Dae-jia lalu kembali melangkahkan kakinya.

“Aku memang tak diharapkan di keluarga ini,” lanjut Hae-bin pilu kembali membuat Dae-jia berhenti melangkah, “aku hanya ingin berteman denganmu, tak perlu menganggapku sebagai adik. Setidaknya...kau mau—“

“Kau pikir mudah berteman dan menerima seseorang yang sudah menghancurkan keluargamu?” sela Dae-jia dingin setelah memutar tubuhnya menghadap Hae-bin. “Terserah kalau kau menganggapku jahat atau bagaimana? Bagiku, kau tetap anak haram Ayah!”

“Kak...” Dae-jia tak lagi mendengarkan kata-kata Hae-bin karena ia telah berlari menuju kamarnya dan membanting pintu dengan keras. Walau mengerti dengan sikap kakaknya, tapi Hae-bin juga manusia. Ia juga punya batas kesabaran. Air matanya jatuh tak terbendung, sesak mendengar kakaknya berkata begitu. Ia melangkah keluar rumah, menarik nafas dalam-dalam hingga ia merasakan paru-parunya bisa meledak kapan saja karena terlalu penuh. Namun perasaan sesak masih juga menyelubungi dirinya.

“Hae-bin?” suara seorang pria membuatnya terkejut dan sontak menoleh ke arah datangnya suara.

“Kak Dong-hae?” seru Hae-bin berusaha menghapus air matanya, dan meredakan isak tangisnya tapi tetap tak berhasil.

Dong-hae bergerak mendekat, “Kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir lalu mengusap air mata gadis itu dengan ujung jarinya.

Hae-bin berusaha tersenyum, namun terasa begitu getir. Air matanya juga tak mau berhenti mengalir, “Aku tidak apa-apa,” gumam Hae-bin dengan suara serak.

“Sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat,” gumam Dong-hae. Maksud kedatangannya ke mari adalah untuk belajar bahasa Inggris, tapi ia tak menyangka akan disambut dengan air mata oleh gadis itu.

“Maaf, aku...” isak tangisnya membuat Hae-bin tak mampu berkata-kata lagi.

Iba melihat gadis cantik yang begitu rapuh di depannya, reflek Dong-hae menarik Hae-bin dalam pelukannya. Berharap pelukannya dapat menghentikan tangis gadis itu. “Bersabarlah Hae-bin, apapun masalahmu...kau harus tetap kuat,” gumamnya sementara gadis itu terisak semakin keras.



“Kita mau ke mana?” tanya Hae-bin bingung sembari menerima helm dari tangan Dong-hae. setelah puas menangis, Dong-hae menawarkan diri untuk menghibur gadis itu.

“Pakailah, dan cepat naik,” ujar Dong-hae lalu menghidupkan mesin motornya.

“Kau bilang akan belajar bahasa Inggris?” Hae-bin menatap pria itu bingung.

“Kurasa kau sedang dalam kondisi yang tidak baik untuk mengajariku,” Dong-hae beralasan sembari menunjukkan senyum terbaiknya. “Naiklah!” ia menepuk-nepuk jok belakang motornya. Hae-bin menurut, setelah memasang helm-nya, ia pun naik ke motor Dong-hae, “berpeganganlah, aku tak mau kau jatuh karena aku terbiasa melaju dengan kecepatan tinggi.”

“Tapi...” Hae-bin tak dapat melanjutkan kata-katanya ketika secara tiba-tiba Dong-hae melajukan motornya membuatnya harus memeluk erat pinggang pria itu, bagian depan tubuhnya menempel erat pada punggung kekasih sahabatnya itu.

Deg...deg...deg...deg...deg...detak jantungnya tiba-tiba meninggi. Ada apa ini? kenapa aku jadi gugup begini?, batin Hae-bin bingung.



-Infinite Cafe, Hongdae-

Harusnya kau mampu menjaga adikmu, beruntung dia tidak patah tulang. Kalau sampai itu terjadi, Ayah tak akan memaafkanmu.

Kata-kata Ayah angkatnya mengalun merdu dalam benak Soo-hyun. Sial, pikirnya muram. Karena sedang penat dengan kesibukan, sore ini ia memilih untuk menghibur dirinya di sebuah cafe di kawasan Hongdae. Entah sudah beberapa kali ia berusaha menghentikan pikirannya pada kejadian beberapa hari yang lalu, saat ia mengantar Jung-hyun ke rumah malam itu dan disambut dengan kemarahan oleh Ayahnya.

Ia sadar, ia telah salah karena meninggalkan adiknya seorang diri di kamar, hingga membuat Jung-hyun kabur dan berakhir dengan kecelakaan itu. Tapi tak seharusnya, Ayahnya begitu marah padanya. Keributan di arah pintu menarik perhatiannya.


“Jangan ganggu Ibuku lagi, aku tak suka ada pria yang merayu Ibu hanya untuk mendapatkan uang darinya!” suara seorang gadis terdengar lantang dan begitu familiar di telinganya.

Penasaran dengan apa yang terjadi di sana, Soo-hyun melangkah mendekati sumber keributan. Bukankah itu...Shin Yu-ri?, batinnya.


“Hei, jangan salahkan aku! Ibumu yang merayuku!” gumam seorang pria setengah baya yang tengah terlibat keributan dengan gadis itu.

“Hya! Kau masih tidak mau mengaku bahwa kau yang telah merayu Ibuku? Padahal kau sudah membuat Ibu membayar hutang-hutangmu hingga rekeningnya terkuras habis!” sembur Yu-ri. “Aku tak mau melihatmu ada di dekat Ibuku lagi, dan kuharap kau mau membayar apa yang telah kau ambil dari Ibu!” bentaknya keras.

“Gadis ingusan sepertimu bisanya hanya menantang saja,” ejek si pria.

“Apa kau bilang? gadis ingusan? Kau pria tua parasit tak berperasaan!” balas Yu-ri emosi, ia sudah mengepalkan tinjunya untuk memukul pria itu tapi tiba-tiba ia merasakan seseorang menahannya.

“Jangan buat dirimu terlibat masalah kriminal dengan memukulnya,” tukas Soo-hyun.

Sontak Yu-ri menoleh ke belakang, matanya terbelalak lebar ketika melihat pria itu kini sedang memegang tangannya erat. “Kau? Jangan ikut campur urusan orang lain!”

Soo-hyun melepaskan genggamannya di tangan gadis itu, “Baiklah!” gumamnya santai.

Tapi terlambat, saat Yu-ri memutar tubuhnya untuk meneruskan niatnya berkelahi dengan pria setengah baya tadi. Pria itu sudah tak ada di hadapannya.

“Kim Soo-hyun!!! Kenapa kau selalu menggangguku!!!” geram Yu-ri murka.


~To Be Continued.....

By Yuli ~Admin Lee~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar