PROLOG
Kutemukan diriku gugup saat mulai memasuki restoran bergaya eropa klasik bersama Kak Hyun-joong di depanku. Malam ini aku akan bertemu dengan anggota keluarga Kak Hyun-joong di pesta penyambutan kedatangan adiknya dari Amerika. Musik klasik mengalun lembut saat aku memasuki restoran tersebut.
“Tanganmu dingin sekali Hyo-rin,” ujar Kak Hyoon-jong karena dia memang menggandeng tanganku saat ini. “Kau gugup?”
“Gadis mana yang tidak gugup bila harus bertemu dengan orang tua kekasihnya,” akuku.
Kak Hyun-joong tersenyum menenangkan, “Tenanglah! Orang tua-ku konservatif, mereka tak akan menyidangmu.”
“Syukurlah!” jawabku pelan tapi sama sekali tak menghilangkan kegugupanku.
Kami pun sampai di salah satu meja yang saat ini telah ditempati oleh beberapa orang. Diantaranya sepasang pria wanita separuh baya yang kuperkirakan orang tua Kak Hyun-joong dan seorang pemuda tampan. Tak kalah tampan dengan Kak Hyun-joong dan entah mengapa jantungku berdebar saat memandangnya tersenyum padaku.
Pria tampan dan belia itu berdiri menyambut kedatangan kami, dan merangkul Kak Hyun-joong saat kekasihku itu tiba di hadapannya. “Aku merindukanmu Kak!”
“Aku juga!” jawab Kak Hyun-joong tulus.
“Sepertinya tidak begitu?” kata adiknya sembari menatapku. Tampan sekali!!
“Oh...kenalkan, ini Hyo-rin kekasihku,” Kak Hyun-joong memperkenalkan aku padanya, “Dan Hyo-rin, ini adikku Hyung-joon.”
“Hai Hyo-rin,” sapa Hyung-joon sembari menyalamiku dan menyunggingkan senyum menawannya. Dia benar-benar duplikat Kak Hyun-joong, sangat tampan dan manis. “Kau wanita paling beruntung, karena berhasil mendapatkan Kakakku.” Ya tuhan, kenapa jantungku menjadi berdetak lebih keras saat melihat senyumnya yang indah itu.
Tidak, tidak, tidak, Hyo-rin. Kau tidak bermaksud untuk menduakan Kak Hyun-joong kan? Terlebih pria itu adalah adiknya....
(Taken From...My Perfect Prince –Special Edition-)
Chapter 1
-Shin Hyo-rin, Seoul University of Agriculture-
Ku kembalikan perhatianku pada buku yang sedang kubaca, mencoba untuk memaknai kata-kata di buku tersebut, tapi tak berhasil. Aku resah, ya, benar aku resah dan bingung. Pikiranku dipenuhi oleh senyum manis pria itu. aku heran, mengapa aku selalu memikirkannya akhir-akhir ini. sejak pertemuan pertama kami di restoran itu. hah...sungguh aneh! Di satu sisi aku mencintai Kak Hyun-joong kekasihku, tapi kenapa di sisi lain, aku tak bisa melupakan Hyung-joon, adiknya.
“Buku itu bisa robek kalau kau remas terus!” aku terkesiap saat tiba-tiba seseorang menarik buku itu dari tanganku.
“Yoo-hee?!” jeritku kesal.
“Ketika hati berkata,” ia membaca judul buku yang tadi ia rebut dariku.
“Kembalikan!” pintaku tapi tak diacuhkannya. Ia malah membuka buku itu dan membacanya.
“Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu!” komentarnya santai tapi tetap tak mengalihkan perhatiannya dari buku itu.
“Rupanya kau mulai main tebak lagi,” gumamku.
Kini Yoo-hee mendongak untuk menatapku, “Dan kau, kembali menyembunyikan sesuatu dariku.”
“Ah...sudahlah!” sergahku kembali merebut buku itu dan memasukkannya ke dalam tas. “Kau mau kemana?” aku bertanya saat melihatnya mulai beranjak dari kursinya.
“Aku harus kembali ke kantor.” Kantor? Ah...ya, aku ingat. Sejak beberapa bulan yang lalu, ia bekerja membantu Ayahnya di perusahaan Publishingnya, Dong-In Publisher.
“Hya! Yoo-hee?” panggilku berusaha mengejarnya, “Aku heran denganmu, kenapa kau dulu mengambil jurusan pertanian, kalau kau lebih tertarik ke dunia publishing?” tanyaku penasaran.
“Apa boleh buat? Ayahku membutuhkan bantuanku, dan kau tau hobi-ku membaca dan suka menulis sesuatu, jadi sekedar untuk menyalurkan hobi,” jawabnya acuh tak acuh. “Lagi pula, aku tidak berniat seterusnya berada di bidang itu kok. Aku lebih suka mengurus kebun dan mengembangkan tanaman-tanaman yang bermutu tinggi.”
“Lalu? Siapa yang akan mengurus bisnis Ayahmu kalau kau lebih memilih dunia pertanian?”
“Masih ada saudaraku,” gumamnya santai, “Ah...kenapa kau mendadak seperti wartawan begitu?”
“Hya! Tidak ada, aku hanya ingin tau.”
“Ya sudah, aku harus segera kembali,” pamitnya, “Sampai besok Hyo-rin! Sampaikan salamku untuk Kak Hyun-joong, katakan selamat ulang tahun dariku,” tambahnya membuatku mengernyit heran. Ulang tahun? siapa yang.....Astaga! aku menepuk jidatku. “Kau kenapa? Jangan bilang kalau kau lupa bahwa hari ini adalah ulang tahunnya?”
“Ya Tuhan! Yoo-hee, sayangnya tebakanmu benar,” seruku merasa bersalah. Padahal tadi pagi ia menelponku. Dan aku sama sekali tak mengucapkan selamat padanya.
Yoo-hee menggeleng dan berdecak heran, “Aku tak tau apa yang menjadi pikiranmu saat ini, hingga membuatmu melupakan hari ulang tahun kekasihmu,” oloknya.
“Hah...ya sudah kalau begitu aku pergi dulu!” ujarku buru-buru menghampiri motorku.
Sayup-sayup kudengar Yoo-hee menggumam, “...haissh...sebenarnya siapa yang terburu-buru di sini?”
-Grand Central, Mall-
Kuedarkan pandangan ke sekeliling, dan berusaha mencari ide tentang hadiah apa yang akan kuberi pada Kak Hyun-joong. Sejenak aku menghampiri toko jam dan melihat-lihat arloji yang dipajang di etalasenya. Arloji yang sangat keren. Tapi, aku segera berubah pikiran saat melihat toko baju dan menemukan kemeja kotak-kotak berwarna biru. Aku suka warna biru. Karena warna biru melambangkan warna laut luas dan warna langit yang seolah menyelimuti bumi dengan warna birunya. Ah...benar-benar membingungkan! Terlebih ini adalah hadiah ulang tahun pertamaku untuknya. Ayolah Hyo-rin! Pikirkan sesuatu.
“Sedang mencari apa?” aku sedikit terlonjak saat merasakan pundakku ditepuk dari belakang.
“Eh?”
“Mencari hadiah untuk kakakku?” tanyanya seraya tersenyum. Kim Hyung-joon, pria yang senyumnya sempat membuatku berpaling itu kini berada di hadapanku. Apa ini hanya khayalanku saja? “Kupikir, dia akan menyukai kemeja itu,” komentarnya sembari melirik pada kemeja yang kupegang. Jadi ini nyata?
“Oh...benarkah?” tanyaku berusaha menenangkan detak jantungku yang meningkat. Apa ini?
“Hmm...” gumamnya, “modelnya keren, pilihan warnanya juga pas. Jadi kurasa...kakakku akan menyukainya. Ternyata, seleramu bagus juga Hyo-rin,” pujinya membuat pipiku memanas.
“Terima kasih!” ujarku cepat, “sepertinya aku harus ke kasir sekarang.”
“Ya, silahkan!”
Aku melangkah cepat meninggalkan pria itu menuju kasir. Rasanya perjalanan menuju kasir sangat lama, jika mengingat ia terus memandangku di belakang sana. Hah...
“Hyo-rin!” aku menghentikan langkahku saat mendengar suaranya memanggilku dan berputar untuk menghadapnya. Semoga aku tidak salah dengar.
“Kau memanggilku?” tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri.
Ia mengangguk, “ya,” katanya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu, “memangnya ada Hyo-rin lain di sini yang kukenal?” ia balas bertanya.
“Oh...kupikir...”
“Apa kau bisa menemaniku?” selanya.
“Eh?”
“Aku butuh seseorang untuk berunding,” jelasnya.
“Berunding masalah apa?”
“Aku akan membelikan sesuatu untuk seseorang, tapi aku butuh pertimbangan seseorang.”
“Oh...kau mau membelikan hadiah untuk Kak Hyun-joong juga?” tebakku, mulai merasa nyaman mengobrol dengannya.
“Bukan,” katanya sambil meringis, “kalau hadiah untuk kakakku, aku sudah memberikannya pagi tadi.”
“Ah...maaf, ternyata aku yang telat,” ujarku malu.
“Tidak perlu merasa bersalah, kakakku bukan orang yang suka menuntut kekasihnya harus membelikannya sesuatu di hari ulang tahunnya,” katanya menenangkan.
“Ya, benar. Dia memang pria yang baik,” gumamku dan itu semakin membuatku merasa bersalah karena kini aku sering memikirkanmu. Sial!
“Hyo-rin? Kau mau tidak?”
“Eh..oh, ya tentu saja,” aku mengangguk setuju.
“Ya sudah, aku tunggu di sini. Silahkan dibayar dulu,” katanya membuatku sadar kalau aku belum juga membayar kemeja itu.
Setelah membayar kemeja untuk Kak Hyun-joong di kasir, aku kembali menghampiri Hyung-joon yang dengan sabar menantiku di tempat yang sama. “Sebenarnya, kau ingin membeli hadiah untuk siapa kalau boleh tau?” aku mencoba bertanya untuk memecah keheningan di antara kami.
“Oh...itu,” katanya, “aku belum mengatakannya padamu ya?” ia meringis. Benar-benar manis!
“Belum.”
“Aku ingin membelikan cincin untuk kekasihku,” deg...jadi...dia sudah punya kekasih? Astaga! Hyo-rin...kenapa kau harus heran begitu? Wajarkan, kalau pria setampan dirinya sudah memiliki kekasih?
Setelah diam beberapa saat, aku kembali menanggapi, “Hmm...jadi kau akan melamar kekasihmu?” tebakku. Lupakan dia Hyo-rin, dia sudah memiliki kekasih. Kau kan sudah punya Kak Hyun-joong.
“Yah...tidak juga!” gumamnya, “hanya karena kami sudah lama tak bertemu, aku ingin memberinya sesuatu yang berharga, sebelum aku harus kembali lagi ke Amerika saat liburanku selesai.” Aku hanya manggut-manggut tanda mengerti.
-Seoul University-
Setelah membantu Hyung-joon memilihkan cincin untuk kekasihnya. Aku segera kembali ke kampus untuk memberi kejutan pada Kak Hyun-joong. Hyung-joon sempat memberi tawaran untuk mengantarku ke kampus, tapi aku menolak dengan halus, karena aku membawa kendaraan sendiri. Walaupun agak kesulitan membawa kemeja dan sekotak kue ulang tahun. aku lebih memilih untuk pulang sendiri, ketimbang terus berlama-lama dengannya. Sepertinya, aku merasa semakin berdosa bila terus bersamanya. Walau tidak ada apa-apa di antara kami, tapi hatiku yang selalu memikirkannya, membuatku harus menjauh darinya. Aku harus melupakannya, itulah tekadku sekarang.
Aku memarkirkan motorku di tempat parkir dan mulai menelpon Kak Hyun-joong untuk menjalankan rencanaku. “Hallo!” sapaku.
“Hmm...tumben sekali kau menelponku? Biasanya selalu aku yang menelponmu?” jawabnya, membuatku tersenyum geli. Ya, selama ini memang dia yang lebih sering menelponku dulu. “Ada apa? apa terjadi sesuatu padamu?”
Aku berdeham singkat, untuk menghentikan tawaku. “Kau dimana sekarang?”
“Aku?” tanyanya, “Aku di rumah, sedang—“
“Bisakah kau datang ke kampus?” selaku.
“Eh? Memangnya ada apa di kampus?”
“Jangan mentang-mentang kau sudah lulus, lalu kau tak mau datang ke kampus,” gerutuku pura-pura kesal.
“Hya! Bukan begitu. Katakan ada apa?”
“Ban motorku pecah,” aku beralasan, “Ku mohon, jemput aku ya?” pintaku.
Terdengar ia tertawa, “Jadi benarkan? Bila kekasihku menelpon, itu hanya karena ia membutuhkan bantuanku!”
“Hah...ya sudah, kalau kau memang tak mau membantu,” tukasku, sengaja menunjukkan nada kesal dalam suaraku.
“Hya! Begitu saja marah...oke, tunggu saja di sana. Lima belas menit lagi pangeranmu ini sampai dan akan menyelamatkanmu,” godanya, aku hanya bisa tersenyum geli mendengar kata-kata narsisnya itu.
“Oke, lima belas menit. Tidak lebih,” kataku pura-pura tegas. Lalu menutup sambungan telpon sebelum ia sempat memprotes. Lalu bergegas ke taman kampus dan mempersiapkan semuanya.
Kira-kira dua puluh menit kurang, sosok Kak Hyun-joong muncul di kejauhan. Setelah sebelumnya, menerima smsku kalau aku sedang menunggunya di taman. Saat melihat kue tart yang kupegang, ia menyeringai senang dan berjalan semakin cepat ke arahku. Sambil menyanyikan jingle selamat ulang tahun untuknya aku menyodorkan kue itu padanya. “Selamat Ulang tahun,” kataku.
Setelah meniup lilin itu, ia mengecup keningku membuatku terkesiap. “Terima kasih sayang,” katanya, “kupikir kau lupa hari ini ulang tahunku.”
Mendengarnya berkata begitu, membuatku merasa bersalah. “Tentu saja tidak!” sahutku cepat.
“kenapa kau tiba-tiba jadi tegang begitu?” goda kak Hyun-joong, saat melihat perubahan ekspresiku, yang buru-buru kusembunyikan dengan membungkuk mengambil kotak hadiahku dan menyerahkannya padanya.
“Ini.”
“Eh? Kau membelikanku hadiah juga?” tanyanya kaget, dan terlihat sangat senang. “kau tak perlu serepot ini Hyo-rin, cukup dengan mengingat hari ulang tahunku saja. Itu sudah cukup,” ya, tapi aku sempat melupakannya, “lagi pula, kau adalah hadiah terindah untukku,” rayunya.
“Gombal!” ia hanya tersenyum geli melihat reaksiku dan mulai membuka kadonya.
“Wah...aku suka sekali!” katanya senang saat melihat kemeja pemberianku. Tanpa diminta ia pun langsung memakai kemeja itu di balik kaos putihnya. “Sekali lagi terima kasih, sayang!” katanya kembali mengecup pipiku.
Ternyata benar kata Hyung-joon. Dia pasti menyukainya. Hah...lagi-lagi Hyung-joon kembali merasuk ke pikiranku. Sampai kapan kau akan terus begini Hyo-rin? Sementara kekasihmu kini berada di hadapanmu.
“Ayo! Kita rayakan bersama ulang tahunku ini,” ajak Kak Hyun-joong sembari menggamit lenganku.
“Eh? Mau kemana? Kenapa tidak di sini saja? Bagaimana dengan motorku?” cerocosku.
“Salah sendiri, kau bilang ban motormu bocor. Ayo! Tinggalkan saja motormu di sini,” sarannya membuatku mendelik kesal.
“Maksudmu?”
“Besok kau kan juga pasti kembali ke kampus,” gumamnya.
“Lalu besok aku harus naik apa ke kampus?” aku berusaha memprotes.
“Aku akan mengantarmu!” tegasnya lalu membuka pintu mobilnya dan mempersilakanku masuk.
Seminggu kemudian....
-Kediaman Keluarga Kim-
Waktu berlalu begitu cepat, pagi tadi kak Hyun-joong menjalani upacara kelulusan di kampus. Dan malam ini, aku—sebagai kekasih Kak Hyun-joong—diundang untuk menghadiri pesta kelulusan di rumahnya. Hanya pesta keluarga dekat saja. Tapi suasana tetap meriah. “Sayang, aku ke sana dulu ya,” pamit Kak Hyun-joong menunjuk beberapa orang tamu yang baru hadir dan berjalan untuk menyambutnya.
Aku mengedarkan pandangan, mencari tempat duduk kosong di taman belakang rumah Kak Hyun-joong. Dan menemukan seorang pria muda, memakai T-shirt hitam sedang duduk membelakangiku di sebuah ayunan. Pria itu tidak lain adalah Hyung-joon. Aku tak bisa menahan diri untuk tak mendekat. Sudah lama aku tak melihatnya, sejak pertemuan kami di Mall waktu itu, “Hai, kenapa kau sendirian di sini?” aku bertanya, rupanya kehadiranku membuatnya terkejut. “Maaf,” gumamku.
Ia tersenyum, “tidak apa, duduklah!” ia menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.
“Oh...tidak usah, aku berdiri saja,” tolakku halus.
“Hmm...kau pasti takut ketahuan kakakku ya,” godanya, “Kakakku tidak akan begitu saja curiga kepada kekasihnya, duduklah!” katanya santai.
“Tidak terima kasih.”
“Yah...sudah kalau begitu,” ia mengangkat kedua bahunya, “dimana kakak?”
“Dia pergi menyambut tamu yang baru saja datang,” sahutku.
“Oh...begitu, merasa diacuhkan ya?”
Aku mendengus, “maksudmu?”
“haha...tidak, aku hanya bercanda.”
“Kenapa kau sendirian di sini? Di mana kekasihmu?” tanyaku, “Oh...aku lupa bertanya, bagaimana cincinnya? Apa dia suka?” Tiba-tiba seringai yang semula tersungging di bibirnya memudar mendengar pertanyaanku. Apa aku salah bicara? Atau jangan-jangan, kekasihnya tidak menyukai cincin itu? Ya Tuhan, aku jadi merasa bersalah karena telah salah memilihkan cincin itu untuknya. Tapi aku masih sangat ingat,cincin itu bermata berlian dengan kilau yang sangat indah dan bentuk bintang yang unik. Aku sama sekali tak merasa ada yang salah dengan cincinnya. Apa jangan-jangan, kekasihnya tak menyukai bentuk bintang? Hah...bodohnya kau Hyo-rin! Bukankah yang suka bentuk bintang itu dirimu? Aiiisshh...“Apakah dia tak menyukai cincinnya?” aku kembali bertanya, saat tak mendapat jawaban darinya. “Maafkan aku kalau begitu,” gumamku penuh sesal.
“Tidak ada masalah dengan cincinnya,” katanya datar, “hanya saja, dia sudah tak mencintaiku lagi.” Apa? aku tidak salah dengar bukan?
“tidak mencintaimu lagi?” ulangku.
“Ia memutuskanku, dengan dalih tak bisa menjalani hubungan jarak jauh,” ungkapnya pahit. Kulihat matanya menerawang jauh, dan rona kebencian timbul di pelupuk matanya. Ingin aku memeluknya, menenangkannya agar ia tak merasa sedih dan kesepian seperti ini. Tapi...aku menoleh ke arah jendela, memperhatikan kekasihku Kim Hyun-joong sedang berbicara luwes dengan teman-temannya dan sesekali menunjukkan senyum manisnya yang pernah membuat hatiku bergetar.
~To Be Continued.....
By Yuli ~Admin Lee~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar