Selasa, 06 Desember 2011

DISASTER LOVE - Chap 14 - Fanfiction Super Junior -

CHAPTER 14



- Perumahan Jogang, lokasi shooting -       

Noh Ji-ni, ibu Hea-in, mengalihkan perhatiannya sejenak dari putri semata wayangnya itu, dan tersenyum ramah pada Seo-min, Kyu-hyun, dan Hyun-in.

“Kalian teman-teman Hea-in?”  tanyanya ramah.

Seo-min dan Hyun-in tak dapat menjawab. Mereka terlalu terkejut karena akhirnya bertemu dengan istri pertama ayah mereka.
     
Mengambil kesempatan dalam keheningan canggung tersebut, Kyu-hyu melangkah maju dan membungkuk hormat pada Noh Ji-ni. “Cho Kyu-hyun, senang berkenalan dengan Anda,” katanya memperkenalkan diri dengan sopan, lalu dengan sengaja menyunggingkan senyum paling menawan yang dimilikinya untuk memikat ibu Hea-in.

Noh Ji-ni tersenyum senang. “Tentu saja aku mengenalmu,” katanya dengan suara seksi. “Bahkan alien pun pasti pernah mendengar tentang Super Junior.”

Kyu-hyun tertawa. “Anda pintar memuji.”

Noh Ji-ni tersenyum menggoda. “Karena itu banyak pria yang terpikat olehku,” sombongnya bercanda. tiba-tiba sorot matanya berubah menyelidik. “Kau berteman akrab dengan putriku?”

Senyum tipis tersungging di bibir Kyu-hyun. Ia melirik Hea-in yang masih mematung dan pucat, tak dapat dipungkiri Kyu-hyun penasaran dengan alasan dibalik reaksi Hea-in ini, tetapi dia lebih memilih focus menarik perhatian ibu dari gadis incarannya tersebut. “Aku dan Hea-in bisa dibilang lebih dekat dari sekedar teman,” jawabnya.

Mata Noh Ji-ni membesar terkejut. “Benarkah?” gumamnya senang.

Jawaban Kyu-hyun menyadarkan Hyun-in dari keterdiamannya. Ia langsung menatap pemuda itu. Kyu-hyun yang merasa seseorang tengah memandanginya, menoleh, dan heran melihat tatapan “aneh” yang dilayangkan Hyun-in padanya sebelum gadis itu lagi-lagi membuang muka dengan sengaja.

Seo-min berdeham canggung sebelum membungkuk. “Maafkan reaksi kami,” katanya berusaha sopan. “kami hanya terlalu terkejut… ini pertama kalinya kami melihat ibu dari Hea-in. Ah, namaku Kang Seo-min,”

Hyun-in buru-buru membungkuk hormat. “Namaku Kang Hyun-in.”

Noh Ji-ni tersenyum kecil. “Tak apa, Sayang,” katanya menengangkan. “Jadi, sudah berapa lama kalian berteman dengan Hea-in?”

Seo-min dan Hyun-in bertukar pandang. “Kami… adik-adiknya,” jawab Hyun-in pada akhirnya, menyebabkan keterkejutan di pihak Noh Ji-ni.

“Adik-adik…? Oh! Kau… kalian…” ucap Noh Ji-ni tercengang. Kang Seo-min dan Kang Hyun-in. pantas saja, rupanya mereka bersaudara. Putri-putri dari pernikahan Kang Ha-jong yang lain? pikirnya menebak-nebak.

“Pergi,” perintah Hea-in tiba-tiba—ketika sudah dapat mengendalikan dirinya—dengan suara yang terdengar aneh, bahkan untuk di telinganya sendiri.

“Apa—“ Kyu-hyun, memulai, namun dipotong oleh bentakan Hea-in.


“Pergi, kubilang!” jeritnya, mengejutkan semua, termasuk asisten dan managernya yang baru saja keluar dari kamar rias.

“Ada apa, Hea-in!?” buru-buru sang manager menanyakan kondisi artisnya tersebut.

“Pergi,” perintahnya lagi dengan nada dingin. Ditatapnya tajam wajah ibunya. “Aku harus bicara berdua dengan wanita ini.”

Kyu-hyun, Hyun-in, dan Seo-min terkejut mendengar cara bicara Hea-in pada ibunya yang tak sopan, tetapi memutuskan untuk tak ikut campur dan segera pergi, begitu pula asisten dan managernya.

Cukup lama ibu dan anak itu saling bertatapan tanpa suara. “Apa kabarmu, Sayang?” tanya Noh Ji-ni tenang. Ditatapnya keseluruhan penampilan putrinya itu, nampak jelas kerinduan tercermin di kedua matanya, karena sudah bertahun-tahun tak bertemu dengan Hea-in, namun jelas hal serupa tak dirasakan putrinya.

“Pergilah. Dan jangan pernah menemui ataupun menghubungiku lagi!” usir Hea-in tajam, lalu berbalik pergi.



“Kau bertengkar dengan Nona Kang Hea-in?” tanya Ki-bum sambil memakai kausnya yang nyaman, setelah melepas pakaian untuk keperluan shootingnya.

Dong-hae yang sejak tadi setengah melamun, segera menoleh pada adiknya itu, dan memaksakan seulas senyum. “Entahlah…” gumamnya. Terbayang lagi olehnya saat kemarin dia membentak Hea-in. hal yang amat disesalinya. Tak sedikitpun ia pernah berniat menyakiti gadis itu dengan mengasarinya… hal itu terjadi begitu saja karena ia kelewat emosi. Ia marah karena tak bisa mendampingi Seo-min ketika kejadian buruk yang menimpa gadis itu terjadi. Ia marah karena tak dapat berbuat apa-apa. dan sialnya Hea-in menjadi tempat pelampiasannya.

Tiba-tiba Dong-hae bangkit dari kursi yang didudukinya. “Aku pergi,” katanya pada Ki-bum, Sung-min, dan manager serta asistennya sebelum keluar dari ruang riasnya.

Dengan langkah santai ia berjalan menuju ruang rias Hea-in. wanita itu pantas menerima permohonan maaf darinya.

Suara derap langkah membuat Dong-hae menoleh, dan tersenyum lega ketika melihat Hea-in di seberang koridor, memudahkan pencariannya. “Hea—“

“Hea-in!” suara Noh Ji-ni lebih dulu menyerukan nama wanita itu. “Hea-in! kita harus bicara!”

Dong-hae segera mengurungkan niatnya. Siapa wanita itu? pikirnya. Terlihat familiar…

Noh Ji-ni menangkap lengan putrinya, untuk menahannya pergi. “Kenapa kau bersikap seperti ini pada ibumu sendiri!?” tuntut Noh Ji-ni, mengejutkan Dong-hae. wanita itu ibunya? Pantas saja dia terlihat familiar… batinnya. Dia memiliki kemiripan dengan Hea-in…

Hea-in menyentak lepas tangannya. “Aku tak butuh ibu sepertimu!” desis Hea-in kejam. “Pergi. Dan jangan pernah mencariku lagi.” Tambahnya sebelum bergegas pergi meninggalkan ibunya yang mematung karena terlalu sedih dan marah mendengar perkataan putrinya tersebut.



- KLUTCH -     

Hea-in menegak segelas lagi tequila dengan cepat, tak memperdulikan rasanya, ia hanya ingin menyalurkan kegalauannya saat ini.

Kenapa kau bersikap seperti ini pada ibumu sendiri!?” terngiang kembali di telinganya perkataan ibunya di lokasi shooting tadi.

Kenapa dia menemuiku!? Kenapa dia kembali masuk dalam kehidupanku!? Kenapa dia harus menghancurkan kehidupan bahagiaku!? Jerit batin Hea-in.

Hea-in sudah memegang gelas dan akan kembali meneguk minumannya, ketika ada tangan lain yang menepis tangannya dan merebut gelas tersebut. Lee Dong-hae.

Dong-hae mendekatkan minuman tersebut ke hidungnya, dan langsung mengernyit tak suka. Ia tak habis pikir ada orang yang menyukai minuman semacam ini—karena dirinya memang tak suka meminum minuman keras.

Melihat Dong-hae membuat perih hati Hea-in semakin bertambah dan membuatnya berkomentar kasar. “Brengsek! Kembalikan minumanku!”

Dong-hae sedikit terkejut mendengar kekasaran Hea-in, namun memahami kondisi gadis itu yang sudah setengah mabuk. “Tidak seharusnya wanita mabuk-mabukan seperti ini, apalagi kau public figure,” nasehat Dong-hae halus.

Hea-in mendengus sembari turun dari kursi bar yang didudukinya walau dengan sedikit sempoyongan. Ditepisnya tangan Dong-hae yang berniat membantunya. Ditatapnya wajah pria itu penuh kemarahan dan sakit hati.

“Urus saja Seo-min-mu!” katanya tajam, lalu berbalik pergi, namun nyaris jatuh karena oleng, untungnya dengan sigap Dong-hae menangkapnya.

“Hea-in—“

Ucapan Dong-hae terhenti karena melihat air mata yang mengalir di wajah putih mulus Hea-in. “Kenapa…” isak Hea-in lirih. “Kenapa kalian semua jahat padaku!?” kali ini isakannya lebih kencang.

“Hea-in…”

Dengan membabibuta Hea-in memukul dada Dong-hae. tubuhnya gemetar, dan tangisnya semakin kencang. Suara isakan Hea-in begitu memilukan, membuat Dong-hae sungguh tak tega mendengarnya.

“Maafkan aku,” ucap Dong-hae tulus. “Tak seharunya aku bersikap seburuk itu padamu,” tambahnya.

Entah Hea-in mendengar permintaan maaf itu atau tidak, namun ia menghentikan pukulannya dan berganti menyandarkan kepalanya di dada Dong-hae.

“…apa salahku…” isak Hea-in, sulit untuk dimengerti Dong-hae.

Dong-hae menatap puncak kepala Hea-in dan berpikir, apakah ini juga ada hubungannya dengan ibunya?

“…kenapa… kenapa aku…?” isak Hea-in lagi.

“Tenanglah,” bisik Dong-hae, mengelus punggung Hea-in selama beberapa saat, sebelum akhirnya melingkarkan kedua tangannya di tubuh wanita itu. menenangkannya dengan pelukan. “Tenanglah…” ulangnya lembut.

Tak jauh dari tempat Dong-hae dan Hea-in berdiri, Seo-min yang bersandar di pilar di dekat tangga menuju lantai dua, tengah mengamati pasangan tersebut. Ia menunduk, menatap lantai club tersebut sambil menggigit bibir bawahnya. Hatinya seolah ditusuk oleh rasa cemburu.

Tetapi kau tidak berhak cemburu, Dong-hae bukan siapa-siapamu, lubuk hatinya mengingatkan Seo-min.

Teringat akan kenyataan tersebut, Seo-min membelakangi pemandangan tersebut, dan dengan menguatkan hati melangkah menjauhi mereka.



- SM Entertainment -    

Hyun-in keluar dari mobilnya dengan membawa kotak bekal makanan yang telah disiapkannya sendiri.

“Aku sudah di depan,” ucapnya pada Ki-bum lewat ponsel.

“Oh, baik, aku segera turun,” sahut Ki-bum.

Beberapa menit kemudian keduanya telah duduk berdampingan di bangku kayu panjang yang disediakan di atap gedung SM Entertainment.

“Maaf mengganggu latihn kakak,” ucap Hyun-in sopan, menunjuk gitar di tangan pemuda itu.

“Ah, tidak,” bantah Ki-bum. “Justru karena sedang santai aku berlatih main gitar,” jelasnya. “Mau kumainkan sebuah lagu?” tawarnya, dan tanpa menunggu jawaban mulai memetik senar gitarnya.

Karena Hyun-in tak juga bersuara, Ki-bum menatap gadis itu dengan seksama. Kenapa dia kelihatan tertekan? pikirnya. “Jadi, apa yang membawamu datang ke mari?” tanya Ki-bum disertai senyum mautnya. “Aku yakin bukan hanya karena ingin bertemu denganku, kan?”

Hyun-in membalasnya dengan senyum canggung. “Emm… sebenarnya memang bukan,” akunya jujur, membuat Ki-bum geli.

“Katakan saja,” ucap Ki-bum memberi dorongan.

Hyun-in menunduk memandangi kotak bekal di tangannya. Bagaimana dia harus memulainya? Ia sengaja datang menemui Ki-bum karena ingin menanyakan tentang hubungan Dong-hae dan Seo-min. ia ingin tahu rincian ceritanya, dan sepertinya Ki-bum amat sangat tahu permasalahannya. Tetapi setelah berada di sini, berhadapan langsung dengan Ki-bum, ia kebingungan harus memulai dari mana.

“Emm… kak Dong-hae,” mulai Hyun-in. “Dia—“

Brak. Pintu menuju atap tiba-tiba terbuka, mengejutkan Hyun-in dan Ki-bum.

“Kak, ayo—“ Kyu-hyun terdiam ketika melihat Hyun-in bersama Ki-bum.

“Ada apa?” tanya Ki-bum santai.

Masih tak mengalihkan tatapan tajam menyelidiknya dari wajah Hyun-in yang justru dengan sengaja tak mau memandangnya, Kyu-hyun menjawab. “Jajangmyeon pesanan kita sudah datang. seorang staf melapor kau naik ke sini,” katanya. “Tapi dia tidak bilang kau sedang bersama seseorang.”

Ki-bum menatap Hyun-in sambil tersenyum. “Aku ada sedikit urusan dengan Hyun-in.”

Sejak kapan mereka bicara informal seperti ini? Kyu-hyun bertanya-tanya dalam hati. “Sedang apa kalian? Berkencan?” kalimat terakhir diucapkannya dengan sedikit nada mengejek.

“Ti—“

“Ya,” sahut Ki-bum, menyela bantahan Hyun-in. dengan geli ditatapnya wajah tercengang gadis tersebut. “Apakah aku salah bicara?” tanyanya sengaja.

“Eh, hanya saja—“

“Kita berduaan di tempat favoritku dalam perusahaan ini, dan kau membawakanku bekal,” dengan gerakan dagunya Ki-bum menunjuk kotak bekal di pangkuan Hyun-in. “Terdengar seperti kencan, bukan begitu?” Hyun-in tersipu malu dan hanya dapat bergumam tak jelas, membuat Ki-bum semakin bersemangat menggodanya. “Ah, atau mungkin aku salah duga? Itu bukan bekal untukku?”

Hyun-in segera menggeleng dan menyodorkan kotak bekal tersebut pada Ki-bum. “Tidak, aku memang membuatkan bekal ini khusus untuk kakak,” katanya.

Kyu-hyun mendengus keras sembari membuang muka. Apa-apaan ini? pikirnya sebal. Entah mengapa ia merasa terganggu melihat kedekatan Hyun-in dan Ki-bum, apalagi dengan Hyun-in yang sengaja membawakan bekal untuk pemuda tersebut. Memangnya dia siapa!? Istri kak Ki-bum? batin Kyu-hyun semakin sebal.

Mendengar dengusan keras itu membuat Ki-bum melirik Kyu-hyun, lalu sambil tersenyum ia mengulurkan kedua tangannya ke arah Hyun-in untuk menerima kotak bekal tersebut. “Terima kasih—“

“Apa isinya?” dengan seenaknya Kyu-hyun merebut kotak bekal dari tangan Hyun-in, dan membuka tutupnya. Wajahnya mengerut tak suka melihat beragam menu sayuran di dalamnya. “Kenapa bukan daging atau seafood? Kau pikir kak Ki-bum kambing?”

Walau awalnya terkejut dengan sikap Kyu-hyun, kini Ki-bum justru tertawa mendengar perkataannya. Namun tak begitu dengan Hyun-in. direbutnya kembali kotak bekal itu dari Kyu-hyun, lalu berujar dengan nada dingin. “Ini bukan untukmu, jadi tak usah repot-repot berkomentar jelek.”

Kyu-hyun duduk di sisi kanan Hyun-in, membuat posisi gadis itu terapit olehnya dan Ki-bum. “Memangnya aku berkomentar jelek?” tanya Kyu-hyun sok polos. Direbutnya lagi bekal itu dari Hyun-in. “Aku kelaparan,” gumamnya sebelum menyuapkan sesumpit sayuran ke dalam mulutnya.

Bukankah dia tidak suka sayuran? pikir Hyun-in heran, mengingat-ingat berita yang didengarnya dari para ELF dulu tentang Kyu-hyun. “Itu untuk kak Ki-bum!” protes Hyun-in.

Kyu-hyun menatapnya tanpa ekspresi. “Kak Ki-bum tak akan suka,” katanya seenaknya. “Kak, Jajangmyeonmu sudah siap di bawah.”

Ki-bum hanya memperhatikan tingkah adik Super Juniornya tersebut dengan geli, terlebih ketika dilihatnya Kyu-hyun memaksakan diri untuk menyuap sepotong wortel ke dalam mulutnya sendiri. Ia tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepala.

“Tentu saja, terima kasih pemberitahuannya,” komentar Ki-bum pada akhirnya.

Dengan tak enak hati Hyun-in memutar tubuhnya untuk menghadap Ki-bum. “Maaf, nanti aku akan membuatkanmu makanan lain. apa yang kakak mau?”

“Terserah. Apapun yang kau buat aku pasti suka,” jawab Ki-bum.

Hyun-in tersenyum senang dan lega. “Baiklah, aku pasti akan membuat—“ Kyu-hyun mencolek bahu Hyun-in, membuat gadis itu menoleh ke arahnya. “Ada ap—“ Hap. Kyu-hyun menyuapkan sayur-sayuran ke mulut Hyun-in yang terbuka agar gadis itu berhenti bicara. “Euhh!“ erang Hyun-in sembari mengunyah. Tak bisa bicara dengan keadaan mulut penuh, ia hanya dapat memelototi Kyu-hyun yang dengan cuek kembali melahap bekal buatan Hyun-in.

Sembari mengunyah, Kyu-hyun memandangi bekal di tangannya dengan sedikit tercengang. Ternyata enak juga, pikirnya.



- Mall - Singapore -     

“Belanjaanmu sudah amat sangat banyak, mau mencari apa lagi?” keluh Mae-ri, asisten Hea-in.

Tanpa repot-repot mengomentari Mae-ri, Hea-in terus saja berjalan melihat-lihat deretan pakaian buatan perancang ternama yang terpajang di toko yang sedang disinggahinya tersebut.

Ia dan asistennya berangkat ke Singpore kemarin untuk keperluan pekerjaan. Besok lusa ia akan melakukan proses shooting video klip dengan 2PM, namun dengan sengaja ia datang lebih dulu ke Negara ini karena ingin berlibur. Kabur sementara dari kehidupannya di Seoul.

Hea-in meremas baju di tangannya ketika ingatan mengenai ibunya kembali menghantui. Namun setelah itu terbayang juga olehnya kelembutan yang diberikan Dong-hae untuk menenangkannya pada malam ketika ia bertemu ibunya.

Perlahan, cengkeraman tangannya di baju tersebut terlepas. Wajahnya yang semula tegang kini menjadi lebih santai. Semua karena Dong-hae.

Senyum tipis terukir di bibirnya, mengingat pelukan hangat pria itu. Dan ucapan permintaan maafnya… Hea-in tak punya pilihan maupun keinginan lain selain memaafkannya.

Sebuah topi berwarna merah yang dipakai oleh manekin menarik perhatian Hea-in. dan tiba-tiba saja dalam bayangannya wajah manekin itu berubah menjadi wajah Dong-hae. Hea-in tersenyum. Dia tampan mengenakan topi, pikirnya mengkhayal.

“Aku mau yang itu!”



Seminggu kemudian…



- Kediaman keluarga Kang -   

Seo-min menghela napas bosan sembari menuruni tangga menuju lantai dasar rumahnya. Sungguh hari yang membosankan. Ini hari libur, tapi ia tak tahu harus melakukan apa untuk mengisi waktu. Untuk mengetik sebuah cerita pun ia sedang tak berselera.

Bruk. Seo-min berbelok ke kanan dan bertabrakan dengan supir ayahnya yang baru keluar dari ruang kerja. “Maaf, Nona,” ucap si supir sembari buru-buru berjongkok memunguti surat-surat undangan yang terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai.

Tanpa bicara Seo-min ikut membantu memunguti. “Apa ini?” tanyanya setelah semua terkumpul.

“Undangan pesta ulangtahun Tuan Besar, Nona,” jawab si supir. “Tuan menyuruh saya untuk mengantarnya.”

“Oh begitu,” gumam Seo-min acuh tak acuh. Ia lupa bahwa sebentar lagi ayahnya akan berulangtahun.

Seo-min sudah akan melangkah pergi meninggalkan si supir ketika tanpa sengaja matanya menangkap nama Lee Sung-min di salah satu surat undangan yang dipegang si supir. Ia menyeringai ketika mendapat sebuah ide untuk mengusir rasa bosannya saat ini.

“Biar aku mengantarkan yang ini,” katanya, mengambil surat undangan untuk Sung-min.

Walau heran, supir itu hanya mengangguk. “Baik, Nona. Saya permisi dulu.”



- Kediaman Lee Sung-min -  

Drrrrtttttt… suara getar ponselnya membuat Sung-min bergegas menjauh dari kompor untuk meraih benda yang diletakkannya di meja makan itu. ia tersenyum ketika melihat nama yang tertera di layarnya. Sunny.

“Halo? Kapan kau akan datang? aku sedang memasak,” kata Sung-min sembari kembali mendekati kompor dan memasukkan bawang putih juga bawang Bombay ke minyak yang telah panas di wajan.

“Emm… kak, itu, sebenarnya aku menelepon karena ingin meminta maaf,” mulai Sunny.

“Kenapa? Kau tak jadi datang ke mari?” tanya Sung-min sedikit kecewa.

“Maafkan aku. SNSD harus segera berangkat ke Jepang sejam lagi—“

“Ya sudahlah, tidak apa, aku mengerti,” kata Sung-min. “kita bisa bertemu setelah kau kembali.”

“Ya. Sekali lagi maafkan aku.”

“Hmm. Hati-hati selama di sana,” kata Sung-min, lalu menutup telepon. Setelah memasukkan ponsel tersebut ke saku celananya, ia memandangi wadah bubuk cabe di tangannya. “Padahal aku sudah memasak…” gumamnya, lalu memasukkan bubuk cabe tersebut ke dalam wajan.

Saat tengah asyik menumis, Sung-min dikejutkan dengan suara dering bel yang terus menerus dipencet tanpa henti. Siapa orang tak sabaran ini? batinnya sebal. ia langsung mematikan kompor dan bergegas menuju layar monitor untuk melihat siapa tamunya. Namun sayangnya orang itu membelakanginya, sehingga Sung-min tak dapat melihat apapun selain rambut pirang.

“Siapa?” tanya Sung-min di speaker.

Mendengar suara Sung-min, Seo-min langsung berputar menghadap kamera, membuat Sung-min terkejut hingga dengan refleks menjauh dari layar monitor. Mau apa dia ke mari!? batin Sung-min.

“Lama sekali!” omel Seo-min. “Tunggu apa lagi? Cepat buka!” perintahnya.

Sung-min berdecak jengkel. “Dipikirnya ini rumah siapa?” gumamnya sembari memencet tombol untuk membuka gerbang rumahnya.

Ia berdiri di ambang pintu untuk menunggu Seo-min. gadis itu berjalan menaiki undakan menuju teras Sung-min dengan ekpresi tak bersahabat. Sung-min mengamati penampilan gadis itu; kaus abu-abu muda super besar dan celana hitam ketat serta sepatu boot hitam andalannya. Setelah melihat sendiri tempat persembunyian pisau di sepatu tersebut, Sung-min selalu merasa perlu berhati-hati setiap kali Seo-min memakai sepatu itu.

Saat sampai di hadapan Sung-min, Seo-min mengamati penampilan pria itu mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia mengernyit jijik ketika melihat celemek pink bermotif stroberi yang dikenakan Sung-min.

Melihat ekspresi merendahkan Seo-min merupakan hal yang biasa bagi Sung-min. malas meladeni, ia hanya bersedekap sembari membalas pandangan gadis itu.

“Ada perlu apa?” tanya Sung-min. “Dari mana kau tahu alamatku?”

“Seolah alamatmu sulit dicari saja,” komentar Seo-min menyepelekan. “Kau tak mengundangku masuk?”

“Untuk apa?” balas Sung-min. “Ah, baik-baik, masuklah,” tambahnya cepat begitu melihat kemarahan di wajah Seo-min.

Setelah melepas sepatu di foyer, Seo-min segera berkeliling rumah Sung-min seenaknya tanpa meminta ijin pemiliknya. Ingin cepat menyelesaikan masakannya, Sung-min membiarkan saja gadis itu, dan meninggalkannya ke dapur.

Beberapa saat kemudian Seo-min muncul di dapur saat Sung-min tengah menyusun kimchi, daging, dan tahu ke dalam claypot.

“Rumahmu membuatku merinding!” kata Seo-min sembari duduk di kursi counter. “Warna pink dimana-mana!”

Dengan tenang, tak terlihat terganggu sedikitpun karena sedang berkonsentrasi menuangkan kuah kaldu ke claypot, Sung-min berkomentar santai. “Silakan pergi bila warna favoritku membuat matamu sakit.”

Seo-min menanggapinya dengan gerutuan tak jelas. Yang sempat tertangkap pendengaran Sung-min hanya tentang “pria yang bisa ilmu bela diri” dan “penggila warna pink”.

“Kau memasak?” tanya Seo-min tiba-tiba, baru menyadari apa yang sedari tadi dikerjakan Sung-min.

“Hmm,” gumam Sung-min mengiyakan sambil memasukkan claypot tadi ke dalam oven. “Sudah,” ucapnya puas. “Tinggal tunggu 20 menit lagi.”

“Kau membuat apa?” tanya Seo-min penasaran.

“Sundubu Jjigae,” jawab Sung-min sembari berjalan ke lemari untuk mengambil gelas. “Mau minum apa?” tanyanya.

“Apa saja yang dingin,” jawab Seo-min. dan Sung-min membawakannya jus jeruk yang disimpannya di kulkas. “Kau belum menjawab pertanyaanku,” protes Seo-min pada Sung-min yang asik meminum jusnya sendiri.

“Apa?”

“Aku heran. Kenapa kau bisa tergila-gila dengan warna pink, yang jelas-jelas amat feminine dan identik dengan wanita!? kau ini pria! Kau bahkan ahli beladiri! Apa kau tak takut dengan anggapan miring orang-orang? karena sepertiku, tak semuanya tahu bahwa kau ternyata… ternyata bisa berkelahi sebagus Bruce Lee… yang mereka tahu hanyalah apa yang mereka lihat, penampilanmu, kesukaanmu mengenakan segala yang serba pink—“

“Itu urusanku,” sela Sung-min tenang. “Kenapa aku harus peduli anggapan para pembenciku? Selama para fansku mencintaiku, dan menerimaku apa adanya, aku tak peduli yang lain menganggapku banci atau semacamnya, hanya karena aku menjadi diriku sendiri apa adanya,” tambahnya sembari duduk di kursi counter lain di sebelah kiri Seo-min. ditatapnya gadis itu. “Aku tahu siapa diriku. Sedangkan mereka tidak. Jadi, aku tak peduli.”

Seo-min terdiam. Ia hanya memandangi wajah Sung-min sembari berpikir bahwa perkataan pria itu ada benarnya. Dan tiba-tiba, ia merasa buruk. Sikapnya merendahkannya selama ini, ejekan-ejekannya… ia termasuk golongan pembenci yang disebut Sung-min tadi. tanpa mengetahui siapa dan bagaimana Sung-min sebenarnya, ia berpikiran yang tidak-tidak tentang pria itu.

“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Sung-min risih.

Buru-buru Seo-min mengalihkan pandangan dan meminum jusnya. “Tidak ada apa-apa,” sahutnya.

“Sebenarnya apa tujuanmu ke mari?”

“Ah, ya, aku lupa,” ucap Seo-min sembari mengeluarkan surat undangan dari tas selempangnya. Disodorkannya benda tersebut pada Sung-min. “Kau diundang ayahku ke acara ulangtahunnya.”

“Oh, sampaikan ucapan terima kasihku pada Tuan Kang,” komentar Sung-min sopan sembari menerima undangan tersebut.

“Hmm,” gumam Seo-min mengiyakan. Hening selama beberapa saat sebelum ia kembali bersuara. “Baiklah, aku akan makan siang di sini,” katanya mengumumkan.

Sung-min menatap gadis itu dengan tercengang. “Kau amat pintar mengundang dirimu sendiri, kau tahu itu?”

Seo-min balas menatap Sung-min dengan mata menyipit. “Itu karena kau yang tidak berinisiatif lebih dulu, seperti yang seharusnya dilakukan tuan rumah,” balasnya tajam.



- SM Entertainment –   

Dong-hae bersandar di dinding kaca ruang latihan sambil meminum air mineral. pikirannya melayang pada malam perpisahan Disaster Love waktu itu. hingga sekarang suara tangis pilu Hea-in masih terngiang-ngiang di telinganya. Ia tak pernah menyangka akan pernah melihat air mata wanita itu. selama ini dimatanya Hea-in wanita dewasa yang mandiri dan tegar… sehingga ia lupa Hea-in yang superior tetaplah manusia biasa yang bisa lemah dalam situasi tertentu.
       
“Kenapa…” isaknya lirih. “Kenapa kalian semua jahat padaku!?”

Hingga sekarang, setiap kali teringat isak tangis Hea-in, entah mengapa dadanya terasa nyeri. Hea-in terlihat dan terdengar begitu rapuh, membuat naluri melindungi dalam diri Dong-hae bangkit.

“Dong-hae, ada yang mencarimu di bawah,” kata Han Geng, memecah lamunan pria itu saat masuk ke ruang latihan.

Dong-hae mengerutkan keningnya. “Siapa?” tanyanya.

“Kalau tidak salah, dia salah satu lawan mainmu di film,” jawab Han Geng.

Kerutan di dahi Dong-hae semakin dalam. Apakah… Hea-in? ia bergegas keluar dari ruang latihan dan turun ke lobi di lantai dasar. Dan ternyata tebakannya tepat. Itu Hea-in.

Tampak secantik biasanya, walau terlihat sedikit pucat karena kelelahan dan banyak pikiran, Hea-in menyunggingkan senyum pada Dong-hae. “Apa kabar?” sapanya.



- Taman kota -   

“Kau kelihatan kurang sehat,” Dong-hae mengomentari penampilan Hea-in.

“Mungkin karena terlalu banyak bekerja,” sahut Hea-in. “Baru dua jam lalu aku sampai di Korea, selama seminggu ini aku berada di Singapore.”

“Kalau begitu jangan bekerja berlebihan, ingatlah untuk beristirahat,” kata Dong-hae.

“Hmm, terima kasih,” gumam Hea-in. hening beberapa saat. “Dong-hae,” panggilnya sembari menghentikan langkah.

“Ya?” tanya Dong-hae, ikut berhenti di sisinya.

Hea-in mengeluarkan topi berwarna merah dari dalam tasnya, dan langsung memakaikannya di kepala Dong-hae, membuat pria itu terkejut. “Eh? Apa ini?”

“kau bisa menganggapnya oleh-oleh dariku,” jawab Hea-in. “Atau ucapan terima kasih.”

“Terima kasih?”

“Karena kau membuatku lebih tenang… malam itu…”

Dong-hae mengamati ekspresi wajah Hea-in dengan teliti. “Kau tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja,” jawab wanita itu. untuk mengalihkan perhatian, Hea-in memperbaiki letak topi di kepala Dong-hae. “Wah, kau memang tampan!” pujinya. “Bagaimana aku bisa melepasmu bila kau setampan ini?” tambahnya mencoba mencairkan suasana.

Tapi Dong-hae tak menghiraukan perkataannya tersebut. Ia menatap Hea-in serius. “Aku benar-benar minta maaf telah menyakiti hatimu. Aku amat menyesalinya.”

Hea-in tersenyum tipis. “Aku tidak bisa marah lama-lama denganmu,” katanya. “Jadi aku sudah memaafkanmu, tenang saja.”

Tiba-tiba ponsel Hea-in berbunyi. “Ya?” sahut Hea-in.

“Kau di mana? acara akan berlangsung setengah jam lagi!” seru managernya panic.

“Tenang saja, aku pasti tiba tepat waktu,” kata Hea-in, lalu menutup telepon. “Aku harus pergi sekarang,” katanya pada Dong-hae.

“Ya. Hati-hati.”

“Ah, kau mendapat undangan dari ayahku?”

“Undangan ulangtahunnya? Ya, aku dapat.”

Hea-in tersenyum. “Kalau begitu sampai jumpa di pesta,” katanya sambil melambaikan tangan.



- Kediaman Lee Sung-min -                            

 “Woah… kau benar-benar memasak ini sendiri!?” ucap Seo-min takjub saat Sung-min menyajikan masakannya di meja makan.

“Bukankah kau lihat sendiri? Kenapa masih bertanya?”

“Hanya sulit percaya bahwa kau lebih pintar memasak dariku.”

Sung-min duduk di seberang Seo-min dan menatap gadis itu. “Kau bisa masak?”

Seo-min balas menatap Sung-min. “Tidak,” jawabnya tanpa malu. “Untuk apa? aku punya pelayan untuk melakukannya.”

Sung-min mendengus sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bahkan penataannya pun sempurna… seharusnya kau jadi koki saja, jangan menjadi member Super Junior,” kata Seo-min.

“Makan saja,” perintah Sung-min.

Seo-min menyuap, lalu mengunyah, dan kembali terkejut dengan rasa masakannya yang lezat.

“Apa lagi?” tanya Sung-min, yang merasa diperhatikan oleh Seo-min.

“Enak…” gumam Seo-min. gadis itu menatap ruangan di sekelilingnya, masakan yang tertata di meja, juga diri Sung-min. “Kau amat bersih, rapi dan pintar memasak…” ucapnya setengah merenung.

“Terima kasih,” ucap Sung-min, tapi tiba-tiba ia mengerutkan kening curiga. “Itu pujian, kan?”

“Lee sung-min,” panggil Seo-min.

“Hmm? Apa?”

“Kau akan mejadi istri yang sempurna.”

“Kau gila!?” sembur Sung-min.

“Beraninya kau membentakku!?” seru Seo-min kaget.



- KK Entertainment -                             

“Nyonya Noh Ji-ni sudah datang Tuan,” lapor sekretarisnya lewat telepon.

“Suruh dia masuk,” perintah Kang Ha-jong.

Noh Ji-ni masuk dengan langkah gusar, tak terlihat seelok seperti yang selalu dilakukannya. Wajahnya pun terlihat tegang, tak nampak keceriaan menggoda khasnya.

“Sudah lama tak bertemu,” Kang Ha-jong berbasa-basi. “Apa kabarmu? Terakhir kali kudengar kau tinggal di Spanyol, benarkah?”

“Aku sudah berusaha menemuimu beberapa hari ini tetapi kau selalu tak ada!” serang Noh Ji-ni, tak menghiraukan usaha mantan suaminya itu untuk berbasa-basi.

Kang Ha-jong mengangkat pundak acuh tak acuh. “Aku memang sibuk,” katanya santai. “Tapi, kudengar kau mendatangi Hea-in kira-kira seminggu lalu di lokasi shooting? Saat itu aku juga berada di sana, sayangnya kita tak bertemu—“

“Hea-in,” sela Noh Ji-ni tajam. “Apa yang kau lakukan padanya!? Kau mencuci otaknya agar membenciku!?”

“Jangan menuduh yang bukan-bukan!” kemarahan Kang Ha-jong akhirnya terpancing.

“Jangan berdusta!” bentak Noh Ji-ni. “Bila tidak, mengapa dia sebenci itu padaku!? Mengapa dia terus menjauhiku!? Mengapa dia tak sudi bertemu denganku!?”

“Kenapa menanyakannya padaku?” sahut Kang Ha-jong dingin. “Tanyakanlah pada dirimu sendiri. Apa yang telah kau perbuat hingga putrimu sendiri bersikap seperti itu.”



To Be Continued...

By Destira ~Admin Park~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar