Sabtu, 10 September 2011

Is This Love -Chap 9-


Chapter 9




-Seoul Medical Centre-


Karena aku tak ingin kehilanganmu!

Kata-kata itu terus saja bercokol di benak Hea-in. Ia sempat terpaku selama beberapa saat, setelah mendengar Taec-yeon berkata begitu, masih juga terasa olehnya bagaimana jantungnya berdetak liar karena mendengarnya. Walaupun ia akhirnya bisa mengendalikan diri dan bersikap seolah kata-kata Taec-yeon itu sama sekali tidak mengganggunya. Dia pasti sedang mencoba mempermainkan aku lagi, pikir Hea-in. Tapi, bila mengingat ekspresi serius yang diperlihatkan Taec-yeon kala mengatakannya, membuat Hea-in ragu.

“Kak, aku haus!” Hyo-jin tiba-tiba terbangun dan merengek membuat Hea-in menghentikan pikiran-pikiran tentang Taec-yeon yang sedang mengganggunya.

Ia beranjak mengambil botol air minum di atas lemari besi di sebelah tempat tidur Hyo-jin dan menyodorkannya pada adiknya itu. “Bagaimana keadaanmu? Apa sendimu masih terasa nyeri?” Hea-in bertanya pada adiknya.

Hyo-jin menggeleng, “Kau sedang tak enak badan kak?” Hyo-jin balas bertanya seraya memperhatikan ekspresi wajah Hea-in yang terlihat letih.

“Tidak, aku baik-baik saja,” elak Hea-in sembari menggeleng.

“Maafkan aku kak, gara-gara aku sakit. Kau jadi tak bisa istirahat,” gumam Hyo-jin merasa bersalah.

“Astaga! Hyo-jin...kenapa kau bicara begitu?” Hea-in menepuk-nepuk lengan adiknya lembut. “Tidurlah! Tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” tambah Hea-in menenangkan. Saat ini, Hea-in sendirian menjaga Hyo-jin, karena Hyo-hee harus kembali ke Mokpo untuk mengikuti ujian kelulusan di sekolahnya.

Beberapa menit kemudian, ponsel Hea-in berdering. Ada sebuah pesan masuk.


To: Hea-in

Sepenting apakah urusan pekerjaan itu hingga melibatkan kedua orang tua Kak Taec-yeon? :D

Sender: Dae-jia


Hea-in membelalakkan matanya membaca pesan dari Dae-jia. Ya Tuhan, bagaimana ini?, batin Hea-in resah.



-Apartemen Taec-yeon-

Taec-yeon mengacak-ngacak rambutnya gemas. “Arrgh...apa yang ku lakukan?” geramnya. Ia merebahkan dirinya di kursi malas dan kembali terbayang bagaimana ia tadi mencengkeram lengan Hea-in dan bagai kehilangan kendali mengatakan bahwa dirinya tak ingin kehilangan gadis itu.Aiishh...sial! kenapa aku mengatakan hal semacam itu?, pikirnya. Tapi, ia tak dapat memungkirinya bahwa kata-kata itu datang dari lubuk hatinya yang paling dalam. Beruntung, tadi Hea-in hanya menanggapi kata-kata Taec-yeon sebagai candaan biasa. Namun sebelumnya, ia sempat menangkap ekspresi kaget dan tercengang gadis itu, sebelum akhirnya berubah kesal karena menganggap Taec-yeon hanya mempermainkannya.

“Kang...Hea-in...” Taec-yeon menyebut nama Hea-in lambat-lambat sembari memejamkan mata dan membayangkan wajah cantik gadis itu. “Apakah benar...secara tak sadar aku telah jatuh cinta padanya?” tanyanya lirih pada diri sendiri. “Tapi sejak kapan?”


3 hari kemudian....


-Kantor OK Group-

Tiga hari telah berlalu semenjak kejadian di Hotel Imperial itu, selama itu pula hubungan Hea-in dan Taec-yeon bagaikan dalam situasi canggung. Setiap kali bertemu secara spontan mereka berdua akan saling memalingkan muka dan hanya berkomunikasi untuk hal-hal penting yang berhubungan dengan urusan perusahaan saja. Tidak ada lagi pertengkaran seperti yang selalu mereka lakukan setiap kali bertemu. Keduanya hanya berdiam diri, hingga terlihat jelas ada sesuatu yang berbeda terjadi di antara mereka.

Hea-in baru saja menyelesaikan laporan yang dikerjakannya, ketika jam makan siang dimulai. Song Seung-hun yang melihat adanya keanehan dalam hubungan Hea-in dan Taec-yeon selama beberapa hari ini, sengaja menghampiri Hea-in di biliknya. “Nona Hea-in, bagaimana kalau kita makan siang bersama?” tawarnya pada Hea-in, yang saat ini sedang merapikan pekerjaannya.

Hea-in mengangkat wajahnya dari tumpukan laporan di mejanya. “Baiklah, lima menit lagi aku selesai,” jawabnya sembari tersenyum.

Setelah merapikan laporan-laporan itu, Hea-in bangkit dari kursinya dan menghampiri Seung-huun yang sudah menunggunya di koridor. Mereka pun menuju sebuah restoran yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor OK Group dan biasa didatangi para karyawan untuk makan siang. “Kau mau pesan apa?” tanya Seung-hun, karena dari tadi Hea-in hanya memandangi buku menu di hadapannya.

Hea-in mendongak, “Oh?”

“Sepertinya jiwamu sedang tidak di sini, Nona Hea-in,” komentar Seung-hun, sengaja memperdengarkan nada kecewa dalam suaranya.

“Maaf,” gumam Hea-in lirih, “Aku pesan Jjajangmyun saja,” katanya pada si pelayan yang sudah menunggu.

“Minumnya?” pelayan wanita itu bertanya.

“Green tea,” sahut Hea-in yang ditanggapi oleh pelayan itu dengan anggukan lalu berputar meninggalkan meja mereka.

“Kenapa kau tidak makan nasi?” tanya Seung-hun sepeninggal pelayan itu.

“Tidak apa-apa,” sahut Hea-in pendek.

“Nona Hea-in?!”

“Ya?”

“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” mulai Seung-hun dengan nada serius.

“Silakan saja,” jawab Hea-in.

“Selama beberapa hari ini, aku melihat keanehan antara hubunganmu dengan Tuan Ok,” komentarnya, membuat Hea-in menegakkan tubuhnya mendengar nama Taec-yeon disebut. Beberapa hari ini, ia tak pernah berhenti memikirkan pria itu, apalagi kejadian di hotel 3 hari yang lalu. “Apakah...kalian benar-benar akan menikah?”

Hea-in tersentak mendengar pertanyaan Seung-hun, “Oh...itu...” perkataan Hea-in disela oleh pelayan yang datang menyajikan pesanan mereka.

“Aku yakin, tidak ada hubungan apa-apa di antara kalian. Iya kan?” tukas Seung-hun setelah pelayan itu pergi. “Nona Hea-in?” panggil Seung-hun, “Kau tidak akan menikah dengan Tuan Ok, bukan?”

Hea-in tersenyum getir, entah mengapa ia merasa sedih mengakui bahwa tidak ada hubungan apa-apa antara dirinya dan Taec-yeon. “Ya, aku dan—“

“Kuharap kau tidak mencampuri urusan kami!” tiba-tiba Taec-yeon datang menghampiri mereka dan menarik lengan Hea-in dengan paksa, “Aku perlu bicara dengan Nona Hea-in,” katanya pada Seung-hun.

“Tapi—“ belum sempat Seung-hun menyelesaikan kalimatnya, Taec-yeon sudah meninggalkannya bersama Hea-in yang terus berusaha melepaskan pegangan tangan Taec-yeon dari lengannya.



-Seoul Medical Centre-

Ah-ra tersenyum membaca SMS dari Jung-soo yang baru saja didapatnya.




To: Ah-ra

Ibu Dokterku yang cantik, apakah sore ini kau ada acara? Aku baru saja mendapat kabar bahwa film yang kau tunggu-tunggu mulai tayang hari ini. kau mau nonton bersamaku? ^^


To: Jung-soo

Baiklah, Tuan Musisi-ku yang tampan. Kita bertemu di bioskop, Grand Central Mall jam 4 sore ini.


Ah-ra menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi di ruangannya setelah membalas SMS dari Jung-soo. Selama beberapa hari ini, ia dan Park Jung-soo selalu menghabiskan waktu bersama-sama. Entah itu makan siang, makan malam, pergi ke sauna, menonton pertunjukan atau hanya sekedar bersantai di taman. Ia senang melakukannya, karena sejenak ia bisa melupakan masalahnya dan terhibur dengan gurau-gurauan ringan yang selalu dilontarkan Park Jung-soo. Pria itu seolah memiliki banyak stok candaan yang selalu mampu membuat Ah-ra tersenyum. Mengingatnya saja, membuat Ah-ra kembali menaikkan sudut bibirnya.

“Dokter!” seru seorang perawat membuat Ah-ra terkejut.

“Ya?”

“Ada pasien gawat darurat!” lapor perawat itu, membuat Ah-ra segera bangkit untuk melaksanakan tugasnya sebagai dokter.



-Kantor OK Group-

“Lepaskan!” bentak Hea-in kasar, saat mereka tiba di lift.

Tadi, saat Taec-yeon berniat menemui Hea-in untuk meminta laporan yang dibutuhkannya. Ia mendapat kabar dari salah seorang karyawan yang saat itu akan turun untuk makan siang, bahwa Hea-in sedang makan siang bersama Song Seung-hun. Dan yang mengherankan, dirinya merasa terganggu mendengar berita tersebut. Setelah berfikir selama beberapa saat, ia tak berhasil mengendalikan dirinya untuk tak turun ke Restoran itu. “Aku tidak suka ada orang lain mencampuri urusan kita,” tukas Taec-yeon dingin.

“Urusan kita, katamu?” Hea-in sedikit menegadahkan kepalanya untuk menatap pria di sampingnya yang tingginya di atas rata-rata itu, “kupikir, kau sudah bosan bertengkar denganku,” sindirnya tajam.

“Kau yang sepertinya sudah bosan, karena kau yang menjauh. Bukan aku,” elak Taec-yeon.

Hea-in tersenyum mengejek, “Kurasa, kau sudah lupa...kejadian apa yang membuatku—“

“Bukankah kau sudah menyadari kalau semua itu hanya candaan saja,” potong Taec-yeon membuat Hea-in menegang, “Dan ya, kau benar...itu cuma gurauanku saja,” Taec-yeon menegaskan membuat Hea-in merasa jengkel.

Selama beberapa hari berfikir, Hea-in sempat berharap bahwa kata-kata Taec-yeon adalah hal yang sebenarnya keluar dari lubuk hatinya. Bukan hanya kata-kata manis untuk mempermainkannya saja. “Kau!” geram Hea-in marah, “kau memang pria brengsek yang tak pernah memahami perasaan wanita!” tambahnya, dan buru-buru keluar dari lift saat pintu lift terbuka dan lebih memilih naik ke kantornya dengan tangga darurat.

Taec-yeon terdiam seribu bahasa, saat melihat gadis itu menangis. Ia tak menyangka bahwa Hea-in akan berekasi begitu. Sebenarnya, ia tak ingin hubungannya dengan Hea-in menjadi canggung hanya gara-gara kejadian di hotel malam itu. selama beberapa hari ini, ia mulai merindukan saat-saat mereka bertengkar dan beradu argumen bersama. Kenapa ia menangis?, batinnya bingung.


Sementara itu Hea-in yang kini berada di tangga darurat, tak kuasa menahan air mata yang mulai menggenang sejak tadi. “Berani-beraninya dia mempermainkan aku?” gumamnya perih sambil tetap menyeka air mata yang bergulir di pipinya dengan punggung tangannya. Perlahan, ia terus naik sembari berfikir, tapi kenapa aku harus menangisinya? Apakah itu karena aku terlalu berharap lebih? Bukankah aku harusnya senang dia berkata begitu?



-Grand Central Mall-

“Kau suka filmnya?” tanya Jung-soo pada Ah-ra setelah mereka keluar dari gedung teater.

Ah-ra mengangguk senang, “Ya, suka sekali,” sahutnya antusias, ia emang sudah lama menantikan film itu.

“Bagaimana kalau sekarang kita makan?” tawar Jung-soo, “aku lapar.”

“Ayo!” sambut Ah-ra bersemangat, “aku juga sudah lapar,” tambahnya sembari tersenyum. Jung-soo pun ikut tersenyum melihat senyum manis Ah-ra.

“Dokter?” panggil Jung-soo saat mereka sedang berkeliling mencari restoran mana yang akan mereka pilih.

“Ah...jangan panggil aku begitu,” protes Ah-ra, “panggil Ah-ra saja.”

Jung-soo tersenyum, “Baiklah Ah-ra, bagaimana kalau kita makan di restoran cepat saji saja? Sekali-sekali tidak apa kan kalau makan makanan tidak sehat?”

Ah-ra tertawa mendengar saran Jung-soo, “Boleh juga,” katanya setuju, “walaupun aku seorang Dokter, tapi aku juga suka melanggar aturan kok, jadi kau tak perlu merasa tak nyaman menyarankan hal semacam itu,” Ah-ra mengedikkan bahu sembari tersenyum nakal.

“Hmm...begitu rupanya,” balas Jung-soo lalu merangkul pundak Ah-ra dan menggiringnya ke sebuah restoran siap saji di Mall itu. “Ayo kita melanggar aturan!” katanya sembari menyeringai.


Setelah mereka berdua menyelesaikan makan malamnya dan hendak pulang. Tiba-tiba Ah-ra terkejut saat melihat seorang wanita cantik berpenampilan elegan sedang mengobrol dengan teman-temannya sambil tertawa-tawa dan berjalan mendekat ke arahnya. Jung-soo yang melihat Ah-ra tiba-tiba mematung, mengguncang tubuh gadis itu, “Kau kenapa?”

“Oh...apa kabar Nona Yoon?” sapa wanita itu dengan kesopanan dibuat-buat, membuat Ah-ra jengah.

Sembari meremas tas-nya, Ah-ra melayangkan senyum masam, “Baik Nyonya...sangat baik, malah,” sambut Ah-ra tak kalah angkuh.

Wanita itu mengamati penampilan Ah-ra, lalu Jung-soo bergantian, “Syukurlah kini kau sudah memiliki pasangan,” katanya memaksudkan Jung-soo yang kini berada di sampingnya dengan pandangan heran pada dua wanita itu. “Dengan begitu, aku bisa tenang sekarang, Taec-yeon-ku tidak akan kau ganggu lagi,” tambahnya membuat Ah-ra semakin geram dan menggertakkan giginya. Wanita itu pun melenggang pergi bersama teman-temannya yang menanyakan siapa Ah-ra padanya.

“Ah-ra, kau tidak apa-apa?” tanya Jung-soo khawatir melihat wajah Ah-ra yang pucat pasi menahan amarah. Sayup-sayup, ia masih bisa mendengar gumaman Nyonya Im yang menyatakan, dirinya ‘bukan siapa-siapa hanya pengganggu di masa lalu’.



-Seoul Medical Centre-

Hea-in memperbaiki letak selimut Hyo-jin, sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya yang lelah di sofa. Ia mendesah pelan, lalu mencoba memejamkan matanya. Tapi alangkah kagetnya ia, mendapati dirinya kembali mengingat sosok tampan Ok Taec-yeon. Hea-in buru-buru membuka matanya dan mengerang pelan. Kenapa aku tak bisa berhenti memikirkannya?, batin Hea-in. Semakin sering pria itu menyakitinya, semakin sering pula ia memikirkannya.

Tak berapa lama setelah Hea-in berhasil memejamkan matanya, ia dikejutkan dengan ketukan di pintu. Hea-in menegakkan tubuhnya, “Apa kabar Kak!” sapa Dae-jia yang datang bersama kekasihnya Jung Ji-hoon.

Hea-in tersenyum menyambut adik sepupunya itu, “Baik,” sahutnya, lalu menunduk sopan untuk menyapa Ji-hoon.

Dae-jia menghampiri Hea-in dan duduk di sofa di sebelahnya, “Kak, kalau kau lelah...sebaiknya kau istrirahat di rumahku saja. Biar aku yang menjaga Hyo-jin di sini,” saran Dae-jia. Ia tau, kakaknya itu sudah lama tidak tidur di tempat tidur yang layak karena harus menjaga Hyo-jin di rumah sakit. Pasti kak Hea-in lelah sekali, pikirnya.

Hea-in menggeleng, “Tidak usah,” tolaknya halus.

“Aku sengaja datang bersama Kak Ji-hoon agar dia bisa mengantarmu ke rumahku,” tambah Dae-jia sedikit memaksa.

“Tidak usah Dae-jia, aku tidak apa-apa,” tolak Hea-in lagi.

Dae-jia menghela nafas, “Hah...kalau begitu, biarkan aku menemanimu malam ini menjaga Hyo-jin.”

Hea-in melirik Dae-jia sekilas, “Kekasihmu?”

“Dia kan bisa pulang sendiri,” Dae-jia berkata sembari tersenyum.

“Terima kasih,” sahut Hea-in.

“Kau tak perlu berterima kasih kak, itulah gunanya saudara,” kata Dae-jia, “kalau kau masih menganggapku saudara tentunya.”

“Tentu saja,” balas Hea-in.

“Kak Ji-hoon,” panggil Dae-jia pada kekasihnya yang duduk tak jauh dari mereka, “sepertinya jasamu tak diperlukan lagi malam ini. kau sudah boleh pulang.”

Ji-hoon mendengus pelan, “Kau pikir aku ini apa?” protesnya membuat Dae-jia tertawa, “Ya sudah aku pergi dulu, besok perlu kujemput?” Ji-hoon menghampiri Dae-jia yang sudah berdiri untuk mengantarnya.

“Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri.”

“Baiklah, aku pergi dulu. Selamat malam Nona Hea-in,” katanya pada Hea-in.

“Malam,” balas Hea-in.

Sepeninggal Ji-hoon, Dae-jia buru-buru menghampiri Hea-in dan menatap kakak sepupunya itu dengan tatapan menggoda. “Ada hubungan apa kau dengan Kak Taec-yeon?”

Hea-in mendengus sebal mendengar pertanyaan Dae-jia, “Hah...sudah kuduga tujuanmu datang ke mari adalah menanyakan hal itu.”

Dae-jia tertawa geli mendengar gerutuan Hea-in, “Ceritakan saja padaku!” paksanya.



-Studio Kyeo-wo-

“Aah....akhirnya selesai juga!” seru Yesung senang, sembari meregangkan tubuhnya. Ia dan teman-temannya baru saja selesai menulis sebuah syair lagu baru mereka yang akan dikirimkan untuk demo rekaman dan mengaransemennya.

“Ya...rasanya lega sekali,” timpal Shin-dong sembari meraih ponselnya untuk mengabari kekasihnya bahwa pekerjaannya telah selesai.

“Benar...” setuju Hee-chul, “rasanya ingin segera mengistirahatkan tubuhku. Mataku mulai memiliki cekungan hitam gara-gara tak bisa tidur memikirkan ini,” katanya sembari memperhatikan wajahnya di cermin.

“Cih...bukannya semalam kau tidur nyenyak sementara yang lain berpikir?” olok Shin-dong yang segera mendapat hadiah pelototan tajam Hee-chul.

Hee-chul malas membalas olokan Shin-dong dan memilih menggoda Jung-soo yang sepertinya sejak tadi sedang berpikir keras, “Hya! Teuk...apa lagi yang kau risaukan? Bukannya hubunganmu dengan dokter itu berjalan lancar?” tanyanya sembari menepuk pundak temannya itu.

“Aiish...kau mengagetkanku!” gerutu Jung-soo sembari menenangkan detak jantungnya.

“Hmm...benar kan? Jiwamu rupanya sedang berada di tempat lain,” komentar Hee-chul santai sembari menopangkan lengannya di pundak Jung-soo.

Sejak semalam, ia terus memikirkan kejadian di Mall saat Ah-ra bertemu dengan Ibu Taec-yeon. Walaupun ia ikut marah melihat Ah-ra dihina seperti itu, tapi ia mencoba untuk menahan dirinya agar tidak mencampuri urusan yang bukan tempatnya.

“Hah...ya sudahlah kalau kau memang tak mau cerita,” sergah Hee-chul lalu berjalan menjauh. Shin-dong yang baru saja selesai mengetik sms untuk kekasihnya, memandang teman-temannya dengan mata berbinar. “Kau kenapa? Baru mendapat lotre?” tukas Hee-chul asal.

“Aku ada ide!” katanya tak mempedulikan olokan Hee-chul.

Yesung menghentikan kegiatannya merapikan tas, “Ide apa?” tanyanya penasaran.

“Bukankah sekarang masih dalam rangka liburan musim panas?” mulai Shin-dong, “walaupun kita sudah terlambat untuk menikmati festival di pantai Haeundae, tapi festival lumpur Boryeong di pantai Daecheon baru saja dimulai pada tanggal 17 bulan ini.”

“Lantas?” tanya Hee-chul cuek.

“Bagaimana kalau kita menikmati liburan musim panas di sana?” saran Shin-dong sembari memandang teman-temannya meminta persetujuan.

“Boleh juga ide-mu,” setuju Yesung.

“Apa bagusnya berenang dalam lumpur?” gumam Hee-chul sembari meringis jijik membayangkan tubuhnya dilumuri lumpur kotor.

“Masih banyak hal lainnya yang bisa kita kerjakan di sana, selain berendam dalam lumpur tentunya,” bela Shin-dong.

“Ah...memang susah kalau memiliki teman yang berkerabat dekat dengan kerbau,” olok Hee-chul.

“Hya! Kau bilang aku kerbau?” protes Shin-dong marah.

“Ide Shin-dong tidak buruk,” komentar Jung-soo pada akhirnya bersuara, menyela pertengkaran Shin-dong dan Hee-chul, “menurut sepengetahuanku, mandi lumpur itu baik untuk kulit, karena lumpur mengandung mineral-mineral yang bisa mendetoksifikasi racun-rancun dari tubuh kita, lumpur juga bisa mengencangkan kulit.”

Semua pun tercengang mendengar penjelasan Jung-soo, “Sepertinya sejak menjalin hubungan dengan seorang Dokter, kau menjadi lebih peka terhadap isu-isu kesehatan,” komentar Shin-dong, yang lain mengangguk setuju.

“Yah...tapi benar juga yang dikatakan Lee-teuk, kalau lumpur itu baik untuk kulit,” timpal Yesung dengan wajah serius membuat yang lainnya mengalihkan perhatiannya pada Yesung, “pantas saja, kulit kerbau bisa semulus itu,” tambahnya lalu buru-buru menyembunyikan kepalanya sebelum terkena pukulan stick drum Shin-dong.

“Nah, bagaimana apa kalian setuju?” tawar Shin-dong sekali lagi.

“Aku sih setuju,” kata Yesung.

“Aku juga,” timpal Jung-soo, ia sudah membayangkan akan mengajak Ah-ra ikut serta.

Hee-chul mengangguk-angguk, “Yah...aku juga setuju, kulitku juga butuh vitamin lumpur,” katanya lalu tiba-tiba bola matanya berputar, “dan pasti banyak wanita cantik di sana,” tambah Hee-chul penuh semangat.

“Apa kau bermaksud mencari wanita lain di sana?” tiba-tiba Seung-mi sudah merangkul lengannya dengan posesif membuat Hee-chul tersentak mundur.

“S-seung-mi?” serunya, “Sejak kapan kau di sini?”

“Kaget?” tanyanya tetap menggenggam erat lengan Hee-chul, “Aku juga akan ikut ke pantai,” tegas Seung-mi membuat Hee-chul menunduk pasrah dan yang lain hanya senyum-senyum geli.



-Kantor OK Group-

Sudah dua hari ini Hea-in tidak masuk kerja. Taec-yeon pun mulai gelisah. Semarah itukah dia padaku sampai-sampai tak masuk kerja?, batin Taec-yeon resah. Ia mondar-mandir di ruangannya memikirkan apa yang terjadi dengan gadis itu. Ia meraih ponselnya untuk kesekian kalinya dan untuk kesekian kali pula ia menghapus pesan yang akan ia kirimkan pada gadis itu.

Taec-yeon menggebrak meja kerjanya, “Tidak...aku tak boleh begini, hanya gara-gara aku tak bisa melihatnya selama beberapa hari ini,” elak Taec-yeon, “memangnya dia siapa hingga membuat seorang Ok Taec-yeon menjadi blingsatan begini?” gumam Taec-yeon pada diri sendiri.

Tapi seberapa kerasnya ia mencoba untuk tak memikirkan gadis itu. Seolah otaknya tak mau berkompromi, ia kembali memikirkannya, lagi dan lagi. Tak tahan dengan semua itu, ia menghampiri meja karyawannya, “Kau tau ke mana Nona Hea-in pergi? Sudah dua hari ini dia tidak masuk,” tanyanya.

“Menurut bagian personalia, Nona Hea-in minta ijin tidak bisa masuk karena keadaan adiknya kritis,” jawab karyawan itu membuat Taec-yeon terkejut.

Taec-yeon tersenyum mengejek dirinya sendiri, Yeah...mana mungkin dia tidak masuk hanya gara-gara marah padaku, akibat kata-kataku beberapa hari yang lalu, pikirnya. Ada setitik kekecawaan di hatinya, karena ia sebelumnya mengira Hea-in marah akibat mendengar kata-katanya yang mengelak tak ingin kehilangannya.



-Seoul Medical Centre-

Hea-in bergerak-gerak gelisah di kursi ruang tunggu, di depan ruang ICU. Sebentar-sebentar ia melihat keadaan adiknya melalui jendela. Suster melarangnya sering-sering masuk ke dalam, karena Hyo-jin sedang diisolasi.

Sudah dua hari ini Hyo-jin berada di sana. Hea-in tak putus-putusnya berdoa untuk kesembuhan adiknya itu. Saat ia tengah sibuk berpikir, tiba-tiba tepukan lembut di bahunya membuatnya terkejut. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi hingga membelalakkan matanya, adalah kehadiran Taec-yeon. Pria itu tengah menyodorkan minuman kaleng dingin dan sebungkus roti ke arahnya. “Kau pasti belum makan,” katanya membuyarkan keterkejutan Hea-in, “Ambillah!”

Masih kesal, Hea-in memalingkan muka, “Untuk apa ke mari? Pergilah!” usir Hea-in ketus.

Alih-alih pergi Taec-yeon justru semakin mendekat dan duduk di bangku di sebelahnya, “Kau masih marah?”

Hea-in berputar untuk menatap pria itu, dan tersentak karena kini wajahnya dan wajah Taec-yeon hanya berjarak beberapa centimeter saja, selama beberapa detik ia terlena dengan hembusan nafas Taec-yeon yang merambati kulitnya lalu buru-buru mundur ketika ia menyadarinya, hentakan liar di jantungnya pun kembali meningkat membuat Hea-in jengah. “Kalau kau datang ke mari hanya untuk mempermainkanku, silahkan pergi saja! Aku tak butuh kepedulianmu,” tukas Hea-in kaku sembari berusaha menenangkan detak jantungnya.

“Aku datang ke sini bukan untuk bertengkar,” gumam Taec-yeon dengan nada serendah mungkin. Ia sudah berusaha untuk menahan dirinya untuk tak mengkhawatirkan Hea-in, tetapi kakinya tetap saja melangkah ke rumah sakit untuk mencari tahu bagaimana keadaannya.

“Lalu?” Hea-in mengangkat bahunya, “kau ingin bicara dengan dr. Yoon? Temui saja dia!” Hea-in beranjak dari kursinya meninggalkan Taec-yeon.

“Nona Hea-in!” panggil Taec-yeon terus membuntuti Hea-in yang berjalan ke arah taman.

“Aku tidak ingin diganggu!” sergah Hea-in.

“Setidaknya kau terima minuman dan roti ini,” rupanya kata-kata Taec-yeon itu berhasil menghentikan langkah Hea-in.

Hea-in berputar menghadap pria tampan yang saat ini sedang menyodorkan minuman dan sebungkus roti itu, ia memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “kalau ini bagian dari permainan—“

“Aku hanya tidak ingin kau sakit lagi seperti dulu, hingga menyusahkanku!” Taec-yeon kembali mengelak.

Hea-in tersenyum sinis, “Jangan khawatir, aku tak akan menyusahkanmu lagi!” katanya lalu kembali berbalik pergi.

“Tunggu!” tahan Taec-yeon, “Aku mengkhawatirkanmu!”

Tubuh Hea-in menegang, lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tanpa berbalik menatap Taec-yeon Hea-in berkata, “Berhenti mempermainkan—“

“Aku tidak mempermainkanmu,” Taec-yeon mendekat, “Aku begitu pengecut telah mengelak dari kebenaran,” mulai Taec-yeon membuat tubuh Hea-in kembali menegang penuh antisipasi, “Sebenarnya...apa yang kukatakan di hotel malam itu,” Taec-yeon berhenti sejenak, “adalah apa yang sebenarnya kurasakan,” akunya.

Hea-in menahan nafas, merasakan jantungnya berdentam kuat mendengar pengakuan Taec-yeon. Rasa haru bercampur senang membuatnya ingin menangis. Ia tak memungkiri bahwa dirinya juga mencintai Ok Taec-yeon. Hea-in berputar menghadap pria itu. Tapi, benaknya juga dipenuhi antisipasi, memikirkan kemungkinan Taec-yeon hanya mempermainkannya seperti yang sudah-sudah.

“Aku mencintaimu Hea-in!” seru Taec-yeon lantang membuatnya tercengang begitu pula Yoon Ah-ra, yang secara tak sengaja mendengar pembicaraan mereka di ujung lorong.


~To Be Continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar