Selasa, 06 Desember 2011

DISASTER LOVE - Chap 13 - Fanfiction Super Junior -

CHAPTER 13



- Kediaman keluarga Kang -    

Kang Ha-jong dan putri bungsunya, Hyun-in, tengah menyantap sarapan berdua. Hea-in sejak pagi-pagi sekali telah berangkat ke lokasi shooting—kedua artis yang sebelumnya terluka karena kecelakaan kini telah dapat kembali beraktivitas, maka proses shooting pun dilanjutkan—sedangkan Seo-min masih di kamarnya. 
     
 “…ya, lakukan itu,” kata Ha-jong tegas pada pengacaranya lewat ponsel. “Buat sesulit mungkin. Aku ingin bajingan-bajingan cilik itu terus mengingat ini, dan menyesal telah berurusan dengan keluarga Kang,” tambahnya dingin. “Hmm. Itu bagus. Kabari aku begitu ada perkembangan.”

Hyun-in melirik ayahnya dalam diam. Semalam, kakaknya, Seo-min, mengejutkan seisi rumah karena datang dengan diantar oleh Lee Sung-min, dan dalam kondisi wajah yang memar dan terluka. Ha-jong sangat khawatir pada Seo-min, dan amat murka pada para pemuda yang mengeroyok putrinya tersebut. Karena itu tak mengherankan bila sekarang dia menyuruh pengacara keluarga untuk menuntut pemuda-pemuda tersebut.

baru saja mengangkat gelas susunya, Hyun-in terpaksa menaruhnya kembali ke meja karena ponselnya berbunyi. SMS dari managernya.


From : Kak Pil-Sook

Hyun-in, ingat untuk datang ke kantor redaksi majalah MINE jam 1 siang nanti. Oh ya, aku mengurus banyak hal kemarin hingga lupa menanyakan, sebenarnya ada keperluan apa Cho Kyu-hyun denganmu? Kemarin dia meminta nomor ponselmu padaku karena katanya ada urusan penting. Apakah masalah pekerjaan? Bila memang penting, beritahu aku.


Jadi kak Pil-sook yang memberikan nomorku pada kak Kyu-hyun… pantas saja, pikir Hyun-in. ia sedang sibuk mengetik SMS balasan untuk managernya itu, ketika tiba-tiba mendengar suara Seo-min.

“Di mana kunci motorku?” tanya Seo-min. “motorku sudah datang, kan?”

“Semalam orangku sudah membawanya kemari, kau tenang saja,” sahut Ha-jong. “Untuk apa kau menginginkan kuncinya? Kau tak boleh ke mana-mana dalam kondisi seperti itu. istirahatlah di rumah—“

“Hanya karena wajahku sedikit terluka, bukan berarti aku menjadi lumpuh,” protes Seo-min keras kepala. “Berikan kunciku!” desaknya memaksa.

Namun kekeraskepalaan Seo-min merupakan turunan dari Ha-jong, karena itu pria itu pun berkeras dengan keputusannya. “Tidak,” ucapnya tegas.

Seo-min memutar bola matanya sambil menggeram. “Aku ada urusan penting. Bila Ayah tak mau memberikan kuncinya padaku, terserah, aku pergi dengan taksi—“

  “Kakak mau ke mana?” sela Hyun-in cepat. “Bila memang penting, aku bisa mengantarmu. Kebetulan pagi ini aku tidak ada kegiatan,” tawarnya.

Ha-jong mengamati putri kedua dan bungsunya itu bergantian. Ia memang lebih suka Seo-min beristirahat di rumah, tetapi ini kejadian langka. Tidak setiap hari dia bisa melihat kedua putrinya pergi bersama seperti ini.

“Kau?” tanya Seo-min terkejut, menatap adiknya.

Hyun-in mengangguk. “Bila kau mau,” katanya.

Seo-min diam sejenak untuk memikirkannya sebelum mengangguk. “Bagaimana?” tanyanya pada ayahnya.

Ha-jong berusaha menahan senyumnya. “Baiklah, kau boleh pergi.”





- Studio 7, lokasi shooting - 

“Terima kasih,” gumam Seo-min canggung ketika akhirnya mereka sampai di parkiran lokasi shooting Disaster Love.

“Ah, ya… bukan apa-apa,” sahut Hyun-in sama canggungnya. “Emm… tapi… apa yang ingin kakak lakukan di sini?”

  “Menemui seseorang,” jawab Seo-min. “kau bisa meninggalku kalau kau mau—“

“Tidak,” sela Hyun-in sembari menggeleng. Siapa yang ingin kak Seo-min temui? Apakah… kak Dong-hae? bodoh. untuk apa aku memikirkan itu? aku sudah tak boleh berharap pada kak Dong-hae! “Ah, temanku menelepon,” ucapnya tiba-tiba ketika ponselnya berbunyi. “Kakak masuk saja, aku akan menunggumu,” tambahnya sebelum berbalik pergi untuk menerima teleponnya.

Seo-min memandangi punggung adiknya beberapa detik sebelum berbalik dan melanjutkan pencariannya. Sembari berjalan ia teringat kejadian semalam. Bukan tentang dirinya yang nyaris dikeroyok sepuluh pemuda, ataupun dirinya yang ditampar dengan amat kuat oleh si bos gerombolan tersebut, melainkan mengenai siapa penolongnya. Lee Sung-min. hingga sekarang ia masih sulit percaya.

Saat sedang berjalan sembari menoleh ke kiri dan kanan mencari sosok Sung-min, tiba-tiba langkah Seo-min terhenti. Enam langkah di depannya, Dong-hae berdiri diam menatapnya.

Selama beberapa detik, tatapan Dong-hae hanya tertuju pada mata Seo-min, karena itu ia terperanjat ketika akhirnya menyadari luka dan lebam di wajah gadis itu. tanpa pikir panjang, hanya menuruti nalurinya, Dong-hae melangkah menuju Seo-min, namun seseorang menghentikannya dengan menarik lengannya dan memaksa tubuhnya berputar menghadap orang tersebut. Kang Hea-in.

“Kau mau ke mana?” tanya Hea-in tak senang. Tak menghiraukan Hea-in, Dong-hae kembali berbalik menghadap Seo-min, namun sekali lagi wanita itu menarik Dong-hae dan memaksanya menatapnya. “Bukankah kau bilang perasaanmu padanya sudah berlalu?” desak Hea-in.

Dong-hae terdiam. Tatapan matanya yang ditujukan pada Hea-in terlihat mengerikan. Tanpa sadar tangannya meremas naskah yang tengah dipegangnya. “Siapa yang melakukan itu padanya?” tanyanya, sembari berusaha mengontrol emosi.

Ekspresi Hea-in mengeras. Diliriknya Seo-min yang telah pergi menjauh dengan marah. Rasa iri dan cemburu membakar hatinya. “Lukanya tak separah itu—“

“Siapa?” potong Dong-hae tajam.

“Dia bukan siapa-siapamu. Untuk apa kau mengkhawatirkannya—“

“Kutanya, siapa!?” Dong-hae praktis membentak Hea-in, membuat beberapa orang di sekitar mereka terkejut.

Dan Hea-in adalah yang paling terkejut. Tak pernah selama ini Dong-hae bersikap kasar padanya. Dingin dan menjaga jarak, ya. Tetapi tak pernah kasar. Ia mengepalkan tangannya. Hatinya sakit. Dong-hae membentaknya hanya karena Seo-min…

Demi gengsinya, tak ingin terlihat terluka atas bentakan Dong-hae, Hea-in mengangkat dagunya dan balik  menatap tajam pria itu. “Segerombolan pemuda yang ingin balas dendam karena pernah dikasari oleh adikku yang lemah lembut itu,” kata Hea-in sinis.

“Se… segerombolan?” desis Dong-hae tak percaya. Dengan cepat ia memutar tubuhnya, mencari sosok Seo-min, tetapi gadis itu sudah tak ada. Bagaimana mungkin hal semengerikan itu terjadi pada Seo-min? bagaimana bisa segerombolan pria mengeroyok seorang gadis tak berdaya!? Pikiran-pikiran tersebut berkecamuk di benaknya.

Hea-in mengamati reaksi Dong-hae dengan muak. “Tak perlu repot mengkhawatirkannya. Apakah kau lupa sudah ada Sung-min di sisinya?” tanyanya sengaja, dan langsung dihadiahi tatapan tajam Dong-hae lagi. “Sung-min yang menolong Seo-min semalam. Bukankah terdengar sangat romantic dan heroic? Yeah, tapi mereka memang saling suka, bukan begitu? Jadi wajar saja bila saling melindungi—“

Tak tahan mendengar lebih jauh ocehan Hea-in, Dong-hae meninggalkan wanita itu begitu saja.

Kak Sung-min yang menolong Seo-min? batin Dong-hae sembari berjalan setengah melamun. Kak Sung-min… Kak Sung-min… ia menghentikan langkahnya dan menyentuh dadanya, tepat di jantungnya. Aku telah memilih mundur untuk merelakan mereka bersama, seharusnya aku tak boleh merasa seperti ini…



Seo-min berjalan pelan dalam diam. Benaknya terus mengulang-ulang kejadian tadi; saat Dong-hae berniat mendatanginya, namun dihentikan oleh Hea-in. ia menunduk dan menghela napas.

“Nona Kang Seo-min!?” Seo-min berhenti dan mencari sosok orang yang memanggilnya. Ternyata asisten Sung-min, Bong, yang semalam telah berbaik hati mengurusinya. Seo-min membungkuk menyapa sembari sedikit tersenyum demi kesopanan, walau wajahnya terasa sakit saat melakukan gerakan kecil semacam itu.

Sung-min yang juga bersama Bong mengamati Seo-min. ia sedikit tersentak, dan hatinya terasa tak nyaman ketika melihat luka dan lebam di wajah gadis itu. semalam ia memang telah melihatnya, namun melihatnya lagi di siang hari seperti ini, luka dan lebam itu tampak lebih mengerikan.

Walaupun Seo-min dengan sengaja mengenakan hoodie jaketnya untuk sedikit menutupi pandangan orang ke wajahnya, namun tetap saja orang-orang yang berpapasan dengannya akan menoleh memandanginya.

Keduanya bertatapan, dan diam-diam Sung-min menghela napas melihat ekspresi menyebalkan Seo-min yang seperti biasa. Sebenarnya ia ingin menanyakan kondisi Seo-min, namun tak yakin akan mendapat respon baik dari gadis itu, sehingga memutuskan hanya mengangguk sopan untuk menyapanya.

Tapi kemudian Seo-min justru mengejutkan Sung-min dengan menghampirinya. Ketika mereka berhadap-hadapan, keduanya hanya saling memandang tanpa bersuara. Namun lama kelamaan Sung-min merasa jengah dengan situasi tersebut, dan memecah keheningan dengan menanyakan kondisi Seo-min.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Sung-min sopan.

Seo-min tetap diam. Ia terus mengamati keseluruhan sosok Sung-min bagaikan meneliti suatu spesies langka.

“Emm… kalau— Eh!?“ perkataan Sung-min terpotong seruan kaget karena secara mendadak Seo-min melayangkan tinjuan ke arah wajahnya, untungnya dengan gesit ia mengelak. Tak cukup sampai di situ, Seo-min kembali melayangkan tinju ke perut Sung-min, membuat pria itu melompat mundur untuk menghindar sambil menangkap tangan gadis itu, dan memelintirnya ke balik punggung tanpa mengerahkan banyak tenaga. “Apa yang kau lakukan!?”

Seo-min mendelik ke arah Sung-min yang berdiri di belakangnya dengan kesal karena berhasil dikalahkan semudah itu, namun juga diam-diam merasa kagum. Ternyata memang bukan mimpi… Lee Sung-min benar-benar bisa berkelahi, pikirnya.

“kenapa kau selalu bersikap tak masuk akal?” gerutu Sung-min sambil melepaskan Seo-min. dengan kesal ia memakai headsetnya dan berjalan pergi meninggalkan Seo-min dengan diiringi asisten dan managernya.

“Tunggu!” tahan Seo-min, menangkap lengan Sung-min. ditatapnya wajah pria itu beberapa saat sebelum menunduk dan berbisik. “Terima kasih.”

Sung-min tercengang, tak menyangka akan mendengar Seo-min berterima kasih padanya. Bahkan semalam, saat mengantarnya pulang, Seo-min tak bicara sepatah katapun padanya. Ditambah serangan tiba-tibanya tadi, wajar bila Sung-min terkejut.

Tak menunggu Sung-min berkomentar, Seo-min melepaskan pegangannya dan menjauh pergi.

Sung-min mengawasi punggung Seo-min. Perlahan, seukir senyum mengembang di bibirnya.



Ki-bum baru saja keluar dari toilet dan sedang berbicara dengan managernya ketika melihat Seo-min duduk di sebuah kursi tak jauh dari sutradara, tengah menonton Sung-min dan Hea-in yang beradu acting dengan serius.

Teringat olehnya pembicaraannya dengan Sung-min beberapa hari lalu ketika mereka makan malam bersama. Entah bagaimana awal mulanya, tiba-tiba mereka jadi membicarakan Dong-hae, yang kemudian merembet pada Seo-min. Sung-min menceritakan kesalahpahaman antara dirinya dan Dong-hae yang diakibatkan oleh Seo-min. kakaknya itu mengeluhkan Dong-hae yang tak mau mempercayainya walau telah berkali-kali berusaha dijelaskan yang sebenarnya. Membuat Ki-bum khirnya mengetahui penyebab keanehan yang belakangan terjadi di sekitarnya.

dengan santai ia menghampiri Seo-min, dan duduk di kursi kosong di sebelah gadis itu. Seo-min menoleh sekilas lalu mengacuhkannya. Ia tak terkejut melihat kondisi wajah Seo-min yang luka dan lebam, karena tadi saat ia baru datang ke lokasi shooting, asisten Sung-min bergosip dengan asistennya, dan tanpa sengaja ia mendengar, lalu mengkonfirmasi hal tersebut pada Sung-min yang kemudian menceritakan dengan lebih terperinci apa yang telah terjadi.

 entah mengapa sejak pertama kali bertemu Seo-min, Ki-bum merasa wajah gadis itu familiar. Apakah kami pernah bertemu sebelumnya? pikir Ki-bum.

Seo-min menghela napas kesal sebelum memelototi Ki-bum yang justru balik tersenyum manis padanya. “Apa yang kau lihat, ha!?” tanyanya galak. “Lebam di wajahku!? Seorang pemuda memukulku. Kau puas?”

Ki-bum tersenyum sabar menanggapi kekasaran Seo-min. “Aku turut prihatin atas kejadian yang menimpamu. Tak seharusnya pria memperlakukan wanita seperti ini.”

Seo-min membuang muka sembari mendengus. “kau berlagak jadi gentleman?” sinisnya.

Ki-bum bersandar di kursinya sembari terus tersenyum. “sejak kecil Ayah mengajarkanku untuk menghormati dan melindungi wanita,” komentarnya tenang.

Seo-min menatap senyum tampan Ki-bum selama beberapa saat sebelum melengos. “Terserah,” gumamnya. Tapi beberapa menit kemudian, ia kembali menoleh dan memelototi Ki-bum yang masih terus mengamatinya dengan kening yang sedikit berkerut. “Bisakah kau melihat ke arah lain—“

“Ah! Ternyata kau!” tiba-tiba Ki-bum berseru, mengejutkan Seo-min. pemuda itu mencondongkan tubuh ke depan untuk lebih dekat dengan Seo-min, menatap wajah gadis itu dengan senyum lebar. “Benar.”

“Kau ini bicara apa!?” omel Seo-min sembari beringsut menjauh karena risih.

Tanpa menjawab, hanya tersenyum, Ki-bum kembali bersandari di kursinya. Pada saat itulah tanpa sengaja ia bertatapan dengan Dong-hae. senyumnya memudar ketika melihat wajah sendu kakaknya itu, terlebih ketika Dong-hae membuang muka, yang diduga Ki-bum karena cemburu.

“Nona Kang,” panggil Ki-bum, yang direspon dengan lirikan setengah hati Seo-min. “Maaf bila aku terkesan lancang dan kelewatan—“

“Kenapa?” hardik Seo-min. “Tak usah bertele-tele. Katakan saja.”



“Baik, aku akan ke sana secepatnya. Ya, ya,” kata Hyun-in pada managernya lewat ponsel. Sudah saatnya ia pergi ke kantor majalah MINE. Buru-buru ia mencari Seo-min, dan akhirnya menemukannya sedang duduk berdua dengan Ki-bum.

Tersenyum, Hyun-in menghampiri mereka. “Kak—“

“…kau menyukai kak Dong-hae, begitu pula sebaliknya. Tapi demi Nona Hyun-in kau mengalah, bukan begitu?”

Hyun-in tersentak kaget. Langkahnya terhenti. Diurungkannya niatnya memanggil Seo-min. dipandanginya punggung Seo-min dan Ki-bum di hadapannya berganti-gantian. ada apa ini? apa yang kak Ki-bum bicarakan? pikirnya bertanya-tanya.

“Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan?” tuntut Seo-min marah. Dari mana dia tahu? batinnya.

Ki-bum hanya menanggapinya dengan senyum. “Aku mengagumi sikapmu itu. kepedulianmu pada saudarimu,” kata Ki-bum. “tetapi sejujurnya, menurutku nona Hyun-in tidaklah serapuh yang kau pikir. Memang, sudah pasti pada awalnya ia akan sedikit patah hati, bila melihatmu bersama kak Dong-hae, tetapi dia akan segera pulih dan menemukan tambatan hati yang lain.”

“Tak usah ikut campur!”

“Maaf,” ucap Ki-bum tulus. “Aku hanya tak suka melihat kak Dong-hae sedih. Kalian berdua saling menyukai, aku tak melihat adanya keharusan kalian jadi seperti sekarang. tak inginkah kau memikirkan kembali keputusanmu?”

Dengan geram Seo-min berdiri dan memelototi Ki-bum. “Urus saja urusanmu sendiri!” katanya tajam.

Buru-buru Hyun-in bersembunyi di balik rak ketika kakaknya itu berbalik ke arahnya. Ia masih tidak percaya dengan pendengarannya… kak Seo-min… ternyata memang benar menyukai kak Dong-hae… dan dia mengalah… demi aku…?

“Apa yang kau lakukan di sini?” tegur Kyu-hyun, mengejutkan Hyun-in.

Masih kebingungan dengan apa yang baru saja didengarnya, Hyun-in hanya melirik Kyu-hyun sekilas sebelum beranjak pergi.

“Melihat mendungnya wajahmu, sepertinya pendekatanmu pada kak Dong-hae gagal lagi?” ejek Kyu-hyun sok tahu.

Seketika langkah Hyun-in terhenti. Bila benar… bila semua yang kudengar tadi benar… maka pengorbanan kak Seo-min sia-sia… dia merelakan perasaannya sendiri agar aku bisa bersama kak Dong-hae, tapi… tapi justru kak Hea-in yang kini bersamanya… batin Hyun-in pilu.

Dengan tangan di saku celana jinsnya, Kyu-hyun melangkah mendekati Hyun-in. “Tebakanku benar?” tanyanya santai.

Hyun-in mengangkat kepalanya untuk menatap Kyu-hyun dingin. “Bukankah kakak menyukai kak Hea-in?”

“Eh…”

“Kakak mengejek kegagalanku, tapi bagaimana denganmu sendiri? Bukankah kau selalu percaya diri dan merasa hebat? Tapi kenapa hingga sekarang kau masih belum bisa meluluhkan hati kakakku?” tanyanya dengan nada datar tanpa emosi. Hyun-in mengamati penampilan Kyu-hyun dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Mungkin kau memang tak memiliki kemampuan untuk itu. sama sepertiku,” tambahnya sebelum pergi.

Kyu-hyun mendengus sembari memandangi punggung Hyun-in yang semakin lama semakin menjauh. “Meremehkanku?”



- Kediaman keluarga Kang -    

Seo-min mengetik cepat selagi ide mengalir lancar di otaknya. Ia mendesah puas ketika akhirnya berhasil menyelesaikan naskah untuk episode terakhir dramanya. Pegal setelah duduk di depan computer berjam-jam, ia menggeliat di kursinya sambil mengerang pelan.

Tok… tok…

“Masuk!” seru Seo-min acuh tak acuh.

“Permisi,” ucap Hyun-in, melongokkan kepalanya di pintu kamar yang sedikit dibukanya. “apa aku mengganggu?”

“Ada perlu apa?”

Hyun-in memasuki kamar kakaknya itu dengan canggung. Ia membawa nampan berisi susu hangat dan biscuit kesukaan Seo-min. “Aku membawakan ini untukmu,” katanya sambil menaruh gelas dan piring biscuit tersebut di meja. “Sepertinya kau sangat sibuk,” tambahnya canggung.

Seo-min mengamati Hyun-in dengan kening berkerut. Tak biasanya adiknya itu melakukan ini. “Kau ingin sesuatu dariku?” tanyanya blak-blakan, membuat Hyun-in tersipu malu. “Katakan saja. Bila aku bisa membantumu, pasti akan kubantu.”

Hyun-in tertunduk. Seo-min memang mengucapkannya dengan gaya sembarangan dan nada kasar, tetapi sekarang Hyun-in dapat mengenali ketulusan kakaknya itu. bila dia bisa, dia akan membantuku… bahkan bila harus mengorbankan dirinya sendiri… seperti yang telah dia lakukan dengan kak Dong-hae… Hyun-in menggigit bibirnya.

Ada tusukan rasa bersalah di hati Hyun-in karena telah menyebabkan kesedihan kakak keduanya tersebut, tetapi di saat bersamaan, hatinya seolah mengembang dengan kenyamanan dan kehangatan, yang ditimbulkan oleh kepedulian kakaknya itu padanya. Ia tak pernah menyangka Seo-min pernah memikirkannya walau sedikit saja, dan ternyata ia salah menilai kakaknya itu. mungkin mereka tak akrab… mungkin Seo-min selalu bicara kasar… tetapi dia tetap menjaganya. Dia tetap melindungi perasaan Hyun-in, mengkhawatirkannya akan terluka. Tanpa diketahui olehnya, Seo-min telah bersikap selayaknya seorang kakak untuknya. sesuatu yang tak pernah benar-benar dirasa Hyun-in dimilikinya hingga saat ini.

Benar Hea-in dan Seo-min adalah kakaknya, tetapi selama ini baginya semua itu hanya sekedar status, tak lebih. Sekarang, ia seolah baru merasakan apa itu persaudaraan… memiliki saudari, seorang kakak yang memikirkanmu, menjagamu…

Hyun-in mendekat dan berdiri di belakang kursi yang diduduki Seo-min. ragu-ragu pada awalnya, ia menumpangkan kedua tangannya di pundak Seo-min.

“Kakak… terima kasih,” ucapnya tulus.

Seo-min menegang. ia salah tingkah, karena sikap adiknya yang sangat lain dari biasanya. “Ada apa denganmu?”

“Maafkan aku bila selama ini tidak menjadi adik yang baik. Mulai sekarang aku akan memperbaiki sikapku,” janji Hyun-in.

“Eh?” ucap Seo-min kaget dan heran.

“Aku…” Hyun-in kesulitan melanjutkan kalimatnya. Apakah sebaiknya aku jujur mengatakan bahwa aku tahu apa yang dia telah lakukan untukku, atau tetap diam? Aku tidak tahu harus bagaimana… pikirnya.

Seo-min yang tak sabaran berputar di kursinya untuk menatap Hyun-in. ia terkejut melihat mata merah adiknya. Terlihat seperti habis menangis atau baru akan menangis.

“Sebenarnya ada apa? kau aneh sekali,” kata Seo-min.

Hyun-in menggigit bibirnya dan menunduk menghindari tatapan Seo-min. “Aku… aku berharap kakak bahagia. Aku… aku pasti akan mendukungmu. Aku tak mau kakak terluka… apalagi… bila itu karena aku.”

Kerutan di kening Seo-min semakin dalam. “Apa yang kau bicarakan?”

Hyun-in menggeleng sembari menyunggingkan senyum tulus. “Aku sudah mengganggumu terlalu lama. Aku pergi saja,” katanya. “Selamat malam,” ucapnya sebelum keluar dari kamar.

“Ada apa dengan anak itu sebenarnya?” gumam Seo-min heran. Setelah berpikir beberapa saat, sebuah pikiran tak menyenangkan melintas di benaknya. “Tidak mungkin dia tahu tentang Dong-hae, kan…? ah, tidak, tidak, tak mungkin…”


- Perumahan Jogang, lokasi shooting -        

Hea-in bersandar di dinding depan ruang riasnya, menunggu asisten dan managernya yang tengah mengemasi barang-barangnya, sembari memandangi foto dirinya dan Dong-hae di tempat karaoke waktu itu di ponselnya. Sejak kemarin, saat Seo-min datang dengan wajah babak belur, Dong-hae terus bersikap murung dan semakin sulit untuk didekati.

Dengan gemas Hea-in nyaris menghapus foto tersebut, tetapi di detik terakhir mengurungkan niatnya. Ia menghela napas sembari memejamkan matanya.

“Hea-in,” sapa Kyu-hyun menghampirinya.

“Aku lebih tua darimu. Bicara yang sopan,” omel Hea-in sambil membuka mata. “Ada apa—“

Kyu-hyun menyodorkan sekaleng minuman dingin ke depan wajahnya sembari tersenyum. Senyun yang entah mengapa dirasa Hea-in adalah senyum penuh tipu daya.

“Terima kasih,” gumamnya sambil menerima kaleng tersebut, agar Kyu-hyun lekas pergi, namun yang diinginkannya tidak terkabul. “Kau ada perlu denganku?” tanyanya dengan kesabaran dibuat-buat.

Masih dengan terus menyunggingkan senyum liciknya, Kyu-hyun mencondongkan tubuh kea rah Hea-in, menatap lurus ke matanya, dan berbisik lembut. “Rak Na Dek Ngo.”

Hea-in mengedipkan mata terkejut dan bingung. “Apa?” tanyanya tak mengerti.

Kyu-hyun semakin mendekat. “Artinya… aku cinta padamu, gadis manis.”

Selama beberapa detik Hea-in hanya melongo, sebelum mendengus tak percaya. “Kau—“

“Kak.” Bersamaan, Kyu-hyun dan Hea-in menoleh ke sumber suara itu, dan melihat Seo-min dan Hyun-in tengah berjalan menuju mereka.

Kyu-hyun tersenyum puas melihat Hyun-in, dan melayangkan tatapan yang seolah memberitahu gadis itu bahwa dia pasti akan berhasil mendapatka Hea-in, namun Hyun-in justru membuang muka, membuat senyum Kyu-hyun menghilang seketika.

“Apa yang membuat adik-adikku tersayang datang ke mari di saat shooting telah usai?” tanya Hea-in dengan kemanisan menipu sembari mendorong dada Kyu-hyun agar menjauh darinya.

“Ini hari terakhir shooting Disaster Love, karena itu ayah memutuskan untuk merayakannya bersama para pemain dan kru di KLUTCH,” jawab Hyun-in sopan, tanpa melirik Kyu-hyun sedikitpun. Entah mengapa, melihat Kyu-hyun menggoda kakaknya, dan terlebih lagi mendengarnya merayu dalam bahasa Thailand membuat Hyun-in muak.

“Hmm… begitu. Dimana Ayah?” tanya Hea-in.

“Sedang bicara dengan kak Bong-soo untuk menginformasikan hal ini,” jawab Hyun-in lagi.

Hea-in melirik Seo-min yang sejak tadi hanya diam dengan ekspresi bosan. Rasa iri dan sebalnya pada adiknya itu membuatnya ingin menyerang Seo-min. “Ah, Seo-min, dengan kondisi wajahmu yang… yeah, seperti itu, kau tetap ingin ikut berpesta? Apa tidak malu?”

Hilang sudah kebosanan Seo-min, berganti dengan amarah. “Lalu kenapa? Bila aku saja tak peduli, untuk apa kau mengurusiku!?” bentaknya.

Hea-in berpura-pura terkejut melihat amarah Seo-min. “Aku kan hanya bertanya…”

Hyun-in menatap Hea-in tak suka. “mengapa kakak memulai pertengkaran dengan kak Seo-min? apa salahnya? Kau tak ingin dia ikut karena takut tersaingi?”

Kyu-hyun, Seo-min, dan Hea-in tercengang. Mereka menatap Hyun-in tak percaya. Kang Hyun-in yang cinta damai dan lebih memilih menghindar dari setiap perkelahian atau perdebatan, sekarang justru membela Seo-min seperti ini!?

Hea-in menatap Seo-min dan Hyun-in bergantian, lalu mendengus. “Sejak kapan kau menjadi penjaga Seo-min, he?”

“Aku hanya—“

“Selamat malam,” sapa suara wanita yang serak menggoda, menyela perkataan Hyun-in.

Seketika tubuh Hea-in menegang. suara itu… perlahan, Hea-in memutar tubuhnya untuk menghadap penyapa mereka. matanya terbelalak. Setetes keringat dingin mengalir di keningnya. Tangannya meremas tasnya kuat untuk menyalurkan emosi yang terpendam di hatinya saat ini.

Wanita setengah baya yang masih tetap cantik, dan bertubuh indah itu berjalan mendekat sembari menyunggingkan senyum yang mirip dengan senyum Hea-in.

“Apa kabar, Hea-in?” sapanya lembut.

Dengan wajah tegang Hea-in melangkah mundur untuk menjauhi wanita itu, dan menabrak Seo-min. tanpa benar-benar sadar ia berpegangan pada tangan adiknya itu.

walau terkejut, bukan hanya karena tindakan Hea-in, tetapi juga wajah pucat kakaknya itu, tanpa pikir panjang Seo-min memegangi lengan Hea-in, untuk menjaganya agar tidak terjatuh, karena Hea-in terlihat seolah akan pingsan sewaktu-waktu.

Senyum di wajah wanita itu sedikit memudar melihat reaksi Hea-in. “Apakah begini caramu menyambut ibumu?” tanyanya dengan setitik nada kecewa.

“Ibu?” gumam Seo-min dan Hyun-in kompak dengan kaget, dan sama-sama menatap wajah pucat Hea-in.



To Be Continued

By Destira ~Admin Park~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar