Selasa, 06 Desember 2011

S W I T C H -Chap 2-

Chapter 2




-Kediaman keluarga Park-

Hae-bin baru saja turun dari kamarnya di lantai dua. Hari Minggu ini, ia sudah berjanji akan berkunjung ke rumah sahabatnya, Shin Yu-ri. Sudah lama sekali ia tak berkunjung ke sana, tepatnya sejak ia pindah ke rumah barunya. Saat tiba di teras, ia melihat Pak Han—supir keluarga Park—tengah berdiri di sebelah mobil Ford hitam yang sudah bersih mengkilat dan sedang menunggunya turun. “Pagi Pak Han,” sapa Hae-bin sopan.

Pak Han segera membalas dengan membungkukkan badannya, “Apa Nona sudah siap?”

Hae-bin mengangguk, “Ya, tolong antar aku—“

“Antar aku ke tempat ini Pak Han!” potong Dae-jia yang secara tiba-tiba sudah muncul di belakang Hae-bin dengan menyodorkan secarik kertas berisi alamat sebuah publisher ternama ke arah supir mereka.

“Tapi Nona....” Pak Han tak dapat meneruskan kata-kata saat melihat ekspresi kesal di wajah Dae-jia.

“Kenapa? Apa sekarang aku sudah bukan Nona-mu lagi?” tuntut Dae-jia.

“Bukan begitu,” sergah Pak Han, bingung, “Bukankah Nona Dae-jia lebih suka bepergian sendiri selama ini? dan saya juga sudah menyiapkan—“

“Aku sedang malas menyetir,” potong Dae-jia dengan keangkuhan dibuat-buat. Lalu tanpa menunggu persetujuan lagi, ia langsung masuk ke mobil yang rencananya akan digunakan untuk mengantar Hae-bin itu.

“Nona, tapi Nona Hae-bin tak bisa menyetir,” tukas Pak Han mencoba untuk memberanikan diri karena merasa prihatin pada Hae-bin yang hanya bisa diam menyaksikan semua itu tanpa berkomentar apa-apa.

Dae-jia menurunkan kaca mobilnya lebar-lebar, “Apa peduliku? Bukankah selama ini dia biasa naik taksi, bus, atau semacamnya?” gumamnya cuek lalu menepuk jok supir yang berada di depannya, “Ayo cepat nanti aku terlambat ke publisher!”

Pak Han menatap Hae-bin yang tampak kecewa, tapi gadis itu mencoba untuk tersenyum, “Tidak apa Pak Han, Kak Dae-jia benar, aku bisa naik taksi,” katanya.

“Tuh, benar kan?” Dae-jia mengeluarkan dompetnya dari dalam tas lalu menengadah menatap Hae-bin, “apa kau butuh uang?” katanya sembari mengeluarkan beberapa ribu won dari dompetnya.

Hae-bin menggeleng, “Tidak, tidak perlu. Aku masih punya uang,” tolaknya halus tapi ia tak bisa menyembunyikan ekspresi tersinggung dari wajahnya.

“Baguslah kalau begitu,” Dae-jia mengembalikan lagi uang itu ke dalam dompetnya dan memasukkan dompetnya kembali ke dalam tas-nya. “Ayo Pak!” tambahnya saat Pak Han tak juga masuk ke dalam mobil.

“Ada apa ini?” tanya Tuan Park yang kebetulan saat itu akan pergi menemui kolega bisnisnya. “Kulihat kalian bertengkar.”

“Ayah,” Hae-bin bergumam, “tidak ada apa-apa, kok,” elaknya.

“Dae-jia, kenapa kau tak naik mobilmu sendiri?” Tuan Park menunjuk mobil mercedes benz SL65 berwarna pink milik Dae-jia yang memang sudah disiapkan oleh Pak Han tadi. “Kau kan tau adikmu tak bisa menyetir.”

Dae-jia yang merasa risih karena Ayahnya lebih membela Hae-bin daripada dirinya, keluar lagi dari mobil, “Aku tidak merasa memiliki adik!” gertak Dae-jia tegas.

“Dae-jia!” bentak Tuan Park, “jangan bertingkah seperti anak kecil.”


“Oh...ya, jadi sekarang Ayah lebih menyayangi anak ini daripada aku!” gerutu Dae-jia kesal.

