Selasa, 06 Desember 2011

S W I T C H -Prolog + Chapter 1-

S W I T C H



Prolog

Park Hae-bin yang kini sudah berada di kamarnya di lantai dua, merasa sedih. Sudah tiga bulan lebih ia tinggal di rumah besar itu, tapi ia tetap merasa kesepian. Ayahnya, Tuan Park selalu sibuk dengan pekerjaannya di kantor, sedangkan istrinya tentu saja masih belum bisa menerimanya. Seorang kakak yang ia harap bisa menjadi teman baginya, justru tak mau menerimanya dan selalu bersikap seolah-olah ia adalah sesuatu yang tak diinginkan di rumah itu. Ia meraih sebuah pigura kecil di nakas yang berisi foto seorang wanita cantik tengah tersenyum. “Ibu,” gumamnya, air mata mengalir membasahi kedua pipinya, “apa aku salah karena terlahir sebagai putrimu?” isaknya.

Dering ponsel Hae-bin membuatnya mengalihkan perhatian dari foto ibunya, ia meraih ponsel dan menghapus air mata yang menggenang di pipinya dengan punggung tangannya lalu memencet tombol jawab, “Halo!” sapanya pada sahabatnya Shin Yu-ri, “benarkah? Oh...Tuhan, syukurlah!” serunya senang ketika mendengar kabar yang disampaikan Yu-ri, “Ya, aku akan mengeceknya lagi, tentu.”

Taken From ITL Chap 10



Chapter 1




-Pelataran Universitas Sogang-

Seorang gadis berambut pendek ala lelaki mengayuh sepedanya kuat-kuat. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kuliah. Tapi karena terlambat bangun, ia harus terburu-buru berangkat ke kampus barunya.

“Hoy! Kau,” panggil seorang pria menghentikan kakinya mengayuh, gadis itu menoleh pada asal suara. Pria tinggi memakai jas cokelat—jas almamater kampusnya—memperhatikannya lekat-lekat dan menghampirinya, “kau mahasiswa baru?” tanya pria itu.

Ia mengangguk, “Ya,” jawabnya tegas seraya balas memperhatikan pria itu, ia merasa pernah mengenalnya, tapi ia lupa pernah bertemu di mana.

“Nama!”

“Shin Yu-ri,” pria itu mencatat sesuatu di sebuah map yang ia bawa.

 Setelah berpikir sekian lama, gadis bernama Yu-ri itu akhirnya mengingat sesuatu, “Ah...bukankah kau—“

“Ikut aku!” potong pria itu tegas.

“Hya! Aku sedang—“ Yu-ri buru-buru menutup mulutnya saat ia melihat tatapan marah pria itu dan dengan terpaksa ia menggiring sepedanya dan mengikuti pria itu dari belakang. Sial!, makinya.




Sementara itu di sebuah aula besar, masih di kampus yang sama seorang gadis—Park Hae-bin—dengan antusias mengikuti sambutan President universitas Sogang, Profesor Lee Jong-wook, menyambut mahasiswa baru tahun ajaran ini sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ia mencari sahabatnya, Shin Yu-ri yang belum juga tiba. Tapi hingga acara usai, ia belum juga menemukan sosok Yu-ri. Beberapa waktu lalu, saat Yu-ri mengabari dirinya bahwa ia dan sahabatnya itu sama-sama diterima di universitas Sogang, ia benar-benar tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya, karena ia bisa kembali bersama dengan sahabatnya itu. Walau kini mereka berada di fakultas yang berbeda

Setelah acara orientasi hari pertama usai. Hae-bin bersama mahasiswa lain keluar dari aula besar itu. Hae-bin masih saja berusaha mencari sahabatnya di tengah kerumunan mahasiswa yang hadir, tapi nihil, ia tak juga menemukannya, “Di mana dia?” gumamnya gelisah, mereka sudah lama tak bertemu setelah kepindahannya ke rumah baru. Sebelumnya, Hae-bin sempat tinggal di rumah Yu-ri setelah Ibunya meninggal karena penyakit paru kronis yang dideritanya.

Hae-bin meraih ponsel di tasnya dan mulai menghubungi Yu-ri, “Hai Hae-bin,” sapa Yu-ri setelah dua kali terdengar dering tersambung.

“Kau dimana?” Hae-bin bertanya.

Dan seperti biasa, begitu Hae-bin bertanya, sahabatnya itu segera menjawab pertanyaan Hae-bin dengan panjang lebar, “Aku sekarang di kantin,” suara Yu-ri terdengar kesal, “tadi aku terlambat, jadi aku tak menghadiri acara di aula besar karena harus mengikuti seseorang yang sangat menyebalkan ke kantor senat dan mendapat hukuman. Hah...malangnya nasibku, di hari pertama saja, sudah mendapat hukuman dan kartu peringatan.”

Hae-bin menutup mulutnya dengan tangan, “Astaga!”

“Kemarilah, kutunggu kau di kantin.” Tanpa menjawab, Hae-bin menutup sambungan ponselnya dan menyusul Yu-ri di kantin.



“Hai, aku di sini,” Yu-ri melambaikan tangannya girang saat melihat kehadiran Hae-bin. Hae-bin pun menghampirinya. “Kau tidak makan?” tanyanya saat melihat Hae-bin hanya duduk tanpa mengantri mengambil makanan di counter.

Hae-bin menggeleng, “Aku tidak lapar.” Ia tersenyum memandang Yu-ri yang menyantap makanannya dengan lahap, “kau pasti capek sekali setelah dihukum tadi,” komentar Hae-bin dan kembali menyunggingkan senyum saat melihat Yu-ri memotong dagingnya seolah-olah daging itulah yang patut dihukum.

“Menyebalkan sekali,” sambut Yu-ri kesal, lalu menyuap sesendok penuh makanan ke dalam mulutnya. “Apakah acaranya menyenangkan?” tanyanya dengan mulut penuh makanan.

“Tidak juga, hanya membicarakan tentang kehidupan di kampus yang akan kita hadapi kelak.”

Yu-ri mengangguk-angguk, “Syukurlah kalau begitu, aku terbebas dari kegiatan membosankan itu,” tiba-tiba ia menatap Hae-bin seperti baru saja menemukan sesuatu, “Aku baru ingat!” katanya. Hae-bin yang bingung hanya bisa menatapnya tak bersuara. “Orang yang meng—“

“Yu-ri!” seorang pria memotong pembicaraan Yu-ri, pria tampan memakai topi hitam dan kaos abu-abu menghampirinya, “Selamat datang di kampus barumu!” kata pria itu penuh semangat sembari duduk di bangku di sebelah Yu-ri dan merangkul pundaknya mesra. Pria itu adalah Lee Dong-hae, kekasih Yu-ri. Ia adalah salah satu alasan, mengapa Yu-ri memilih Sogang sebagai universitas pilihannya.

Yu-ri tertawa senang menyambut pria itu, “Kak Dong-hae, kupikir kau tak bisa datang.”

“Mana mungkin aku tak datang saat kekasihku menyambut hari spesialnya,” gombal Dong-hae disambut cibiran Yu-ri. Hae-bin yang menyaksikan kemesraan mereka hanya bisa tersenyum tipis. “Ah...apa kabar, kau Hae-bin bukan?” sapa Dong-hae.

Hae-bin mengangguk, “Dia satu fakultas denganmu,” timpal Yu-ri.

“Oh...benarkah?” Dong-hae menatap Hae-bin antusias, “kalau begitu, kau akan menjadi adik kelasku.”

“Ya,” jawab Hae-bin singkat.

“Hah...kau ini, dari tadi irit sekali bicaranya,” komentar Yu-ri pada Hae-bin, “kupikir tinggal di rumah besar dan megah akan membuatmu berubah, ternyata dugaanku salah.”

Wajah Hae-bin berubah murung saat mendengar Yu-ri berkata begitu. Bagaimana bisa berubah, kalau aku sama sekali tak punya teman di sana, batin Hae-bin sendu.

“Ayo, ceritakan pada kami bagaimana kehidupan di rumah barumu!” pinta Yu-ri, “ah...tunggu...tunggu...kau kelihatan semakin kurus saja,” Yu-ri memperhatikan penampilan Hae-bin, “apa mereka tak memberimu makan?”

Hae-bin mendengus, “Sudahlah, aku tak mau membicarakannya,” sergahnya membuat Yu-ri semakin penasaran.

“Jangan bilang kau disiksa di sana!” katanya sembari menatap Hae-bin serius.

Dong-hae yang bingung dengan pembicaraan mereka ikut menimpali, “Disiksa? Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan?” tanyanya seraya menatap Yu-ri dan Hae-bin bergantian.

Hae-bin melambaikan tangannya seolah mengusir lalat, “Kau berlebihan Yu-ri!”

“Lantas mengapa kau tak ingin membicarakannya?” selidik Yu-ri, “ceritakan padaku Hae-bin!” ia memaksa.

“Tak ada yang perlu dibicarakan!” sergah Hae-bin, “kalau begitu aku pergi dulu, aku tak mau mengganggu kalian,” pamit Hae-bin berusaha untuk melarikan diri dari desakan sahabatnya itu.

Yu-ri mendengus pelan, “Kalau kau pergi hanya karena ingin melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaanku, kau benar-benar keterlaluan,” tuding Yu-ri, “kita baru saja bertemu setelah sekian lama, apa kau tak merindukanku?”

“Bukan begitu Yu-ri, aku hanya—“

“Ah...sudah-sudah!” sela Dong-hae, “kalian ini, katanya baru bertemu, kenapa malah bertengkar?” Dong-hae menenangkan kekasihnya yang mulai cemberut, “bagaimana kalau kita ke tempat karaoke saja, untuk merayakan keberhasilan kalian berdua masuk universitas Sogang?” tawar Dong-hae yang disambut anggukan antusias Yu-ri.

“Setuju!” seru Yu-ri antusias sambil mengacungkan tangannya, “kau tak boleh menolak!” ancamnya pada Hae-bin yang hanya bisa mengangguk pasrah. Lagi pula aku sudah lama tak jalan-jalan bersama sahabatku, batin Hae-bin. “Jangan lupa ajak kekasihmu...ah...membicarakan ini, aku jadi ingat sesuatu!” kata Yu-ri tiba-tiba. Gadis itu mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Melihat perubahan ekspresi kekasihnya, Dong-hae menjadi penasaran, “Kau kenapa?”

“Kekasihmu...dia yang telah menghukumku!” geram Yu-ri kesal.



-Noraebang (Tempat Karaoke), Hongdae-

Yu-ri dan Dong-hae menyanyi sambil menari riang mengikuti lagu-lagu berirama menghentak yang sengaja mereka pilih, sementara Hae-bin hanya duduk di sofa sembari memperhatikan keduanya dan sesekali tersenyum menyaksikan tingkah lucu mereka. Kekasihnya, Kim Soo-hyun sedang sibuk menyiapkan untuk acara di kampus esok, jadi ia tak bisa datang untuk berkaraoke bersama. Walau sempat kecewa, tapi ia sudah cukup merasa terhibur dengan kehadiran sahabatnya itu.

Saat pergantian lagu, Yu-ri mendekatinya dan menarik lengan Hae-bin agar bergabung bersama mereka, “Ayo! Apa kau akan terus diam di sini?” seru Yu-ri berusaha menyeret Hae-bin ke depan meja. “Jangan hanya karena si cowok menyebalkan itu tak bisa datang, lalu kau murung begitu,” tambahnya masih kesal karena perlakuan Soo-hyun di kampus pagi tadi.

“Bukan begitu Yu-ri, tapi aku tak bisa menyanyi—“ Yu-ri menyerahkan microphon di tangannya pada Hae-bin.

“Pilih sendiri lagu mana yang kau suka!” paksa Yu-ri.

“Ayo, pilih saja!” sambung Dong-hae, “kita di sini untuk bersenang-senang.” Yu-ri mengangguk menyetujui kata-kata Dong-hae. Meski enggan, Hae-bin pun menuruti kemauan mereka berdua.

Sekitar satu setengah jam mereka bertiga bersenang-senang di tempat karaoke, “Bagaimana kalau mampir dulu di cafe-ku?” tawar Yu-ri setelah mereka keluar dari tempat karaoke, karena memang cafe-nya juga berada di kawasan itu.

Dong-hae tertawa lebar sembari melingkarkan lengannya di pinggang Yu-ri, “Boleh, asal kita ditraktir!” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya pada Hae-bin agar menyetujui idenya. Hae-bin lagi-lagi hanya tersenyum menanggapinya.

“Baiklah! Kau boleh mengundang kekasihmu sekalian Hae-bin,” katanya tapi tak dapat disembunyikan ada ekspresi kesal di wajah Yu-ri.

Hae-bin mengangguk, “Aku telepon dia dulu,” katanya sembari berjalan menjauh dari pasangan itu.

“Kau tidak berniat untuk membalas dendam pada kekasih Hae-bin, kan?” tanya Dong-hae berbisik di telinga Yu-ri setelah dirasanya Hae-bin tak bisa lagi mendengar pembicaraan mereka.

Yu-ri menaikkan salah satu sudut bibirnya, “Kita lihat saja nanti!”



-Infinite Cafe, Hongdae-

Setelah menelepon kekasihnya, Hae-bin pun mengikuti Yu-ri dan Dong-hae menuju cafe milik Ibu Yu-ri di kawasan itu. “Apa kekasihmu bisa datang?” tanya Dong-hae setelah mereka duduk di salah satu meja, sementara Yu-ri meninggalkan mereka berdua untuk menemui Ibunya di dalam.

Hae-bin tersenyum, “Ya, dia bisa.”

“Syukurlah kalau begitu,” sambut Dong-hae, “jadi aku tak melihat kau murung lagi.”

Hae-bin berusaha tersenyum. Bukan itu yang membuatku murung, batinnya.

“Ah...iya, mengapa kau memilih fakultas Desain Komunikasi Visual?” tanya Dong-hae setelah hening selama beberapa saat.

“Karena aku suka mendesain sesuatu,” jawab Hae-bin diplomatis.

“Oh...jadi kau akan mengambil jurusan desain grafis?” tebak Dong-hae.

“Sepertinya begitu.”

“Wah...wah...sepertinya kalian cepat sekali akrab,” komentar Yu-ri sekembalinya dari dalam.

Dong-hae menyeringai, “Kau cemburu?” tanyanya, walau ia tau kekasihnya hanya bercanda.

“Untuk apa cemburu?” sungut Yu-ri.

“Hya! Cemburu itu tanda cinta,” protes Dong-hae.

“Tidak perlu cemburu, hanya untuk mengekspresikan cinta,” komentar Yu-ri santai. “Ah...kalian pesan saja, aku sudah bilang Ibu. Semuanya gratis!”

Selama beberapa saat mereka bertiga asyik mengobrol, hingga seorang pria memakai kemeja hitam datang. Hae-bin berdiri menyambut kekasihnya itu, “Duduklah,” katanya menunjuk kursi kosong di sampingnya. Tanpa menjawab pertanyaan Hae-bin, Soo-hyun pun duduk di kursi itu. Sementara Yu-ri yang masih kesal, menatapnya sembari mencibir.

“Selamat datang!” sapa Dong-hae ramah yang hanya dibalas senyum tipis Soo-hyun. Benar-benar tidak sopan, batin Yu-ri sebal. “Kau mau pesan apa? kekasihku mentraktir kita semua,” tambah Dong-hae sembari menunjuk Yu-ri yang duduk di sampingnya.

Soo-hyun bersedekap dan menyandarkan tubuhnya di kursi tampak tak tertarik, “Apa saja,” katanya acuh tak acuh lalu memejamkan matanya, tanpa sedikitpun melirik Yu-ri.

Sialan, maki Yu-ri dalam hati. Hampir saja ia memaki pria itu di depan sahabatnya, sebelum akhirnya Dong-hae mengingatkannya dengan menggenggam tangan Yu-ri erat. “Ssstt...” tahan Dong-hae sebelum Yu-ri menumpahkan kekesalannya.

“Ah...bukankah kalian satu fakultas,” Dong-hae mencoba untuk mencairkan suasana. Soo-hyun membuka matanya dan melirik Yu-ri, pandangan mereka bertemu. Sejenak ia tampak terkejut, sebelum akhirnya kembali memasang wajah tanpa ekspresinya.  “Apa kalian pernah bertemu?” tanya Dong-hae.

“Tidak,” jawab Soo-hyun singkat membuat yu-ri membelalakkan matanya sewot.

Dong-hae kembali menenangkan kekasihnya, “Pasti sebentar lagi akan sering bertemu,” gumam Dong-hae, “mungkin kau bisa membantunya kalau dia tak mengerti tentang kuliahnya. Benar kan Yu-ri?” Yu-ri tampak kesal, namun berusaha untuk tersenyum.

Soo-hyun hanya diam, dan kembali memejamkan matanya membuat Yu-ri semakin geram. “Maafkan dia,” sambung Hae-bin, “mungkin dia lelah.”

Dong-hae tersenyum menenangkan, “Tidak apa-apa,” lalu ia mengacungkan gelasnya, “bagaimana kalau kita bersulang untuk keberhasilan Yu-ri dan Hae-bin di universitas baru mereka?”



“Menyebalkan...menyebalkan!!!” gerutu Yu-ri kesal sepeninggal Hae-bin dan Soo-hyun. “Kenapa kau menghalangiku Kak? Rasanya ingin sekali menyiramnya dengan minumanku,” geram Yu-ri kesal.

Dong-hae menepuk bahu Yu-ri pelan, “Sudahlah! Mungkin dia memang lelah. Ingatlah kalau dia akan jadi kakak tingkatmu. Kau tidak mau kan, kalau kau memiliki musuh sebelum kuliahmu dimulai?” Dong-hae mengingatkan.

“Tapi tingkahnya itu benar-benar menyebalkan! Kau lihat sendiri bagaimana ia mengacuhkan kita,” Yu-ri mendengus, “aku heran mengapa Hae-bin bisa tahan dengannya.”



Sementara di luar cafe, Hae-bin dan Soo-hyun mengobrol, “Kau seharusnya tak bersikap begitu pada sahabatku,” gumam Hae-bin.

Soo-hyun meliriknya, “Kau dijemput?” tanyanya tak mempedulikan kata-kata Hae-bin.

“Ya,” sahut Hae-bin singkat. Ia merasa bersalah pada sahabatnya karena sikap Soo-hyun tadi. Tapi ia tak ingin bertengkar dengan Soo-hyun. Dua tahun sudah mereka menjalin hubungan. Ia dan Soo-hyun bertemu di sebuah panti asuhan—selama beberapa saat Hae-bin pernah tinggal di panti asuhan, sebelum akhirnya bertemu dengan Ibu kandungnya—dan mereka dipertemukan kembali setelah sekian lama terpisah. Lalu akhirnya menjalin hubungan. Dibalik sikap dinginnya, sebenarnya Soo-hyun adalah pria penyayang, yang siap melakukan apa saja untuk orang-orang yang disayanginya. Namun, sejak beberapa bulan yang lalu. Semenjak ia disibukkan dengan kegiatannya sebagai presiden mahasiswa di kampusnya. Mereka menjadi jarang bertemu. “Bagaimana kalau kuantar kau ke asrama,” tawar  Hae-bin saat mobil beserta supir yang menjemputnya tiba.

“Tidak usah, aku naik taksi saja,” katanya lalu meninggalkan Hae-bin yang baru saja akan masuk ke mobilnya.



-Kediaman Keluarga Shin-

Sepulang dari cafe Ibunya, Yu-ri merebahkan dirinya di matras. Hari pertamanya hancur gara-gara ia bangun terlambat. Ketika memejamkan mata, ingatannya kembali melayang pada kejadian di kampus pagi tadi.


“Kau tau ini jam berapa?” gertak Kim Soo-hyun, pria yang menemukannya datang terlambat yang juga adalah presiden mahasiswa di kampusnya.

“Aku tau aku terlambat,” jawab Yu-ri datar.

“Bagus!” Soo-hyun mengambil buku catatan pelanggaran dari atas meja.

“Tapi—“

“Sekarang kau isi buku ini dengan nama dan nomor induk mahasiswamu,” perintahnya.

Yu-ri bersungut-sungut marah, namun tetap menuruti kemauan Soo-hyun, “Sudah,” katanya menyerahkan buku besar itu kembali, “apa sekarang aku sudah bisa pergi?”

Soo-hyun menyimpan buku itu kembali di tempat semula, “Sekarang, ikut aku ke lapangan!” tegasnya tak mempedulikan kata-kata Yu-ri.

“Sekarang apa lagi?” tanya Yu-ri kesal.

“Scot jump!”

“APA?”

“50 kali.”

“APAAA?!!” teriak Yu-ri.

“Kau tidak dengar? Perlu kuulangi lagi?” tawar Soo-hyun enteng sembari bersedekap.



“Kasian boneka itu!” seketika Yu-ri terkesiap mendengar seseorang bergumam di dekatnya. Karena kesal, tanpa sadar ia meremas telinga boneka kelinci pemberian Dong-hae pada ulang tahunnya beberapa bulan yang lalu.

“Astaga! Kak Yoon-hee?!” Yu-ri segera bangkit duduk, “kau mengagetkanku!” Yu-ri mengusap-ngusap dadanya seolah itu dapat menenangkan jantungnya.

“Apa tidak berjalan lancar?” tanya Shin Yoon-hee kakak sulung Yu-ri.

“Apanya?”

“Hari pertamamu, kau sepertinya sedang kesal.”

Yu-ri menghela nafas lelah, “Begitulah!,” komentarnya pendek, “Ah...benar! ini semua karena kau,” tuding Yu-ri.

“Aku?” Yoon-hee mengarahkan telunjuknya ke dadanya, “kenapa aku?”

“Karena semalam kau memintaku membantumu menghitung penghasilan cafe bulan ini, aku jadi terlambat bangun,” sungut Yu-ri.

“Ah itu, aku minta maaf kalau begitu,” gumam Yoon-hee menyesal, “Apa ibu belum pulang?”

“Belum, masih banyak urusan di cafe,” jawab Yu-ri, “kalau tidak ada perlu lagi...aku mau tidur dulu. aku tak mau terlambat lagi.” Ia lalu merebahkan dirinya kembali di matras. Aku tak mau berurusan lagi dengan pria itu, tekad Yu-ri.


-Kediaman Keluarga Park-

Baru kali ini Hae-bin pulang malam. Sebelumnya, ia tak pernah keluar rumah kalau tak ada urusan penting. Rumah itu tampak sesunyi seperti biasanya. Kemungkinan besar, Ayahnya sedang tak di rumah karena urusan pekerjaan, begitu pula ibu tirinya yang masih disibukkan dengan kegiatannya sebagai seorang artis senior. Ia menaiki tangga menuju lantai dua, sebelum akhirnya mendengar seseorang bergumam. “Sudah bisa pulang malam rupanya,” komentar Dae-jia penuh nada menyindir.

Hae-bin menghentikan langkahnya, dan berputar menghadap kakak tirinya yang kini sedang berada di sofa ruang tengah. “Aku pergi bersama teman,” jawab Hae-bin.

“Apa urusanku?” balas Dae-jia sembari mengangkat bahu membuat Hae-bin terdiam.



Dua hari kemudian....


-Universitas Sogang, Seoul-

Masa orientasi telah berlalu, hari ini Yu-ri dan Hae-bin sudah mulai mengikuti hari pertama perkuliahan di kampus mereka masing-masing. Hae-bin yang mengambil jurusan Desain Komunikasi Visual, pada hari pertama ini ia mengikuti kuliah Bahasa Inggris yang menjadi syarat mutlak untuk menguasai materi-materi di bidang Desain Komunikasi Visual.

Pukul delapan pagi, Hae-bin sudah siap bersama dengan mahasiswa baru lainnya. Ruang kelasnya telah dipenuhi para mahasiswa yang akan menempuh mata kuliah bahasa Inggris. Tiba-tiba ia menangkap sosok Dong-hae di deretan kursi paling belakang tengah mengobrol bersama beberapa orang mahasiswa lain. Dong-hae juga menyadari kehadirannya, lalu melambaikan tangannya yang dibalas senyuman oleh Hae-bin. Tak berapa lama, pria itu menghampirinya.

“Hai!” sapa Dong-hae sembari menepuk pundak Hae-bin, “sendiri?”

“Ya, kau bisa melihatnya,” balas Hae-bin.

“Pasti kau kaget aku berada di kelas ini,” komentar Dong-hae sembari tersenyum malu.

“Ah...tidak juga,” balas Hae-bin.

Tiba-tiba suasana kelas menjadi sunyi, karena dosen pengajar mereka sudah tiba, “Kau tau?” bisik Dong-hae membuat Hae-bin mengalihkan perhatiannya dari dosen berkewarganegaraan asing yang berdiri di depan kelas itu, “Profesor Mark benar-benar mengerikan,” katanya membuat Hae-bin tertawa geli, “aku sudah tiga kali mengulang mata kuliah ini, tapi tak pernah bisa lulus,” keluhnya, hingga Hae-bin harus menggigit bibir bawahnya agar tak tersedak tawanya sendiri.

“Mr. Lee!” tegur Profesor Mark yang memergoki mereka mengobrol sendiri, “Ini yang ketiga kalinya kau mengulang mata kuliahku. Jadi dengarkan dengan baik, kalau tak ingin gagal lagi,” terdengar seruan ‘huuu’ dari seisi kelas dan melihat ke arah Dong-hae.

Dong-hae buru-buru menegakkan tubuhnya dan berdeham, “Ya, Profesor!” jawabnya.

Profesor Mark pun kembali menjelaskan di depan kelas, dan Dong-hae kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Hae-bin kemudian berbisik lirih, “Kau lihat kan?” katanya membuat Hae-bin tertawa geli untuk yang kesekian kalinya.



Yu-ri tengah merapikan bukunya ketika salah seorang temannya menghampirinya. “Yu-ri, kau mau ambil klub apa?”

Yu-ri mengerutkan keningnya, “Aku masih belum memikirkannya,” jawabnya apa adanya.

“Bagaimana kalau kau ikut klub tari denganku? Bukankah kekasihmu anggota di sana?” tawar temannya itu.

Yu-ri meringis, kekasihnya memang anggota klub tari di kampusnya. Ia pun bertemu pertama kali dengan Dong-hae saat menyaksikan pertandingan tari antar universitas beberapa waktu lalu. Tapi ia sama sekali tak berminat pada bidang itu. “Aku lebih suka Taekwondo daripada menari,” komentarnya.

“Yah...sayang sekali!” sahut temannya nampak kecewa.

“Kalau kau mau mendaftar, biar kuantar!” tawarnya.

“Benarkah?”

Yu-ri mengangguk, “Kapan kau ke sana?”

“Besok sore ya?”

“Baiklah!” sambut Yu-ri, “aku pulang dulu ya.” Yu-ri pun beranjak dari kursinya dan melangkah keluar ruangan.

Ketika sampai di taman kampus, ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Yu-ri mengedarkan pandangannya dan menemukan sosok gadis manis kira-kira berjarak beberapa meter darinya. Gadis itu tersenyum sembari melambaikan tangannya, “Young-in?!” seru Yu-ri menghampiri teman lamanya itu.

Karena terlalu bersemangat, ia tak sengaja menabrak seseorang yang tengah melintas di depannya hingga membuat kertas-kertas yang semula dipegang oleh orang itu beterbangan tertiup angin. “Ah..maaf,” gumam Yu-ri berusaha memilih kertas yang berserakan itu dan mengumpulkannya kembali. “Ini,” ia menyodorkan kertas-kertas itu, namun ekspresinya berubah jengkel mengetahui siapa orang yang ditabraknya.

Kim Soo-hyun. Pria itu tengah memandang Yu-ri lekat-lekat. “Berhati-hatilah kalau berjalan!” komentarnya singkat lalu merebut kertas di tangan Yu-ri dan beranjak pergi. Yu-ri hanya bisa memandang punggung pria itu hingga menghilang dari jarak pandangnya.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Young-in setelah berada di sampingnya.

“Tidak apa,” balas Yu-ri setengah melamun dan tetap tak mengalihkan pandangannya dari tempat Soo-hyun menghilang tadi.



~ To Be Continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar