Selasa, 06 Desember 2011

Is This Love -Chap 10 & Epilog- (ENDING)

Chapter 10




-Mobil Taec-yeon-

Taec-yeon mencengkeram kuat kemudi mobilnya ketika terbayang kembali apa yang baru saja terjadi.


“Aku mencintaimu Hea-in!”

Selama beberapa detik gadis itu tampak tercengang, namun setelah membisu beberapa saat Hea-in berhasil mengembalikan ekspresi marah dan kesal di wajahnya. “Apa ini bagian dari perma—“

“Ya sudah kalau kau tak percaya!” bentak Taec-yeon membuat Hea-in tersentak kaget. Pria itu tampak benar-benar berang. Butuh keberanian besar bagi Taec-yeon untuk mengungkap isi hatinya, hingga ketidakpercayaan Hea-in membuatnya tak bisa menahan amarah. Ia pun pergi meninggalkan Hea-in yang hanya bisa membisu menatap punggung Taec-yeon hingga menghilang di balik tembok rumah sakit.


“Baiklah, aku akan melakukan apa yang kau inginkan,” gumam Taec-yeon setelah tersadar dari lamunannya. Ia menghidupkan mesin mobilnya dan melaju cepat menuju kediaman orang tuanya.



-Seoul Medical Centre-

Menyesal. Kata itu yang kini terukir dalam benak Hea-in. Ia tak menyangka Taec-yeon akan semarah itu. Ia hanya ingin memastikan bahwa apa yang dikatakan pria itu adalah yang sebenarnya, bukan lagi permainan seperti yang ia katakan dulu. Tapi karena perbuatannya, kini kesempatan untuk bisa bersama dengan pria itu menjadi lebih kecil. Taec-yeon marah padanya dan mungkin pria itu tak akan pernah peduli lagi pada dirinya. Kenapa ia pergi begitu saja, tanpa memberi kesempatan padaku untuk menjelaskan, pikir Hea-in pilu.

“Nona Kang, Dokter Yoon ingin bertemu dengan anda,” lapor seorang perawat menyadarkan Hea-in dari lamunannya.

“Ah...iya,” sambut Hea-in sembari mengangguk.



Sementara itu, Ah-ra yang kini berada di ruangannya tampak sangat syok. Rasa hampa menyelimuti hatinya ketika mendengar pernyataan Taec-yeon pada Hea-in tadi. Ia tak mengerti perasaan apa yang kini ia rasakan. Melihat pria yang pernah ia cintai menyatakan cintanya pada gadis lain di depan matanya, tentu saja membuatnya merasa terganggu. Namun, perasaan bahwa dirinya sudah bukan lagi orang yang pantas marah dan mengekang Taec-yeon juga menyelusup ke dalam kalbunya. Ia bukan lagi milikku, batin Ah-ra sendu. Ah-ra melipat tangannya di atas meja dan menopangkan kepalanya di atasnya. Air matanya jatuh, ia harus merelakannya walaupun rasanya benar-benar menyakitkan.

Tok...tok...tok!! suara pintu diketuk. Ah-ra mengangkat kepalanya, “Masuklah!”

Hea-in masuk ke dalam ruangan Ah-ra. “Dokter memanggil saya?”

Ah-ra mengangguk, “ya, silakan duduk Nona Kang.”

“Terima kasih,” Hea-in duduk di depan meja Ah-ra, “Apakah terjadi sesuatu pada adik saya?”

“Tidak, saya justru ingin menginformasikan bahwa keadaan adik anda sudah lebih baik sekarang. Kalau keadaannya bertahan hingga besok pagi, ia sudah bisa kembali ke ruang perawatan,” jawab Ah-ra sembari memaksakan diri untuk tersenyum. Tak bisa ia sangkal, bahwa wanita yang kini duduk di depannya adalah orang yang saat ini dicintai Taec-yeon.

Hea-in mendesah lega, “Syukurlah,” gumamnya. “Apa ada yang lain Dokter?”

Ah-ra menggeleng, “Tidak ada, cuma itu saja.”

“Kalau begitu, saya permisi dulu,” Hea-in beranjak dari kursinya.

“Ah...tunggu Nona Kang!” tiba-tiba Ah-ra berdiri, “Saya ucapkan selamat untuk Anda!”

Bingung, Hea-in menatap Ah-ra dengan pandangan bertanya-tanya, “M-maksud Dokter?”

“Taec-yeon pria yang baik,” Ah-ra berkata tanpa menjawab pertanyaan Hea-in, “dia akan melakukan apapun untuk gadis yang dicintainya. Kau sungguh beruntung Nona Kang.”

“Tapi Dok—“

“Dokter,” seorang perawat masuk menyela perkataan Hea-in, “Dokter Ahn mencarimu.”



-Kediaman keluarga Ok-

“APA?!” Tuan Ok melempar surat kabar yang dibacanya ke atas meja. Taec-yeon telah menceritakan semuanya padanya, tentang kesalahpahaman mereka selama ini, berikut alasannya ke rumah sakit malam itu yang berhubungan dengan Yoon Ah-ra. “Jadi, karena gadis itu, kau...”

Taec-yeon menunduk, “Maaf Ayah.”

“Apa kau menjalin hubungan kembali dengan gadis itu?”

“Tidak,” Taec-yeon menggeleng, “tidak Ayah...aku dan Ah-ra tidak menjalin hubungan apapun.”

“Apa aku bisa mempercayai kata-katamu?”

“Tentu saja Taec-yeon dan gadis itu tidak menjalin hubungan lagi,” Nyonya Im datang dan menimpali.

“Apa maksudmu? Aku bertanya pada Taec-yeon bukan padamu.”

Nyonya Im duduk di samping Tuan Ok, “Astaga, suamiku! Kenapa kau berkata ketus begitu padaku?” protes Nyonya Im sembari memperbaiki kaos yang dipakai Tuan Ok, “aku berkata yang sebenarnya, karena kemarin aku bertemu dengan gadis itu di Mall dan dia sedang bersama dengan seorang pria,” tambahnya untuk meyakinkan Tuan Ok.

“Ibu...bertemu dengan Ah-ra?” tanya Taec-yeon tak percaya.

“Hmm...ia tampak bersenang-senang dengan pria itu,” komentar Nyonya Im acuh tak acuh.

Tuan Ok mendesah lega, “Syukurlah kau tidak menjalin hubungan dengan putri pembunuh itu lagi.”

“Ayah!” protes Taec-yeon, “berhenti menyalahkan Ayah Ah-ra atas kematian kakak.”

“Hya!” Nyonya Im meletakkan cangkir teh-nya dengan kasar hingga menimbulkan bunyi berdenting, “kenapa kau membela pembunuh itu?”

“Ibu! Dokter Yoon bukan pembunuh, dia sudah berusaha menolong kakak, tapi Tuhan berkehendak lain,” bantah Taec-yeon.

“Ahh...sudah...sudah,” sergah Tuan Ok, “membicarakan hal ini membuat sakit kepalaku kambuh lagi.” Tuan Ok beranjak meninggalkan anak dan istrinya di ruang keluarga dan menuju ke kamarnya.

“Putraku,” Nyonya Im berpindah tempat di sebelah Taec-yeon, “kau tadi bilang kalau kau dan gadis desa itu tidak ada hubungan apa-apa bukan?”

“Dia punya nama Bu, jangan sebut dia gadis desa lagi,” tegas Taec-yeon.

Nyonya Im melambaikan tangannya seolah sedang mengusir nyamuk, “Aku tak peduli,” sergahnya, “yang penting aku senang mendengar kau sebenarnya tidak berhubungan dengan gadis de—“

“Namanya Kang Hea-in!” sela Taec-yeon, membuat Nyonya Im mendelik sewot.

“Hah...terserahlah!” sergah Nyonya Im tak sabar, Nyonya Im mendekatkan kepalanya pada Taec-yeon, “karena kau tak jadi menikah dengan wanita itu...bagaimana kalau kau mengikuti keinginan Ibumu ini untuk menghadiri kencan buta dengan Hye-jin, putri menteri Jang, heh?” tawarnya.

“Ah...Ibu,” Taec-yeon beranjak dari kursinya, “sampai kapan kau akan berhenti melakukan hal ini?”

“Sampai kau menuruti kemauan Ibumu ini!” teriak Nyonya Im, kesal.



-Seoul Medical Centre-

Hea-in keluar dari ruang ICU untuk sejenak menemani adiknya dan melihat keadaannya. Ia berharap apa yang dikatakan oleh dokter Yoon kemarin, tentang kondisi adiknya benar-benar terjadi. Ketika akan membeli minuman kaleng dari mesin minuman, ia berpapasan dengan Song Seung-hun. “Apa kabar Nona Hea-in?” sapanya.

Hea-in tersenyum ramah, “Baik Tuan Song.”

“Maaf, aku baru menjenguk ke mari setelah sekian lama,” ungkap Seung-hun setelah mereka berdua duduk di salah satu kursi di depan ruang ICU.

“Tidak apa-apa.”

“Bagaimana adikmu? Aku khawatir sekali karena kau sampai tak masuk kerja.”

“Dokter bilang, adikku sudah baikan...kalau kondisinya stabil ia akan dipindah ke ruang perawatan secepatnya.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Hmmm...” Hea-in mengangguk sembari menyesap kopi kalengnya.

“Kau pasti lelah,” tukas Seung-hun khawatir.

“Ini sudah tanggung jawabku sebagai kakak,” gadis itu menerawang ke arah kaca di mana adiknya berada, “Ah...bagaimana keadaan di kantor? Aku merasa tak nyaman karena membolos selama beberapa hari ini.”

“Di kantor baik-baik saja.”

“Mudah-mudahan keadaan Hyo-jin cepat membaik dan ujian sekolah adik keduaku cepat selesai hingga aku bisa kembali bekerja lagi,” harap Hea-in.

“Adikmu pasti akan membaik, bersabarlah! Tak perlu pikirkan pekerjaan dulu,” Seung-hun menepuk pundak Hea-in penuh perhatian.

“Terima kasih Tuan Song,” sambut Hea-in tulus.



Di luar rumah sakit, Ah-ra baru saja keluar ketika melihat Jung-soo tengah menunggu dirinya sembari bersandar di mobil Hyundai hitamnya. Pria itu melambaikan tangan ke arahnya sembari menyunggingkan senyum menyambut kedatangan Ah-ra. “Sudah lama?” sapa Ah-ra.

“Hmm...kurang lebih dua puluh menit yang lalu,” sahut Jung-soo sambil melihat ke arah jam tangannya.

“Kenapa kau tidak bilang kalau kau sudah datang?”

“Aku tak ingin mengganggumu,” Jung-soo membukakan pintu mobilnya, “kita pergi sekarang?”

“Sebenarnya, apa hal penting yang ingin kau bicarakan sampai-sampai tak mau kau ungkapkan melalui telepon?” selidik Ah-ra.

“Nanti saja kujelaskan ketika kita sampai di restoran,” Jung-soo mengedipkan sebelah matanya membuat Ah-ra tersenyum geli.

“Hmm...kau suka bermain teka-teki rupanya,” Ah-ra menurut dan masuk ke mobil Jung-soo, mereka berdua pun melaju ke sebuah restoran untuk makan malam bersama.



-Imperial Hotel and Resto-

Taec-yeon melangkah dengan enggan menyusuri lobby hotel Imperial, Hotel bergaya Eropa klasik itu tampak megah dan mewah dengan gading sebagai warna dominan. Malam ini ia menuruti kemauan ibunya untuk menghadiri kencan buta dengan wanita yang selalu digadang-gadangkan ibunya adalah wanita terbaik untuk menjadi pendampingnya. Jang Hye-jin adalah putri seorang menteri ekonomi yang ayahnya juga seorang pengusaha kaya. Sebenarnya, Taec-yeon jengah harus menuruti kemauan Ibunya itu, tetapi apa daya ia tak memiliki alasan lagi untuk mengelak. Toh hanya mencoba, kalau tidak cocok, ia tak akan mau meneruskan, begitu pikirnya.

Setelah mencapai lantai 15, Taec-yeon memasuki pintu restoran dan langsung menuju ke meja bernomor 11 yang sudah direservasi atas namanya oleh ibunya. Begitu sampai di meja itu, ternyata seorang wanita cantik memakai gaun topless berwarna hitam tengah menunggunya. Gadis itu menyunggingkan senyum menggoda pada Taec-yeon, “Selamat malam Tuan Ok,” sapanya dengan nada lembut mendayu-dayu.

Taec-yeon memaksakan  diri untuk membalas senyum wanita itu, tetapi tetap terasa hambar, “Malam.”

“Silakan duduk!”

“Terima kasih.”

Setelah memesan makanan, mereka memulai pembicaraan, “Kau pasti tidak suka dengan ide perjodohan ini,” mulai Jang Hye-jin.

“Ya,” aku Taec-yeon terus terang, “kurasa tak ada gunanya aku berbelit-belit.”

“Aku suka pria yang jujur dan apa adanya.”

Taec-yeon tersenyum kaku, “Aku tidak kaget, karena memang banyak wanita yang menyukaiku,” sombongnya.

“Oh...benarkah? Menyenangkan sekali,” balas Hye-jin sembari tersenyum.

“Sebaiknya kita langsung saja, tujuan kita melaksanakan kencan buta adalah untuk mengetahui pribadi masing-masing,” kata Taec-yeon tenang, “kau mulai saja perkenalkan dirimu.”

“Baiklah,” sahut wanita itu sambil terus menatap Taec-yeon dengan tatapan memuja, “Kurasa kau sudah tau namaku Jang Hye-jin, alumni Universitas de Marne-la-Vallée di Paris untuk jurusan Mode, hobi-ku menari balet dan bermain piano, makanan kesukaanku Croque monsieur, saat ini aku sedang menjalankan bisnis mode di perusahaan Ayahku. Apakah itu cukup?”

“Hmm...” Taec-yeon mengangguk-angguk, “sekarang giliranku, namaku Ok Taec-yeon, alumni Kyung-hee jurusan Administrasi Bisnis, hobi-ku—“

“bermain ski, mendengarkan musik dan memasak, makanan kesukaan tidak ada makanan yang tidak disukai, dan kegiatanmu saat ini adalah menjalankan perusahaan roti milik Ayahmu,” Hye-jin menyela kata-kata Taec-yeon, membuat pria itu tercengang.

“Bagaimana kau bisa tau?”

Hye-jin tersenyum puas, “Aku sudah mempelajari semua informasi tentangmu sebelum kita bertemu,” komentarnya santai, “Apa semua itu benar?”

Taec-yeon mengangkat salah satu sudut bibirnya, “kalau begitu, kurasa pertemuan ini tidak ada gunanya lagi, karena kau sepertinya sudah mengetahui tentang aku,” Taec-yeon beranjak dari kursinya.

“Tunggu Tuan Ok,” tahan gadis itu, “masih banyak lagi yang belum kuketahui tentangmu!...dan...kurasa...kurasa...kau juga belum banyak tau tentangku,” gadis itu tampak gelisah, mengetahui pria buruannya sama sekali tak tertarik padanya.

“Aku tidak tertarik,” sergah Taec-yeon.

“Apa kau selalu bersikap tidak sopan begitu terhadap wanita?”

Taec-yeon menghentikan langkahnya, lalu berputar menghadap Hye-jin yang juga sudah berdiri dari kursinya, “Ya, aku memang begini. Kenapa? Kau tidak suka?” Taec-yeon balas bertanya, “dan...asal kau tau, masih banyak lagi kelakuanku yang mungkin membuatmu—“

“Aku tidak keberatan!” selanya.

“Aku permisi!” Taec-yeon berjalan meninggalkan wanita itu yang kini geram atas sikap Taec-yeon karena dirinya belum pernah ditolak oleh pria manapun sebelumnya.

Saat Taec-yeon melewati sebuah meja, ia melihat sepasang pria dan wanita yang sangat ia kenali, Yoon Ah-ra dan Park Jung-soo. Sebenarnya Ah-ra sudah sejak tadi melihat kehadiran Taec-yeon di sana, dan sempat terkejut karena pria itu bukannya bersama Kang Hea-in, wanita yang ia ketahui dicintai Taec-yeon. Ah-ra menyunggingkan senyum membalas senyuman Taec-yeon, ketika mereka bertemu pandang. “Malam,” sapa Taec-yeon sopan pada Ah-ra dan Jung-soo.

Jung-soo yang mengetahui Taec-yeon adalah mantan kekasih Ah-ra dan mungkin saja gadis itu masih mencintainya, mulai merasa tak nyaman. “Malam,” balas Ah-ra, “Kupikir kau bersama Nona Kang.”

Wajah Taec-yeon berubah murung ketika mendengar nama Hea-in disebut, “Tidak,” balasnya datar.

“Maaf, tanpa sengaja...kemarin aku mendengar kau—“

“Ia tak mempercayaiku,” sela Taec-yeon muram. Ah-ra mengerutkan kening, “Bagaimana keadaan adiknya?”

“Adiknya sudah membaik, dan mungkin sebentar lagi sudah bisa dipindah ke ruang perawatan.” Jung-soo yang tampaknya tak mengerti pembicaraan mereka, hanya mendengarkan dengan cermat.

“Syukurlah,” Taec-yeon tersenyum kaku, “aku tidak ingin mengganggu acara kalian...aku ucapkan selamat,” kata Taec-yeon tulus lalu mulai melangkah lagi.

“Tunggu!” tahan Ah-ra, Taec-yeon menghentikan langkahnya, “Tadi, aku melihat Nona Kang bersama seorang pria.”

Seketika Taec-yeon berputar menghadap Ah-ra, “Pria?”

Ah-ra mengangguk, “Ya,” jawabnya membuat Taec-yeon mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Lalu tanpa berkomentar lagi ia segera pergi dari tempat itu dengan marah.

“Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?” tanya Jung-soo yang sedari tadi hanya diam.

Ah-ra tersenyum, “Aku hanya ingin membantu Taec-yeon mendapatkan wanita yang dicintainya.”

“Kau baik sekali Ah-ra,” komentar Jung-soo tulus, “apa kau tak merasa sakit?”

“Tidak,” dustanya, “karena aku memilikimu di sampingku, bagaimana aku bisa merasa sakit?”

Jung-soo menggenggam tangan Ah-ra yang kini berada di atas meja, “Kau bisa mengandalkanku,” katanya sembari tersenyum menenangkan, “Bagaimana? Apa kau sudah memutuskan untuk besok?” tadi ia mengajak Ah-ra untuk berlibur bersama di pantai Daecheon.

Ah-ra mengangguk mantap, “Ya, kurasa aku bisa...selama tidak ada panggilan mendadak dari pihak rumah sakit.”


“Semoga saja,” harap Jung-soo, ia tak bisa menghilangkan senyum yang kini tersungging di bibirnya.



-Seoul Medical Centre-

Hea-in tengah mengantre di depan Farmasi menunggu pesanan obat untuk Hyo-jin. Pagi tadi Hyo-jin sudah dipindahkan ke kamar perawatan dan itu artinya keadaan adiknya sudah melewati masa-masa kritis. Ia benar-benar bersyukur, atas semua itu dan berharap adiknya tidak mengalaminya lagi. Ketika ia sedang asyik memperhatikan orang yang lalu-lalang di depannya, ia menangkap sosok Ok Taec-yeon tengah berdiri di samping lorong, pria itu sedang memandanginya. Sontak jantung Hea-in berdetak kencang, kemarin ia telah mendengar kabar dari Seung-hun bahwa Taec-yeon telah menjelaskan kesalahpahaman antara dirinya dan Tuan Ok. Dan itu artinya, ia sudah bukan lagi calon istri Taec-yeon. Rasa kecewa menyelusup dalam hatinya.

Taec-yeon mendekat ke arah Hea-in, ekspresi wajahnya tak terbaca. Setelah semalaman bergejolak dengan informasi yang diberikan Ah-ra tentang seorang pria yang mengunjungi Hea-in berperang dengan harga dirinya yang seolah tercabik karena kejadian beberapa waktu lalu. Akhirnya ia berhasil mengalahkan egonya dan memilih untuk datang ke rumah sakit. Ketika jarak mereka sudah semakin dekat, Hea-in berdiri dari kursinya. Selama beberapa detik mereka berdiri dan saling berhadapan dalam diam. Baru saja Hea-in membuka mulutnya untuk bicara, Taec-yeon tiba-tiba menangkup pipi Hea-in dengan kedua tangannya dan menempelkan bibirnya pada bibir gadis itu dengan kecepatan yang luar biasa cepat membuat jantung Hea-in seakan ingin melompat keluar.

Seolah kehilangan keseimbangan karena lututnya melemas, Hea-in menopangkan tangannya di bahu Taec-yeon, sementara pria itu terus saja mengeksplorasi mulut Hea-in dengan lidahnya membuat bagian perutnya terasa seperti tergelitik. Selama beberapa saat Hea-in sama sekali tak membalas ciuman Taec-yeon, karena ia terlalu terkejut oleh ciuman Taec-yeon yang tiba-tiba itu. Begitu ia mulai merasakan harmoni gerakan lidah Taec-yeon, ia pun memejamkan mata dan mulai membalas ciuman pria itu. Namun, seolah ingin mempermainkan Hea-in, Taec-yeon justru menarik diri justru di saat Hea-in mulai menikmatinya.

Hea-in buru-buru membuka matanya dan berusaha untuk menjauhkan diri. Tapi dekapan pria itu sangat erat membuat Hea-in kesulitan bernafas. “Lepaskan!” Hea-in berhasil bicara. Merasakan sapuan nafas Taec-yeon yang hangat dan menggebu di bagian wajahnya membuatnya merasakan sensasi menyenangkan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pria itu beraroma rempah, sabun cukur khas pria bercampur keringat.

Ekspresi cinta tanpa kata Taec-yeon itu, membuatnya tak bisa mengelak lagi. Taec-yeon mendekatkan wajahnya pada wajah Hea-in yang menunduk, “Kau percaya sekarang?” gumamnya lirih.

“Lepaskan aku Taec-yeon, semua orang melihat kita!” sergah Hea-in, wajahnya mulai memerah karena malu.

Taec-yeon menyunggingkan senyum puas, “Aku tidak peduli, aku tak mau melepaskanmu lagi,” katanya lalu kembali mencium Hea-in dengan lebih dalam hingga gadis itu kembali terlarut dalam buaian dahsyat ciuman Taec-yeon. Kali ini, Hea-in tak malu-malu lagi membalas ciuman pria itu. Tangannya telah ia lingkarkan di leher Taec-yeon, sementara lengan Taec-yeon melingkari pinggang Hea-in. Berpuluh pasang mata menyaksikan mereka tapi sama sekali tak mereka pedulikan. Disela-sela ciumannya Taec-yeon bergumam lirih, “Aku mencintaimu.”



-Pantai Daecheon-

Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam, rombongan Jung-soo yang terdiri dari Shin-dong, Hee-chul, Ye-sung, Ah-ra, Seung-mi, kekasih Shin-dong Na-ri dan Jung-soo sendiri pun sampai di pantai Daecheon. Suasana di sana sangat ramai, bukan hanya orang lokal, turis-turis asing juga datang untuk bersenang-senang. Ada yang berendam di sebuah kubangan lumpur, bermain gulat sampai berseluncur di pantai.

“Waah...menyenangkan sekali di sini!” seru Seung-mi senang sembari menggandeng lengan Hee-chul. “Ayo Kak, kita jalan-jalan ke sana,” ajaknya pada Hee-chul seraya menunjuk ke arah pantai yang sedang mempertunjukkan parade Yacht, berbagai macam Yacht sedang melaju dan juga diparkir dengan anggun di tepi pantai.

Shin-dong memeluk kekasihnya, “Sayang, kita berendam yuk!” mereka pun berlalu ke ruang ganti pakaian dan mengganti pakaian mereka untuk berenang.

“Hya! Kenapa kalian berpencar sendiri-sendiri?” gerutu Ye-sung, ia sebenarnya sudah mengajak salah seorang sahabat dekatnya, tapi karena sahabatnya itu sedang sibuk jadi ia tak bisa ikut.

Jung-soo mencoba menengahi, “Hmm...bagaimana kalau kita ke kolam lumpur bersama-sama saja?” tawarnya. Ia menggamit lengan Ah-ra yang sedari tadi seolah terpesona menyaksikan pemandangan di depannya.

“Ayo!” setuju Hee-chul, berusaha melepaskan pegangan tangan Seung-mi.

“Kau pikir kau bisa lepas dariku?” ancam Seung-mi sembari melotot membuat Hee-chul mendesah pasrah.

Setelah merasa puas berendam di lumpur, Ah-ra membersihkan dirinya dan duduk di pinggir pantai menyaksikan orang-orang yang sedang sibuk melukis dengan lumpur. Jung-soo yang melihat Ah-ra, segera menghampirinya, “Kau senang?” ia menyodorkan sebuah jus dingin ke tangan Ah-ra.

Ah-ra menerima jus tomat itu dan tersenyum, “Ya,” sahutnya puas dan tetap menatap pada pelukis-pelukis itu sambil menyesap sedikit jus tomat di tangannya.

“Kau ingin mencobanya?” pertanyaan Jung-soo itu berhasil membuat Ah-ra mengalihkan perhatiannya.

“Kak Jung-soo,” panggil Ah-ra membuat Jung-soo terkejut. Baru kali ini Ah-ra menyebutnya Kakak.

“K-kak?”

Ah-ra tersenyum, “Kurasa, panggilan itu akan membuat kita lebih akrab.”

“Ah-ra?”

“Ya?”

Jung-soo berdeham singkat, “Untuk kesekian kalinya aku nyatakan,” ia berhenti sejenak, “Apa kau mau menerimaku sebagai kekasihmu?”

Ah-ra menyunggingkan senyum samar, lalu menarik lengan Jung-soo, “Ayo! Kita coba melukis juga,” katanya sembari mengedikkan bahu.



EPILOG


Dua Bulan kemudian....


-Kediaman keluarga Park-

Hea-in sedang sibuk membereskan barang-barang adiknya. Selama beberapa waktu ini, adiknya, Hyo-jin, tinggal di rumah Dae-jia dengan pertimbangan jarak yang lebih dekat dengan rumah sakit hingga memudahkan jika seandainya terjadi sesuatu. Dan kini, setelah dua bulan berlalu dan ia telah resmi menjadi Nyonya Ok Taec-yeon, suaminya sengaja membeli sebuah rumah—bukan apartement—sebagai hadiah pernikahan, karena Taec-yeon mengerti bahwa istrinya harus bertanggung jawab terhadap adik-adiknya yang masih kecil. Sehingga tak mungkin jika mereka semua harus tinggal bersama di sebuah apartement yang kecil dan halamannya terbatas.

“Hah...sayang sekali kalian harus pindah,” komentar Dae-jia sedih, “dan aku akan kesepian lagi sekarang.”

“Kau kan masih punya adik,” tukas Hea-in.

Dae-jia mencibir, “Adik? Dia bukan adikku.”

“Dae-jia, sebenci apapun kau pada Ibu gadis itu, dia tetaplah adikmu,” Hea-in mengingatkan, “bukankah kau dulu menginginkan seorang saudara?”

“Tapi bukan dengan cara seperti itu,” balas Dae-jia ketus, “Ah...sudahlah! aku tak mau membahasnya lagi,” sergahnya lalu mengangkat kardus berisi barang-barang Hyo-jin ke mobil Taec-yeon.

Hea-in hanya menggeleng-geleng heran, lalu membawa koper besar berisi pakaian Hyo-jin keluar, “Sini Kak!” Hyo-hee merebut koper itu dari tangan Hea-in dan menggeretnya ke arah bagasi.

Di luar, Taec-yeon sedang berbincang-bincang santai dengan Ji-hoon yang kebetulan saat itu sedang berkunjung.

“Kakak...kakak...!!” seru Hyun-jae menghampiri Hea-in, “benarkah kita akan tinggal di rumah baru?” tanyanya antusias.

Hea-in tersenyum pada adik kecilnya itu, “Tentu saja.”

“Kak, apa masih ada barang lain yang perlu dibawa?” tanya Hyo-hee setelah meletakkan koper di bagasi.

“Ada, kotak obat di laci dan beberapa barang lagi.”

Hyo-hee pun melangkah ke dalam kamar untuk mengambil barang-barang itu. Melihat keramaian di halaman rumahnya, Hae-bin, adik tiri Dae-jia, yang sedari tadi sedang berada di kamar menjadi penasaran dan turun untuk menyaksikan sendiri. Dengan ragu, ia menghampiri mereka, “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya lirih.

Hea-in yang sedang berbicara dengan adik kecilnya mengalihkan pandangan pada gadis yang baru saja datang itu, “Oh...sebenarnya kami—“

“Tidak ada,” sela Dae-jia ketus.

“Dae-jia?” tegur Hea-in.

“Ah...kalau begitu saya permisi dulu,” kata gadis itu lalu pergi meninggalkan mereka.

“Dae-jia, kenapa kau bersikap begitu?” Hea-in menghampiri adik sepupunya itu. Tapi Dae-jia tak menjawabnya dan tetap berusaha merapikan jaket Hyo-jin untuk menutupi bagian kulitnya agar tak terkena matahari ketika kursi rodanya didorong ke mobil.

“Dae-jia?” ulang Hea-in.

“Sudahlah Kak, aku tak ingin membicarakan masalah ini,” sahutnya lalu beranjak berdiri untuk mendorong kursi roda Hyo-jin dan membuka payung berwarna pink untuk melindungi Hyo-jin.

“Apa semua sudah beres?” Taec-yeon menghampiri istrinya dan melingkarkan lengannya di pinggang Hea-in.

Hea-in berpikir sejenak, “Kurasa...sudah.”

“Kalau begitu, ayo kita makan!” seru Taec-yeon.

Hea-in menepis tangan Taec-yeon di pinggangnya, “Makan?” tanyanya.

“Iya.”

“Bukankah kau bilang, kita akan langsung ke rumah baru?” protes Hea-in.

Taec-yeon tersenyum geli, “Kau masih suka marah rupanya,” ia mencubit hidung Hea-in membuat gadis itu mendelik sewot.

“Dasar kau!” gerutu Hea-in, “Ayo! Kita pergi sekarang, kasihan Hyo-jin kalau dia terlalu capek,” katanya lalu menggandeng lengan Taec-yeon dan menuju mobil.



Sedangkan Hae-bin yang kini sudah berada di kamarnya di lantai dua, merasa sedih. Sudah tiga bulan lebih ia tinggal di rumah besar itu, tapi ia tetap merasa kesepian. Ayahnya, Tuan Park selalu sibuk dengan pekerjaannya di kantor, sedangkan istrinya tentu saja masih belum bisa menerimanya. Seorang kakak yang ia harap bisa menjadi teman baginya, justru tak mau menerimanya dan selalu bersikap seolah-olah ia adalah sesuatu yang tak diinginkan di rumah itu. Ia meraih sebuah pigura kecil di nakas yang berisi foto seorang wanita cantik tengah tersenyum. “Ibu,” gumamnya, air mata mengalir membasahi kedua pipinya, “apa aku salah karena terlahir sebagai putrimu?” isaknya.

Dering ponsel Hae-bin membuatnya mengalihkan perhatian dari foto ibunya, ia meraih ponsel dan menghapus air mata yang menggenang di pipinya dengan punggung tangannya lalu memencet tombol jawab, “Halo!” sapanya pada sahabatnya Shin Yu-ri, “benarkah? Oh...Tuhan, syukurlah!” serunya senang ketika mendengar kabar yang disampaikan Yu-ri, “Ya, aku akan mengeceknya lagi, tentu.”



END

Tunggu Kisah Park Hae-bin dan Shin Yu-ri di FF selanjutnyaa....Semoga endingnya gak mengecewakan ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar