Sabtu, 10 Desember 2011

F A T E - Prolog + Chap 1 - Fanfiction Super Junior -

PROLOG



- 22 Juni -                 
- Juny Killarney - Sloir School - Clonmel, Irlandia -         

“Selamat ulangtahun, Juny!” ucap teman-teman dan orang-orang yang mengetahui ini hari ulangtahunku.

Dan, “Selamat atas kelulusanmu,” ucap para guru dan adik-adik kelasku, karena ini juga bertepatan dengan hari kelulusanku dari Sloir School. Sekolah sihir khusus wanita.

“Ya, terima kasih,” sahutku sopan seadanya pada mereka sambil terus berjalan cepat menuju aula. Tiga orang teman seangkatanku, yang juga telah menjadi sahabatku selama bertahun-tahun, ikut mempercepat langkah mereka mengiringiku.

Nyonya Fitzpatrick dan semua gadis yang lulus hari ini telah berada di sana.

Aku, Heather, Ellen, dan Angelia mengambil tempat di deret terdepan, menggusur keempat gadis lain yang telah lebih dulu duduk di sana. Senyum sinis tersungging di bibirku saat melihat mereka menurut walau dengan menggerutu pelan. tak ada satu pun murid yang berani melawan keinginanku dan ketiga temanku. Aku dan Heather adalah penyihir terbaik Sloir School tahun ini—aku di urutan pertama, dan dia di urutan ke dua. Para pembenci kami harus berpikir ratusan kali sebelum berani melawan gengku.

Nyonya Fitzpatrick memperbaiki letak kacamata berujung runcingnya sambil mengamati ruangan. “Yak, semua sudah berkumpul. Sebaiknya kita mulai sekarang,” katanya, lalu melambaikan tongkat sihirnya yang mengkilap sempurna ke dinding berlapis tirai beledu merah darah di belakangnya. Tirai tersebut tersibak membuka dan memperlihatkan sebuah cermin antic berukir emas berukuran raksasa.

Aku, Heather, Ellen, dan Angelia saling bertukar senyum. Rasa tak sabar dan penasaran menyelubungi kami saat ini. seperti yang mungkin juga dialami murid-murid lain setelah dua belas tahun menuntut ilmu di sekolah ini. sekaranglah saatnya.

“Selamat untuk kalian para siswi Sloir yang lulus tahun ini,” kata Nyonya Fitzpatrick lantang dari atas panggung. Dengan gerakan anggun wanita setengah baya yang mengajar ilmu ramalan itu duduk di sebuah bangku di sisi cermin. “kelulusan ini membuktikan kualitas kalian sebagai penyihir dewasa. Tapi seperti yang semua penyihir tahu, untuk mendapat kekuatan lebih, kaum kita harus bersatu dengan pasangan takdirnya—“

Benar. Saat bersatu dan menerima cinta dari pasangan yang telah ditakdirkan, seorang penyihir akan mendapat energi lebih yang memungkinkannya untuk lebih maksimal dalam melakukan segala kegiatan sihir. Konon katanya, semakin besar dan mendalam cinta yang diberikan pasangan takdir, semakin besar pula energy sihir yang didapat si penyihir.

Aku tersenyum membayangkannya. Ya, dengan cinta pasangan takdirku, aku akan lebih kuat dari sekarang. tentu saja, untuk penyihir berbakat sepertiku, pasangan takdirku pastilah bukan orang sembarangan. Dia pastilah seseorang yang kuat dan hebat. Sepertiku.

“…sudah menjadi tradisi Sloir untuk menggunakan Cermin Jodoh demi melihat siapa pasangan takdir para siswi yang telah lulus dan menginjak usia dewasa,” kata Nyonya Fitzpatrick. “baiklah, tak usah bertele-tele, kita mulai saja. aku yakin kalian pun sudah tak sabar,” lanjutnya sambil tersenyum.

Dengan ketidaksabaran yang membumbung semakin tinggi, aku menunggu giliran sembari menonton teman-teman seangkatanku satu per satu menghadap Cermin Jodoh yang menampilkan sosok pasangan takdir mereka. 99% ramalan Cermin Jodoh selalu tepat.

Aku tertawa geli sedikit mencemooh ketika Ellen ternyata berjodoh dengan Maximilan O’connor, si penyihir bertubuh besar dan bertampang garang namun dungu dari sekolah sihir khusus pria. dan tersenyum kasihan pada Angelia yang berjodoh dengan guru Ramuan kami, seorang duda tanpa anak yang penggugup.

“Apa kau tidak cemas memikirkan siapa pasangan takdirmu?” tanya Heather.

“Tidak juga,” sahutku angkuh. “Karena aku yakin pasangan takdirku adalah seseorang yang sehebat aku.”

Heather tersenyum sinis. “Bila bukan karena aku sedang sakit ketika ujian Ilmu Pertahanan Sihir, dan melakukan sedikit kekacauan ketika pelajaran Ramuan, kurasa akulah yang akan menempati posisi pertama—“

“Tapi kau memang sakit, dan kau memang mengacaukan ramuan buatanmu sendiri,” selaku merendahkan. Kami memang bersahabat, tapi kami juga saingan. “Terima sajalah bahwa aku memang lebih hebat darimu.”

“Heather Dunnlam!” panggil Nyonya Fitzpatrick.

Sambil melayangkan tatapan kesal padaku, Heather berjalan menuju panggung, menghadap Cermin Jodoh.

“Kira-kira siapa menurutmu pasangan takdir Heather?” tanya Ellen.

Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Entahlah. Seseorang sepertinya mungkin? Yang cukup hebat namun bukan yang terhebat.”

Karena yang terhebat, penyihir idolaku, Trevor Donovan—yang menjadi legenda sekolah sihir pria karena kehebatannya dapat terus mempertahankan gelar juaranya dalam pertandingan sihir tingkat dunia—pasti akan menjadi pasangan takdirku...

“Ya Tuhan! Trevor Donovan!”

Seruan histeris para gadis di sekelilingku menyadarkanku dari lamunan. Mereka menyebut Trevor? Ada apa… mataku menatap ke depan. Ke cermin besar di atas panggung. Di sana, di cermin itu… terlihat Trevor-ku yang berambut pirang, bermata biru, dan bertubuh tinggi besar layaknya pejuang tangguh, tengah berolahraga kecil menaklukkan naga liar bersisik hitam yang bertubuh luar biasa besar. Deretan gigi putih bersih rapinya terlihat ketika pria itu tersenyum puas dan bangga atas keberhasilannya. Trevor melambai-lambaikan tangan ke arah para penonton sambil terbang di atas punggung si naga hitam.

Tidak… tidak mungkin… penyihir pria perkasa dan terhebat itu seharusnya milikku! Untukku! kenapa justru Heather yang…

Darahku seolah mendidih ketika Heather membalikkan tubuhnya untuk menatapku penuh kesombongan. Ini tidak benar… tidak mungkin….

“Masih ada pria lain yang sama hebatnya dengan Trevor,” kata Angelia menenangkan.

Aku mencoba menenangkan diri. Benar. Pasti ada pria yang sama hebatnya dengan Trevor yang ditakdirkan untukku. mungkin yang lebih hebat!?

“Juny Killarney!”


Aku segera berdiri dan menaiki anak tangga panggung. Heather menepuk pundakku saat kami berpapasan. “Maaf, aku yang mendapat ‘piala utama’nya.”

Kucoba untuk menyunggingkan senyum. Sulit. Aku tak terbiasa dikalahkan. Tidak, aku belum kalah. Pasti ada seseorang yang lebih hebat dan perkasa daripada Trevor yang merupakan pasangan takdirku.

“Itu belum pasti,” sahutku singkat.

Rasa gugup yang asing melanda diriku ketika berdiri di depan cermin raksasa tersebut. bagaimana bila pasangan takdirku tak lebih baik dari Trevor? Bagaimana bila…

Juny Killarney… Juny Killarney… Juny Killarney…

Semua pikiran yang meresahkanku itu segera hilang dari benakku ketika merasakan hembusan kuat angin yang berasal dari Cermin Jodoh menerpaku dan suara bisikan lembut menyebut namaku sebanyak tiga kali.

Aku menutup mata. sebentar lagi… ketika hembusan angin itu perlahan mereda kemudian akhirnya hilang sepenuhnya, kubuka kembali kedua mataku. Dan di sanalah dia… pasangan takdirku… seorang pria… asia? Berambut hitam berantakan, bermata sipit, dan berukuran tubuh biasa saja—bukan apa-apa bila dibandingkan Trevor Donovan—tengah bermain-main bersama seekor kura-kura di sebuah kamar…

Tidak. tidak mungkin… ini pasti kesalahan. Pasti ada kesalahan. Tidak mungkin dia pasangan takdirku!

aku menggeram kesal saat mendengar tawa mengejek para siswi di belakangku. Saat kulirik, bahkan Heather, Ellen, dan Angelia pun menertawakanku. Brengsek!

“Nyonya Fitzpatrick! Ini pasti kesalahan! Dia… dia pria asia! Dan yang terpenting, dia bukan penyihir! Aku tak melihat aura sihir dalam dirinya!” protesku, menunjuk cermin.

Guru Ramalan itu mendesah. “Yeah, tapi memang bukan hal baru seorang penyihir ternyata berjodoh dengan orang biasa.”

Itu benar, tapi… “Tapi tidak mungkin aku berpasangan dengan seseorang yang bukan penyihir!”

“Dan kenapa bisa begitu?” sahut Nyonya Fitzpatrick dingin. “Semua penyihir memiliki kemungkinan berpasangan dengan yang non penyihir. Ini hal biasa. Tak usah mempersulit hal ini, Nona Killarney.”

“Tapi… tapi…”

Mataku kembali terarah pada Cermin Jodoh ketika mendengar suara pria asia itu berbicara pada kura-kuranya. Dengan lambaian tongkat sihirnya, Nyonya Fitzptrick membuat kami semua mengerti bahasa yang digunakan oleh pria itu. aku tetap tak sudi mengakuinya pasangan takdirku.

“…hmm, Ddangkoma?” tanya pria itu pada kura-kuranya. Demi Tuhan, nama macam apa itu!? “kau pasti kesepian setiap aku pergi bekerja. Seharusnya aku mencarikan Mama untukmu, bukan begitu? Nah, lihat, aku punya foto-foto gadis cantik, kau pilih yang mana? Yang ini,” katanya sambil mengacungkan foto di tangan kirinya. “adalah Moon Geun-young, dan ini,” dia mengacungkan foto di tangan kanannya. “adalah Yoo-na. siapa yang kau pilih untuk menjadi Mama, he?”

Tak tahan lagi dengan kekonyolan pria itu, aku berbalik dan menuruni panggung dengan langkah cepat. Aku tak peduli. Bahkan bila memang harus melajang hingga akhir hayat, bahkan bila memang tak dapat menjadi lebih kuat. Aku tak menginginkan pria asia konyol semacam itu menjadi pasangan takdirku! Dia hanya akan membuatku ditertawakan!

Emosiku semakin terpancing saat melihat senyum mengejek Heather. Gadis itu mengeluarkan tongkat sihirnya dan mengarahkannya ke Cermin Jodoh. Apa yang dilakukannya?

Suara tawa yang tadinya sempat mereda kini menjadi kembali riuh. Ada apa? aku memutar tubuh, dan melihat selembar fotoku tergeletak di lantai kamar pria itu. dekat dengan kakinya. Sialan kau, Heather!

“Eh? foto siapa ini?” tanya pria itu, ingin mengambil fotoku, tetapi kura-kuranya yang bernama aneh itu lebih dulu menahannya dengan kakinya. “Kau menyukai gadis ini, Ddangkoma?”

“Kak Ye-sung! Aku pulang!” tiba-tiba masuk seorang pria asia lain ke dalam kamar. pria itu bahkan lebih aneh dari si pria yang tidak kuakui sebagai pasangan takdir itu. begitu imut dan mungil! Dia pria atau wanita!?

“Ryeo-wook, apakah foto gadis ini milikmu?” tanya pria bernama Ye-sung itu pada temannya sambil menunjuk fotoku yang masih ditahan oleh si kura-kura.

“Tidak. aku tidak mengenali foto itu. mungkin punya yang lain,” jawab pria bernama Ryeo-wook santai. “Eh, coba kulihat,” dia berusaha menarik fotoku dari bawah kaki si kura-kura, namun binatang itu justru lebih menyembunyikan foto tersebut dengan tubuhnya. “Wah, sepertinya Ddangkoma menyukai foto gadis itu,” komentarnya, membuatku merinding ngeri.

Ye-sung menyeringai—sejujurnya ada aura menggetarkan aneh ketika aku melihat seringaiannya—menatap kura-kuranya. “Hmm… sepertinya Ddangkoma sudah memutuskan siapa yang dia inginkan menjadi Mama-nya. Bukan begitu, Ddangkoma?”

Tidak… tidak… Demi Tuhan, aku tidak sudi!

“Selamat, Juny,” ejek Heather. “Kau menjadi Mama Ddangkoma yang menggemaskan.”

Aku menggeleng kuat. Tidak. bagaimana bisa? Heather yang selalu menjadi nomor 2 bisa mendapatkan Trevor Donovan yang kuat, hebat, dan tangguh, yang hobinya dikala waktu senggang adalah menaklukkan naga… sementara aku? aku justru mendapat pria non penyihir bermata sipit yang hobinya di waktu senggang adalah mengobrol dan mencarikan “Mama” bagi kura-kura jelek bernama aneh!?

“TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKKKK!!!” teriakku sekencang-kencangnya, membuat bumi bergetar dan langit bergemuruh.



===================================

CHAPTER 1



1 tahun kemudian…



- Seoul, Korea -  

“Tidurlah, sudah malam,” perintah seorang wanita pada putranya yang berusia tujuh tahun, sembari membereskan meja makan.

“Ya,” sahut si anak tanpa bergerak sedikitpun dari sofa di depan TV, asyik menonton acara kartun favoritnya yang berkisah tentang gadis-gadis penyihir.

“Ah, sebelum kau tidur, tolong ibu, periksa apakah pintu menuju balkon sudah dikunci,” perintah ibunya lagi.

“Ya,” sahut si anak. Karena acara kartunnya habis, maka dengan cepat ia melaksanakan perintah ibunya untuk mengecek pintu kaca geser tersebut. “Oh!” serunya terkejut ketika melihat seorang wanita berpakaian serba hitam melayang di udara dengan menaiki sapu terbang. “Penyihir! Ibu! Ada penyihir menaiki sapu terbang!” seru anak itu kegirangan.

Mendesah lelah, si ibu yang menganggap anaknya berkhayal karena terlalu banyak menonton TV, menghentikan pekerjaannya, dan menarik putranya itu untuk dibawa ke kamar. “Ya, ya, tapi kau harus tidur sekarang,” perintahnya tegas.

“Tapi, Bu—“



Juny Killarney, gadis penyihir yang baru saja melintas dan terlihat oleh si bocah kecil tadi, dengan santai mengendarai sapu terbangnya, mencari keberadaan pria yang diramalkan sebagai jodohnya.

Tongkat sihirnya bergetar dan mengarah ke kiri, menuntun gadis itu untuk berbelok. hingga sampailah ia di kediaman pria yang di carinya. Melalui pintu kaca geser yang mengarah ke balkon apartemen pria itu, Juny mengamatinya, yang kebetulan sedang duduk di ruang tengah, bersama teman-temannya.

Juny mencengkeram gagang sapunya erat. Teringat olehnya acara reuni yang dihadirinya siang tadi. semua teman seangkatannya kebanyakan hadir bersama pasangan masing-masing. Namun bukan hal itu yang mengganggunya, melainkan kehadiran Heather dan Trevor Donovan yang merupakan pria pujaannya. Pria yang dulu pernah dipikirnya akan menjadi jodohnya.

Sesaat, melupakan tujuannya datang ke tempat itu—untuk melihat secara langsung “jodohnya” dan mempertimbangkan seberapa pantas pria itu untuk menjadi pasangannya—pikiran Juny justru tersita pada kejadian di acara reuni tadi.

“Kau datang sendiri, Juny?” tanya Heather.

“Kelihatannya bagaimana?” sahut Juny, hatinya terbakar api kecemburuan, melihat Heather dengan mesra bersandar pada tubuh besar berotot Trevor.

“Oh, jadi kau belum juga bersama dengan pria Asia lucu itu?” olok Heather.

“Pria Asia?” tanya Trevor.

“Kau tidak tahu, Sayang? Menurut ramalan Juny berjodoh dengan seorang pria Asia non penyihir—“

“Seingatku dulu kau tak banyak omong seperti sekarang, Heather,” sela Juny dingin. “Ah, ngomong-ngomong, kudengar kau gagal mengikuti ujian masuk kerajaan?”

Nampak jelas bagaimana malu dan tersinggungnya Heather karena kegagalannya diungkit, namun Juny tak peduli. Gadis itu yang lebih dulu mencari masalah denganku, batinnya.

“Kudengar kau lulus dengan nilai tertinggi. Selamat, Juny!” puji Trevor, yang diikuti oleh pujian-pujian dari Ellen dan Angelia, sahabat-sahabat Juny yang lain.

“Kami dengar kau akan bekerja untuk Putri Gracella?” tanya Ellen antusias, menyebutkan nama Putri Mahkota kerajaan sihir Irlandia. “Kau memang selalu menjadi yang terbaik, Juny! Bukan begitu, teman-teman?”

“Benar,” sahut Angela sembari tersenyum tulus.

Senang dengan segala pujian yang diterimanya, Juny tersenyum angkuh. “Itu bukan apa-apa,” katanya. “Tapi, mengherankan kau tak dapat lulus dari tes semudah itu, Heather. Bukankah dulu kau selalu hanya setingkat dibawahku? Kupikir kali ini pun akan begitu… ternyata… terjadi kemunduran, he?”

Melihat kemarahan yang berusaha ditahan oleh kekasihnya, Trevor berdeham sembari mengelus lengan Heather untuk menenangkan. Juny menatap tindakan kasih sayang itu dengan sakit hati. menyadari hal itu meningkatkan kembali rasa percaya diri Heather.

“Perhatianku sedikit teralihkan belakangan ini,” jawabnya dengan nada menggoda sembari melirik Trevor yang tersenyum manis padanya.

Ellen dan Angela terkikik-kikik. “ku dengar kalian sedang mempersiapkan pernikahan, apakah benar?” tanya Angela.

“Cepat sekali berita menyebar,” komentar Heather sombong.

“Menikah!?” ucap Juny pada akhirnya, terlalu shock mendengar berita tersebut. “Secepat itu!?”

“Kenapa? Bukankah ini sesuatu yang lumrah? Hanya karena kau belum juga memulai hubungan dengan pria Asia itu, bukan berarti kami semua bergerak lamban sepertimu, Juny,” sahut Heather menyindir. “Lagi pula, bila sudah saling mencintai apa yang harus ditunggu?”

“Jelek sekali!” suara tawa yang menggelegar dari dalam apartemen yang diintainya menyadarkan Juny kembali ke masa sekarang.

Di dalam ruangan itu, Ye-sung, sang member Super Junior yang terkenal, bersama teman-temannya tengah bercanda dan melakukan permainan. Sebagai yang kalah, Ye-sung dan Ryeo-wook harus bersedia wajahnya dihiasi dengan make up dan rambutnya diikat sesuka hati dengan pita warna-warni oleh member lain.

Mengamati semua itu membuat Juny semakin tertekan dan marah di saat bersamaan. Kenapa ia, Juny Killarney, putri salah seorang Jendral terhebat kerajaan sihir Irlandia, yang dikenal sebagai penyihir muda paling berbakat abad ini, mendapat jodoh seperti Ye-sung!?

Pria Asia non penyihir yang aneh… konyol dan menyedihkan! batin Juny kecewa. Bagaimana mungkin dia pasrah saja diperlakukan seperti itu!? kenapa dia tidak melawan dijadikan bahan ejekan seperti itu!? tak ada satu pun pria bangsanya yang akan sudi didandani seperti wanita begitu… kecuali dia memiliki kelainan! pikir Juny panik, tak memahami bahwa Ye-sung dan member Super Junior lainnya hanya sedang bercanda.

“Demi Tuhan! Kenapa orang seperti itu yang harus menjadi jodohku!?” desis Juny gusar sebelum melesat pergi meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, di dalam apartemennya, Ye-sung dan Ryeo-wook saling menertawakan hasil dandanan masing-masing. namun sesuatu yang berkelebat di luar apartemennya menarik perhatian Ye-sung.

“Eh?” ucapnya terkejut.

“Ada apa?” tanya Ryeo-wook, ikut melihat ke arah balkon.

Ye-sung menatap teman-temannya dengan ekspresi setengah merenung. “Sepertinya aku melihat wanita dengan sapu terbang.”



3 bulan kemudian…



- Kediaman Keluarga Killarney - Clonmel, Irlandia

“Ibu! Ini tidak masuk akal!” protes Juny.

“Kau yang tak masuk akal!” balas Nyonya Killarney galak. “Kau tahu tradisi bangsa kita. Setelah mencapai usia dewasa, para gadis harus secepatnya menikah bila tak ingin menjadi bahan pergunjingan! Kau mau disebut sebagai gadis bernasib buruk? Gadis tak laku? Gadis pembawa sial yang harus dihindari!? Kau tahu ada banyak julukan buruk bagi gadis-gadis yang lambat menikah!”

“Aku tak peduli dengan gunjingan orang-orang bodoh itu—“

“Tapi aku dan seluruh keluarga Killarney peduli,” potong Nyonya Killarney.  “Sudah satu tahun lebih, kau bahkan belum memulai pendekatan dengan pria yang diramalkan berjodoh denganmu! ”

“Mendekatinya!?” seru Juny dengan mata terbelalak ngeri. “Lebih baik aku—“

“Jangan mempermalukan keluarga ini,” sela Nyonya Killarney tajam. “Aku tak mau tahu bagaimana caranya, paling lambat tahun depan kau harus segera menikah dengannya!”

Di dalam hatinya Juny mengutuki kebiasaan atau peraturan tak tertulis bangsanya yang mengharuskan para gadis menikah secepatnya setelah mencapai usia dewasa. bila saja jodohnya adalah Trevor Donovan, tentu saja Juny tak akan keberatan, tetapi… harus menikah dengan pria Asia aneh itu… memikirkannya saja membuat bulu kuduk Juny berdiri.

“Dia tak sebanding denganku. Aku—“

“Memangnya kau pikir sehebat apa dirimu, Putriku?” sindir Nyonya Killarney. “Hah… ini salah ayahmu yang mewariskan kesombongannya padamu,” keluhnya.

“Aku tidak menyombong, hanya mengungkapkan fakta. Pria seaneh itu tidak pantas untukku!”

Malas meneruskan perdebatannya dengan putrinya, Nyonya Killarney mengeluarkan tongkat sihir dari kantung tersembunyi di gaunnya, dan mengucapkan mantra. Dalam sekejab sebuah mantel merah marun dan sapu terbang milik Juny melayang menghampirinya. Diserahkannya kedua benda tersebut pada putrinya yang kebingungan.

“Pergi dan lakukan pendekatan dengan pria itu,” perintah Nyonya Killarney. “Dan jangan harap kau bisa pulang bila belum melakukannya!”

“Ibu! Kau tidak bisa seperti ini padaku! Putrimu sendiri!” protes Juny, ketika ibunya mengusirnya keluar rumah. “Ibu! Ini tidak lucu!” jerit Juny dari luar rumahnya. Dan sebelum ia sempat menggunakan sihir untuk kembali masuk, sebuah perisai tak kasat mata hasil mantra ibunya telah menyelubungi rumah tersebut. Setiap kali Juny berusaha mendekat, maka ia akan terpental jauh. “Ibuuu!!!”



- Stadion, tempat konser Super Junior - Seoul, Korea - 

Mantra pelacaknya menuntun Juny ke tempat ini. tanpa menyadari pandangan heran dan penasaran orang-orang yang melihat penampilannya, dengan serius Juny menatap sosok Ye-sung yang berada di atas panggung bersama grupnya.

Dari apa yang diamati dan didengarnya dari percakapan orang-orang di sekelilingnya, Juny mendapat kesimpulan bahwa “jodohnya” itu rupanya semacam selebritis. Di negrinya, keluarga Juny memiliki beberapa kenalan selebritis; penyanyi opera kerajaan, dan semacamnya. Tapi…

“Aaa!!! Si-won oppa!!! Aku cinta padamu!!!”

“Hyuk!!! Lihatlah aku!!!”

“Dong-hae!!! Waaa!!! Dong-hae oppa!!! Terima cintaku!!!”

Tapi tak pernah dalam konser-konser kerajaan yang dihadirinya Juny melihat kegilaan seperti ini dari para penontonnya. Hysteria menyelubungi seisi stadion besar ini. apakah sebegitu hebatnya pria itu? batin Juny bertanya-tanya, dan mulai berpikir bahwa bila memang benar, mungkin Ye-sung tak terlalu memalukan seperti anggapannya semula.

Sayangnya Juny kembali berubah pikiran seiring berjalannya konser tersebut. Saat para member Super Junior berbincang-bincang sebelum bernyanyi, Ye-sung berdiri di pinggiran, bukan di tengah sebagai pusat perhatian—berbanding terbalik dengan diri Juny yang harus selalu menjadi yang utama dimana pun ia berada—dan tak banyak bicara.

Ketika Super Junior memulai konser dengan menyanyikan Bonamana, Juny terpesona melihat koreografi dan alunan lagunya, namun sayang, ia tetap kecewa karena Ye-sung tak mendapat banyak sorotan di depan, dan jelas gerakan tarinya pun tak sehebat beberapa member yang lain.

Juny mengamati dengan wajah cemberut. Pria itu memang tak sebanding denganku, pikirnya kesal.

Waktu berlalu dengan cepat, dan Super Junior telah menyanyikan beberapa lagu. Juny yang bosan karena kecewa terhadap Ye-sung, memutuskan untuk pulang. Tak peduli ibunya pasti marah. Walau dia harus tidur di luar, Juny tak peduli.

“Ye-sung oppa!!!” seruan para penggemar yang membahana menghentikan langkah Juny. Ia menoleh sedikit ke arah panggung, dan melihat pria itu kini seorang diri di sana, tersenyum pada para penggemarnya.

“kalian menantikan aku!?” seru Ye-sung, yang segera disambut seruan girang para penggemarnya.

Melihat reaksi orang-orang di sekelilingnya, Juny mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia ingin melihat sedikit lebih jauh kepantasan Ye-sung untuk jadi pendampingnya.


Today, i wander in my memory 
I’m pasing around on the end of this way 
You’re still holding me tightly, even though i can’t see you any more 
I’m losing my way again


Juny terpaku di tempatnya, terhipnotis oleh suara Ye-sung. Ketika bernyanyi bersama grupnya tadi, Juny tak terlalu memperhatikan bahwa ternyata suara pria itu seindah ini…


it can’t be if it’s not you 
i can’t be without you 
it’s okay if i’m hurt for a day and a year like this 
it’s fine even if my heart’s hurts 
yes because i’m just in love with you


tanpa benar-benar sadar, Juny menerobos lautan penggemar di depannya agar dapat mencapai tempat terdekat dengan panggung. Agar dapat mengamati dan mendengar Ye-sung lebih dekat…


my bruised heart 
is screaming to me to find you 
where are you? 
can’t you hear my voice? to me…
     

mungkin hanya kebetulan… atau memang telah ditakdirkan demikian, ketika menyanyikan bait tersebut, Ye-sung menoleh ke tempat penonton di sayap kanan panggung, dan entah mengapa sosok Juny langsung menarik perhatiannya.

Detik ketika mata mereka saling beradu pandang, sesuatu yang nyaris mistis seolah menyelubungi keduanya. Udara seolah menghilang, dan tubuh keduanya bagaikan tersengat listrik.

“Juny.”

Panggilan tersebut memutus apapun yang tengah terjadi diantara Juny dan Ye-sung. Menoleh menatap orang yang memanggil dan menyentuh pundaknya, Juny terkejut mendapati kakaknya, Kennard Killarney, berdiri di hadapannya lengkap dengan seragam pasukan kerajaan dan jubah hitam panjang.

Gadis-gadis disekitar dua bersaudara itu memandangi mereka penuh perhatian. Tak setiap hari mereka berkesempatan melihat orang asing dengan pakaian bergaya eropa jaman dulu seperti ini. terlebih, ketampanan klasik Kennard yang bagaikan bangsawan dalam kisah-kisah dongeng, memukau mereka.

“Ayo kita pulang,” ajak Kennard, tanpa memperdulikan pemujaan yang jelas-jelas ditunjukkan gadis-gadis di sekelilingnya.

“Bagaimana kau bisa—“

“Sore tadi aku dan ayah pulang dan mendapati kau tak ada,” jawab Kennard. “Sebaiknya kita pulang sekarang. saat pergi tadi ayah dan ibu sedang bertengkar karena masalah ini.”

Juny menghembuskan nafas lega. selama beberapa minggu ini ayah dan kakaknya tak berada di rumah karena bertugas mengawal Raja ke Konferensi Penyihir Dunia di Inggris. Syukurlah ayah sudah pulang, berarti aku tak akan lagi dipaksa berhubungan dengan si konyol itu, pikir Juny. karena Tuan Killarney yang amat memanjakan putrinya itu tak mungkin memaksa Juny melakukan hal yang tak diinginkan.

Tiba-tiba Juny menoleh kembali ke arah panggung. Tapi pria itu tidak terlihat konyol saat menyanyi, batinnya mengakui.

“Juny,” panggil Kennard lagi.

“Ah, ya, ayo.”



Dua bulan kemudian…



- Kediaman Keluarga Killarney - Clonmel, Irlandia -

“Terakhir kali aku melihatmu, kau masih bocah kecil yang lucu. Sekarang kau sudah tumbuh dewasa dan cantik,” puji Mora McKenzie, seorang bibi jauh Juny yang datang berkunjung hari ini.

“Terima kasih, Bibi,” sahut Juny seadanya.

“Ah, dimana Kennardku yang tampan?” tanya Mora pada sepupunya, Nyonya Killarney.

“Di istana,” jawab Nyonya Killarney sembari memperbaiki letak rok gaunnya.

“Dia belum juga menikah?”

“Tampaknya aku dikaruniai anak-anak yang anti pernikahan,” jawab Nyonya Killarney dengan nada menyindir sembari melirik Juny yang berpura-pura tak tahu.

Mora menatap Juny sambil tersenyum. “Kudengar kau tak menyukai hasil ramalan dari cermin jodoh, benar begitu?”

“’Tak menyukai’ kedengarannya terlalu menyepelekan apa yang kurasakan,” jawab Juny. “Ah, tapi… maaf bila aku lancang, bukankah… dulu bibi juga menolak pria yang disebutkan oleh cermin jodoh?”

Mora mengangguk-angguk sembari menyeruput tehnya. “Benar,” jawabnya tenang. “ahhh… sudah belasan tahun berlalu, tapi aku masih ingat jelas ramalan yang mengguncang hidupku itu,” katanya dengan dramatis. Diliriknya sepupunya sebelum menatap Juny penuh perhitungan. “Bagaimana mungkin aku bisa menerima bahwa jodohku adalah seorang pembuat ramuan sederhana yang tinggal di tengah hutan belantara? Aku menyukai kehidupan perkotaan dan pesta di istana. Tinggal di gubuk dengan penyendiri seperti itu akan membuatku gila!”

Juny nampak bersemangat. Mora bagaikan teman senasib baginya. Mereka sama-sama tak menginginkan orang yang menurut ramalan merupakan jodoh mereka. “Itu benar, bagaimana kita bisa memaksakan diri menyukai sesuatu yang tidak kita suka?” komentarnya.

“Begitulah. Hingga sekarang aku menolak, dan seperti yang kau tahu, aku menikah dengan pria lain,” lanjut Mora.

“Pria-pria lain,” ralat Nyonya Killarney. “Kau menikah hingga 5 kali.”

“Apalah artinya angka,” sahut Mora meremehkan.

“Berarti aku tetap bisa menikah dengan siapapun yang kumau, tak peduli isi ramalan, bukan begitu!?” tanya Juny antusias.

“Tentu saja,” jawab Mora. “Tahukah kau mengapa ketepatan ramalan cermin jodoh dikatakan hanya 99%? Karena yang 1% nya lagi ditentukan oleh diri kita sendiri. Tak peduli bagaimana isi  ramalan tersebut, kitalah yang menentukan nasib kita sendiri.”

“Itu benar!”

Nyonya Killarney berdeham sambil melayangkan tatapan memperingatkan terhadap sepupunya. Menambah semangat Juny menolak jodohnya bukanlah tujuannya mengundang Mora.

“Tetapi Sayangku,” ucap Mora halus. “walau tak ingin mengakuinya, namun sekarang aku menyesali sikap angkuh dan kekanakanku dulu yang menolak pria itu.”

“Kenapa?”

Mora melirik Nyonya Killarney, dan mendapat isyarat untuk melanjutkan. “Menolak apa yang telah ditakdirkan para dewa untuk kita hanya memancing kemurkaan mereka,” ia berhenti sesaat untuk mengusap setitik air mata di sudut matanya. “kau tak bisa membayangkan hal mengerikan apa yang akan menimpamu… seperti yang telah kualami sendiri…”

Nyonya Killarney berusaha menyembunyikan senyumnya ketika melihat Juny berjengit ngeri.

“Hal… mengerikan…?”

Mora terisak pelan, tak dapat menjawab. Nyonya Killarney langsung merangkulnya untuk menenangkan. “Pergilah ke kamarmu, Bibimu harus menenangkan diri,” sarannya pada putrinya.

“Baik,” sahut Juny menurut. “Maafkan aku bila pertanyaanku mengingatkanmu pada hal-hal buruk, Bibi Mora,” tambahnya sopan sebelum keluar dari ruang santai keluarganya itu.

Sembari berjalan di koridor menuju kamarnya, Juny kembali mengulang-ulang pembicaraan mereka tadi. Hal mengerikan seperti apa maksudnya? Pikirnya.

Juny mencoba mengingat-ingat semua berita yang didengarnya tentang Bibi Moranya. Suami pertamanya meninggal di malam pesta pernikahannya karena kalah berduel sihir di saat mabuk. Mora juga sempat diasingkan karena tanpa sengaja nyaris mencelakai putri perdana menteri yang tak disukainya—walaupun menurut orangtua Juny, Mora hanya bercanda waktu itu. suami kedua Mora hanya bertahan satu bulan, sebelum meninggalkannya karena bertemu dengan “jodoh aslinya”.

Semakin lama Juny mengingat gossip-gossip seputar bibinya itu, semakin ia bergidik ngeri. Seorang Juny Killarney tak akan terperosok dalam kejadian-kejadian yang membawa aib seperti itu! tapi… tapi… bagaimana bila para dewa juga menjadi murka padaku karena menolak si konyol itu!? batin Juny menjerit resah. Tidak, itu tak boleh terjadi! Berpasangan dengan pria Asia non penyihir masih lebih bisa diterima dibandingkan harus menerima kesialan demi kesialan seperti yang dialami bibi Moranya!



Duduk berdua di halaman belakang rumahnya yang asri, dengan kurcaci-kurcaci yang berseliwiran menata taman tersebut, Nyonya Killarney dan Mora memandang langit biru yang cerah.

“Dia bergerak cepat,” komentar Mora, memandangi sosok Juny yang melayang tinggi di udara dengan sapu terbangnya. Sebuah koper cokelat besar terikat di sapu tersebut.

Nyonya Killarney tersenyum. “Sudah kubilang cara ini pasti berhasil.”

“Aku merasa tak enak telah membohongi gadis malang itu,” keluh Mora.

“Kau tak sepenuhnya bohong. Hal mengerikan memang terjadi karena kau menolak jodohmu,” kata Nyonya Killarney tenang. Ditatapnya wajah sepupunya itu. “Karena tak bersatu dengannya, kau tidak pernah merasakan kebahagiaan yang seutuhnya. Kau merasa hampa, karena tak bersatu dengan orang yang seharusnya menjadi belahan jiwamu.”

“Itu benar… sesenang apapun aku, rasanya selalu ada yang kurang dalam hidupku…”

“Kebahagiaan amat penting. Tak memilikinya tentu akan sangat mengerikan, jadi kau tak sepenuhnya berbohong pada Juny,” kata Nyonya Killarney.

“Seandainya aku bisa mengulang waktu… kini orang itu telah tiada…” mata Mora terlihat menerawang, mengingat berita yang didengarnya tentang kematian pria yang merupakan jodohnya itu.

“Karena itulah aku melakukan semua ini. aku tak mau Juny menyia-nyiakan kesempatannya untuk bahagia,” kata Nyonya Killarney.  Ia berjalan ke kolam di tengah tamannya, dan dengan sedikit menggerakkan tongkat sihirnya, di kolam tersebut muncul wajah Ye-sung yang tengah tersenyum pada teman-temannya. “Pemuda ini akan memberikan kebahagiaan untuk putri kesayanganku.”



- Handel and Gretel - Seoul, Korea -    
(tanda * berarti pembicaraan dalam bahasa Inggris)
               
“Erhm…” Jong-jin, adik Ye-sung, berdeham gugup menghadapi wanita asing dihadapannya saat ini. pegawai yang lain tak dapat berbahasa Inggris dan mendesaknya bicara dengan wanita ini karena sejak tadi hanya duduk tanpa memesan apa-apa. “*permisi, Nona. Apa kau kau ingin memesan sesuatu?”

Juny melirik Jong-jin sekilas, sebelum kembali menatap tajam Ye-sung yang tengah duduk semeja dengan Hee-chul dan Ryeo-wook.

“Emm… *nona?” panggil Jong-jin.

Juny mendelik sadis ke arah Jong-jin, membuat pemuda itu merasa ngeri, terlebih dengan aura ‘kegelapan’ yang menyelubungi Juny—sebenarnya aura gadis ini mengingatkannya pada aura kakaknya sendiri—membuat gadis itu tampak semakin seram. Apa dia dari pesta kostum? Pikir Jong-jin, mengamati tata rambut rumit Juny dan gaun hitamnya.

“Panggil dia!” perintah Juny dalam bahasa Korea—menggunakan mantra untuk dapat mengerti bahasa apa pun—sambil menunjuk ke arah Ye-sung.

“Eh? Kau bisa—“ ucap Jong-jin terkejut. “Baiklah, sebentar,” pintanya, lalu buru-buru memanggil Ye-sung. Ia bersyukur dapat jauh-jauh dari gadis mengerikan itu.

“Kak, ada yang mau bertemu denganmu,” lapor Jong-jin pada Ye-sung.

“Siapa?”

“Itu,” Jong-jin menunjuk Juny dengan gerakan kepalanya tanpa berani menatap gadis itu.

“Wah, penggemar dari luar negeri?” ucap Hee-chul bersemangat. “Gayanya unik.”

“Dia cantik,” komentar Ryeo-wook. “Tapi menakutkan,” tambahnya cepat ketika mendapat tatapan tajam Juny.

“Temui dia,” perintah Hee-chul. “Ah, sudah jam segini, aku harus pulang dan tidur cepat kalau tidak besok terlambat masuk kantor dan akan diomeli Lee-teuk,” katanya sambil berdiri. Hee-chul, Lee-teuk, dan Kang-in saat ini tengah menjalani wajib militer mereka.

“Sampai jumpa nanti,” kata Ryeo-wook ceria.

“Hmm,” gumam Hee-chul menanggapi. Saat melintas di samping meja Juny, dikedipkannya sebelah matanya dengan gaya menggoda pada gadis itu, tetapi bukan reaksi tersipu malu atau senang yang didapatnya, Juny justru membelalakkan matanya memelototi Hee-chul.

“Gadis macam apa itu,” gerutu Hee-chul sambil mendorong pintu café.

Ye-sung mendatangi Juny sembari tersenyum ramah. “Eh… *kau… mau… bicara…”

“Dia bisa bahasa Korea, kak,” sela Jong-jin, kasihan melihat kakaknya kesulitan berbahasa Inggris.

“Benarkah!?” ucap Ye-sung terkejut. “Jadi? Kau mencariku?” tanyanya sembari mengamati Juny.

Tak menyahut, Juny justru melakukan penelitiannya sendiri. Dicermatinya Ye-sung dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu menghela napas frustasi.

“Nona?” panggil Ye-sung heran.

Juny berdiri, lalu meraih mantel, sapu, dan kopernya. Ye-sung menatap heran sapu yang dibawa gadis itu. untuk apa dia membawa-bawa sapu? batinnya.

“Sampai jumpa di rumah,” kata Juny dengan nada datar sebelum berlalu dari tempat itu.

“Ya… eh? Apa katanya tadi?”



- Apartemen Ye-sung -    

Baru tahun ini Ye-sung membeli apartemennya sendiri. Ia merasa senang dan bangga dengan tempat tinggalnya, namun terkadang ia merasa kesepian, setelah terbiasa tinggal bersama-sama dengan saudara-saudara Super Juniornya bertahun-tahun.

Melepas sepatunya, di foyer, Ye-sung masuk ke ruang tamunya sambil menyapa Ddangkoma di dalam kandangnya.

“Aku pulang. Kau tak menyapaku? Hei, anak nakal,” ucap Ye-sung pada kura-kuranya itu. “Kau sudah tidur?”

“Bisakah kau menghentikan kekonyolanmu ini? dia tak mungkin menjawabmu!” gerutu Juny, yang baru keluar dari kamar tamu kosong yang kini telah di klaimnya sebagai kamarnya—tanpa seijin pemilik rumah.

Terperanjat mendengar suara wanita, Ye-sung jatuh terduduk di sisi kandang Ddangkoma. Mata sipit Ye-sung sedikit membesar, memperlihatkan betapa terkejutnya ia melihat kehadiran Juny di dalam rumahnya.

“Kau… kau… bagaimana bisa…”          

“Juny Killarney,” gadis itu menyorongkan tangannya untuk memperkenalkan diri.

Ye-sung menatap tangan gadis itu, ke wajahnya yang tenang seolah tanpa dosa, lalu kembali ke tangannya. Bagaimana mungkin mengajak orang berkenalan setenang ini setelah menerobos masuk begitu saja, pikir Ye-sung tercengang.

Tak sabar menunggu reaksi Ye-sung, Juny bergerak maju untuk meraih tangan pria itu dan menjabatnya. Seketika, sengatan listrik seolah menjalari tubuh keduanya. Bingung dengan yang terjadi, buru-buru Juny menarik tangannya kembali.

“Kau gadis di café tadi kan? Mau apa kau ke mari? bagaimana kau bisa masuk!?” tuntut Ye-sung sembari berdiri. Diusap-usapnya tangannya yang seolah tersengat listrik tadi ke pahanya.

“Walau tak ingin, tapi kita tetap harus melakukan ini,” ucap Juny, terdengar tak masuk akal bagi Ye-sung.

“Apa maksudmu?”

“Kita akan hidup bersama mulai sekarang.”

“Kita…? Apa!?”



To Be Continued...

By Destira ~Admin Park~

2 komentar:

  1. Jalan critanya menarik,, bru pertama kali baca ff yg temanya spt ini.. :)

    BalasHapus
  2. The Best 8 Casino Apps in Ohio - Mapyro
    › apps › details › 강릉 출장안마 com › apps › 순천 출장마사지 details › 과천 출장안마 com The Best 의정부 출장마사지 8 Casino Apps in Ohio is the most visited app in Ohio. See photos, read reviews, leave a 의왕 출장마사지 rating, or get the best value for your

    BalasHapus