CHAPTER 15
- Kediaman keluarga Kang -
“Kau pikir usiamu baru 17 tahun? Untuk apa merayakan acara tak penting seperti ini!?” Kang Bo-jong mengejek kakaknya.
Kang Ha-jong tertawa gembira, tak terganggu sama sekali dengan ejekan adiknya. “44 tahun terdengar seperti 17 tahun untukku,” balasnya.
Bo-jong hanya geleng-geleng kepala mendengar komentar tersebut. “Dimana para gadis kesayanganku?”
Ha-jong mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, di mana sudah banyak tamu berkeliaran dalam ruang-ruang rumahnya yang luas, namun ketiga putrinya tak terlihat di mana pun.
“Sepertinya mereka belum turun—“
“Itu mereka!” ucap Bo-jong tiba-tiba, menunjuk ke arah tangga. Ha-jong berputar untuk melihat, dan tersenyum memandangi ketiga putrinya yang tengah menuruni tangga.
Malam ini Hea-in tampak spektakuler seperti biasa, mengenakan gaun putih panjang bermotif bunga berwarna hitam, dipadu dengan mantel hitam tipis dan perhiasan mewah. Dibelakangnya kedua adiknya berjalan berdampingan. Seo-min yang tak memiliki gaun—bukan karena tak mampu membeli, namun tak berselera mengenakan rok—hanya mengenakan blus putih yang walau sederhana namun tetap terlihat elegan, dipadu celana panjang kain berwarna abu-abu muda yang membungkus kaki jenjangnya dengan sempurna, dan sekedar mencepol rambut pirang panjangnya dengan rapi tanpa perhiasan apapun. Sedangkan Hyun-in terlihat cantik dengan mini dress merah muda, dan sedikit perhiasan untuk melengkapi penampilannya.
“Selamat ulangtahun, Ayah,” ucap Hyun-in ceria sembari memeluk Kang Ha-jong, sementara kedua kakaknya hanya menggumamkan ucapan selamat seadanya di belakang mereka.
“Terima kasih, Tuan Putri,” sahut Ha-jong gembira. “Ah, Hea-in, managermu sudah memberikan skrip drama komedi romantis yang kuusulkan untukmu?” tanyanya tiba-tiba.
Hea-in mengangguk. “Sepertinya memang menarik,” jawabnya mengomentari. “Apalagi karena aku akan menjadi pemeran utamanya kali ini. tapi tetap saja aku harus memikirkannya dulu.”
Ha-jong mengangguk. “Tentu saja. Pikirkanlah. Hari ini orang yang akan menjadi investor dalam pembuatan drama itu akan datang, kau harus menemaniku menyambutnya.”
“Baiklah,” gumam Hea-in tak berminat.
“Selamat malam,” sapa Sung-min, Dong-hae, Ki-bum, dan Kyu-hyun yang tanpa disadari telah menghampiri sang tuan rumah.
“Ah, kalian datang juga rupanya,” ucap Ha-jong ramah.
“Tentu saja. Suatu kehormatan mendapat undangan dari Anda,” jawab Sung-min, selaku yang tertua, mewakili grupnya.
Tanpa berusaha menahan diri, Seo-min mendengus meremehkan perkataan Sung-min yang dianggapnya berlebihan, dan mendapat delikan dari pria tersebut. Dengan sengaja Seo-min membuang muka dan tanpa sengaja bertatapan dengan Dong-hae sesaat sebelum keduanya bersama-sama mengalihkan pandangan.
Hyun-in yang memperhatikan hal tersebut merasa tak nyaman. Hatinya terasa tak tenang. Ia menyalahkan dirinya sendiri yang tak juga berani bicara mengenai hal tersebut pada kakaknya.
“Pink— maksudku, Sung-min,“ panggil Seo-min tiba-tiba. “Ayo, kuantar kau berkeliling,” ajaknya, dengan sengaja ingin menjauh dari Dong-hae sekaligus memamerkan keakrabannya dengan Sung-min.
Sung-min pun memahami hal tersebut. Ia melirik Dong-hae, lalu menatap Seo-min kesal. “Terima kasih, tapi tidak perlu,” katanya berusaha sopan demi menghormati Kang Ha-jong.
“Oh, kurasa itu ide bagus,” komentar Ha-jong sembari tersenyum ramah. “Benar, biar putri-putriku mengajak kalian berkeliling. Bersenang-senanglah.”
Seo-min melayangkan senyum kemenangan pada Sung-min sembari menarik tangan pria itu untuk mengikutinya. gerakannya tersebut tak luput dari perhatian Dong-hae, yang kemudian berusaha melihat ke arah lain.
Hea-in mengamati reaksi kecemburuan Dong-hae selama beberapa detik sebelum melangkah maju dan menggandeng pria itu. Dong-hae yang terkejut, menunduk memandang Hea-in yang tengah tersenyum padanya.
“Ayo pergi,” ajak Hea-in. “Ada banyak tempat menarik di rumah ini, dan aku bukan menyombong, hanya mengungkapkan fakta.”
Dong-hae tersenyum tipis. “Baiklah,” komentarnya setuju.
Sementara itu, sejak tadi tatapan Kyu-hyun tak lepas-lepasnya dari sosok Hyun-in. ia mengamati bagaimana gadis itu memandangi kepergian kedua kakaknya dengan gelisah. tiba-tiba Hyun-in menoleh ke arahnya dan mereka berpandangan. Kyu-hyun menyunggingkan senyum mengejek andalannya, berpikir bahwa gadis itu pasti akan mengundangnya berkeliling juga.
“Hyun-in, aku ingin melihat Bum-bum,” ucap Ki-bum ceria sembari mendekati Hyun-in, menghapus senyum Kyu-hyun.
Eh? Apa-apaan ini? batin Kyu-hyun kaget karena tak memperkirakan hal ini sebelumnya. siapa Bum-bum?
Hyun-in tersenyum pada Ki-bum. “Benar, kebetulan kakak datang, dia sudah rindu padamu,” katanya setuju. “sepertinya sudah lama sekali sejak terakhir kali kau berkunjung ke mari.”
Eh? Kak Ki-bum pernah berkunjung ke mari? batin Kyu-hyun lebih kaget lagi.
Ki-bum tersenyum cerah sembari menyodorkan lengannya untuk digandeng Hyun-in. yang disambut hangat oleh gadis itu.
“Kami permisi, Tuan Kang,” kata Ki-bum sopan.
Kang Ha-jong mengangguk senang. “Silakan,” ucapnya. Setelah pasangan itu cukup jauh, ia berkata pada adiknya. “tidakkah menurutmu mereka terlihat serasi?”
Serasi!? Yang benar saja! Kyu-hyun mendengus pelan, yang langsung disamarkannya dengan berpura-pura batuk saat mendapat delikan dari Kang Bo-jong.
Bo-jong menyeringai ke arah Kyu-hyun. “Ah, kasihan sekali kau yang tersisa,” oloknya. “perlu kutemani berkeliling?”
Kyu-hyun terbelalak sesaat sebelum tersenyum sopan. “Tidak perlu, terima kasih,” ucapnya buru-buru. “saya permisi,” tambahnya sebelum kabur.
Ha-jong dan Bo-jong menertawakan kyu-hyun. “Aku lupa apa pernah selucu anak-anak ini,” gumam Bo-jong sembari mengamati para keponakannya dan member Super junior yang berpencar.
“Kau langsung terlahir tua,” komentar Ha-jong. “Ayolah, kita cari minum dan membahas proyek drama terbaruku,” ia mengajak adiknya.
“Kau mau membawaku ke mana?” tanya Sung-min sembari mengikuti Seo-min menaiki tangga menuju lantai dua.
“Kemana saja,” jawab Seo-min asal. “Ada banyak ruangan di rumah ini. tapi aku mau mengambil ponselku yang tertinggal di kamar dulu,” tambahnya menjelaskan sambil membuka pintu kamarnya.
Awalnya Sung-min hanya berdiri diam di ambang pintu kamar gadis itu yang terbuka lebar, menyaksikan bagimana Seo-min kebingungan mencari-cari ponselnya, tetapi lalu karena bosan menunggu, ia masuk dua langkah untuk mengamati kamar berukuran besar bernuansa putih-abu-abu itu. Tanpa benar-benar sadar ia kembali melangkah semakin masuk, dan masuk, untuk menghampiri sebuah rak buku di sebelah meja computer. Ia mengamati buku-buku yang terpajang di sana, dan geleng-geleng kepala melihat semuanya adalah novel horor atau action.
“Tak ada novel roman?” komentar Sung-min, membuat Seo-min yang sedang membungkuk di atas tempat tidurnya, mencari ponselnya yang belum juga ketemu, menoleh.
“Aku tidak suka,” jawab Seo-min ketus. Suasana hatinya memburuk karena membicarakan novel roman.
Secara acak Sung-min mengambil salah satu novel, dan membuka-buka lembaran buku tersebut tanpa benar-benar berminat. “Koleksi buku, juga film dan drama buatanmu… semuanya suram,” komentarnya. “seperti dirimu,” tambahnya pelan, tapi sialnya tetap terdengar oleh Seo-min.
Gadis itu berjalan cepat menghampiri Sung-min, merebut buku dari tangan pria itu, lalu menjejalkannya sembarangan di rak karena emosi. “Aku tak minta pendapatmu!” katanya galak, lalu berbalik kembali mencari ponselnya.
Sung-min berdecak melihat tingkah Seo-min, tapi kemudian perhatiannya teralih pada buku yang jatuh ke lantai—rupanya terjatuh dari rak saat Seo-min dengan sembarangan menjejalkan novelnya tadi. ia membungkuk untuk meraihnya. Ia sudah cukup terkejut melihat sampulnya yang berwarna merah muda—amat jauh berbeda dari sampul-sampul koleksi buku Seo-min yang lain—tetapi lebih terkejut lagi saat melihat judul dan nama pengarangnya. My Valentine, karangan Kang Seo-min.
Sebuah novel roman yang dibuat oleh seseorang yang tak suka romantisme!? batin Sung-min heran sambil membaca sinopsis di cover belakang buku tersebut.
“Ah, sial, di sini rupanya,” gerutu Seo-min pada diri sendiri sambil mengambil ponselnya yang terjatuh di lantai antara ranjang dan meja nakas. “Ayo kita pergi—“ perkataannya terhenti saat melihat apa yang tengah dilakukan Sung-min.
“Kau bilang tak suka, tapi ternyata kau membuat novel roman?” komentar Sung-min sembari mengangkat kepala untuk menatap Seo-min.
Tanpa bicara, Seo-min menyerbu Sung-min, merebut buku itu, lalu melemparnya ke tempat sampah.
“Eh!?” ucap Sung-min terkejut, terlebih saat Seo-min meninggalkannya begitu saja. “Kang Seo-min! tunggu! Seo-min!” akhirnya berhasil juga dikejarnya gadis itu saat hampir mencapai tangga.
Dengan kasar Seo-min menepis tangan Sung-min yang memegangi lengannya. “Kau pergi sendiri saja, aku kehilangan minat,” katanya dingin, lalu berlari menuruni tangga, meninggalkan Sung-min terdiam kebingungan.
Memangnya apa yang kulakukan sampai dia semarah itu? batinnya.
“Ah… Bum-bumku sepertinya semakin gemuk,” kata Ki-bum senang sambil menggendong kelinci miliknya tersebut. “Kau pasti dimanjakan oleh Nona Hyun-in, bukan begitu?”
Hyun-in yang berjongkok di sebelahnya, tengah membelai-belai Princess, kelinci miliknya, tersenyum ke arah Ki-bum. “Dia mengingatkanku padamu,” katanya.
“Eh? Menurutmu berat badanku naik seperti Bum-bum!?” Ki-bum berpura-pura tersinggung.
Hyun-in tertawa. “Sedikit,” jawabnya jujur.
Ki-bum melirik Hyun-in dan menghela napas, berpura-pura terlihat tertekan. “Sepertinya aku memang harus diet,” katanya sembari memegang pipinya yang memang terlihat lebih tembam dari sebelumnya.
“Tapi kau terlihat lebih imut dan menggemaskan seperti ini,” Hyun-in buru-buru menenangkan.
Ki-bum menatap Hyun-in dengan intens dan menyunggingkan senyum maut yang membuat gadis itu merona. “Kenapa kau mencuri pikiranku?” tanyanya sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Hyun-in.
“Eh? Men… mencuri? Apa…?” ucap Hyun-in yang gugup dan kebingungan.
“Perkataanmu tadi,” terang Ki-bum. “sebelum kau mengucapkannya, aku sedang berpikir malam ini kau terlihat imut dan menggemaskan,” tambahnya sambil menggoda dengan mengedipkan sebelah mata.
“Eh… eh?” gumam Hyun-in terkejut dan salah tingkah, bahkan saking gugupnya ia sampai jatuh terduduk, namun sepasang tangan yang kuat tiba-tiba telah memegangi pinggangnya, dan menariknya berdiri.
Dengan santai Kyu-hyun menepuk-nepuk bokong Hyun-in, membersihkan kotoran yang menempel di gaun gadis tersebut. “Kau pikir usiamu baru lima tahun? Bermain kotor-kotoran seperti ini,” kritiknya.
Hyun-in yang akhirnya tersadar dari keterkejutannya, buru-buru menepis tangan Kyu-hyun dan membersihkan sendiri gaunnya. Sementara itu, Ki-bum pun ikut bangkit berdiri dan memandangi Kyu-hyun dengan geli.
“Berkenalanlah dengan kelinciku,” katanya pada pemuda itu. “Namanya Bum-bum.”
Kyu-hyun, dengan wajah yang masih berkerut tak suka karena melihat dan mendengar gombalan Ki-bum pada Hyun-in, melirik kakak Super Juniornya itu. “Nama macam apa itu?” hinanya.
“Nama pemberian Hyun-in,” jawab Ki-bum tenang. Perhatiannya terfokus pada kelincinya.
Kyu-hyun mendelik ke arah Hyun-in yang juga balik mendelik tak suka dengan kehadiran Kyu-hyun yang dianggapnya merusak suasana tenang dengan omongannya yang tak menyenangkan. “Tidak kreatif,” ejek Kyu-hyun sengaja, dan tepat seperti dugaannya, Hyun-in terlihat tersinggung dan marah.
“Kenapa kakak kemari?” tanya Hyun-in kurang ramah.
“Kenapa kelincimu justru tinggal di rumah Tuan Kang?” tanya Kyu-hyun pada Ki-bum, tak menghiraukan pertanyaan Hyun-in.
“Aku takut menelantarkannya karena kesibukanku, lalu Hyun-in kita yang manis ini bersedia menampung dan menjagakannya untukku. Begitulah,” jawab Ki-bum santai.
Hyun-in yang manis? batin Kyu-hyun tak suka. Diliriknya Hyun-in, dan mendapat tatapan tak bersahabat dari gadis “manis” itu.
“Ayahmu memanggilmu,” kata Kyu-hyun tiba-tiba.
“Oh ya? Ada apa ya?” gumam Hyun-in sembari membungkuk untuk memasukkan Princess kembali dalam kandangnya. “Kak Ki-bum, aku pergi menemui Ayah dulu,” pamitnya.
Ki-bum mengangguk. “Silakan. Aku masih mau bermain dengan Bum-bum,” komentarnya. Ditatapnya Kyu-hyun. “Kau mau menemaniku di sini?”
Kyu-hyun menepuk pundak Ki-bum. “Bermainlah kalian berdua dengan akrab,” katanya, lalu mengikuti Hyun-in masuk ke dalam rumah.
Sebelum Hyun-in sempat berbelok menuju ruang dansa di mana pusat pesta berlangsung, Kyu-hyun menarik gadis itu menuju arah berlawanan.
“Apa yang kau lakukan!?” protes Hyun-in.
“Ajak aku berkeliling,” perintah Kyu-hyun seenaknya.
“Kenapa ekspresi wajahmu seperti ini di saat yang lain tertawa?” komentar Dong-hae geli, memandangi salah satu foto di album foto keluarga Kang.
Hea-in yang ingin menghindar dari keramaian, membawa pria incarannya itu ke ruang keluarga, dan sialnya sesampainya di sana Dong-hae justru jadi asyik melihat-lihat album foto keluarganya.
“Nah, di sini kau juga cemberut,” tunjuk Dong-hae pada sebuah foto.
“Ini membosankan,” kata Hea-in. “Ayo kita pergi ke tempat lain.”
Tiba-tiba Dong-hae tertawa. “Kau dan Seo-min habis berkelahi? Eh, ini Seo-min, kan? Ya, mata dan bibirnya… itu memang dia. Siapa yang memotret ini?” tanyanya penasaran.
Hea-in melirik foto tersebut. Disitu ia dan Seo-min terlihat acak-acakan dan sedang dipisahkan oleh Ayah mereka dan ibu Hyun-in. bila tak salah ingat, yang memotretnya adalah supir keluarga yang mengantar keluarga Kang berwisata ke pantai, Hea-in mengingat-ingat. Waktu itu Hea-in dan Seo-min bertengkar karena ia mengempeskan pelampung Hyun-in—hingga membuat adik bungsunya itu menangis—dan karena tanpa sengaja menghancurkan istana pasir buatan Seo-min di saat mau melarikan diri. Hea-in mendengus mengingat kenangan itu.
“Tapi kenapa foto Seo-min sedikit sekali?” ucap Dong-hae lagi.
“Itu karena dia tidak tinggal bersama kami,” jawab Hea-in ketus karena cemburu. Dan kecemburuannya itu juga yang membuatnya menambahkan dengan sengaja. “Seharusnya Seo-min memperlihatkan album foto ini pada Sung-min, mengingat hubungan mereka, Sung-min pasti akan sangat terhibur…”
Ekspresi Dong-hae berubah. Dengan cepat ia membuka lembaran baru album tersebut dan memusatkan perhatian pada foto-foto lain. “Sepertinya Hyun-in yang paling sering berfoto dengan ayah kalian,” ucap Dong-hae untuk mengalihkan pembicaraan.
Dan kali ini, ganti ekspresi Hea-in yang mengeras. “Dia memang putri kesayangan Kang Ha-jong,” jawabnya.
Mendengar nada iri dan cemburu dalam jawaban Hea-in membuat Dong-hae menatap wanita itu. “Ayahmu juga menyayangimu—“
“Kau tidak tahu apa-apa,” sela Hea-in dingin.
“Tak ada orangtua yang tak menyayangi anaknya,” kata Dong-hae tenang.
Hea-in terdiam. Teringat olehnya sikap ayahnya belakangan ini padanya. Mungkin benar, pria itu menyayanginya. Sedikit. “Tetapi rasa sayangnya padaku tak sebesar rasa sayangnya untuk Hyun-in.”
“Mungkin itu hanya perasaanmu. Mungkin karena Hyun-in anak bungsu dan ia lebih bermanja pada ayahmu sehingga terkesan seperti itu—“
“Sudah kuilang kau tidak tahu apa-apa!” bentak Hea-in tiba-tiba. Dan seketika menyesali hal tersebut saat melihat keterkejutan di wajah Dong-hae. “Maaf,” ucapnya sambil berdiri dan berjalan menuju mini bar untuk mengambil segelas anggur putih.
“Aku yang seharusnya minta maaf,” kata Dong-hae. “Kau benar, aku tidak tahu apa-apa, dan seharusnya tidak ikut campur urusan keluarga kalian. maaf.”
Hea-in langsung menegak habis cairan putih dalam gelas tersebut dalam sekali teguk. “Aku tidak diharapkan, kau tahu?” ucapnya tiba-tiba. Ditatapnya Dong-hae tajam. “Kehadiranku di dunia ini tidak diharapkan, bahkan mungkin lebih tepat disebut dibenci, oleh ayahku dan keluarganya.”
Dong-hae merasa bersalah dan tak tenang. Sepertinya ia sudah mengorek luka lama Hea-in, padahal tak ada maksud seperti itu sama sekali.
“Hea-in—“
“Aku adalah alat ibuku untuk memperoleh kemewahan. Ibuku memanfaatkanku, dan ayahku beserta keluarganya membenciku.” tiba-tiba Hea-in tertawa sumbang. “benar-benar hidup yang indah.”
“Kau tak perlu—“
“Apa kau pernah merasa seperti itu!? tak diinginkan dan dibenci oleh orang-orang yang seharusnya menjaga dan menyayangimu!?” tuntut Hea-in sambil menuang lagi anggur putih ke gelasnya. “Berbeda dengan Hyun-in. ia putri dari wanita yang direstui oleh kakek-nenekku. Menantu kesayangan dan kebanggan. Istri tercinta Kang Ha-jong. Hyun-in lahir dengan kegembiraan dan perayaan keluarga besar yang amat menantikan kehadirannya di dunia ini…” sekali lagi ia menegak habis minuman keras tersebut.
Melihat kesedihan, kekecewaan, dan kebencian yang bercampur aduk, tercermin dalam suara dan ekspresi wajah Hea-in membuat hati Dong-hae terenyuh. Ia tak tega membayangkan Hea-in kecil yang kesepian dan merasa tak diinginkan, dan Hea-in dewasa yang sekarang ini penuh kebencian.
“Hyun-in adalah anak kesayangan, yang dimanjakan bagai putri raja, disediakan dan dituruti segala kemauannya, amat dilindungi dan dijaga agar tak terluka sedikitpun. Dia mendapat segalanya… Dia memiliki segalanya yang aku inginkan…” lanjut Hea-in pedih, teringat kembali pada kenangan masa lalu. “Sedangkan aku… tak ada satu orangpun yang peduli padaku! Sebelum aku datang ke rumah ini dan memohon… memohon agar bisa tinggal bersamanya…” suaranya mulai bergetar menahan tangis. “Ayah hanya mengunjungiku sesekali dalam setahun… Ibu kandungku pun tak kalah buruknya… berkencan dengan setiap pejantan yang ditemuinya… membawaku pindah dari satu tempat ke tempat lain… bahkan yang terburuk, dia… dia…” tak sanggup mengingat malam mengerikan itu, tangis Hea-in pun pecah.
Dong-hae segera bangkit menghampirinya, menarik tubuh wanita itu untuk bersandar di dadanya. “Maafkan aku…” pintanya lembut sembari menepuk-nepuk punggung wanita itu. ia merasa bersalah karena telah membuat Hea-in harus mengingat kembali kenangan buruknya. “Maafkan aku,” ulangnya. “Jangan menangis.”
“Aku membenci mereka…” isak Hea-in. “Aku benci Hyun-in! aku benci ibuku! Aku benci dia!”
“Aku minta maaf bila telah melakukan kesalahan yang membuatmu marah, tapi tak bisakah kau katakan padaku apa kesalahanku?” tanya Sung-min sembari memasuki ruang perpustakaan pribadi keluarga Kang, mengikuti Seo-min.
Seo-min yang duduk di dekat jendela tidak bersuara. Tatapannya tertuju pada langit malam yang tanpa bintang.
“Kang Seo-min,” panggil Sung-min lagi.
“…bodohnya… kenapa masih kusimpan…? Kenapa kubawa kemari? seharusnya sudah kubuang… tidak, lebih baik bila kubakar saja buku sialan itu sejak dulu!” maki Seo-min. tangannya mencengkeram lengan kursinya.
“Apakah ini berhubungan dengan… novel buatanmu?”
Seo-min mendelik cepat ke arah Sung-min. “Jangan pernah menyebut-nyebutnya lagi!” ia memperingatkan dengan tajam.
Sung-min duduk di kursi di hadapan Seo-min, menatapnya tak mengerti. “Memangnya kenapa? Apa salahnya buku itu? apa jangan-jangan kau malu karena aku tahu kau diam-diam suka kisah roman—“
“Bisakah kau diam!?” bentak Seo-min sambil bangkit berdiri.
Sung-min ikut berdiri dan menghadapi Seo-min yang emosi dengan tenang. “Novel itu—“
Tanpa basa-basi Seo-min menyerang Sung-min. dan karena tak menyangka akan diserang, Sung-min tak sempat menghindar dari tendangan gadis itu. ia mengeluh kesakitan sembari memegangi kaki kirinya, tetapi karena telah mewaspadai Seo-min, ia berhasil menangkap kepalan tangan gadis itu tepat waktu sebelum berhasil meninjunya, dan dalam sekelebatan mata ia telah merobohkan gadis itu di lantai dengan tangan terlipat ke belakang.
“Urgh! Sialan! Lepaskan!” maki Seo-min.
“Tidak,” sahut Sung-min yang berlutut diatas tubuh gadis itu. “melepaskan gadis gila sepertimu sama saja mencelakai diriku sendiri. Kenapa tiba-tiba kau menyerangku, hah!?”
“Salahmu sendiri! Sudah kubilang jangan sebut-sebut buku sialan itu lagi!” raung Seo-min.
“Apa salahnya buku itu? aku membaca sinopsisnya—“
“Diam!” perintah Seo-min
“dan kupikir ceritanya—“
“Diam kubilang! Aku tidak mau dengar pendapatmu!”
“Ceritanya menarik dan menyegarkan,” Sung-min menyelesaikan komentarnya dengan tenang.
Seo-min terdiam. Dengan pasrah ia membaringkan pipinya ke karpet bulu yang lembut tempatnya dijatuhkan oleh Sung-min. menarik dan menyegarkan…? Benarkah…?
“Jangan berbohong padaku!” kata Seo-min galak.
“Bohong apa? aku mengatakan yang sebenarnya,” balas sung-min tak mengerti. “ah… apakah kau berpendapat novelmu itu buruk? Karena itu kau malu?” ia tertawa geli. “Yang benar saja… jadi hanya karena itu kau mengamuk seperti ini?”
“…mengerikan. Kata-kata murahan dan karakter-karakter tak jelas seperti itu ingin kau ikutkan dalam lomba nanti!? Melawanku!? Yang benar saja!”
“Jaga mulutmu! Dasar Ja**ng!”
“Jangan bicara kasar pada Vanessa!”
“
Billy!?”
“Dia benar. Ceritamu memang murahan, membosankan, dan terlalu mengaada-ada. Tak masuk akal dengan kalimat-kalimat terlalu berbunga-bunga. Dengan kemampuan seburuk itu kau ingin ikut dalam kompetisi nanti!? Jangan mempermalukan dirimu sendiri, Francissca!”
“Tapi—“
“Dan kuminta kau berhenti mencari dan menemuiku. Aku juga muak melihatmu mengejar-ngejarku—“
“Aku mengejar-ngejarmu!? Kau—“
“Pergi sana! Dasar tak tahu malu! Billy tak menginginkanmu dan roman picisan sampahmu itu! pergi!”
“…Seo-min? Seo-min?” karena tiba-tiba seo-min diam, sung-min berusaha menyadarkan gadis itu dengan memanggil namanya. “Seo-min!?”
Ingatan yang membangkitkan amarah dan sakit hatinya itu membuat tenaga Seo-min lebih kuat hingga ia bisa melepaskan tangannya dari petengan Sung-min dan berhasil berputar menghadap pria tersebut. Namun hanya sampai sebatas itu keberhasilannya, karena dengan cepat Sung-min kembali berhasil mengontrolnya. dipeganginya erat kedua tangan Seo-min yang tadi hendak menyerangnya di atas kepala gadis itu, dan menduduki paha Seo-min agar kakinya tidak menendangnya.
“Kau bohong! Buku itu sampah! Murahan!” jerit Seo-min.
“Kenapa kau bicara begitu atas hasil karyamu sendiri?” tanya Sung-min tak mengerti.
Dengan napas memburu, Seo-min membuang muka. “Tak perlu berbohong hanya untuk menyenangkan hatiku.”
“Tapi aku tidak berbohong, aku bicara apa adanya menurut pendapatku,” kata Sung-min tenang.
Masih tak mau menatap Sung-min, Seo-min menggigit bibir bawahnya. “…tapi dia bilang… itu sampah… murahan… buruk…”
“Siapa yang bicara seperti itu?” tanya Sung-min, entah mengapa ia merasa kesal pada orang tersebut, siapa pun dia. tega sekali berkata seperti itu. sekalipun orang tersebut tak menyukai hasil karya Seo-min, tak seharusnya menghinanya seperti itu. perkataannya menghancurkan rasa percaya diri Seo-min, padahal selama ini Sung-min berpikir Seo-min adalah gadis yang sangat percaya diri dan tak memperdulikan pendapat orang lain.
“…aku menghormatinya… aku menyukainya… kupikir… dia juga begitu… tapi…” perkataan Seo-min tersendat mengingat cacian pria yang pernah dicintainya itu.
Peristiwa itu terjadi di tahun kedua ia menjadi mahasiswi… bertahun-tahun lalu… penilaian Billy berhasil menghancurkan kepercayaan dirinya untuk menjadi penulis dan sejak itu Seo-min berhenti menulis. Hingga setahun lalu, Ahn Bong-soo, sepupunya, yang juga sutradara Disaster Love, mengunjunginya di Amerika, dan tanpa sengaja membaca cerita bersambung lama buatan Seo-min yang terabaikan di laci meja belajarnya. Seo-min masih ingat betapa ia terkejut, tak percaya, namun juga senang, ketika Bong-soo memuji cerita lamanya itu. bahkan meminta ijin untuk menjadikannya film.
Sepupunya itu telah menyutradarai beberapa film, dan kebanyakan diantaranya masuk nominasi award, sehingga pujian darinya perlahan membangkitkan kembali rasa percaya diri Seo-min. ia bahkan mulai kembali menulis. Tetapi ia berpikir bahwa mungkin dirinya tak berbakat dalam kisah romantis—yang padahal sangat disukainya—dan lebih cocok menulis kisah-kisah misteri. Karena itu hingga sekarang Seo-min hanya membuat karya-karya yang dikatakan suram oleh orang-orang, termasuk Sung-min tadi.
“Orang seperti itu tak pantas dicintai, bahkan untuk sekedar disukai,” kata Sung-min tegas. “Kau masih menyukainya!?” tuntutnya gusar.
Seo-min segera menatap Sung-min dengan marah. “Aku membencinya!” katanya lantang.
“Kalau begitu kenapa kau masih terpaku pada perkataannya!? Lagipula siapa si brengsek itu sebenarnya sampai-sampai berani memberi penilaian buruk seperti itu?”
Seo-min kembali mengalihkan pandangan. “dia penulis… baru saja terkenal saat itu… dan sekarang lebih terkenal lagi…”
“Bagimana kau bisa mengenalnya?”
“Dia pindah ke kompleks perumahanku… tanpa sengaja kami bertemu di pesta rumah salah seorang tetangga… dan karena punya minat yang sama, kami jadi akrab… dia…”
“Lanjutkan,” perintah Sung-min lembut ketika Seo-min terdiam.
“Dia mendorongku, memberiku semangat untuk menulis. Dia bahkan pernah memuji beberapa cerpen misteriku… lalu… ada lomba novel roman remaja… aku dan seorang teman…” si ja**ng penghianat itu! “…kami ikut mendaftar untuk lomba tersebut… ketika ceritaku sudah selesai… aku memperlihatkannya pada Billy… dengan bodohnya berpikir dia akan bangga padaku…”
Jadi nama si brengsek itu Billy, pikir Sung-min.
“tapi… ketika aku mendatanginya… di sana… bersama orang yang kukira temanku… dia menghina novel roman pertamaku… dan… dan mempermalukanku di depan si ja**ng yang digilainya itu… dia bilang aku mengejar-ngejarnya…! Padahal itu tidak benar! Dia yang lebih dulu mendekatiku! Dia yang meneleponku lebih dulu… dia yang…” Seo-min menggigit bibir bawahnya gemas.
“Tak pernahkah terpikir olehmu,” mulai Sung-min.”Bahwa dia sengaja menghina hasil karyamu agar kau merasa rendah diri dan mundur dari lomba tersebut?”
Seo-min menatap Sung-min tak mengerti.
“Kau bilang si brengsek itu tergila-gila pada temanmu yang juga mengikuti lomba, kurasa dia sengaja membuatmu mundur agar gadis itu menang. Apakah dia menang?”
Seo-min menangguk.
“Kau bodoh!” omel Sung-min gemas. “Seharusnya tak usah kau dengarkan kata-katanya dan terus saja mengikuti lomba itu!”
“Dia penulis professional! Dia tahu benar—“
“Dia pembohong,” sela Sung-min. “Aku memang belum membaca keseluruhan ceritanya, tetapi dari synopsis yang kubaca, menurutku itu kisah yang menarik.”
Seo-min menatap tajam mata sung-min, berusaha mencari-cari tanda kebohongan di sana, tetapi tak berhasil menemukannya. “kau… sungguh-sungguh…?” tanyanya tak percaya.
“Untuk apa aku berbohong?”
Seo-min mengalihkan tatapannya dari Sung-min lagi. sudah bertahun-tahun ia mempercayai cerita roman buatannya murahan dan buruk, sulit rasanya mempercayai seseorang… Sung-min… benar-benar menganggap cerita itu menarik.
“Begini saja, agar lebih meyakinkan, ijinkan aku membacanya dan nanti akan kuberi komentar, bagaimana?”
“Tidak.”
“Apa ruginya? Bukankah kau juga mau membuang buku itu!?” desak Sung-min.
Seo-min kembali terdiam. “Aku bersumpah akan memberi penilaian yang jujur,” janji sung-min.
Akhirnya So-min melirik pria itu. ia berdeham ragu bercampur malu. “Karena kau memaksa…”
Sung-min tersenyum puas. “Terima kasih sudah percaya padaku,” katanya tulus.
“…di sini saja, Sayang, tak ada orang— Eh?“
Kompak, Sung-min dan Seo-min mengangkat kepala untuk menatap pintu perpustakaan yang tiba-tiba terbuka. Di sana sepasang kekasih yang sedang mencari tempat sepi untuk bermesraan, tengah berdiri diam karena terkejut melihat keberadaan Sung-min dan Seo-min yang dalam posisi mencurigakan.
Seo-min dan Sung-min bertatapan. Terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menyadari bagaimana penampilan mereka—Seo-min yang terbaring di lantai, dan Sung-min yang duduk di paha gadis itu—lalu buru-buru saling menjauhkan diri dengan canggung.
“Ini tidak seperti yang kalian pikir!” kata Seo-min sambil memperbaiki pakaian dan rambutnya.
“Eh!? Bukankah itu… Lee Sung-min?” ucap si wanita mengamati Sung-min yang sekarang sedikit panik membayangkan skandal yang akan timbul.
“Kalian salah paham! Kami—“
“Sudah, tak apa, kami mengerti dan akan merahasiakan ini. bukan begitu, Sayang?” si pria bertanya pada kekasihnya yang terpaksa mengangguk. “Maaf, mengganggu kalian,” kata si pria lagi dengan buru-buru. “Silakan lanjutkan saja!” cepat-cepat ditariknya kekasihnya dan menutup pintu kembali.
“Argh! Sial!” maki Seo-min. “Ini gara-gara kau!”
“Bila kau tidak lebih dulu menyerangku, ini tak akan terjadi!” balas Sung-min tak bersedia disalahkan.
“Argh! Lama-lama aku bisa gila!” gerutu Seo-min sembari berjalan keluar meninggalkan Sung-min.
“Tempat apa yang paling menarik di rumahmu?” tanya Kyu-hyun santai.
“Kau membohongiku!” kata Hyun-in marah.
Kyu-hyun melirik gadis itu. “Apa rumahmu memiliki ruang permainan atau semacamnya?” tanyanya lagi tanpa mengomentari kemarahan Hyun-in.
“Gara-gara kakak, kak Ki-bum sendirian—“
Kali ini Kyu-hyun menanggapi dengan sedikit emosi. “Dia tidak sendiri. Dia bersama kelincinya dan kelincimu. Dia sendiri yang berkata ingin bermain bersama mereka. biarkan saja.”
“Kau—“
“Sebenarnya ini jalan menuju ke mana? dapur?” tanya Kyu-hyun, yang memimpin jalan tanpa tahu arah tujuan.
Seperti biasa, Hyun-in tak pernah bisa marah lama-lama. Ia menghela napas. “Bukan, ini menuju ruang bawah tanah. Ada home theater di sana,” jawab Hyun-in.
“Benarkah? Bagus kalau begitu. Kita ke sana saja,” komentar Kyu-hyun antusias. “Eh, apa ini?” tanyanya, tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menunjuk sebuah pintu yang tingginya hanya selutut orang dewasa.
“Oh itu,” gumam Hyun-in. ia membuka pintu tersebut, dan membiarkan Kyu-hyun melihat. “Perosotan menuju ruang bawah tanah. Ayah membuatnya di saat aku dan kakak-kakakku masih kecil. Karena selain home theater, di ruang bawah tanah juga ada ruang permainan.”
Mata Kyu-hyun berbinar-binar dengan semangat dan rasa penasaran. “Kalau begitu kita lewat sini saja,” ajaknya.
“Tangga ada di ujung lorong, sudah dekat,” Hyun-in menolak dengan halus.
“Apa asyiknya lewat tangga? Ayolah!” ajak Kyu-hyun bersemangat. Bahkan tanpa meminta persetujuan Hyun-in lagi, ia telah duduk di lantai, dan setengah kakinya telah berada di perosotan. “ikuti aku!” perintahnya dengan nada girang bagai bocah kecil yang kesenangan diberi mainan baru.
“Tapi—“ ini kekanakan, itu yang hendak dikatakan Hyun-in, tetapi Kyu-hyun sudah keburu meluncur ke bawah sembari berseru senang.
Kyu-hyun benar-benar terhibur. Perosotan berwarna-warni itu berukuran lebar hingga orang dewasa pun dapat memakainya. Dan cukup panjang dan berkelok-kelok hingga akhirnya sampai di bawah tanah. Kyu-hyun berdiri dan mengamati ruangan warna-warni di sekelilingnya. Rupanya di sini tempat bermain putri-putri Tuan Kang saat kecil, pikirnya.
“Hyun-in! ayo cepat!” serunya ke atas.
“Aku lewat tangga saja—“
“Tidak boleh! Cepat turun sekarang!” perintah Kyu-hyun.
“Tapi—“
“Ayolah,” bujuk Kyu-hyun. “Ini mengasyikkan.”
“Baiklah. Sebentar…” sahut Hyun-in tak terlalu jelas. Tak lama kemudian terdengar seruan kagetnya karena meluncur ke bawah dengan cepat. Ia kelimpungan berusaha agar rok gaunnya tidak tersingkap.
Tertawa melihat tingkah Hyun-in yang dianggapnya lucu, Kyu-hyun menangkap gadis itu sebelum terjatuh ke karpet empuk. Tapi tawanya seketika menghilang saat menyadari betapa rapatnya tubuh mereka dan betapa dekatnya wajah mereka hingga ia dapat melihat dengan jelas rona merah muda cantik di pipi Hyun-in.
“Ini mengasyikkan. Kita main sekali lagi,” kata Kyu-hyun sedikit kasar untuk menutupi rasa gugupnya, sembari mendorong Hyun-in menjauh.
“Eh? Lagi?” ucap Hyun-in kaget. Jantungnya masih berdegup kencang karena merasakan betapa rapatnya tubuhnya dan Kyu-hyun tadi.
“Ayo!” ajak Kyu-hyun antusias.
Hea-in keluar dari kamarnya setelah memperbaiki makeupnya yang berantakan karena menangis. Dong-hae yang setia menunggui wanita itu di luar kamar, tersenyum melihat penampilan Hea-in yang sudah kembali sempurna.
“Maaf, pasti aku menakutimu dengan tiba-tiba menangis seperti tadi…” ucap Hea-in malu. Malu karena telah dua kali membiarkan Dong-hae melihatnya menangis.
“Tidak sama sekali,” sahut Dong-hae menenangkan. “Kita ke bawah?” tanyanya, yang dijawab anggukan oleh Hea-in.
Mereka berjalan berdampingan tanpa bicara selama beberapa saat sebelum Hea-in memecahnya dengan berkata, “Kau pasti menganggapku wanita jahat sekarang.” ia tersenyum kecut. “Sepertinya aku memang begitu.”
“Aku tidak menganggapmu jahat… kau kecewa dan tersakiti, aku bisa memahami itu,” komentar Dong-hae pada akhirnya. “Tetapi…”
“Ya? Katakan saja, tak usah ragu,” dorong Hea-in.
“Membenci Ibu dan adikmu… itu tidak baik…”
Hea-in kembali menegang mendengar ibunya disebut-sebut. Tapi ia sadar, dirinya sendiri yang meminta Dong-hae bicara.
“Aku tanpa sengaja melihatmu bertengkar dengan ibumu di lokasi shooting,” kata Dong-hae, membuat Hea-in menatapnya terkejut. “Perkataanmu sangat menyakiti hatinya. Aku bisa melihatnya dari ekspresi wajah ibumu. Apapun kesalahannya dulu, kurasa ia sudah sangat menyesalinya…”
“Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalannya tak berarti,” kata Hea-in dingin.
Apa sebenarnya yang dilakukan ibunya hingga Hea-in menjadi seperti ini? batin Dong-hae bertanya-tanya, tetapi ia merasa tak pantas untuk bertanya lebih lanjut masalah wanita itu, dan memutuskan untuk diam.
Saat memasuki ruang dansa, tiba-tiba langkah Hea-in terhenti. Tatapannya tertuju pada seorang pemuda yang tengah bicara dengan ayah dan pamannya. “Dia datang rupanya,” gumamnya.
Dong-hae mengikuti arah pandang Hea-in. “Memangnya siapa dia?”
Hea-in melirik Dong-hae. “Putra teman ayahku. Cinta pertama Hyun-in,” jawabnya. “Dan mantan kekasihku,” tambahnya, mengejutkan Dong-hae.
“Hyun-in jatuh cinta pada kekasihmu?”
Hea-in menuntun Dong-hae ke sebuah sofa di pinggiran ruangan sambil tertawa dingin. “Tidak begitu. Hyun-in lebih dulu menyukainya, dan sepertinya Sang-ji juga cukup tertarik pada si Tuan Putri. Tetapi pria dimanapun sama, bukan begitu? Yeah… kecuali kau,” kata Hea-in. “ketika aku sedikit menggodanya, dia beralih mengejar-ngejarku.”
Dong-hae terbelalak. “Kau…”
Hea-in melirik Dong-hae. “Sekarang kau pasti baru menyadari betapa jahatnya aku.”
“Kenapa?” tanya Dong-hae tak mengerti.
“Kenapa tidak?” balas Hea-in. “Kenapa Hyun-in harus mendapat semua yang diinginkannya? Dia sudah memiliki hidup yang sempurna. ayah dan ibu serta keluarga besar yang mencintainya, kemewahan, segalanya… kehilangan salah satu hal yang diinginkannya tak akan begitu menyakitkan.”
Dong-hae menatap Hea-in tajam. “Bila kau mau jujur pada dirimu sendiri, kau pun tahu bahwa semua itu bukan salah Hyun-in. bukan maunya, bukan permintaannya untuk mendapat segala yang dia miliki sekarang. tak adil membenci dan menyakitinya hanya karena keberuntungannya.”
Hea-in tak bersuara selama beberapa saat. “Memang… tapi aku tetap membencinya karena dia memiliki keberuntungan itu, sementara aku tidak…”
Dong-hae memandangi wajah wanita itu dengan kasihan. “Kau tahu, seperti sekarang, kebencian di hatimu ini justru menyakiti dirimu sendiri…”
“Kurasa hatiku memang tak akan pernah pulih dari rasa sakit…” gumam Hea-in setengah merenung.
“Kapan Ayah akan memotong kue dan segala macamnya itu?” gerutu Seo-min tak sabaran ketika menghampiri ayahnya. Diliriknya keberadaan Sung-min dan Ki-bum di seberang ruangan. Ia masih menyalahkan pria itu atas kesalah pahaman yang terjadi di perpustakaan tadi.
Ha-jong menatap putrinya geli. “Kenapa? Kau tak sabar ingin memakan kuenya?”
Seo-min berdecak, tetapi tak berkomentar lebih lanjut karena ada tamu ayahnya yang datang menghampiri.
“Kuucapkan selamat, Tuang Kang,” sapa pria setengah baya itu pada Kang Ha-jong.
“Ah, Tuang Hong! Selamat datang,” sambut Ha-jong ramah sembari berjabat tangan dengan investor proyek drama terbarunya itu.
“kudengar hari ini usiamu menginjak 44 tahun?” tanya Hong Jin-mo ramah. “Masih sangat muda. Apakah kau tak memiliki keinginan menikah lagi? Aku punya beberapa kenalan yang mungkin menarik untukmu,” tawarnya.
Ha-jong tertawa. “Aku puas dengan kondisiku sekarang,” katanya. “Ah, perkenalkan, ini putri ke duaku, Seo-min.”
Dengan kesopanan seadanya Seo-min membungkuk dan menggumamkan salam. Entah mengapa ia tak menyukai sorot mata Hong Jin-mo saat menatapnya.
“Putrimu sudah dewasa, padahal usiamu masih begitu muda,” kata Hong sengaja ingin menyenangkan hati Kang Ha-jong.
“Aku memang menikah di usia muda,” komentar Ha-jong apa adanya. “Ah, Seo-min, bisakah kau carikan kakak dan adikmu?”
Tanpa menyahut, Seo-min mengangguk dan langsung pergi menjalankan tugasnya. Ia sedang mencari Hea-in, ketika tanpa sengaja bertabrakan dengan Dong-hae yang baru kembali dari toilet.
“Maaf,” ucap Dong-hae cepat. Ia terdiam ketika menyadari siapa yang ditabraknya. “Oh, kau…”
“Hmm,” gumam Seo-min canggung. “Ah, apa… kau melihat kakakku?” tanyanya.
Dong-hae mengangguk. “Sejak tadi aku bersamanya—“
“Kalau begitu tolong sampaikan padanya ayahku mencarinya,” sela Seo-min cepat, tak ingin mendengar lebih banyak jawaban Dong-hae.
“Oh, baiklah,” gumam Dong-hae sama canggungnya.
Tak tahu harus mengucapkan apa lagi, Seo-min langsung berbalik pergi. “Seo-min,” panggilan Dong-hae menghentikan langkah gadis itu. ia menoleh untuk menatap Dong-hae, tetapi pria itu tak kunjung bicara.
“Ada apa?”
“…aku…” sesaat Dong-hae terdiam. “aku ikut senang atas hubunganmu dan kak Sung-min,” ucap Dong-hae pada akhirnya dengan diiringi senyum tipis.
Seo-min menunduk selama beberapa detik sebelum kembali menatap Dong-hae. “Terima kasih,” gumamnya, sebelum berbalik dan meninggalkan ruang dansa.
“Apa kau tidak lelah?” tanya Hyun-in ngos-ngosan pada Kyu-hyun yang entah telah berapa kali bolak-balik menaiki tangga dan merosot kembali ke lantai dasar dengan memaksanya turut serta.
Tanpa menjawab, Kyu-hyun beranjak dari perosotan menuju rak berwarna hijau yang memajang beragam mainan. “Ini mainan kalian dulu?”
“Ya,” Hyun-in. “tapi itu hanya sebagian. Di sini,“ katanya, menunjuk tiga buah peti yang disusun di samping perosotan. “adalah tempat penyimpanan harta karun kami… mainan maksudnya,” terang Hyun-in. “masing-masing anak memiliki satu peti.”
Kyu-hyun mendekati ketiga peti kayu tersebut, dan melihat setiap peti memiliki warna berbeda. Merah, kuning, dan hijau. “Yang mana milikmu?”
“Yang hijau,” jawab Hyun-in. “Merah milik kak Hea-in, dan kuning milik kak Seo-min.”
Kyu-hyun membungkuk untuk membuka peti-peti tersebut. “kenapa harta karun Seo-min sedikit sekali?” komentarnya melihat isi peti kuning.
“Karena dia hanya berkunjung ke mari di saat liburan… itu pun tak selalu, karena itu mainannya tak banyak yang tersimpan di sini.”
Kyu-hyun beralih ke peti milik Hyun-in. “Eh? Kupikir kau orang yang rapi, tapi kenapa banyak mainanmu yang rusak begini?”
Hyun-in tersenyum kecut. “Kak Hea-in yang merusaknya. Mungkin tidak sengaja…” tambahnya buru-buru.
Kyu-hyun melirik Hyun-in sebelum mengambil beberapa mainan. “Kalau tidak sengaja tak mungkin sebanyak ini yang rusak,” komentarnya tenang.
Komentar Kyu-hyun itu menimbulkan kebisuan dari pihak Hyun-in. ia tak mau menjelek-jelekkan kakak pertamanya itu di depan orang lain, apalagi Kyu-hyun yang menyukai Hea-in.
“Sepertinya hubunganmu dengan kakakmu kurang baik,” kata Kyu-hyun tiba-tiba.
“Hmm… hubungan kami memang berbeda dari keluarga normal… kami berbeda ibu,” jawab Hyun-in.
Kyu-hyun menghampiri Hyun-in dan menatap wajah gadis itu tajam. “Pasti kau sering dibuat menangis olehnya?” tebak Kyu-hyun lembut.
Hyun-in menunduk sambil mengingat masa kecilnya semenjak kedatangan kakak pertamanya itu di rumahnya. “sebenarnya terkadang dia tak selalu seburuk itu,” kata Hyun-in sembari berjalan menghampiri perosotan. “dulu aku pernah bermain perosotan dengan tidak hati-hati sehingga jatuh ke lantai dan terluka. Aku ingat menangis sangat kencang karena sakit…” Hyun-in tersenyum sendiri mengingat kejadian itu.
“Lalu?”
“Kak Hea-in bergegas mengambil kotak obat dan mengomati lukaku…”
“Dia melakukan itu?” tanya Kyu-hyun tak percaya.
Hyun-in mengangguk mengiyakan. “sudah kubilang dia tak seburuk itu…”
“Tapi pasti kebaikannya tak sebanding dengan kekasarannya padamu,” kata Kyu-hyun.
“Bukankah kau menyukai kak Hea-in? kenapa kau berkomentar buruk seperti ini tentangnya?”
Kyu-hyun berdeham sambil kembali mendekati peti-peti mainan. “Mainan-mainan rusak ini kenapa tidak kau buang saja?” tanyanya mengalihkan perhatian.
“Aku menyayangi semua mainanku. Ayah dan ibu membelikannya khusus untukku. Rasanya sayang untuk membuangnya…” jawab Hyun-in, menerima perubahan topic dari Kyu-hyun.
“Kau terlalu baik,” gerutu Kyu-hyun.
“Kau terlalu nakal,” balas Hyun-in sambil tersenyum geli. “Aku sudah menonton banyak acara dimana kau bersikap tak sopan pada kakak-kakakmu di Super Junior,” tambahnya.
“aku hanya bercanda,” Kyu-hyun membela diri. “Itu caraku menunjukkan sayangku pada mereka.”
“Rasa sayangmu aneh,” komentar Hyun-in.
“Hyun-in!” terdengar seruan Seo-min dari atas sesaat sebelum ia meluncur dari perosotan dan tiba di ruang permainan.
Dengan wajah cerah Seo-min memandang sekelilingnya. “Lama sekali tidak kemari dan bermain di perosotan ini,” katanya ceria. Ditatapnya Hyun-in dan Kyu-hyun. “Aku mencarimu, dan kata seorang pelayan kau ke ruang bawah tanah. Sedang apa kalian?”
“Eh, sebenarnya tadinya kak Kyu-hyun meminta dibawa ke home theater kita, tetapi kami malah tertahan di sini…” jawab Hyun-in. “Ada apa kakak mencariku?”
“Ayah menyuruhku memanggilmu. Sepertinya sebentar lagi acara puncaknya akan dimulai. Ayo.”
“Tuan Kang memanggilmu,” lapor Dong-hae saat kembali pada Hea-in.
“Oh ya? Apakah investornya sudah datang?” tanyanya pada diri sendiri sambil bangkit berdiri. “Baiklah, ayo kita temui ayah,” ajaknya.
Melihat Dong-hae yang berubah menjadi pendiam membuat Hea-in penasaran. “Apa ada yang salah?” tanyanya.
“Tidak,” elak Dong-hae sembari memaksakan senyum. “Ah, itu Tuan Kang,” katanya, menunjuk pria itu yang tengah mengobrol bersama Kang Bo-jong dan Hong Jin-mo yang berdiri membelakangi mereka berdua.
“Selamat malam,” sapa Hea-in sopan saat mencapai tempat ayahnya. “Kudengar Ayah mencariku?” Ditatapnya Kang Ha-jong yang tengah tersenyum.
“Perkenalkan, ini investor untuk drama terbaru kita, Tuan Hong Jin-mo,” kata Ha-jong. “Tuan, ini putri pertamaku, Hea-in.”
“Selamat malam, Nona Hea-in,” sapa Hong Jin-mo sembari tersenyum penuh arti pada Hea-in yang terperanjat melihatnya.
Wajah itu… senyum licik itu… sorot kejam itu… Hea-in melangkah mundur selangkah tanpa sadar. Wajahnya pucat dan keringat dingin menetes di keningnya. Ia tak mau percaya… berharap ini hanya salah satu mimpi buruknya, namun iblis yang terus menghantui mimpi buruknya itu kini memang tengah berdiri di hadapannya. Pria itu… Hong Jin-mo.
To Be Continued...
By Destira ~Admin Park~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar