Sabtu, 10 Desember 2011

S W I T C H -Chap 3-

Chapter 3




-Universitas Sogang-

“KYA!!” Yuri menjerit saat matanya tiba-tiba ditutup oleh sepasang telapak tangan dari belakang, berikutnya suara kikikan geli terdengar begitu familiar di telinganya. “Young-in?!” tebak Yu-ri, “kau pasti Young-in kan?” ulangnya saat si empunya tangan tak juga menarik lepas pegangannnya.

Young-in merengut kesal karena Yu-ri begitu cepat menebak, “Ah...kau tidak asyik!” komentarnya.

Yu-ri menyeringai, “Karena aku benar-benar hafal dengan ulah jahilmu.”

“Hmm...memang penipu tak bisa ditipu,” Young-in mengalihkan pandangannya pada Dong-hae, “rupanya kau ada di sini Kak, tadi sepulang kuliah, aku langsung mencarimu di fakultasmu,” cerocos Young-in tak mempedulikan tatapan kesal Yu-ri.

“Mencariku?” tanya Dong-hae sambil menunjuk dirinya sendiri, “sebenarnya ada apa ini? kenapa kalian berdua mencariku? Apa terjadi sesuatu dengan Ayah?” Dong-hae memandang kedua adiknya bergantian.

Yoo-hee mendengus, “Sudah kuduga kau pasti lupa,” komentarnya.

“Lupa?”

“Ayo Young-in, Ayah akan marah kalau kita terlambat!” tukas Yoo-hee sembari membuka pintu mobilnya.

“Hya! Kau belum menjawab pertanyaanku!” cegah Dong-hae.

Young-in buru-buru mendekati kakaknya, “Apa kau benar-benar lupa Kak?” tanyanya pada Dong-hae, “hari ini kan hari peringatan kematian Ibu.”

“Astaga!” Dong-hae menepuk kepalanya ringan.

“Ayah menunggu kedatanganmu di Daegu,” timpal Yoo-hee, “jangan buat Ayah marah dengan ketidakhadiranmu,” tambahnya.

“Jadi kita tidak pergi bersama?” tanya Dong-hae bingung. Yoo-hee tak menjawab dan hanya melirik motor sport keluaran terbaru berwarna campuran putih dan biru yang tengah terparkir tak jauh dari mereka berada. “Ah...” Dong-hae menggaruk belakang kepalanya, “biar nanti Eun-hyuk yang membantuku membawanya ke rumah,” katanya mengerti apa maksud Yoo-hee, “aku bisa masuk angin kalau mengendarai motor ke Daegu sendirian,” keluh Dong-hae dengan pandangan memelas.

Yoo-hee mencibir, “Ya sudah, kau yang menyetir,” gadis itu menyerahkan kunci mobil ke tangan Dong-hae.

“Tapi—“

“Kita tidak punya banyak waktu,” sela Yoo-hee, “ayo Young-in!” Yoo-hee memanggil adik bungsunya yang sekarang justru asyik mengobrol dengan Yu-ri dan Hae-bin.

“Eh...iya Kak!” Young-in buru-buru berpamitan pada teman-temannya dan masuk ke mobil.

Sementara Dong-hae menghampiri kekasihnya dengan wajah menyesal, “Maaf, aku lupa kalau hari ini aku harus menghadiri peringatan kematian Ibuku di Daegu,” katanya pada Yu-ri.

Yu-ri tersenyum maklum, “Tidak apa, biar nanti aku sendiri yang menemani temanku ke klub tari. Kau tak usah khawatir Kak,” gumam Yu-ri, “Ah...apa perlu aku ikut?” tawarnya.

Dong-hae menggeleng, “Tidak usah, terima kasih sayang,” seru Dong-hae penuh syukur, “kau memang yang terbaik!” tambahnya lalu mencubit pipi Yu-ri membuat gadis itu meringis kesakitan.

“Aissh...bisakah kau tak mencubit pipiku? Aku bukan anak kecil!” gerutu Yu-ri pura-pura kesal.

Dong-hae menyeringai jahil, “Ya sudah, aku pergi dulu. Sampaikan salamku untuk temanmu itu!”

Yu-ri mengangguk, “Ya, pergi sana!” katanya sembari menunjuk mobil di belakang Dong-hae dengan gerakan kepalanya tanda bahwa ia sudah ditunggu.




“Apa ini?” Soo-hyun melempar setumpuk proposal dan surat pengantar dari universitas ke atas meja. Saat ini, ia tengah mengadakan rapat senat untuk membicarakan masalah peringatan ulang tahun universitas Sogang bulan depan. “Kenapa surat dan proposal ini masih di sini? Apa kalian tidak melaksanakan apa yang kuperintahkan untuk mencari sponsor bagi acara ini?”

Teman-teman Soo-hyun menunduk bersalah. Tak ada satu pun dari mereka yang berani melawan. Terlebih, saat ini mereka dalam posisi salah.

“Kalau terlalu santai begini, kapan persiapan acara ini akan selesai?” bentak Soo-hyun. Cukup dimaklumi ia bersikap begitu, karena selama beberapa hari terakhir ini, ia nyaris tak bisa tidur dengan baik karena harus menyelesaikan proposal itu dan mempersiapkan semuanya sendiri. Tentu saja sikap santai dan terlalu menyepelekan dari teman-temannya itu membuatnya geram. “Aku tidak ingin melihat lagi semua ini ada di sini,” katanya menunjuk tumpukan itu, “cepat sebarkan ke sponsor, acara kita sudah tinggal satu bulan lagi,” perintahnya lalu meninggalkan ruang rapat dengan perasaan kesal.

Sepeninggal Soo-hyun, ruangan itu gaduh dengan gumaman-gumaman saling menyalahkan dari para pengurus senat.


“Soo-hyun!” seseorang memanggil Soo-hyun yang dengan langkah cepat meninggalkan ruang rapat. Buru-buru ia menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya ke arah si pemanggil. Ia terbelalak melihat seorang pria muda sedang bersama dengan seorang anak kecil yang kira-kira berusia 10 tahun berdiri di sampingnya.

“Jung-hyun?!” seru Soo-hyun.

“Kakak!” anak kecil tersebut segera berlari menghampiri Soo-hyun dan memberinya pelukan hangat.

“Tadi aku melihatnya di luar seorang diri, dan saat kutanya, katanya ia mencarimu,” jelas pria muda yang mengantar Jung-hyun tadi.

Soo-hyun memandang adiknya, lalu beralih memandang temannya itu, “Ya, terima kasih,” gumamnya lalu menggandeng adiknya itu menuju ke kamarnya.

“Aku merindukanmu Kak!” keluh Jung-hyun saat mereka tiba di kamar Soo-hyun, “kenapa kau tidak pernah pulang? Aku benci setiap hari harus mendekam di rumah tanpa diperbolehkan keluar,” rengeknya. Jung-hyun adalah adik Soo-hyun. Bukan adik kandung, ia adalah anak hasil dari pernikahan orang tua angkatnya. Setelah beberapa tahun mengadopsinya, akhirnya orang tua angkatnya berhasil memiliki putra kandung sendiri. Dan semenjak saat itu, Soo-hyun mulai merasakan perlakuan yang berbeda dari orang tua angkatnya pada dirinya. Tepatnya, ia merasa terabaikan.

“Kau ke sini dengan siapa?” tanya Soo-hyun tak mempedulikan rengekan adiknya, “Kau pasti menyusup lagi untuk bisa keluar dari rumah. Bagaimana kalau Ayah mencarimu?”

“Aku tidak peduli, aku benar-benar bosan di rumah!” sergah Jung-hyun.

“Tapi—“

“Kak, temani aku jalan-jalan!” pinta Jung-hyun dengan wajah memelas.

“Tapi Kakak masih punya banyak urusan penting,” tolak Soo-hyun.

“Hah...aku kesal denganmu,” gerutu Jung-hyun, “walaupun aku sudah ke mari, kau tak juga mau membawaku bermain.”

“Jung-hyun!”

Jung-hyun memalingkan mukanya sembari cemberut. “Kau jahat!” rajuknya.

“Aku akan menelepon paman Hong untuk menjemputmu pulang,” katanya menyebut nama supir pribadi keluarganya.

“Kalau kau melakukan itu, aku akan pergi dari sini,” ancam Jung-hyun.

Soo-hyun mendesah, “Baiklah...baiklah! kau jangan kemana-mana...aku akan menyelesaikan urusanku dulu. lalu aku akan mengantarmu bermain,” janji Soo-hyun.

Jung-hyun segera beranjak dari duduknya, “Sungguh?” tanyanya antusias.

“Ya,” jawab Soo-hyun, “tapi ingat, jangan kemana-mana!” pesannya.

Jung-hyun mengangguk mantap, “Kau juga jangan lama-lama Kak!” katanya, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur Soo-hyun, “tempat tidur ini bahkan tidak seempuk tempat tidur di rumah. Tapi kau justru lebih senang tinggal di sini, daripada tinggal di rumah bersamaku, ayah dan ibu, ” komentar Jung-hyun dengan suara pelan. Soo-hyun hanya menanggapinya dengan tersenyum tipis.



-Kediaman keluarga Park-

Merasa bosan di kamar sendirian, Hae-bin memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di taman samping rumah. Ketika sampai di pinggir kolam renang berukuran besar yang terletak tepat di tengah-tengah taman itu, Hae-bin duduk di pinggiran kolam dan menceburkan kedua kakinya dan menggoyang-goyangkan keduanya. Ia menarik nafas dalam-dalam hingga dirasakannya udara memenuhi setiap sel di paru-parunya.

Ia memandang berkeliling, suasana benar-benar sepi. Hanya terdengar suara piring dan peralatan dapur lainnya berkelontang dari arah dapur, tanda bahwa para pelayan sedang sibuk menyiapkan makan malam. Untuk apa semua makanan yang enak-enak itu disiapkan jika tak ada kasih sayang keluarga yang diperlihatkan, pikir Hae-bin.

Setelah bosan bermain-main dengan air. Hae-bin beranjak dan menuju ke sebuah kursi besi berwarna putih panjang yang bertutup kanopi berwarna-warni yang terletak di seberang kolam. Ketika sampai di sana, ia menemukan sebuah laptop apple putih dan tumpukan kertas yang dibendel acak-acakan di sebelahnya.

“Eh...milik siapa ini?” gumamnya sembari menoleh ke kanan dan ke kiri tapi tak menemukan seorang pun di sana. Apakah ini milik Kak Dae-jia? Tapi kenapa ditinggal di sini?, pikirnya. Iseng, ia meraih tumpukan kertas yang merupakan sebuah naskah novel buatan kakak tirinya itu dan membacanya. Dalam waktu beberapa detik Hae-bin pun larut dalam cerita novel yang itu hingga tanpa disadarinya Dae-jia sudah berada di sampingnya dan berkacak pinggang.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Terkesiap, Hae-bin buru-buru berdiri dan meletakkan naskah novel itu kembali di meja. “Ah...maaf, tadi aku tak sengaja menemukannya.”

“Menemukannya?” ulang Dae-jia, “aku tak suka kalau barang-barang pribadiku disentuh orang lain tanpa ijin.” Ia pun membereskan laptop dan kertas-kertas itu dengan cepat lalu berputar meninggalkan Hae-bin yang hanya diam membisu.

“Ceritanya sangat menarik,” cetus Hae-bin ragu-ragu membuat langkah Dae-jia terhenti sejenak, “aku suka, kau benar-benar berbakat Kak!” tambahnya ketika dirasanya Dae-jia hanya diam tak memprotes seperti biasanya walau ia masih tak membalikkan badannya menghadap Hae-bin. “Apakah ini naskah—“

“Aku tak meminta pendapatmu!” sela Dae-jia dingin lalu kembali melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Tadi saat ia sedang sibuk merevisi beberapa kalimat dari naskah novelnya, tiba-tiba Bibi Jung memberi kabar bahwa Ji-hoon sedang menunggunya di luar hingga ia tak sempat memasukkan barang-barangnya kembali ke kamar. Walau hanya sebentar, saat mendengar pujian dari Hae-bin tadi, mau tak mau hatinya merasa tersentuh. Tapi ego-nya sebagai seorang anak yang tak terima Ayahnya memiliki keturunan lain dari selingkuhannya membuatnya menepis dan membuang jauh-jauh perasaan itu. Barangkali ia hanya ingin bermanis muka saja agar bisa diterima di keluarga ini, batin Dae-jia.



-Universitas Sogang-

“Sampai jumpa besok!” Yu-ri melambaikan tangannya pada temannya Yang-mi yang baru saja di antarnya ke Klub tari kampus Sogang untuk mendaftarkan diri. Ia buru-buru menghampiri flixie biru-nya yang terparkir di pojok kiri area parkir kampus Sogang bersama sepeda lainnya. Saat sedang menuntun sepedanya ke arah gerbang, Yu-ri menangkap sosok bocah laki-laki sedang duduk termenung di salah satu bangku panjang sebelah pohon maple dekat dengan area parkir tersebut.

Heran karena tak biasanya ada seorang bocah di universitas, ia menghampirinya. “Hai,” sapa Yu-ri ramah. Karena tak diacuhkan, Yu-ri berpura-pura sedang memperhatikan bocah itu dengan lagak serius.

 “Hoy! Apa yang kau lakukan? Kau menghalangi pandanganku!” bentak bocah kecil itu nyaring.

“Ahh...ternyata kau tidak bisu,” komentar Yu-ri lalu dengan santainya duduk di sebelah bocah itu. “Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bilang kalau kau sudah kuliah di sini,” guraunya.

Bocah itu mengalihkan pandangannya ke arah Yu-ri, “Aku tidak boleh mengobrol dengan orang asing,” katanya dingin lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah taman kampus di mana para mahasiswa sedang asyik berkumpul dan bercengkrama satu dengan yang lainnya.

“Hmm...” Yu-ri mengangguk-angguk lalu menyodorkan tangannya, “Aku Yu-ri.” Bocah itu kembali memutar kepalanya menghadap Yu-ri, tanpa kata ia memandang gadis itu dengan cermat dan pandangannya berhenti di tangan Yu-ri. “Kau benar-benar tidak sopan, apa kau akan mengacuhkan seseorang yang ingin berkenalan denganmu? Terlebih ia adalah seorang gadis.”

“Apakah kau ingin menggodaku?”

Yu-ri mendengus, “Cih...aku tidak berminat pada bocah ingusan sepertimu,” komentar Yu-ri.

Walau enggan, akhirnya bocah itu pun membalas uluran tangan Yu-ri, “Jung-hyun,” jawabnya.

Yu-ri tersenyum puas, “Nah, begitu donk! Sekarang kita sudah saling kenal. Jadi kau bisa mengobrol denganku,” bujuk Yu-ri.

“Aku sedang tak ingin mengobrol!” tukas Jung-hyun, membuat Yu-ri mendesah frustasi.

“Hah...kau benar-benar mengingatkanku pada seseorang yang kukenal,” komentarnya lirih, “Ya sudah, kalau kau memang tak ingin mengobrol...aku pulang dulu,” katanya lalu beranjak dari kursi panjang itu dan menghampiri sepedanya yang tadi di parkir sembarangan di samping pohon.

“Sepedamu bagus!” kata-kata Jung-hyun kontan membuat Yu-ri menghentikan langkahnya dan memperhatikan bocah itu sembari tersenyum lebar.



-Daegu, Villa Keluarga Lee-

Tuan Lee Dong-in sedang sibuk membolak-balik surat kabar di sebuah ruang tamu villa keluarganya di kawasan Daegu. Seharian ini, keluarganya sibuk memperingati hari kematian istrinya yang dimakamkan di kota itu. Lee Young-in, putri bungsunya datang menghampiri dan dengan rajin memijat-mijat pundak Tuan Lee membuatnya heran karena tak biasanya putri bungsu yang dikenalnya sangat jahil itu berbuat baik begitu.

Tuan Lee meletakkan surat kabar di meja, “Tumben sekali kau memijat Ayah, apa ada sesuatu yang kau inginkan?” tebak Tuan Lee sembari menahan senyum geli.

“Ah...Ayah, kau meragukan niat baikku,” gerutu Young-in sambil mengerucutkan bibirnya.

“Lalu apa lagi yang membuatmu tiba-tiba berbuat baik begini, kalau bukan karena kau menginginkan sesuatu?” tanya Tuan Lee.

“Ia menginginkan sebuah mobil,” celetuk Yoo-hee yang sedari tadi sibuk di depan laptopnya.

“Hmmm...benarkan dugaan Ayah?” tukas Tuan Lee, “karena tak mungkin putri Ayah yang satu ini berbuat baik, kecuali menginginkan sesuatu.”

“Ahh...Kak Yoo-hee!” gerutu Young-in kesal.

“Selesaikan dulu ujianmu semester ini, dan beri Ayah kabar baik dengan nilai bagusmu, baru Ayah—“

“akan membelikan mobil untukku!” sambung Young-in senang, “Ayah memang yang terbaik!” serunya lalu memeluk Ayahnya itu.

“Ah...sudah...sudah...lanjutkan saja pijatanmu di bahu Ayah, rasanya pegal sekali setelah seharian beraktivitas,” perintah Tuan Lee yang buru-buru dituruti oleh putri bungsunya itu dengan antusias.



“Lho? Kenapa belum pulan?” Dong-hae sedang sibung berbicara di telepon dengan Yu-ri sembari melangkah ke ruang tamu, “Benarkah? Oke-oke...cepatlah pulang dan beristirahatlah, kau jangan terlalu capek. Jaga kesehatanmu!...Yah, kita lanjutkan lagi nanti. Malam sayang,” Ia menutup sambungan telepon dengan senyuman masih tersungging di bibirnya.

“Malam sayaaang Mmmuaaachh..!!” Young-in menggodanya dengan menjawab sapaan Dong-hae untuk Yu-ri dengan nada manja.

Malas menanggapi godaan adiknya, ia memilih untuk duduk di sofa di depan Ayahnya dan menyesap teh yang tersedia di meja.

“Ah...ada satu lagi syarat yang belum Ayah sebutkan!” cetus Tuan Lee tiba-tiba teringat sesuatu, membuat putra-putrinya menghentikan kegiatan masing-masing dan memandang Ayahnya, bingung.

“Jangan bilang itu syarat untukku,” tukas Young-in.

“Siapa lagi?” balas Tuan Lee, “bukankah kau yang menginginkan mobil itu?”

“Ahh...Ayah!” Young-in menghentikan pijatannya dan duduk di sebelah Ayahnya. “Kau bilang tadi—“

“Bantu Ayah bekerja di perusahan,” potong Tuan Lee.

“Tapi, aku tak mau kehilangan waktu bermainku dengan bekerja di perusahaan Ayah secepat ini. Bukankah tadi Ayah memintaku belajar yang rajin agar nilaiku bagus dan Ayah baru akan membelikan mobil. Kenapa sekarang justru menyuruhku bekerja? Aku akan kehilangan waktu belajarku,” keluh Young-in. “Ayolah Ayah!” rengeknya.

“Buktinya kakakmu masih bisa lulus dengan nilai baik, walaupun ia harus membantu Ayah di perusahaan,” Tuan Lee beralasan.

“Tapi karena itu kak Yoo-hee jadi tak punya waktu untuk berpacaran!” tukas Young-in membuatnya dihadiahi pelototan Yoo-hee. “Aku kan juga butuh waktu untuk kencan dengan Kyu-ku tersayang.”

“Sudah Ayah putuskan!” tegas Tuan Lee.

“Ahh...Ayah jahat!”

“Yoo-hee, kapan upacara kelulusanmu akan dilaksanakan?” tanya Tuan Lee pada putri keduanya.

“Bulan depan Ayah,” balas Yoo-hee tetap sibuk dengan pekerjaannya.

“Dan kau Dong-hae,” Tuan Lee melirik ke arah putranya yang saat ini sedang sibuk senyum-senyum sendiri sembari menatap ponselnya. “Kapan kau akan lulus?” tegur Tuan Lee, “ini tahun kelima-mu, apakah kau akan terus menjadi mahasiswa?”

Diungkit masalah itu, wajah tampan Dong-hae mengkerut tak suka,”Hah...Ayah tau sendiri, ada salah satu dosen yang menghambatku, padahal di mata kuliah lain aku sudah lulus dengan nilai yang baik pula,” keluh Dong-hae.

“Aku mengenal profesor Mark dosen bahasa Inggris-mu itu, “komentar Tuan Lee,”dan dia mengatakan pada Ayah kalau kau tak pernah serius mengikuti mata kuliahnya. Bagaimana kau bisa lulus ujiannya kalau kau tak memperhatikan dengan baik?”

“Dia bahkan mengadukan hal itu pada Ayah?” gumam Dong-hae kesal sekaligus tak percaya.

“Ayah tak mau dengar lagi alasanmu,” sergah Tuan Lee pelan namun tegas, “semester ini kau harus lulus, bagaimanapun caranya. Kalau tidak, aku tak akan membiayai biaya kuliahmu lagi.”

“Tapi Ayah—“

“Ini semua salah Soon-hee karena terlalu memanjakanmu sebagai anak lelaki satu-satunya,” gumam Tuan Lee lirih tak mempedulikan kata-kata Dong-hae.

Bagaimana ini, pikir Dong-hae. Ujian sudah tinggal beberapa bulan lagi, kalau ia tak lulus lagi di mata kuliah profesor Mark itu, Ayahnya tak akan sudi membiayainya kuliahnya lagi. “Aiisshh...” Dong-hae menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

Melihat umpan yang bisa dikerjai, Young-in tersenyum sembari berkomentar, “Apa kau membutuhkan bantuanku?”

Dong-hae mengalihkan pandangan kepada adiknya, sejenak ia merasa senang karena akhirnya mendapat jalan keluarnya. Bukankah Young-in mengambil jurusan pendidikan bahasa Inggris, pasti dia bisa membantu, pikirnya senang. Tapi bayangannya segera berubah ketika melihat seringai jahil di wajah adiknya. Ah...tidak lagi, aku tak mau lagi tertipu olehnya, batinnya. Pikirannya kembali ke beberapa tahun silam, saat ia dengan penuh harap meminta tolong pada Young-in untuk mengerjakan tugas rumah bahasa Inggris yang diberikan profesor Mark padanya, tapi berakhir dengan bencana karena ulah jahil adik bungsunya itu.

Young-in memang mengerjakan dengan benar semua soal yang diberikan, tapi yang membuatnya marah, adiknya itu sengaja menulis namanya di lembar kerjanya, hingga profesor Mark mengetahui bahwa ia tak mengerjakan sendiri tugasnya. Mengingat kejadian itu, Dong-hae buru-buru menggeleng, “Ah...tidak...tidak...” elaknya.

“Kenapa? Kau meragukan kemampuanku?” tuntut Young-in.

“Aku tak mau kau kerjai lagi,” keluh Dong-hae membuat Young-in tertawa terbahak-bahak, hilang sudah kekesalan yang dirasakannya tadi ketika melihat wajah pasrah kakaknya.

“Aiissh...kau malah menertawakanku!” Dong-hae beranjak dari sofa dan berjalan ke luar ruangan sembari berpikir. “Yu-ri!” cetusnya teringat pada kekasihnya, lalu mulai mengetik sms untuk gadis itu. Ia pasti bisa membantuku, batinnya lega. Tapi lagi-lagi ia mengurungkan niatnya karena mengingat rasa malu yang akan dirasakannya, jika Yu-ri tau ia tak bisa bahasa Inggris. Ia tak ingin terlihat bodoh di hadapan kekasihnya itu. Hah...ayo Lee Dong-hae, berpikirlah!, keluh Dong-hae dalam hati.

Menit demi menit berlalu cukup lambat, hingga akhirnya sebuah nama melintas di benaknya. “Hae-bin! Ya, Hae-bin pilihan sempurna!” gumam Dong-hae dengan senyum puas tersungging di bibirnya.

“Siapa Hae-bin? Selingkuhanmu?” tiba-tiba ia terkesiap ketika mendengar suara seorang gadis di sampingnya.

“Astaga! Yoo-hee, bisakah kau memberitahu keberandaanmu terlebih dahulu sebelum berbicara?”

Yoo-hee mencibir, “Kau yang terlalu sibuk melamunkan gadis bernama Hae-bin itu, hingga tak menyadari keberadaanku,” balas Yoo-hee.

“Hya! Tidak seperti yang kau pikirkan!” bantah Dong-hae.

“Aku butuh bantuanmu,” tukas Yoo-hee pura-pura tak mempedulikan bantahan Dong-hae.

“Bantuanku?”

“Ya.”



-Universitas Sogang-

Soo-hyun sedang bingung mencari keberadaan adiknya. Setelah menyelesaikan urusannya, ia bermaksud untuk mengantar adiknya pulang. Tapi ia tak menemukan adiknya di kamar. “Astaga! Di mana kau Jung-hyun, bukankah tadi aku menyuruhmu tinggal di kamar saja,” gumam Soo-hyun khawatir.

Ia pun sudah bertanya pada teman-temannya yang berada di sekitar asrama tapi tak ada satupun dari mereka yang mengetahui di mana adiknya. Ini sudah malam, Ayah pasti akan marah kalau tau Jung-hyun belum pulang, batin Soo-hyun mengingat betapa protektif-nya ayah angkatnya itu pada adiknya. Ia maklum, karena Jung-hyun adalah putra satu-satunya di keluarga mereka. Tentu saja bila tak mengabaikan statusnya sebagai anak angkat.

“Tuan muda,” seorang pria berstelan jas hitam menghampirinya yang dikenalinya sebagai supir keluarganya.

“Ah...paman Hong,” sapa Soo-hyun sopan.

“Tuan muda Jung-hyun menghilang dari rumah, apakah dia ke mari?” lapor supirnya itu yang tentu saja sudah diduganya.

Soo-hyun menghela nafas berat, “Tadi dia ke mari.”

“Hah...syukurlah! ternyata benar dugaanku,” gumam pria itu.

“Tapi...”

“Tapi?” ulang Pak Hong.

“Aku tidak tau di mana dia sekarang,” jawab Soo-hyun menyesal.

“Kau bilang tadi—“

“Aku tadi sudah berjanji padanya akan membawanya bermain ketika urusanku selesai, tapi karena...aku terlalu lama, mungkin ia merasa bosan menunggu.”

“Lalu bagaimana ini?”

“Ia mungkin tidak jauh dari sini, sebaiknya kita berpencar untuk mencarinya,” usul Soo-hyun.

“Baiklah Tuan muda.”

Mereka pun memulai pencarian dari gedung satu ke gedung lainnya. Soo-hyun yakin adiknya itu tidak mungkin meninggalkan area kampus. Tapi ia juga kesulitan karena luas kampus Sogang mencapai puluhan hektar.

Setelah selama 1 jam mencari, namun tak juga membuahkan hasil. Ia memutuskan untuk istirahat sejenak di dekat taman kampus sambil meraih ponselnya untuk menghubungi Pak Hong mungkin saja ia telah menemukan Jung-hyun. Tapi niatnya terhenti ketika mendengar suara tawa yang sangat dikenalinya dari arah sebuah lapangan terbuka di kampus mereka.



“Yeee!!! Aku bisaaa!!!” Jung-hyun berteriak nyaring sembari mengayuh sepeda flixie biru milik Yu-ri yang saat ini mengiringinya dengan tepuk tangan.

Gadis itu mengacungkan kedua jempolnya, “Hebat!” serunya.

Sesorean ia membantu Jung-hyun belajar mengendarai sepeda. Bocah itu bilang bahwa ia belum pernah sekalipun mengendarai sepeda dan ia sangat ingin menguasainya. Walau tidak mudah, dan sering sekali jatuh. Akhirnya bocah itu berhasil mengendarai sepeda Yu-ri. Untuk menunjukkan kehebatannya pada Yu-ri, Jung-hyun sengaja mengayuh sepedanya mengitari gadis itu dengan tawa puas tak lepas dari bibirnya.

“Aku hebat bukan?” serunya bangga.

“Ya, kau...AWAAAS!!!” jerit Yu-ri, ketika tiba-tiba sepeda yang dikendarai Jung-hyun oleng karena terantuk batu besar. Terlalu bangga akan kemampuannya, Jung-hyun kurang waspada pada lingkungan sekitarnya.

BRUKK!!! Jung-hyun jatuh dari sepeda sebelum sempat Yu-ri menyelamatkannya. “Aduh,” erang Jung-hyun.

“Kau tidak apa-apa?” Yu-ri berlari dan menghampiri bocah itu khawatir. Lututnya berdarah. “Astaga lututmu—“

“Aku sudah bilang kau harusnya tidak keluar dari kamarku!” suara seorang pria yang sangat dikenalnya membuat Yu-ri mengangkat kepalanya.

“Kakak?!” seru Jung-hyun.

“Ka...kakak?” ulang Yu-ri tak percaya.

“Ayo, naik ke punggungku!” Soo-hyun menggendong adiknya lalu meninggalkan Yu-ri seorang diri tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Yu-ri menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya sembari berdecak kesal, “Apa dia tak punya sopan santun sama sekali!” gumamnya kesal.


Keesokan harinya....


Prok...prok...prok!!! Yuri bertepuk tangan puas ketika irama lagu berakhir dan diiringi dengan gerakan tari yang mengagumkan. Ia mengacungkan jempolnya pada kekasihnya yang terlihat letih setelah berlatih. Hari ini, ia sengaja berkunjung ke tempat latihan Dong-hae untuk memberi dukungan pada kekasihnya itu yang rencananya akan tampil pada acara ulang tahun universitas Sogang.

Dong-hae melangkah menghampiri kekasihnya yang sudah menunggu di pinggir ruangan, “Kau hebat sekali! Gerakannya bagus!” puji Yu-ri lalu meraih handuk kecil putih dan mengusapkannya di dahi dan leher Dong-hae yang berkeringat.

Dong-hae tersenyum menatap kekasihnya, “Aku suka gadis yang penuh perhatian sepertimu,” goda Dong-hae.

Yu-ri menempelkan tangannya di dahi Dong-hae, “Apakah kepalamu terantuk sesuatu setelah menari tadi?”

“Aiissh...kau ini?” gerutu Dong-hae, “tak bisa diajak bermanis-manis ria.”

Yu-ri tertawa, “Norak!” gumamnya membuat Dong-hae tersenyum.

“Apa itu?” Dong-hae menunjuk sebuah kotak berbungkus kain merah yang terletak di samping Yu-ri.

“Aku menyiapkan kotak makan untukmu, karena kupikir—“

“Kau bisa memasak?” Dong-hae terlihat sangat kaget dan buru-buru meraih kotak makan itu. lalu membuka isinya.

“Aiissh...bukan aku yang memasaknya,” aku Yu-ri.

“Eh?” Dong-hae melongo dengan sushi masih memenuhi mulutnya.

“Minum dulu!” Yu-ri menyodorkan botol minum pada Dong-hae. “Kau kecewa karena bukan aku yang memasaknya?”

Dong-hae meneguk air itu lalu bergumam, “Kenapa harus kecewa? Kau sudah repot-repot begini...aku sudah sangat senang,” rayu Dong-hae membuat Yu-ri mencibir. “Ah...bagaimana? apa kau sudah mendaftar di klub Taekwondo?”

“Belum,” Yu-ri mengunyah sushi di mulutnya dengan santai, “kudengar besok akan ada audisi, aku akan mendaftar,” gumamnya, “dan aku pasti dapat membalas semua perbuatannya selama ini, akan kupukul dia.” Yu-ri mengepalkan tangannya.

“Memukul siapa?”

“Kim Soo-hyun!”


~ To Be Continued.....

By Yuli  ~Admin Lee~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar