Sabtu, 10 Desember 2011

DISASTER LOVE - Chap 16 - Fanfiction Super Junior -

CHAPTER 16



- Kediaman keluarga Kang -    

Hea-in sekuat tenaga berusaha untuk tidak lari dari ruangan ini. tidak disaat ayahnya tengah mengucapkan sambutan untuk para tamu dan bercerita singkat mengenai pengalaman hidupnya selama ini.

Dong-hae melirik Hea-in dengan kening berkerut. Sejak menemui Tuan Kang tadi dia jadi aneh. Begitu tegang dan pucat. Apakah dia sakit? batinnya bertanya-tanya.

“Ini,” Dong-hae menyodorkan sapu tangannya pada Hea-in untuk mengelap keringatnya. “Apa kau tak sehat?”

Hea-in hanya menanggapinya dengan menggeleng sambil menerima sapu tangan itu. saat ini bahkan senyum palsu pun tak sanggup ia sunggingkan untuk Dong-hae. memalingkan wajah dari tatapan menyelidik Dong-hae, sialnya Hea-in justru beradu pandang dengan mimpi buruknya. Hong Jin-mo.

Suara pekikan pelan keluar dari tenggorokan Hea-in tanpa dapat dicegah saat melihat seringai licik dan tatapan melecehkan pria itu padanya. Ia bergerak mundur dengan tubuh gemetaran penuh rasa takut.

“Hea-in?” panggil Dong-hae khawatir sembari menopang tubuh lemas wanita itu.

“…aku… merasa tidak sehat…” ucap Hea-in terbata-bata.

Dong-hae melirik Kang Ha-jong yang masih bicara, sebelum membawa Hea-in keluar dari ruangan penuh sesak itu untuk mencari udara segar.

Seo-min menatap kepergian kedua orang itu dalam diam, tak menyadari sama sekali bahwa ia tengah diperhatikan oleh Hyun-in dan Sung-min.



“Apa yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya Ki-bum. setelah Kang Ha-jong secara resmi memulai pesta tersebut, Hyun-in membawa pemuda itu menjauh untuk bicara empat mata.

Dengan gelisah Hyun-in menceritakan apa yang telah diketahuinya tanpa sengaja dari pembicaraan Ki-bum dan Seo-min waktu itu. “Apa yang harus kulakukan? Aku merasa sangat bersalah terhadap kak Seo-min,” keluh Hyun-in resah.

Ki-bum menatap gadis di hadapannya dengan tenang. “Kau yang harus menentukannya sendiri,” jawabnya. “Sanggupkah kau melihat kakakmu bersama kak Dong-hae demi kebahagiaannya?”

Hyun-in menunduk menatap ujung sepatunya. “Perasaan kakak lebih penting dariku—“

“Tidak begitu anggapan kakakmu. Dia mengorbankan perasaannya demi kau. Itu menunjukkan betapa pentingnya perasaanmu baginya,” sela Ki-bum halus.

Hyun-in pun menyadarinya, dan amat menghargai pengorbanan kakaknya itu. ia menatap Ki-bum dengan ekspresi polos dan bingung. “Menurut kakak… apakah sudah terlalu terlambat untukku bicara mengenai hal ini pada kak Seo-min?”

Ki-bum menyunggingkan senyum menghibur dan menepuk pundak Hyun-in. “Tak pernah ada kata terlambat untuk suatu niat yang baik.”

Hyun-in mengangguk. Ya. mungkin belum sepenuhnya terlambat… kakaknya dan Dong-hae masih bisa bersatu. Dan mengenai perasaannya sendiri… Hyun-in yakin dapat mengatasinya.

“Hyun-in?”

Kompak, Hyun-in dan Ki-bum sama-sama menoleh ke arah si pemanggil. Mata Hyun-in membesar melihat sosok tampan yang dulu sempat digilainya. Im Sang-ji. Ayah pria itu memang teman ayahnya, namun tak terpikir olehnya Sang-ji akan hadir juga malam ini.

Sang-ji melangkah mendekat sembari menyunggingkan senyum ramah. “Lama tak melihatmu, Hyun-in,” ucapnya berbasa-basi. “Kau terlihat lebih cantik dibanding yang kuingat selama ini.”

“Terima kasih,” sahut Hyu-in kaku.

Bertepatan dengan sahutan Hyun-in, music pengiring dansa telah dimainkan. Sang-ji mengulurkan tangannya pada Hyun-in. “Maukah kau berdansa denganku?” tawarnya manis. “Aku ingin mengobrol denganmu.”

Ki-bum menatap Hyun-in, menyadari ketegangan dan keenganan gadis itu. baru saja ia akan menengahi dengan mengatakan Hyun-in telah lebih dulu menjanjikan dansa dengannya, ternyata Hyun-in justru menerima ajakan tersebut.

Begerak pelan dan santai di tengah-tengah pasangan lain yang berdansa di sekitar mereka, Sang-ji menatap wajah Hyun-in tajam. sejak tadi gadis itu terus diam dan tak bersedia menatapnya.

“Maafkan aku,” ucapnya, memecah keheningan.

Terkejut mendengar permintaan maaf yang tak disangka-sangka itu, Hyun-in mendongak menatap Sang-ji.


“Selama ini aku belum pernah mengungkapkan penyesalanku padamu,” kata Sang-ji lagi. Wajahnya terlihat amat serius dan tulus. “Maafkan aku, Hyun-in. karena mengecewakanmu. Karena mengkhianatimu. Karena menyakitimu… maafkan aku. Itu hal terbodoh yang pernah kulakukan.”

Hyun-in mengalihkan pandangan, tak tahu harus berkomentar apa. Sang-ji memang telah menyakitinya. Memberinya harapan pada awal kedekatan mereka, namun tiba-tiba mencampakkannya demi Hea-in.

“Sudah berlalu. Tak usah dibicarakan lagi,” ucap Hyun-in pada akhirnya.

“Aku mengerti bila kau belum bisa memaafkanku sekarang. tapi kuharap suatu hari nanti kau bisa memaafkan kebodohanku, dan… kita bisa kembali berteman.”

Hyun-in menatap langsung ke mata Sang-ji. “Apa kau pikir itu mungkin? Aku tak yakin kita bisa berteman dengan situasi canggung macam ini.”

“Hyun-in—“

“Keberatan bila aku melanjutkan?” sela Kyu-hyun tiba-tiba.

“Eh? Kau…” Sang-ji terkejut karena mengenali siapa pemuda di hadapannya.

Tanpa persetujuan Sang-ji, Kyu-hyun meraih tangan Hyun-in dari pundak Sang-ji, dan menariknya menjauh sembari tersenyum sopan pada pria itu.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Kyu-hyun, mengamati wajah Hyun-in.

“Tidak apa-apa.”

“Kak Ki-bum bilang sepertinya kau terpaksa menerima ajakan pria tadi. dan dari yang kulihat nampaknya memang begitu.”

“Di mana kak Ki-bum?” tanya Hyun-in.

“Siapa pria tadi?” tuntut Kyu-hyun penasaran. “Mantan kekasihmu?”

“Bukan. Ah, itu kak Ki-bum—“

“Aku bicara padamu,” kata Kyu-hyun tegas sambil menyentak Hyun-in ke arah dirinya, hingga tubuh mungil Hyun-in membentur tubuhnya.         

“Tak penting untuk kau ketahui.”

“Jawab saja.”

“Mantan kekasih kak Hea-in,” jawab Hyun-in dingin sembari menatap lekat mata Kyu-hyun.

“Pasti— Ah, maaf,” perkataan Kyu-hyun terputus saat tanpa sengaja mereka menyenggol pasangan lain yang tengah berdansa.

Hyun-in baru saja berjalan dua langkah menjauhi sang member termuda Super Junior itu, ketika Kyu-hyun menariknya dan merapatkan tubuh mereka sambil berputar dalam gerakan dansa ringan.

“Kau menyukai pria itu?” tanya Kyu-hyun, namun Hyun-in diam saja. “Biar kutebak, kau menyukai pria tadi, namun dia terpikat oleh Hea-in. benar begitu?”

Dengan gusar Hyun-in berusaha mendorong Kyu-hyun agar dapat pergi, namun tenaga pria itu jelas lebih kuat darinya. “Hea-in merebutnya darimu, kan?” tebak Kyu-hyun dengan nada halus.

“Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu,” komentar Hyun-in datar tanpa menatap Kyu-hyun.

“Mengamati sifatnya selama ini, kurasa itu sesuatu yang mungkin dilakukan Kang Hea-in.”

“Tapi kau menyukainya,” gumam Hyun-in tak jelas.

“Apakah pria tadi ingin kembali padamu?” tanya Kyu-hyun tanpa mengomentari pernyataan Hyun-in.

“Kami tak pernah bersama. Bagaimana mungkin bisa ada kata ‘kembali’?” ucap Hyun-in tanpa emosi. “Aku harus mengurus sesuatu. permisi,” tambahnya sambil menjauh dari Kyu-hyun.



“Duduklah,” perintah Dong-hae, membawa Hea-in ke teras samping rumah keluarga Kang yang mengarah ke kolam renang. “Apakah perlu memanggil dokter?” tawarnya, mengamati kondisi wanita itu.

Hea-in menggeleng sembari bersandar di sadaran kursi terasnya. Ia menutup mata, berusaha mengistirahatkan pikirannya, namun kenangan-kenangan buruk itu justru menghantuinya.

Tanpa kata dong-hae mengelap tetesan keringat dingin Hea-in dengan sapu tangannya sambil membiarkan wanita itu tetap menggenggam sebelah tangannya yang lain. perlahan, gemetar tubuh Hea-in berkurang. Ia terlihat lebih tenang setelah beberapa menit berlalu.

“Akan kuambilkan air minum,” kata Dong-hae sambil beranjak berdiri, namun Hea-in menarik tangannya, menggenggamnya erat.

“Jangan tinggalkan aku,” pintanya.

Melihat sorot takut dan memohon Hea-in merenyuhkan hati Dong-hae. “Aku tak akan lama, hanya mengambil minuman lalu kembali ke mari,” janjinya. Dilepasnya jasnya dan digunakannya untuk menutupi tubuh wanita itu dari terpaan angin malam. “Tunggu sebentar.”

Sepeninggal Dong-hae, Hea-in merapatkan jas pria itu di tubuhnya. Aroma tubuh Dong-hae yang menempel di jas itu memberikan sedikit ketenangan untuknya.

Suara langkah kaki yang mendekat membuat Hea-in mendongak, mengira Dong-hae telah kembali. Betapa terkejutnya ia begitu melihat ternyata Hong Jin-mo-lah yang menghampirinya.

“Sepertinya kau amat terjejut melihatku,” ucap Hong Jin-mo sembari menyeringai puas.

Hea-in beringsut menjauh. “Pergi… pergi!” bentaknya dengan suara gemetar ketakutan.

Hong Jin-mo berdecak. “Setelah lama tak bertemu, apa begini sambutanmu padaku, he? Apa kabarmu anak manis?”

Hea-in menjauh dari kursi yang didudukinya demi menghindari pria itu. “Pergi!” jeritnya sembari berjalan mundur. “Pergi! Jangan dekati aku! Pergi!”

“Apa kau tahu aku akan bekerjasama dengan ayahmu dalam pembuatan drama barumu nanti?” tanya Hong Jin-mo santai, sembari terus bergerak maju.

tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, Hea-in berlari menuruni tangga teras rumahnya demi menjauhi pria itu. namun Hong Jin-mo tak membiarkannya kabur begitu saja. Dikejarnya Hea-in yang telah sampai di tepi kolam renang.

“Lepaskan! Lepaskan!” jerit Hea-in kalap, ketakutan merasakan pelukan dan sentuhan Hong Jin-mo di tubuhnya. Rasa jijik, ngeri, dan tak berdaya bercampur aduk dalam dirinya.

“Kau ingat ini?” dengan ekspresi buas Hong Jin-mo menunjukkan bekas luka di alis kirinya. Menatap bekas luka itu menyeret Hea-in kembali ke kejadian belasan tahun lalu.
       
“Hei! Jelek! Ayahku memanggilmu!” kata Hong Yoo-na, putri Hong Jin-mo, dengan kasar pada Hea-in yang tengah duduk diranjangnya, menonton TV.
      “
Ada apa?”
     
“Mana kutahu,” gerutu Yoo-na. “Eh, bukankah itu Barbie terbaru?” ucapnya itba-tiba, ketika tanpa sengaja melihat boneka itu di nakas.
     
“Itu pemberian ayahku— Hei! Mau kau bawa ke mana!?“ seru Hea-in sembari turun dari ranjang. “Kembalikan! Itu punyaku!”
     
Yoo-na menyembunyikan boneka itu di balik punggungnya. “Sekarang ini milikku!”
      “
Tidak bisa! Itu pemberian ayahku!”
     
Dengan kasar Yoo-na mendorong Hea-in hingga terjatuh ke lantai. “Dasar tak tahu diri! Ayahku sudah berbaik hati membiarkanmu dan ibumu yang jalang itu tinggal di sini, sekarang kau mau melawanku!?”
     
“Jangan bicara seperti itu tentang ibuku!” bentak Hea-in marah. “Yoo-na, kembalikan! Minta saja ayahmu membelikan boneka seperti itu untukmu!”
     
“Tidak mau. Aku mau yang ini.”
     
“Ada apa ini?” gerutu Hong Jin-soo, putra pertama Hong Jin-moo, kakak Yoo-na. “Aku mau tidur. Tidak bisakah kalian tenang!?”
     
“Si jelek ini yang memulainya, kak,” adu Yoo-na, sebelum kabur ke kamarnya sendiri dengan membawa Barbie milik Hea-in.
     
“Aku—“
     
“Awas kalau kudengar kalian berisik lagi!” ancam Jin-soo sembelum kembali masuk ke kamarnya.
     
Menahan tangis, Hea-in berjalan menuju ruang kerja Hong Jin-mo. Berniat mengadukan masalah ini pada tunangan ibunya itu. hanya Hong Jin-mo yang baik padanya di rumah ini—ditambah lagi karena saat ini ibunya sedang pergi untuk urusan pekerjaan dan tak dapat dijadikannya tempat mengadu.
     
semenjak sebulan lalu tinggal di rumah ini karena pertunangan ibunya dan Hong Jin-mo, kedua anak pria itu dari pernikahannya terdahulu, menolak kehadiran Hea-in dan ibunya. Jin-soo sedikit lebih baik karena dia hanya bersikap dingin pada Hea-in dan ibunya, tidak seperti Yoo-na yang merasa terancam dengan kehadiran Hea-in, dan terus mengganggu dan mengasarinya.
     
Namun masuk ke ruang kerja Hong Jin-mo malam itu ternyata adalah sebuah kesalahan besar… yang mengubah hidup Hea-in selamanya.
     
Awalnya semua berjalan normal. Jin-mo mendengarkan dengan tenang keluhan Hea-in, tetapi tanpa disadari perlahan namun pasti, pria itu semakin merapatkan dirinya pada Hea-in. dan tiba-tiba memeluk serta berusaha mencuiumi gadis cilik itu. Hea-in, dengan kekuatan terbatas dalam menghadapi pria dewasa, berusaha melepaskan diri dan memberontak.
     
“…Paman! Hentikan!” mohon Hea-in.
     
“Kau sungguh cantik dan menggemaskan, Hea-in. biarkan paman menciummu, ya?”
     
“Tidak! Tolong! Tolong!” jerit Hea-in ketakutan. “Ibu! Tolong!”
     
Jin-mo tertawa lantang. “Ruangan ini kedap suara. Percuma kau berteriak, Sayang,” ejeknya. “Dan ibumu tak mungkin menolong, karena dia sendiri yang menjualmu padaku demi melunasi utangnya.”
     
Mata Hea-in terbelalak tak percaya. “Tidak… tidak… kau bohong! Ibuku tidak mungkin melakukan itu padaku!”
     
“Terserah kau mau percaya atau tidak,” kata Jin-mo sambil membelai dada kecil Hea-in. “Tapi itulah alasan mengapa dia cepat-cepat pergi setelah makan malam tadi. agar kita punya waktu berdua, Sayang.”
     
“Tidak! Tidak! Tidak mungkin!” Hea-in menolak untuk percaya. Air mata membanjiri wajahnya. Ibu tak mungkin melakukan itu padaku, kan? Tidak mungkin, kan!? batinnya berusaha meyakinkan diri. “Tolong! Tolong!”
     
Bertepatan dengan Jin-mo yang berhasil merobek piyama yang dikenakan Hea-in, putranya, Jin-soo masuk ke ruang kerja itu tanpa mengetuk. “Ayah—“ pemuda itu terdiam di ambang pintu. Terlalu terkejut melihat apa yang terjadi.
     
Melihat kesempatan untuk membebaskan diri di saat Jin-mo tengah lengah, Hea-in meraih asbak di meja kerja pria itu dan memukulkannya ke kening pria itu.

“Sepertinya kau ingat, he?” tanya Jin-mo. “Kurasa ini saatnya kita menyelesaikan apa yang telah tertunda lama.”

“Tidak! lepaskan! Tolong!” jerit Hea-in histeris, berusaha melawan kala pria itu ingin menciumnya. “Emphh…” sekujur tubuh Hea-in gemetar penuh rasa takut dan jijik ketika Jim-mo berhasil menciumnya.

Namun tiba-tiba dalam sekejap mata ia terlepas dari pelukan Hong Jin-mo dan melihat pria itu jatuh terduduk di tanah, tepat sebelum Dong-hae melayangkan tinjuan ke wajah pria yang lebih tua itu.

“Dong-hae…” Hea-in mengucapkan nama itu dengan penuh syukur dan kelegaan.

Mendengar suara Hea-in membuat Dong-hae menghentikan tinjuannya pada Hong Ji-mo dan segera menghampiri gadis itu. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.

“…pergi… tolong bawa aku pergi…” ucap Hea-in disela isak tangisnya.



“Belum terlambat untukmu melupakan kekeras kepalaanmu dan berkata jujur pada Dong-hae,” kata Sung-min, bersandar di dinding sembari menyesap minumannya.

Di sebelahnya, Seo-min meminum Singapore Sling-nya dalam diam, tak menghiraukan pria itu.

“Kakak,” panggil Hyun-in, membuat Seo-min menoleh, menyaksikan adiknya itu tengah menghampirinya. “Emm… bisa kita bicara berdua?” tanyanya sambil melirik Sung-min yang segera paham.

“Aku pergi dulu,” pamit Sung-min, meninggalkan dua bersaudari itu sendirian.

“Ada apa?” tanya Seo-min santai.

“Ini… tentang kau dan kak Dong-hae.”

Seketika Seo-min menjadi tegang. “Ada apa dengan aku dan dia?”

“Aku… aku tahu kau menyukai kak Dong-hae… dan dia pun menyukaimu… tapi demi aku, kau mengalah… menolak kak Dong-hae dan berpura-pura tertarik pada kak Sung-min.”

“Omong kosong!” sergah Seo-min.

“Tak perlu menutupinya. Aku sudah tahu semuanya. Aku… tanpa sengaja hari itu aku mendengar pembicaraanmu dan kak Ki-bum.”

Seo-min memalingkan muka. “Lupakan apa yang kau dengar,” perintahnya tegas.

Hyun-in meraih tangan kakaknya itu. “Aku tak mau menghalangi kebahagiaan kalian. aku… berterima kasih atas kepedulianmu padaku, tapi jangan menyakiti dirimu sendiri hanya karena aku.”

“Kau terlalu mendramatisir keadaan,” ejek Seo-min sambil menepis tangan adiknya.

“Belum terlambat untukmu jujur tentang perasaanmu pada kak Dong-hae,” lanjut Hyun-in tanpa menghiraukan ejekan Seo-min.

Seo-min terdiam, jujur saja, hatinya tergoda untuk melakukan hal tersebut… tetapi… “Kau orang kedua yang berkata semacam itu padaku hari ini,” katanya, mencoba terdengar santai dan meremehkan. “Jadi, kau ingin aku dan Lee Dong-hae bersama?”

Hyun-in mengangguk.

“Apakah kau sudah tidak menyukai Lee Dong-hae?” tanya Seo-min.

Tak menyangka akan mendapat pertanyaan semacam itu membuat Hyun-in gugup. “Aku sudah melupakannya,” jawabnya pada akhirnya sambil menunduk.

“Tatap aku,” perintah Seo-min. “dan jawab sekali lagi. Apa kau sudah tidak menyukai Lee Dong-hae?” ulangnya sembari menatap tajam dan menyelidik ke mata Hyun-in.

“Bukankah sudah kujawab? Aku tidak menyukainya—“

“Bohong.”

“Kak—“

“Kita lupakan saja pembicaraan tak berguna ini. tak perlu kau memusingkan hubunganku dan dia. mungkin… aku dan kau memang tidak berjodoh dengannya.”



“Apa aku tidak salah dengar? Yang mereka bicarakan tadi?” bisik Kyu-hyun di koridor yang bersebelahan dengan tempat Seo-min dan Hyun-in bicara.

Ki-bum tak meyahut. Ia dan Kyu-hyun sedang mengobrol berdua di koridor ini ketika tanpa sengaja mendengar pembicaraan Hyun-in dan Seo-min. karena sudah lama mengetahui masalah itu, ia tak terkejut sama sekali mendengarnya. Berbeda dengan Kyu-hyun yang baru mengetahuinya malam ini.

“Pantas saja. Aku heran mengapa tiba-tiba kak Dong-hae berhenti mendekati Kang Seo-min,” komentar Kyu-hyun. “Kurasa sebaiknya kita memberitahu kak Dong-hae—“

“Apa menurutmu kak Sung-min belum mencobanya?” sela Ki-bum. “Dong-hae menolak untuk percaya. Harus Seo-min sendiri yang mengatakannya padanya agar dia percaya.”

“Benarkah? Eh, tapi, bagaimana kau bisa tahu semua ini? kenapa tidak ada yang bilang padaku?” gerutu Kyu-hyun.

“Ini masalah mereka, kenapa harus memberitahumu?” sahut Ki-bum.

Karena mengakui kebenaran dalam perkataan Ki-bum, Kyu-hyun membiarkan masalah itu berlalu begitu saja. “Aku tidak tahu kalau kak Dong-hae bisa keras kepala seperti itu,” kata Kyu-hyun kemudian.

“Setiap orang bisa keras kepala. Hanya saja untuk sebagian orang sifat itu tak selalu terlihat jelas.”

“Aku juga tak menyangka Kang Seo-min bersedia berkorban untuk Hyun-in. melihat hubungan tiga bersaudara itu selama ini, hal tersebut sangat tak terduga.”

Ki-bum tersenyum. “Jangan menilai buku dari sampulnya,” ucapnya tenang. “Kau hanya tidak mengenal Kang Seo-min cukup baik untuk tahu kebaikan hatinya.”

“Cara bicaramu seolah kau amat memahaminya,” ejek Kyu-hyun, yang hanya ditanggapi dengan senyuman misterius Ki-bum.

Ikut bersandar diam di dinding seperti Ki-bum, Kyu-hyun mengingat ucapan Hyun-in tadi. “Aku sudah melupakannya,”. Ya, seperti Seo-min, ia pun tak mempercayai perkataan Hyun-in. tetapi, ia merasa bangga untuk Hyun-in, karena dapat berbesar hati untuk berusaha melepas rasa sukanya pada Dong-hae demi kebahagiaan kakaknya.

Menatap foto Hyun-in yang terpajang di dinding koridor, Kyu-hyun menyunggingkan senyum nakal. “Mungkin untuk sekarang itu hanya kebohongan… tapi tak lama lagi pasti akan menjadi kenyataan,” gumamnya pada diri sendiri, tak menyadari tatapan aneh yang dilayangkan Ki-bum.



- Rumah Lee Dong-hae -    

Atas permintaan Hea-in yang tak mau pulang, Dong-hae membawa wanita itu ke rumahnya. Sekarang, wanita itu telah tidur di kamar tamu, tetapi Dong-hae merasa tidak bisa meninggalkannya, karena dalam tidurnya Hea-in tetap terlihat gelisah. Tadi sesekali dia terbangun dengan ketakutan. Entah mimpi buruk macam apa yang dialaminya, Dong-hae tak tega melihat wanita itu seperti ini.

Diperbaikinya letak selimut Hea-in, lalu kembali ke kursinya di sisi tempat tidur dan memikirkan kejadian di pesta tadi. pria yang mencium paksa Hea-in tadi… yang diperkenalkan Tuan Kang sebagai calon investornya, apakah pria itu yang membuat wanita itu gelisah dan ketakutan sepanjang malam?

Dong-hae amat menyesal telah meninggalkan Hea-in, walau sebentar saja untuk mengambil minuman, karena membuatnya mengalami hal seperti tadi. pria brengsek itu! batin Dong-hae geram. Ingin rasanya ia memukul pria itu lebih dari yang dilakukannya tadi, tapi menenangkan Hea-in dan membawanya pergi dari sana lebih penting.

“…enghhh… tidak… jangan… jangan….”

Suara igauan Hea-in menyadarkan Dong-hae dari lamunannya. Segera dihampirinya wanita itu, dan menggenggam tangannya.

“Tenanglah. Tidak terjadi apa-apa. aku di sini,” bisik Dong-hae lembut menenangkan. Dan seketika, Hea-in memang menjadi lebih tenang. “Tidurlah. Aku menjagamu.”



Seminggu kemudian…



- Incheon Airport -   

Seo-min berjalan menuju pintu keluar setelah mengambil kopernya. Setelah pesta ulangtahun ayahnya, Seo-min pulang ke Amerika selama beberapa hari atas desakan ibunya yang rindu padanya.

“Kenapa lama sekali baru menerima teleponku?” gerutu Seo-min pada Sung-min melalui ponsel sambil masuk ke dalam taksi.

“Aku tidak dengar,” jawab Sung-min apa adanya. “Ada apa memangnya?”

“Kau di mana?” Seo-min balik bertanya.

“Di kantor—“

“Kalau begitu aku ke sana. Kau tidak sibuk, kan?”

“Hanya latihan biasa. Sebenarnya ada keperluan apa kau mencariku?” desak Sung-min gemas karena sejak tadi pertanyaannya diabaikan gadis itu.

“Kenapa? Sepertinya kau tidak senang sekali akan bertemu denganku?”

Sung-min mendesah. “Terserah kau saja.”

“Aku mau mengantar novelku yang ingin kau pinjam waktu itu,” kata Seo-min. “Sebelum aku kembali berubah pikiran, sebaiknya kuantar sekarang saja.”

“Oh, begitu. Baiklah, akan kutunggu,” komentar Sung-min. “Eh, tapi kudengar kau sedang di Amerika?”

“Baru saja aku sampai di Korea. Sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju Seoul.”

“Telepon saja aku begitu kau sampai. Ah, aku harus kembali berlatih. Sampai jumpa nanti.”



- SM Entertainment -    

“Ya, aku sudah menunggu di loby. Masuk saja,” kata Sung-min pada Seo-min lewat ponselnya.    

“Kak Sung-min!”

“Ya Tuhan, kau mengejutkanku!” keluh Sung-min, membuat Sunny tertawa geli. “aku tidak tahu kau ada di kantor. Bahkan aku tidak tahu kau ada di Korea.”

“Semalam kami pulang,” kata Sunny ceria, memaksudkan dirinya dan grupnya, SNSD. “Ah… aku rindu Korea… aku juga rindu kakak…” katanya manja sambil bergelayut di lengan Sung-min.

Pria itu hanya tertawa menanggapi tingkah Sunny sembari menepuk-nepuk pelan kepala gadis itu.

“Akhir pekan nanti kau sibuk atau tidak?” tanya Sunny.

“Kenapa? Mau mengajakku kencan?” goda Sung-min.

Sunny tersenyum lebar. “Ya! Aku sudah lama tidak mendapat hari libur untuk bersantai. Temani aku. Ya, ya, ya?” bujuknya manja.

“Erhm.”

Mendengar suara dehaman itu membuat Sung-min dan Sunny sama-sama menoleh, dan menatap ekspresi tak bershabat Seo-min.

“Ah, kau,” ucap Sung-min. “Oh ya, perkenalkan, ini Sunny. Sunny, ini Kang Seo-min, putri Tuan Kang Ha-jong dari KK Entertainment. Dia juga yang membuat naskah film Disaster Love.”

“Oh, senang berkenalan denganmu,” sapa Sunny ramah.

“Ya,” sahut Seo-min seadanya. “Bisa kita bicara?” tanyanya pada Sung-min.

“Eh…” dengan ragu Sung-min melirik Sunny.

“Silakan kalian bicara saja, aku mau menemui Tuan Kim,” kata Sunny ramah. “Kak, jangan lupa akhir pekan nanti!”

“Ya,” sahut Sung-min sembari tersenyum.

“Ada apa akhir pekan nanti memangnya?” selidik Seo-min.

“Mana bukunya?” sung-min balik bertanya.

“Kau tidak menjawab pertanyaanku.”

“Itu urusanku dan Sunny. Tidak ada sangkut pautnya denganmu,” komentar sung-min tenang.

“Kau mau berkencan dengannya?” tebak Seo-min sambil melipat tangan di depan dada. “Kalian memiliki hubungan?”

“Kenapa kau begitu penasaran?” tanya Sung-min. “Kau juga sedikit kasar padanya saat berkenalan tadi. kenapa? Kau seperti istri yang cemburuan saja,” ejeknya.

Wajah Seo-min memerah malu. “Cih… cemburu? Aku? Padamu? Kau gila karena terlalu banyak latihan, ya!?” omelnya. Cepat-cepat dikeluarkannya novelnya dari dalam tas dan menyorongkannya ke dada Sung-min. “Ambil ini. aku pergi.”

“Begitu saja?”

“Memangnya apa lagi?” balas Seo-min. tiba-tiba ia menyeringai. “Kenapa? Ingin aku tinggal lebih lama? Kau seperti suami yang rindu pada istrinya saja,” tambahnya dengan sengaja membalas ejekan sung-min.

Sung-min mendengus, lalu tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Hati-hati,” pesannya pada Seo-min yang telah berjalan menjauh.



Sementara itu, di parkiran gedung SM Entertainment, Hea-in duduk seorang diri dalam mobilnya, memandangi jas milik Dong-hae di tangannya.

Selama seminggu ini ia tidak pulang ke rumah, dan memilih menyepi ke vila milik keluarga Kang. Dan memanggil psikiaternya untuk menemuinya di sana. Bertemu dan dilecehkan sekali lagi oleh Hong Jin-mo terlalu berat untuk ditanggungnya.

Tetapi Dong-hae menjaga, menenangkan, dan mendukungnya… bahkan selama seminggu mereka tidak bertemu ini, pria itu terus meluangkan waktu untuk menelepon dan menanyakan keadaannya. Segala perhatian Dong-hae itu amat berarti bagi Hea-in. membantunya melewati keterpurukannya…

Baru saja Hea-in akan keluar dari mobil, dilihatnya Seo-min keluar dari gedung SM Entertainment dan masuk ke dalam taksi. Apa yang dilakukannya di sini? pikir Hea-in. bukan bertemu dengan Dong-hae, kan?

Kecurigaan itu seketika sirna, ketika melihat mobil Dong-hae baru saja melintas di hadapannya, dan parkir di seberang mobil Hea-in. tersenyum, Hea-in bergerak membuka pintu mobilnya, namun gerakannya terhenti ketika melihat Dong-hae membukakan pintu penumpang dan keluarlah seorang gadis. Awalnya tak jelas, namun akhirnya Hea-in mengenali siapa gadis itu. Park Dae-jia. Member Aquamarine, yang juga istri Choi Si-won. Kenapa dia bersama Dong-hae? batin Hea-in bertanya-tanya.

Rasa cemburu Hea-in makin tersulut ketika Dong-hae tersenyum pada Park Dae-jia lalu berjalan memasuki gedung SM Entertainment sambil merangkulnya. Hea-in tahu Dong-hae dan Dae-jia hanya bersahabat, tapi tetap saja…

Bergegas keluar dari mobil, Hea-in menyerukan nama Dong-hae, menghentikan langkah pria itu.

“Hea-in?” ucap Dong-hae terkejut.

“Aku masuk duluan. Terima kasih sudah meneraktirku makan siang,” kata Dae-jia, tak ingin mengganggu.

“Oh, ya. Kapan-kapan kau yang harus meneraktirku.”   

“Tentu. Terima kasih juga sudah bersedia mendengar curhatanku,” tambahnya sambil tersenyum sebelum berbalik dan masuk ke kantor.

“Apa kabarmu? Kupikir kau masih belum kembali ke Seoul,” Dong-hae menyapa Hea-in, sambil mengamati penampilan wanita itu. Nampak jelas Hea-in kehilangan beberapa kilogram berat badannya.

Hea-in mendekat sembari tersenyum tipis. “Cukup baik sekarang. terima kasih untukmu.”

“Aku tidak melakukan apa-apa,” elak Dong-hae. “Tapi syukurlah bila kau sudah lebih baik sekarang.”

“Ini, aku mau mengembalikan jasmu,” kata Hea-in, menyodorkan benda itu pada pemiliknya. “Terima kasih… untuk malam itu… dan juga karena menepati janjimu untuk tidak memberitahu ayahku apa yang terjadi.”

“Aku masih tidak mengerti mengapa kau memilih merahasiakan ini darinya. Pria itu sudah berbuat tidak senonoh padamu. Seharusnya ayahmu mengetahuinya—“

“Tidak. Aku tidak mau memperpanjang masalah ini dan membuatku terus teringat pada kejadian itu. aku ingin melupakannya saja.”

Dong-hae mengehela napas. “Bila itu maumu,” katanya mengalah.

“Yang tadi… Park Dae-jia, kan?” tanya Hea-in.

“Ya. Kami baru saja kembali sehabis makan siang. Kenapa?”

“Kalian kelihatan sangat akrab.”

“Dia sudah seperti adik bagiku.”

Hea-in menatap langsung ke mata Dong-hae. “Aku cemburu,” katanya terus terang.

“Eh?” Dong-hae terkejut dan tak tahu harus berkomentar apa dengan keterus terangan Hea-in.

Tanpa kata, Hea-in maju selangkah untuk lebih dekat dengan Dong-hae, dan memeluk pria itu. disandarkannya kepalanya di dada Dong-hae.

“Aku menyukaimu… benar-benar menyukaimu…” ucap Hea-in tulus. Kini ia sadar, bahwa yang dirasakannya pada pria itu bukan lagi sekedar untuk main-main dan menyakiti Hyun-in. semakin ia mengenal Dong-hae, semakin dalam ia menyukai pria itu. cinta, kasih sayang, dan perhatian Dong-hae, kini ia haus akan segala hal itu. ia membutuhkan Dong-hae. lebih dari apapun yang pernah diinginkannya. “Jangan tinggalkan aku. Tetaplah disisiku. Kumohon.”

“Hea-in…”



To Be Continued...

By Destira ~Admin Park~

1 komentar:

  1. kyaaaa...
    akhirnya kelanjutan fanfic yg aq tunggu2 muncul juga

    hubungan hea-in dan donghae bikin gemes walaupun pd permulaan aq benci bgtz ama hea in. tapi sekarg aq smpati ama dia

    hubungan seo-min ama sungmin bikin gregretan. seomin udh ketahuan naksir sungmin tapi sungmin gimana ea perasaanya???

    hubungan hyun-in dan kyuhyun semakin hri makin hot.
    wkwkkwkkwkwkwkwk

    BalasHapus