“Bukan begitu maksud Ayah,” sergah Tuan Park, “Hae-bin sudah cukup menderita selama ini, apa kau—“

“Ayah pikir aku bahagia?” potong Dae-jia nanar, “kalau Ayah menganggap semua kemewahan dan harta yang Ayah berikan padaku selama ini adalah salah satu bentuk dari kasih sayang, Ayah salah!”

“Dae-jia—“

“Selama ini kau tak pernah memberiku kasih sayang. Kupikir, semua karena kesibukanmu mencari nafkah untuk keluarga ini. Tapi ternyata yang tak bisa kutolerir, kau memiliki kesenangan lain di luar rumah,” serang Dae-jia membuat Tuan Park marah dan mengangkat tangannya ke udara untuk menamparnya tapi segera diurungkan.

“Kenapa tak jadi? Tampar saja!” tantang Dae-jia perih, air mata yang sebelumnya telah menggenang di pelupuk matanya kini tumpah. Selama beberapa detik mereka semua diam.

“Ayo Hae-bin, biar Ayah yang mengantarmu,” tukas Tuan Park, memecah kesunyian.

Dae-jia mendengus keras, “Ya, urus saja putri kesayanganmu itu. Dan jangan pernah pedulikan aku!” jerit Dae-jia frustasi lalu menghampiri mobilnya sendiri yang diparkir tepat di depan mobil ford hitam yang tadi akan dinaikinya, lalu membanting pintu keras-keras dan melajukannya.

Tuan Park memandang kepergian putrinya itu dengan resah. Ia tak bermaksud menyakiti hati istri dan putrinya ketika membawa Hae-bin ke rumahnya. Ia hanya ingin menunjukkan penyesalannya setelah selama 19 tahun tak mempedulikan keberadaan Hae-bin dan membiarkannya menderita. “Pak Han, antar Hae-bin!” katanya pada Pak Han setelah terpaku selama beberapa saat. Tuan Park pun berbalik menuju mobilnya sendiri.

“Ayah!” panggil Hae-bin, menghentikan langkahnya dan kembali berputar menghadap putrinya itu. “Kalau kehadiranku di rumah ini membuat hubunganmu dan putrimu menjadi tidak harmonis...lebih baik aku pergi saja dari sini,” gumam Hae-bin sendu.

“Jangan pernah bicara begitu!” sergah Tuan Park lalu masuk ke dalam mobilnya tanpa menunggu sanggahan dari Hae-bin.



-Kediaman keluarga Shin-

“Mana Hae-bin, apa dia tak jadi berkunjung?” tanya Yoon-hee pada Yu-ri yang kini sedang bersantai di sebuah bangku kayu panjang dan lebar yang terletak di bawah pohon di halaman belakang rumah Yu-ri yang biasa mereka gunakan untuk bersantai.

Sambil membolak-balik daging yang sedang dipanggangnya Yu-ri menyahut, “Entahlah! Dia bilang akan datang, tapi sudah jam segini belum juga tiba,” gumam Yu-ri, “tidak biasanya dia terlambat!”

“Apa jangan-jangan terjadi sesuatu?” cetus Yoon-hee khawatir.

Yu-ri buru-buru mendongak, hal itu sama sekali tak terpikirkan olehnya. Ia segera meraih ponselnya dan buru-buru mendial nomor Hae-bin. “Hallo,” sapa Yu-ri tak sabar saat Hae-bin mengangkat teleponnya. “Kau di mana?”

“Aku sudah hampir sampai di rumahmu,” jawab Hae-bin dari seberang.

Yu-ri mendesah lega, “Hah...syukurlah! kupikir ada apa-apa denganmu. Karena tak biasanya kau datang terlambat.”

“Maaf, ada sesuatu hal yang harus kuurus sebelum kemari tadi,” Hae-bin beralasan.

“Ya, setidaknya kau memberi kabar padaku, agar tidak khawatir,” gerutu Yu-ri.

Terdengar suara Hae-bin tertawa, “Nanti saja kita lanjutkan mengobrolnya. Aku sudah di depan rumahmu sekarang.”

“Baiklah!” sahut Yu-ri lalu menutup sambungan teleponnya.

Setelah menunggu selama beberapa menit, akhirnya Hae-bin muncul juga. “Sudah lama kau tak berkunjung ke mari,” komentar Yoon-hee setelah mereka semua berkumpul di bangku.

“Ya, sepertinya dia lupa pada kita setelah menjadi orang kaya,” sindir Yu-ri.

Hae-bin tersenyum tipis, “Bukan begitu,” elaknya.

“Ngomong-ngomong, Yu-ri benar,” gumam Yoon-hee sembari memperhatikan Hae-bin dengan cermat, “kau terlihat semakin kurus.”

Hae-bin menagkupkan kedua tangannya di pipinya, “Benarkah?” katanya pura-pura terkejut, “berarti dietku berhasil.”

Yu-ri mendengus, “Kau sudah cukup langsing. Jangan buat tubuhmu menjadi semakin kurus dengan berdiet,” tukas Yu-ri, “lagi pula, aku tak percaya kalau kau sengaja berdiet. Aku yakin kau tak bahagia di rumah itu,” komentarnya.

Yoon-hee menyikut pinggang Yu-ri, memperingatkan, “Jangan dengarkan dia Hae-bin. Kau tau dia itu memang begitu.”

Hae-bin berusaha untuk tersenyum, “Tapi Yu-ri memang benar,” akunya sembari menerawang mengingat kejadian yang baru saja terjadi di rumahnya.

Yu-ri menjentikkan jarinya, “Tuh kan benar!” katanya, “ceritakan padaku apa yang mereka lakukan padamu!” desaknya. Hae-bin tak menjawab dan hanya menundukkan kepalanya, “Ayo! Ceritakan padaku Hae-bin!” ulang Yu-ri tak sabar.

Yoon-hee menyentuh pundak Yu-ri, “Sudahlah Yu-ri, kalau Hae-bin memang tak ingin bercerita. Kau jangan memaksanya.”

“Ibu tiri dan kakak tiri-ku belum bisa menerima keberadaanku,” mulai Hae-bin membuat Yu-ri dan Yoon-hee mengalihkan perhatian mereka pada Hae-bin. Hae-bin pun menceritakan semuanya mulai dari pertengkaran yang setiap saat selalu diperlihatkan oleh Ayah dan Ibu tirinya sampai pada penolakan kakak tirinya pada kakak beradik itu dengan sesekali menghapus air matanya yang tak kuasa untuk dibendung.

“Kenapa kau tak menceritakannya padaku sejak dulu?” tukas Yu-ri kesal, karena sahabatnya diperlakukan seperti itu. “Biarkan aku berkunjung ke rumahmu, dan aku akan membalas perlakuan kakak tirimu dan ibu tirimu itu,” gumam Yu-ri sembari mengepalkan tangannya.

“Tidak perlu Yu-ri,” sergah Hae-bin, “aku mengerti mengapa mereka bersikap begitu.”

“Apa maksudmu tidak perlu?” tuntut Yu-ri emosi, “mereka telah memperlakukanmu dengan tidak adil seperti itu, kau masih mau membela mereka? Kau terlalu baik Hae-bin!”

“Bukan begitu Yu-ri...kau tak akan pernah mengerti, karena kau tak pernah merasakan menjadi terbuang sepertiku,” gumam Hae-bin.

“Kau tidak pantas dibuang! Kau sama sekali tak berdosa,” bela Yu-ri, “aku tak suka kalau hanya gara-gara kesalahan orang tua-mu, kau menderita. Itu semua bukan salahmu Hae-bin!”

“Yu-ri!” Yoon-hee memperingatkan dengan menepuk bahu adiknya, “bagaimana kalau kau tinggal di sini saja Hae-bin?” saran Yoon-hee.

“Ya, benar! Kau tinggal bersama kami saja,” setuju Yu-ri antusias, “walaupun rumah kami tak sebesar rumah Ayahmu. Tapi aku yakin kau akan hidup bahagia di sini.”

Hae-bin menyunggingkan senyum tulus terhadap kepedulian sahabatnya itu, “Kau memang yang terbaik Yu-ri....tapi aku tidak bisa...”


-Asrama Kampus Sogang-

Sepulang dari rumah Yu-ri, Hae-bin menyempatkan diri untuk mengunjungi Soo-hyun di asramanya. Soo-hyun memilih tinggal di asrama yang disediakan oleh pihak kampus, dibandingkan tinggal bersama orang tua angkatnya. “Kau pasti belum makan,” gumam Hae-bin sembari meletakkan bungkusan berisi makanan di meja belajar Soo-hyun. Kamar berukuran 4x4 itu berisi dua kamar tidur dan sebuah kamar mandi. Di sudut terdapat meja komputer beserta laci-laci yang berisi buku dan perlengakapan kuliah milik Soo-hyun dan seorang temannya.

Soo-hyun meregangkan tubuhnya yang kaku karena seharian harus mengerjakan proposal untuk kegiatan memperingati ulang tahun universitas Sogang yang akan dilaksanakan bulan depan. “Terima kasih,” sahutnya singkat sembari menyandarkan punggungnya di kursi dan memejamkan mata.

“Soo-hyun,” panggil Hae-bin yang saat ini sedang memperhatikan buku-buku yang dipajang di rak.

“Hmm..” gumam Soo-hyun, tetap tak membuka matanya.

Hae-bin mengurungkan niatnya untuk bercerita, ketika melihat Soo-hyun sudah terlelap dengan posisi duduk di kursi. Ia lalu mengambilkan selimut yang terlipat rapi dari atas ranjang dan menyelimuti Soo-hyun. Sembari memperhatikan wajah tampan kekasihnya itu, Hae-bin mendesah dan bergumam pelan, “Kau jangan terlalu memaksakan diri, Soo-hyun.”



-Kampus Sogang-

Yu-ri sedang sibuk berselancar di internet sambil menunggu jam kuliah berikutnya. Tiba-tiba salah seorang temannya menghampirinya, “Yu-ri!” panggil temannya itu membuat Yu-ri menoleh. Ia memang baru seminggu berkuliah di kampus barunya. Tapi karena kepribadian Yu-ri yang hangat dan ceria, ia sudah memiliki banyak teman dalam waktu yang sesingkat itu.

“Ada apa?” tanya Yu-ri khawatir, ketika melihat temannya yang bernama Jung min-hee itu nampak murung, “apa sesuatu yang buruk terjadi padamu?”

Min-hee menunduk sembari meremas kuat kertas yang ada di tangannya. “Tolong bantu aku Yu-ri,” rengeknya.

Yu-ri mengalihkan perhatian dari wajah Min-hee ke kertas yang kini sudah mengkerut karena terlalu lama diremas, “Apa itu?” Yu-ri bertanya sembari menunjuk kertas di tangan Min-hee.

“Ini kertas pemberitahuan dari staf kampus yang menyatakan bahwa aku tak bisa mendapat keringanan, karena kemarin aku tak mengikuti acara orientasi yang diadakan selama tiga hari itu,” cerita Min-hee, “padahal saat itu aku tak bisa mengikuti acaranya karena aku harus menghadiri pemakaman Ibuku.”

“Lalu?”

“Aku baru akan mendapat keringanan, kalau aku bisa meminta ACC ke dekan.”

“Kalau begitu, minta saja,” gumam Yu-ri, “lagi pula kau punya alasan yang kuat hingga tak mengikuti acara itu.”

“Tapi sebelum aku menghadap dekan, aku harus meminta ACC pada presiden mahasiswa.”

“Lakukan saja, apa masalahnya?” kata Yu-ri enteng.

“Masalahnya adalah...” Min-hee mendesah sebelum melanjutkan kata-katanya, “aku dengar bahwa...presiden mahasiswa di sini sangat disiplin dan sangat sulit untuk diajak berkompromi,” ungkap Min-hee.

“Ah...memangnya si...” Yu-ri menghentikan kalimatnya ketika teringat bahwa yang menjabat sebagai presiden mahasiswa di kampusnya adalah Kim Soo-hyun. Ia tersenyum miris, “Ya, kau benar,” gumam Yu-ri sembari menerawang.

“Lalu aku harus bagaimana?” keluh Min-hee, “ayahku bukan orang kaya yang bisa membiayai kuliah di sini sepenuhnya.”

Yu-ri mendesah kesal, “Hah...baiklah, aku akan membantumu menghadap pria itu,” tukas Yu-ri. Ia memang tak suka jika teman-temannya diperlakukan tidak adil. “Ayo!” katanya seraya merapikan laptop dan peralatan lainnya.

“Kemana?”

“Kemana lagi? Bukankah kau ingin menemui pria angkuh itu!”

“Sekarang?” tanya Min-hee tak percaya.

“Memangnya kau mau menunggu berapa lama lagi? Sampai kita lulus?” Yu-ri balas bertanya.



Akhirnya mereka berdua pun menuju ke ruang senat, dimana Kim Soo-hyun kini berada dan tengah sibuk mengerjakan sesuatu di depan komputer. Yu-ri membuka pintu ruang senat dengan kasar, “Permisi!” ulangnya untuk yang kesekian kali karena tak segera disahuti.

Tanpa memandang siapa yang datang Soo-hyun bergumam, “Bukankah aku sudah bilang tak ingin diganggu.”

“Aku tidak pernah dengar kau bilang begitu!” balas Yu-ri sengit, membuat Soo-hyun akhirnya menoleh ke arah pintu.

“Kau? Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya sembari menguap, meregangkan tubuhnya lalu berdiri menghampiri Yu-ri dan Min-hee. “Di mana teman-temanku?” Soo-hyun melongokkan kepala-nya ke lorong untuk mencari teman-temannya.

“Hya! Aku ingin bicara denganmu,” tukas Yu-ri kesal karena merasa tak diperhatikan.

“Ada apa? kau melanggar peraturan lagi?” balas Soo-hyun acuh tak acuh lalu mengambil buku besar berisi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan mahasiswa dan meletakkannya di depan Yu-ri.

Yu-ri mendengus keras, sementara Min-hee mencengkeram erat lengan Yu-ri karena ketakutan, “Jangan takut, dia bukan monster!” gumam Yu-ri pelan tapi tentu saja masih didengar oleh Soo-hyun.

“Oh...ada perlu apa kau datang ke mari?” Soo-hyun duduk di kursi yang terletak di deretan meja panjang yang biasa digunakan untuk rapat senat.

Yu-ri menyerahkan kertas yang sudah diremas-remas itu ke tangan Soo-hyun. “Temanku membutuhkan bantuanmu,” katanya.

Soo-hyun mengerutkan keningnya ketika melihat kertas yang sudah hampir menjadi remahan itu, “Apa ini?”

Min-hee buru-buru mengambil kertas itu dan menyembunyikannya di saku-nya, “Ayo Yu-ri, sebaiknya kita pergi saja dari sini,” ajaknya gelisah.

“Kau ini bagaimana sih? Kau bilang meminta bantuanku? Kenapa sekarang kau mengajak pergi?”

“Hya! Sebenarnya apa yang ingin kalian bicarakan!” bentak Soo-hyun tak sabar, “kalau memang tidak ada yang penting, sebaiknya kalian keluar saja!”

“Ayo Yu-ri, kita keluar,” paksa Min-hee, menarik lengan Yu-ri.

Yu-ri melepaskan cengkeraman tangan Min-hee di lengannya, “Temanku ingin meminta keringanan pada pihak universitas, tapi karena ia tak mengikuti acara orientasi kemarin, ia dipersulit. Dan ia membutuhkan bantuanmu—“

“Yu-ri, kita pergi saja!” rengek Min-hee.

Soo-hyun berdiri dari kursinya, “Sepertinya temanmu sudah tak membutuhkan bantuanku lagi!” katanya lalu melenggang pergi meninggalkan ruangan itu.

Sial, batin Yu-ri kesal lalu menatap jengkel pada Min-hee.



Sementara itu, Hae-bin tengah tergesa-gesa menuju ke ruang kelas karena beberapa menit lagi kuliah akan dimulai. “Hae-bin, tunggu!” panggil Dong-hae yang mengekor di belakangnya.

“Kau telat juga kak?” tanya Hae-bin.

Dong-hae tersenyum, “Yah...sebenarnya aku ingin membolos,” aku Dong-hae, “tapi saat melihatmu melintas tadi, aku buru-buru mengurungkan niatku.”

Hae-bin tertawa geli, “Sebegitu bencinya kah kau pada profesor Mark, sampai-sampai tak ingin mengikuti kuliahnya?”

“Yah, bagaimana tidak kesal, kalau aku tak pernah diluluskan?” keluh Dong-hae pura-pura menampakkan wajah kesal. Hae-bin hanya membalas kata-kata Dong-hae dengan senyuman.

“Hei, kalian berdua!” panggil profesor Mark dari dalam kelas dengan logat bahasa Inggris yang fasih, “kalian mau mengikuti kuliahku atau tidak? Kalau tidak, tutup saja pintunya dari luar?” perintahnya saat melihat Hae-bin dan Dong-hae justru mengobrol di lorong di depan kelas mereka.

Mendengar itu, Hae-bin buru-buru mempercepat langkahnya menuju ke dalam kelas. Sementara Dong-hae mengekor di belakangnya dengan langkah santai.

Selama kurang lebih tiga puluh menit Hae-bin dengan serius mendengarkan penjelasan profesor Mark di depan kelas. Ia melirik Dong-hae yang duduk di sampingnya dan terkejut ketika melihat pria itu justru sedang asyik menggambar. “Kak? Kau tak mendengarkan?” gumam Hae-bin lirih.

Dong-hae mengalihkan perhatiannya dari buku ke gadis cantik di sebelahnya, “Aku tak mengerti apa yang dia katakan.”

“Kau akan semakin tidak mengerti kalau tidak mendengarkan.”

“Ah...aku tidak peduli,” sergah Dong-hae, “kau lihatlah sendiri, cara bicaranya sangat cepat dan menggunakan bahasa Inggris dalam menjelaskan, bagaimana kita bisa mengerti?” keluh Dong-hae, “kalau pun dia menggunakan bahasa Korea, logat inggrisnya membuat kata-katanya tidak jelas di telingaku.”

“Mr. Lee!” panggil profesor Mark ketika memergoki Dong-hae dan Hae-bin mengobrol sendiri.

Dong-hae buru-buru menegakkan kepalanya, “Ya Profesor.”

“Tolong jawab soal yang ada di papan tulis,” perintahnya sembari menunjuk sebuah kalimat pasif yang susunannya masih berantakan di papan tulis. Karena tak mendengarkan penjelasan profesor Mark tadi, ia sama sekali tak mengerti apa yang harus dilakukan. Dong-hae menyikut lengan Hae-bin agar membantunya. “Ayo jawab! Apa kau tak mendengarkan penjelasanku lagi?” ulang profesor Mark.

“eh...anu...aku...”

“Keluarkan kertas masing-masing, kita post test!” perintah Profesor Mark membuat suasana kelas menjadi gaduh.

Dong-hae mendesah kesal, “Hah...kau lihatkan? Dia sepertinya membenciku?” gumam Dong-hae pada Hae-bin.

Hae-bin tersenyum, “apa kau benar-benar tak mengerti apa yang dia katakan?”

Dong-hae mengangguk, enggan, “Kau pasti menganggapku bodoh.”

Hae-bin tertawa kecil, “Semua orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing,” katanya mencoba mengerti.

“Kau tidak lagi bisu ya sekarang?” komentar Dong-hae membuat Hae-bin mengerutkan kening.

“Maksudmu?”

“Kau sudah bisa berkomentar dan bicara panjang lebar,” jelas Dong-hae sembari tersenyum.

“Ya, kalau aku sedang bersama dengan orang-orang yang membuatku merasa nyaman. Seperti kau dan Yu-ri, aku jadi bisa mengekspresikan diriku,” gumam Hae-bin diiringi senyum.

“Mr. Lee, Ms. Park!, berhenti mengobrol sendiri, dan kerjakan soal di papan tulis itu,” gertak Profesor Mark, menghentikan pembicaraan mereka.


Sepulang kuliah, Hae-bin, Yu-ri dan Dong-hae bertemu di kantin untuk makan siang bersama. Ketika Hae-bin dan Dong-hae tiba di kantin, Yu-ri sudah duduk di salah satu meja sedang meminum jus-nya. “Hai sayang, bagaimana harimu? Menyenangkan?” tanya Dong-hae ketika tiba di samping Yu-ri.

“Hah...” Yu-ri mendesah, “Semua ini gara-gara kekasihmu Hae-bin!” gerutu Yu-ri, membuat Hae-bin dan Dong-hae sama-sama mengerutkan kening.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Dong-hae khawatir.

“Hae-bin, aku heran...kenapa kau bisa tahan terhadap pria semacam itu?” gerutu Yu-ri tak mempedulikan perkataan Dong-hae.

“Kau bertengkar lagi dengan Soo-hyun?” tanya Hae-bin, bingung.

“Apa yang membuat pria dingin tak berperasaan itu menarik di matamu?” Yu-ri kembali bertanya membuatnya dihadiahi sikutan lengan Dong-hae di pinggangnya. “Apa pria itu menderita Post Sleep Memory Loss Syndrom, hingga berlagak tidak pernah bertemu dan bermasalah denganku sebelumnya? Kupikir—“ Dong-hae buru-buru membungkam mulut Yuri dengan sebuah donat yang ia pesan membuat mulut Yu-ri penuh dengan makanan dan tak sanggup untuk memprotes.

“Maafkan dia Hae-bin, dia sama sekali tak bermaksud untuk menjelek-jelekkan kekasihmu,” Dong-hae mewakili Yu-ri meminta maaf.

“Isshh...kenapa kau meminta maaf kak?” protes Yu-ri setelah menelan habis donatnya dengan susah payah.

“Sudahlah sayang, emosi tak akan menyelesaikan masalah!” Dong-hae berusaha menenangkan, “Ah...kau bilang salah seorang temanmu ada yang ingin mendaftar di klub tari?” cetus Dong-hae mengalihkan pembicaraan.

Yu-ri mendengus pelan, “Ya, hari ini dia bilang akan mendaftar dan aku sudah berjanji untuk menemaninya,” balas Yu-ri.

“Hmm...apa kau sudah memutuskan untuk ikut klub apa?” tanya Dong-hae.

Yu-ri menggeleng, “Belum, tapi kemungkinan aku akan ikut Taekwondo saja. Dan kalau laki-laki itu macam-macam denganku, akan kusikat dia!” geram Yu-ri sembari berpose ala pemain Taekwondo dengan menyilangkan lengannya namun masih dengan ekspresi wajah cemberut.

“Hei,” Dong-hae menyikut pinggang Yu-ri. “Kau lucu sekali kalau sedang kesal, lihat pipimu membulat seperti badut,” goda Dong-hae sembari mencubit pipi Yu-ri gemas.

“Aww!! Sakit!” gerutu Yu-ri sambil mengusap-usap pipinya.

Dong-hae terkekeh geli, “Ah...dan kau Hae-bin, apa sudah memutuskan mengikuti klub apa?”

Hae-bin nampak berpikir sejenak, “Aku tidak terlalu tertarik mengikuti klub-klub semacam itu,” gumamnya.

“Wah...sayang sekali, padahal selagi kita masih kuliah. Mengikuti berbagai macam kegiatan akan sangat menyenangkan,” bujuk Dong-hae, tapi Hae-bin tak bergeming.

Hae-bin menatap Yu-ri yang masih kelihatan kesal, “Maaf Yu-ri, kalau kekasihku sering membuatmu kesal. Sebenarnya ia tak bermaksud begitu,” bela Hae-bin merasa tak nyaman.

Yu-ri menghela nafas, “Sudahlah, aku tak ingin bertengkar denganmu hanya gara-gara lelaki itu,” putus Yu-ri akhirnya membuat Dong-hae tersenyum lega.

“Itu baru kekasihku!” Dong-hae kembali mencubit pipi Yu-ri, dan langsung dibalas oleh Yu-ri dengan menggelitiki pinggang Dong-hae membuat pria itu tertawa terbahak-bahak karena tak kuasa menahan geli.

Kira-kira tiga puluh menit kemudian mereka meninggalkan kantin dan bersiap-siap menuju ke klub Tari, dimana teman Yu-ri sudah menunggu.



Sementara itu, seorang gadis berambut hitam panjang memakai celana strip berbahan denim dengan warna cokelat tua dan blus putih berlengan sampai siku serta menggunakan kacamata cokelat lebar sedang berdiri di sebelah mobil Hyundai genesis coupe putihnya sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat parkir kampus Sogang. Cukup lama ia memandang berkeliling hingga pandangannya tertuju pada satu titik. Berhasil menemukan yang dicarinya, gadis itu menarik salah sudut bibirnya ke atas dan melepaskan kacamata cokelat lebarnya hingga memperlihatkan sepasang mata indah miliknya. “Lee Dong-hae!” panggil gadis itu tegas membuat si empunya nama buru-buru mengalihkan pandangannya dari kekasih dan temannya. Mata Dong-hae membesar ketika mengetahui siapa pemanggilnya.

“Yoo-hee?!” seru Dong-hae, “Apa yang kau lakukan di sini?”


~To Be Continued.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar