Sabtu, 10 September 2011

Disaster Love - Chap 12 - Fanfiction Super Junior -


CHAPTER 12



- Studio - Lokasi shooting video klip -   

Hyun-in membiarkan asistennya menyisir rambutnya untuk terakhir kali sebelum proses shooting dimulai, sementara itu ia terus mengawasi gerak-gerik Dong-hae yang berada di seberang ruangan.

Semenjak melihat Dong-hae bersama kakaknya di rumah sakit sekitar sembilan hari lalu, Hyun-in belum pernah lagi bertemu dengan pria tersebut hingga hari ini, untuk shooting video klip soundtrack Disaster Love yang dinyanyikan Hyun-in, yang berjudul Sad Story.

Ada dua versi video klip Sad Story; yang pertama adalah cuplikan-cuplikan adegan di film, sedangkan versi kedua adalah yang sedang dibuat saat ini, dimana Dong-hae menjadi model prianya.

Sad Story berkisah tentang gadis yang diam-diam mencintai seorang pria namun tak yakin akan ketulusan pria tersebut hingga memilih berhati-hati dan menjaga jarak walau sang pria terus berusaha mendapatkan perhatian gadis tersebut. Sesuai judul lagunya, kisah tersebut berakhir sedih karena di saat sang gadis akhirnya mempercayai pria tersebut, semua sudah terlambat… pria itu jatuh cinta dan menikah dengan wanita lain.

“Hyun-in,” sapa Dong-hae ramah ketika Hyun-in menghampirinya. “Tidak gugup menghadapi shooting pertamamu?”

Hyun-in ikut tersenyum. “Sebenarnya, aku cukup gugup.”

“Tenang saja, kau pasti melewatinya dengan baik,” dukung Dong-hae.

“Nona Kang, Lee Dong-hae, kita mulai sekarang!” panggil seorang kru.

“Semangat!” kata Dong-hae sambil menepuk pundak Hyun-in.

Hyun-in bersiap ditempatnya, menunggu aba-aba dari sutradara untuk melangkah maju. “Action!” seru sutradara, dan ia pun berjalan di antara kursi-kursi yang berjejer membentuk lorong menuju altar dimana Dong-hae tengah berdampingan dengan seorang model wanita dan pendeta. Studio ini di setting menjadi sebuah gereja kecil bernuansa putih, serasi dengan gaun pengantin yang dikenakan sang mempelai wanita.

Sembari berjalan, kedua mata Hyun-in terpaku sepenuhnya pada Dong-hae yang tengah tersenyum manis pada si model wanita. Tiba-tiba saja ingatan tentang kakaknya, Hea-in, dan Dong-hae bersama di rumah sakit waktu itu menyerbu benaknya.

Aku tidak sebanding dengan kak Hea-in… tentu saja kak Dong-hae lebih menyukai kakak… aku hanya bocah ingusan jelek bila dibandingkan dengan kak Hea-in yang dewasa dan mempesona… seharusnya aku menyadarinya dari dulu… seharusnya aku tidak banyak berharap, pikirnya sedih.

Dan semua kesedihan tersebut tergambar di wajahnya, membuat sang sutradara melihatnya dengan tersenyum puas, mengira Hyun-in sedang berakting. Sang sutradara memberi aba-aba pada asistennya, yang segera memutar rekaman lagu Sad Story yang dinyanyikan Hyun-in.

Sesuai instruksi yang telah diberikan padanya sebelumnya, begitu mendengar music, Hyun-in segera bersiap, dan ketika rekaman suaranya mulai mengalun, ia pun menyanyi tanpa suara.




Bukankah kau yang berkata menyukaiku
Bukankah kau yang berkata mencintaiku
Tapi kini kau berpaling dariku…
Tapi kini kau meninggalkanku…


Walau tengah merenung muram, namun Hyun-in masih mengingat apa yang diperintahkan oleh sutradara untuk dilakukannya. perlahan ia menghentikan langkahnya sembari mengulurkan tangan, seolah berusaha menggapai Dong-hae, namun kembali menurunkan tangannya, dengan kesedihan dan rasa putus asa yang sebenarnya. Aku tak ingin terluka lagi… aku tak mau membenci kak Dong-hae yang kuidolakan karena rasa sukaku padanya yang tak terbalas… lebih baik aku menyerah sekarang… sebelum aku membencinya…

sang sutradara semakin tersenyum puas melihat apa yang dipikirnya acting penuh penghayatan Hyun-in tersebut. Tak dikiranya putri bungsu Kang Ha-jong itu memiliki bakat acting seperti ini.

Sesuai aba-aba, Dong-hae yang tengah tersenyum pada model wanita yang menjadi mempelainya, menoleh ke arah Hyun-in. ia menampilkan ekspresi terkejut yang sempurna.

“Kau…” ucap Dong-hae tak lebih dari sekedar bisikan.

Bertatapan dengan Dong-hae membuat Hyun-in terpaku. Seharusnya ia menggeleng pelan dengan raut wajah sedih, lalu berbalik meninggalkan Dong-hae dan mempelainya dengan dramatis, namun sekarang Hyun-in hanya berdiri diam sekaku patung.

Kenapa kak Hea-in harus memilih kak Dong-hae dari begitu banyak pria? Kenapa? Kenapa? batin Hyun-in sedih.

“Cut!” seru sutradara. “Nona Kang, kenapa kau diam saja!?”

“Hyun-in?” panggil Dong-hae cemas.

Seketika Hyun-in tersadar. “Ah, maaf, aku tadi…” ia terdiam, tak tahu harus menjelaskan apa. “Maaf, tak akan kuulangi lagi.”

“Ah, ya sudahlah, tidak apa-apa, lagipula ini pengalaman pertamamu,” kata sutradara, jadi tak tega ketika melihat rasa bersalah di wajah cantik Hyun-in yang polos. “Baiklah, ayo kita mulai lagi.”

Hyun-in membungkuk meminta maaf, lalu menghela napas. Aku mungkin memiliki banyak kekurangan dibandingkan kak Hea-in, tetapi “tidak professional” tak akan masuk dalam daftar itu, pikirnya, berusaha memusatkan konsentrasi dan mengesampingkan masalah pribadinya untuk sementara.



- Kediaman keluarga Kang -                       

Hea-in menatap ponselnya gemas. Tepatnya pada pesan penolakan yang diterimanya dari Dong-hae. Lagi. semenjak pergi karaoke waktu itu, mereka tidak pernah bertemu. Bukannya kurang usaha dari Hea-in untuk mengajak pria itu berkencan, hanya saja Dong-hae selalu mempunyai alasan untuk menolak.

“Dia tak boleh terus mengacuhkanku seperti ini! Dia seharusnya bersyukur seorang Kang Hea-in menaruh minat padanya!” geramnya. “Hah… kenapa dia tidak mudah ditaklukkan seperti pria lain!?”

“Aku pergi dulu,” kata Hyun-in sopan saat menuruni tangga dan melihat kakak pertamanya itu tengah duduk di ruang keluarga.

“Hmm,” sahut Hea-in acuh tak acuh, namun ketika melirik Hyun-in dan dilihatnya adiknya itu membawa sebuah tas besar, ia menjadi sedikit penasaran. “Mau ke mana kau?”

Hyun-in berhenti, sedikit terkejut melihat keingintahuan kakaknya tersebut terhadap aktivitasnya. “Shooting video klip single pertamaku,” jawab Hyun-in. hari ini dia dan Dong-hae akan melakukan proses shooting di taman.

“lagu yang menjadi soundtrack Disaster Love?” tanya Hea-in. tiba-tiba teringat olehnya pernah mendengar kabar Dong-hae akan menjadi model pria video klip tersebut. “Apakah Dong-hae yang menjadi model prianya?”

Sesaat Hyun-in hanya menapat kakaknya itu dalam diam sebelum mengangguk mengiyakan. “Kau tak tahu?”

Hea-in tak menghiraukan pertanyaan tersebut, dan balik bertanya. “Di mana lokasinya?”

Hyun-in mendapat firasat Hea-in berencana datang ke lokasi shooting, tetapi tak dapat menolak untuk memberitahu, dan dengan terpaksa menyebutkan lokasinya.

Sepeninggal Hyun-in, Hea-in bangkit dari sofa dan melangkah ringan menaiki tangga menuju kamarnya. Senyum kesal terukir di bibirnya.

“Lee Dong-hae… kau sengaja tak memberitahuku? Takut aku mendatangimu? Tak ingin kuganggu? Sial.” makinya.



- Taman, lokasi shooting -                         

Walaupun terik matahari membuatnya berkeringat, tetapi Dong-hae harus berlari mengejar Hyun-in sesuai tuntutan sutradara. Ini hari kedua shooting video klip, dan kali ini proses shooting untuk menceritakan masa lalu ketika si pria masih mengejar-ngejar cinta si gadis yang terus menolaknya. Di taman ini memiliki banyak kenangan untuk mereka. perjumpaan pertama, pertanyaan cinta, juga “kencan yang bukan kencan”.

“Cut!” seru sutradara. “Kita istirahat sebentar,” katanya.

Dong-hae langsung dihampiri asistennya, yang menyodorkan handuk kecil untuk mengelap keringatnya.

“Kerja bagus,” puji Dong-hae pada Hyun-in.

“Ah, terima kasih,” sahut Hyun-in sopan namun dengan nada datar tanpa emosi dan keramahannya seperti biasa. Hal ini sedikit membingungkan Dong-hae. sejak kemarin Hyun-in seolah menjaga jarak dan menjauhinya.

Apakah aku melakukan kesalahan? Pikir Dong-hae sambil melirik Hyun-in yang sedang duduk di sebelah sutradara, melihat hasil rekaman tadi. Atau… mungkin karena pernyataan cintanya ketika mabuk waktu itu? mungkin dia masih malu?

Beberapa menit kemudian shooting kembali dilanjutkan, tetapi kali ini hanya Hyun-in seorang diri, dengan gaun hitam yang dipakainya untuk shooting kemarin, karena dikisahkan setelah pergi dari pernikahan pria yang dicintainya dengan wanita lain, si gadis mendatangi taman ini, menangis sambil mengingat semua kenangan mereka di tempat ini, juga menyesali diri sendiri karena menolak pria tersebut.

Melihat kesedihan dan air mata Hyun-in, Dong-hae merasa kagum. Ia tak menyangka penghayatan gadis itu akan sebagus ini. terduduk di kursi taman, terlihat begitu rapuh dan kesepian sembari menyanyi tanpa suara seperti kemarin dengan diiringi rekaman lagunya.


      Seandainya dapat kuputar kembali waktu…
      Kusesali… tapi sesal tak lagi berarti…
      Inilah akhir kisahku dan dirimu…
      Uuooo…
      My sad story…


Inilah akhir kisahku dan dirimu… lirik itu terus bercokol di benak Dong-hae. ditatapnya ponsel yang tengah digenggamnya. Di layarnya tertera nomor ponsel Seo-min. Inilah akhir kisahku dan dirimu…

“Akhir kisahku dan Kang Seo-min,” gumam Dong-hae, lalu menghapus nomor tersebut dari ponselnya.

Brmmmm… brmmm… suara deruman motor membuat Dong-hae mendongak, dan melihat seorang pria bertubuh besar dengan motor sport menepi di dekat mobil-mobil yang terparkir di sepanjang taman. Tapi yang membuat Dong-hae melotot kaget adalah sosok yang dibonceng pria besar tersebut; Kang Hea-in.

Wanita itu mengenakan jaket dan hot pants hitam serta sepatu boots biru. Terlihat amat percaya diri dan “bersinar” ketika turun dari motor, lalu berjalan menghampiri Dong-hae yang memang berdiri di tempat yang mudah terlihat oleh wanita itu.

“Kuharap itu ekspresi terpesona,” komentar Hea-in ketika semakin dekat.

Ada yang janggal dari cara berjalannya, pikir Dong-hae, dan akhirnya mengetahui penyebabnya. Lutut gadis itu ditutupi perban dan plester, dan ada beberapa goresan-goresan luka di paha yang sebelumnya putih mulus.

“Kau terluka?” tanya Dong-hae.

Hea-in berdeham tak nyaman karena malu. “Tak sopan mengungkit-ungkit hal semacam itu di depan wanita,” gerutunya.

“Bagaimana tidak, bila itu terpampang jelas di depan mataku?” sahut Dong-hae. “Apa yang terjadi? Dan untuk apa kau datang ke mari?” sesaat Dong-hae berhenti untuk melirik si pria besar yang duduk santai di atas motornya, tengah asyik mengamati proses shooting Hyun-in. “Aku tak pernah menyangka akan melihatmu naik motor. Itu supirmu?”

Sekali lagi Hea-in berdeham. “Kau tidak bilang kalau ‘kesibukan’ yang kau maksud salah satunya adalah shooting video klip Hyun-in,” serangnya, berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Kupikir kau sudah tahu,” elak Dong-hae. “Apa karena itu kau kemari?”

“Kenapa? Tak suka aku mengunjungimu?”

“Sepertinya suka atau tak sukanya diriku tak berpengaruh apa-apa bila kau memang ingin datang, bukan begitu?” balas  Dong-hae. “Apa kau sudah ke dokter?” tanyanya tiba-tiba, menatap ke luka Hea-in.

“Sudah,” jawab Hea-in singkat, masih kesal dengan penyambutan Dong-hae yang tak sesuai harapannya.

“Kau jatuh dari motor?” tanya Dong-hae. “Tapi sepertinya supirmu tidak terluka sediktpun… ataukah hanya tidak terlihat karena tertutup pakaiannya?” tambahnya sambil mengamati si pria besar.

Hea-in diam saja, dan berpura-pura menonton shooting adiknya. “Hmm…” gumam Dong-hae, berniat pergi. “karena tak ada lagi yang ingin dibicarakan, aku—“

Hea-in mendelik kesal pada Dong-hae. “Aku jatuh ketika mencoba mengendarai motor sialan itu!” semburnya.

Sesaat Dong-hae terdiam karena kaget, lalu tertawa. “Maaf,” katanya buru-buru ketika melihat Hea-in tersinggung. “Tapi… maksudku, aku tak pernah mengira kau… kau…” karena geli, ia tak dapat menemukan kalimat yang pas yang tak akan menyinggung Hea-in. “Jadi, karena gagal mengendarainya sendiri, kau menyewa pria besar itu?” Dong-hae tak tahan dan kembali tertawa. “Untuk apa? kau ingin pamer naik motor sport? Astaga… Kang Hea-in, kau benar-benar tak dapat ditebak…”

Hea-in bersedekap. “Bukankah kau suka pada Seo-min karena dia mengendarai motor besar!?” semburnya.

Seketika tawa Dong-hae berhenti. Beberapa detik dia membisu sebelum akhirnya bersuara. “Aku memang kagum pada caranya mengendarai motor sebesar itu,” akunya. “Tapi bukan karena itu aku menyukainya.”

“Lalu karena apa!?” tuntut Hea-in. “Apa lagi yang bisa membuatmu tertarik pada gadis sepertinya!?”

Dong-hae tak suka mendengar cara Hea-in merendahkan adiknya, tetapi ia memilih tak menghiraukan hal tersebut agar tak memperpanjang masalah.

“Entahlah,” jawabnya dengan nada datar. “Lagi pula itu dulu. Aku tak ingin mengungkitnya lagi,” tambahnya.

“Hmm…” gumam Hea-in, menatap Dong-hae tak yakin.

“Maaf, aku tidak bisa menemanimu, karena harus kembali shooting,” kata Dong-hae, lalu berbalik pergi meninggalkan Hea-in. namun baru dua langkah, dia setengah berputar untuk menatap luka gadis itu, sebelum beralih menatap matanya. “Kau menarik dengan caramu sendiri. Tak usah berusaha untuk menjadi sosok yang bukan dirimu, apalagi bila hal tersebut dapat melukaimu.”

Seketika, wajah cemberut Hea-in menjadi cerah. Senyum lebarnya begitu mempesona hingga para pria di sekitarnya tak dapat mengalihkan pandangan dari sosoknya.

“Seharusnya kau jangan berkata-kata manis padaku,” katanya pada akhirnya, setelah meredam kegembiraannya. “Karena sekarang aku benar-benar tak akan melepasmu.”

Dong-hae hanya bisa menghela napas sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Wanita dan kekeraskepalaan mereka. siapa yang bisa mengerti wanita? batinnya.



Konsentrasi Hyun-in sempat terpecah ketika tiba-tiba melihat kehadiran kakaknya, namun ia berusaha tetap professional dan tak menghiraukan perasaan cemburunya ketika dari sudut matanya melihat interaksi Hea-in dan Dong-hae.

Hea-in yang memang sedang tak memiliki kegiatan hari ini, tetap berada di sana hingga shooting usai.

“Kau harus mengantarkanku pulang.” Hyun-in diam-diam melirik ketika mendengar perkataan Hea-in pada Dong-hae.

Dong-hae menoleh ke kiri dan kanan. “Bukankah kau kemari dengan motor dan—“

“Dia sudah pergi,” sela Hea-in.

“Dia meninggalkanmu begitu saja?” tanya Dong-hae kaget.

“Aku yang menyuruhnya pergi,” jawab Hea-in enteng. “Agar aku bisa pulang bersamamu,” tambahnya terus terang. “Lagi pula aku memang hanya menyewanya dan motornya beberapa jam saja.”

Dong-hae menghela napas. “Kau bisa pulang bersama Hyun-in—“

“Dia sibuk dan tak langsung pulang ke rumah, bukan begitu, Hyun-in?” tba-tiba ia bertanya pada adiknya.

“Ah, ya, aku memiliki janji dengan temanku…” jawab Hyun-in cepat.

“Kau dengar sendiri,” kata Hea-in puas. “sedangkan aku sedang dalam keadaan seperti ini… dan ingin segera beristirahat di rumah” kata Hea-in penuh tipu daya sambil menunjuk lukanya. “lagipula aku mendapat luka ini karenamu, setidaknya kau harus bertanggung jawab.”

“Aku!?” seru Dong-hae tak percaya. “Bagaimana bisa karena aku? Hah… ya sudahlah,” gerutunya mengalah.

“aku pergi dulu,” pamit Hyun-in sopan. “Terima kasih sudah bersedia bekerjasama denganku,” tambahnya khusus pada Dong-hae.

Dong-hae tersenyum ramah. “Aku justru senang dapat bekerjasama denganmu,” katanya. “Hati-hati di jalan.”

“Ya, kalian juga,” sahut Hyun-in, kemudian berlalu pergi.

“Kau kelihatan lelah,” tegur Choi Pil-sook, manager Hyun-in. “berikan kunci mobilmu padaku, akan kusuruh orang kantor kemari untuk membawanya pulang, kau ikut denganku,” katanya.

Hyun-in menggeleng. “Aku baik-baik saja. Aku pergi dulu,” katanya sambil masuk ke dalam mobilnya. Ketika memutar mobil, ia melihat Dong-hae tengah membantu Hea-in memasuki van-nya, dan dengan segera ia membuang muka, tak ingin melihat lebih banyak keakraban mereka.

Selama beberapa saat Hyun-in menyetir dengan setengah melamun, bahkan tidak mendengar ponselnya yang terus berbunyi sejak tadi. baru ketika berhenti karena lampu merah, ia tersadar.

Karena masih terbayang-bayang tentang Dong-hae dan Hea-in, Hyun-in tak mengecek siapa peneleponnya.

“Halo?” sapanya dingin.

“Kang Hyun-in?” sebuah suara yang familiar balik bertanya.

Hyun-in menjauhkan ponsel dari telinganya untuk mengecek nama penelepon, tetapi ternyata nomor asing. “Siapa ini?” tanyanya.

“Kau membelikanku barang murahan, ya!?” omel si penelepon, tanpa repot–repot menjelaskan identitasnya.

Hyun-in memijat keningnya. “Siapa ini—“ ulangnya.

“Kenapa kulihat banyak sekali orang yang memakai kalung ponsel yang serupa dengan milikku!?  Seorang nenek tua, petugas pom bensin, hingga cleaning service di perusahaanku memakai kalung ponsel yang sama denganku!”

Akhirnya Hyun-in mengetahui siapa orang sinting yang meneleponnya ini. Cho Kyu-hyun.

“Benarkah? Maaf, akan kuganti nanti,” sahut Hyun-in tanpa semangat.

Hening sejenak. Sebenarnya Kyu-hyun berbohong, ia hanya sedang bosan dan ingin mengganggu Hyun-in, ingin mendengar kegugupannya karena rasa bersalah dan tak enak hati, tetapi malah reaksi pasrah tanpa emosi seperti ini yang ia dapat.

“Ada apa denganmu?”

Lampu hijau. Hyun-in kembali menjalankan mobilnya. “Bila hanya itu yang ingin kau katakan—“

“Kutanya, ada apa denganmu!?” sela Kyu-hyun menuntut.

“Tak ada—“

“Keledai pun tak akan percaya pada kebohonganmu,” kata Kyu-hyun.

Hyun-in mendesah frustasi. “Terserah padamu kalau begitu,” gumamnya. “Akan kututup teleponnya—“

“Tunggu!” tahan Kyu-hyun. “Ayo kita beli yang baru sekarang.”

“Yang baru?” ulang Hyun-in sedikit linglung.

“kalung ponselku,” terang Kyu-hyun. “Kita bertemu di mall yang waktu itu saja. Aku akan segera berangkat sekarang. Ah… kau sedang tidak sibuk, kan?” tanyanya belakangan, baru teringat untuk menanyakan jadwal Hyun-in.

Hyun-in memijat keningnya lagi. “Baiklah, kita bertemu di sana,” katanya mengalah.



- Minx Mall -

“Kau mengemudi segesit siput ya? Kenapa lama sekali?” gerutu Kyu-hyun sambil menjauh dari dinding yang disenderinya saat menunggu Hyun-in tadi.

“Maaf,” ucap Hyun-in pelan. Pandangan gadis itu terarah pada kalung ponsel yang tergantung di leher Kyu-hyun. “Bukankah kakak bilang tak menyukainya? Kau bilang murahan, tapi kenapa kau pakai?”

Kyu-hyun memakai kacamata hitamnya untuk menyembunyikan binar di matanya. “Aku Cho Kyu-hyun. Segala sesuatu yang kupakai akan tampak bagus tak peduli seberapa jelek atau murahannya benda tersebut,” katanya tenang, tak malu sama sekali dengan kata-katanya yang terlalu memuji diri  sendiri. “Lagi pula aku tak mungkin bersikap tak sopan padamu yang telah membelikannya untukku,” tambahnya.

Hyun-in memandangi Kyu-hyun dengan tak habis pikir. Menghargai pemberianku, tetapi mengatai pemberianku murahan? Apa maksudnya sebenarnya?

Tanpa disadarinya, masalah Dong-hae dan Hea-in perlahan tak lagi mengusiknya, karena kehadiran Kyu-hyun, tingkahnya, dan kata-katanya yang membuat Hyun-in kesal tapi juga terhibur di saat bersamaan.

“Bagaimana dengan yang ini?” tawar Hyun-in, menyodorkan sebuah kalung ponsel dengan motif macan tutul.

“Norak,” sahut Kyu-hyun acuh tak acuh, asyik mengamati gantungan ponsel yang dipajang di toko aksesoris itu.

“Yang ini?” tanya Hyun-in, memilihkan yang lain.

Kyu-hyun melirik, lalu berdecak melihat taburan permata di kalung ponsel tersebut. “Kau pikir aku wanita!?” omelnya.

“Lalu kakak mau yang mana!?” Hyun-in mulai tak sabar.

Memunggungi Hyun-in, Kyu-hyun kembali asyik mengamati gantungan ponsel. “Aku mau melihat yang ini,” katanya  pada penjaga toko, menunjuk sebuah gantungan ponsel berbandul seorang malaikat. “Nona? Nona? Aku mau lihat yang ini,” ulang Kyu-hyun pada wanita yang tengah menatapnya terpesona itu.

Wanita penjaga toko itu segera tersadar dan buru-buru mengambilkan gantungan tersebut. Hyun-in tersenyum geli melihat reaksi wanita itu. Ia menoleh ke kiri dan kanan, melihat berpasang-pasang mata yang tengah mengamati mereka, khususnya Kyu-hyun.

“Kakak yakin tak apa seperti ini?” bisik Hyun-in, melirik gerombolan gadis yang histeris melihat kehadiran Kyu-hyun.

“Memangnya kenapa?”

“Orang-orang mungkin salah paham melihat kita bersama seperti ini.”

“Aku sudah biasa menghadapi kesalah pahaman.”

Mengapa orang ini menganggap enteng segala hal? gerutu Hyun-in dalam hati. “Aku ambil yang ini,” kata Kyu-hyun pada si penjaga toko setelah mengamati lebih dekat gantungan ponsel malaikat tersebut.

“Kakak mau yang itu?” tanya Hyun-in sambil mengeluarkan dompetnya.

Kyu-hyun merebut dompet Hyun-in, menutupnya, lalu memasukkannya kembali ke tas gadis itu. “Aku tidak memintamu membayarkannya,” katanya tegas. Ia terlihat seolah ingin bicara lebih banyak, tapi perhatiannya teralih oleh gantungan ponsel lain yang berbandul bocah iblis berwajah nakal. Senyum mengembang di wajah Kyu-hyun. “Aku mau yang itu juga,” pintanya pada si penjaga toko, lalu mengeluarkan dompetnya untuk membayar.

“Jadi kakak mau kalung ponsel yang mana?” tanya Hyun-in, tapi tak dihiraukan oleh Kyu-hyun.

“Tak usah dibungkus,” kata Kyu-hyun, lalu berbalik untuk memberikan gantungan ponsel berbandul bocah iblis pada Hyun-in. “Untukmu.”

“Eh? Untukku?” tanya Hyun-in kaget.

“Harus kau pakai untuk menghargaiku,” kata Kyu-hyun tegas.

“Emm…” gumam Hyun-in sembari menatap gantungan ponsel malaikat yang sedang dipasang Kyu-hyun di ponselnya sendiri. “Kenapa aku tidak yang itu saja?” tanyanya, menunjuk benda tersebut.

“Kau lebih pantas memakai yang itu,” sahut Kyu-hyun enteng, menunjuk gantungan ponsel bocah iblis di tangan Hyun-in dengan gerakan dagunya.

Hyun-in semakin kebingungan. Bagaimana mungkin iblis pantas untuknya? Tetapi tak ingin berdebat yang tak perlu, ia memasang gantungan ponsel tersebut tanpa banyak bicara.

“terlihat bagus,” komentar Kyu-hyun puas sambil mengamati ponselnya dan ponsel Hyun-in. tiba-tiba ponselnya berbunyi. “Halo?” sapanya.

“Kau di mana?” tanya Ye-sung. “Aku dan Ryeo-wook menjemput ke apartemenmu tapi kau tak ada.”

Kyu-hyun melirik Hyun-in sekilas. “Ada apa memangnya?” ia balik bertanya tanpa repot-repot menjawab pertanyaan kakaknya itu.

“Kau ini bagaimana, malam ini kita mau merayakan ulangtahun kak Hee-chul, kan?”

Sebenarnya, Kyu-hyun benar-benar lupa. “Aku tahu, tapi kan masih beberapa jam lagi, aku masih di luar sekarang.”

“tapi kami semua sepakat berkumpul di apartemen sewaan mereka sebelum malamnya berpesta,” kata Ye-sung. “sudah lama kita tidak bisa berkumpul semua seperti ini, jadi cepat selesaikan urusanmu dan segera datang,” perintahnya.

Kyu-hyun kembali melirik Hyun-in. “Hmm. Tunggu saja aku pasti datang.” Klik. Ditutupnya teleponnya. “Ayo kita pulang, aku ada urusan.”

“Eh, tapi… jadi kalung ponsel mana yang kakak mau—“

“Tak ada. Aku sudah puas dengan pemberianmu,” sahut Kyu-hyun santai. “Ayo,” digenggamnya tangan Hyun-in dan ditariknya menuju pintu keluar, membuat gadis-gadis di sekitar mereka menjerit iri.

Hyun-in merona malu. Ia jarang disentuh pria, dan bergenggaman tangan seperti ini hal baru untuknya. tanpa diinginkan, jantungnya berdebar-debar. Segera dilepaskannya tangannya dari genggaman Kyu-hyun.

“Jadi… jadi kau mengerjaiku!?” untuk menutupi rasa malu dan debaran aneh yang tengah dirasakannya, Hyun-in membentengi diri dengan amarah.

Kyu-hyun menyunggingkan senyum nakalnya sambil menepuk-nepuk kepala Hyun-in. “Terima kasih, aku cukup terhibur hari ini,” katanya. “Sampai jumpa nanti,” tambahnya sebelum melenggang pergi bak pragawan.

Cho Kyu-hyun sialan, maki Hyun-in dalam hati. Ditatapnya gantungan ponsel bocah iblisnya yang baru, dan disentilnya benda tersebut. “Sebenarnya kau yang lebih pantas memakai gantugan ponsel ini,” gerutunya.



- KBS -    

Seo-min keluar dari gedung KBS dan berjalan menuju tempat motornya diparkir. Tak terasa hari sudah malam. Ia datang sore tadi karena ada rapat mendadak untuk membicarakan proyek drama yang sedang dibuatnya.

Saat sedang memakai helm, Seo-min terkejut melihat Sung-min yang baru saja keluar dari gedung KBS dengan langkah terburu-buru. Rupanya dia juga ada pekerjaan di sini hari ini, pikirnya acuh tak acuh sambil menyalakan mesin motornya.

Dengan sengaja Seo-min melintas di depan Sung-min, dan cukup puas melihat kekagetan pria itu, sebelum melajukan motornya.

Sebelum pulang, Seo-min singgah di toko kue langganannya. Toko itu bersebelahan dengan warnet yang selalu dipenuhi anak-anak sekolahan, dan tanpa disadarinya, ada beberapa pasang mata yang mengawasinya.

Seo-min baru mulai merasa bahwa dirinya sedang diikuti ketika melintasi daerah sepi. Dari kaca spionnya ia melihat segerombolan motor mengikutinya. Seo-min menambah laju kecepatan motornya, tetapi motor-motor itu juga dengan sengaja melajukan kendaraan mereka dan menghalangi jalannya dengan mengepungnya.

“Apa-apaan ini!?” bentak Seo-min marah.

Para penguntit Seo-min adalah pemuda sekolahan, lengkap dengan seragam SMU mereka. salah satunya turun dari motor dan mendekati Seo-min, mencermati wajahnya.

“Ya, benar, sudah kuduga memang dia,” kata pemuda itu.

“Kau ada urusan apa denganku!?” tanya Seo-min kasar. Dengan cepat ia menghitung jumlah pemuda-pemuda tersebut. Sepuluh orang. sial.

“Dia yang menghajar kami waktu itu,” adu pemuda itu pada teman-teman di belakangnya.

Mata Seo-min menyipit. Ahh… si pendek waktu itu! ingatnya. Anak yang menyerang Sung-min dan Ki-bum dulu. Brengsek… sekarang dia ingin mengeroyokku dengan teman yang lebih banyak rupanya.



Sung-min keluar dari gedung KBS untuk kedua kalinya. saat sebelumnya ia keluar, Sung-min harus masuk kembali karena dipanggil produser acara yang diikutinya tadi. ketika sudah duduk nyaman dalam mobilnya, Sung-min teringat pada Seo-min. tak disangkanya akan bertemu gadis itu selain di lokasi shooting Disaster Love.

Gadis pembuat onar, pikir Sung-min sebal. Memang, hubungannya dan Dong-hae sudah membaik, tetapi tersisa rasa janggal dan tak nyaman saat mereka bersama karena masalah Seo-min.

Sung-min tengah membuka bajunya, untuk berganti dengan pakaian lain yang telah disiapkan asistennya untuk keperluan acara selanjutnya, ketika melihat Seo-min mengendarai motornya berdampingan dengan mobilnya.

Apa-apaan ini? dia mengikutiku atau apa? pikir Sung-min heran. Bukankah dia sudah pergi lebih dulu dariku?

Tapi Seo-min sepertinya tak mengenali van perusahaan yang ditumpangi Sung-min, karena tak sekalipun dia menoleh. Terlihat amat berkonsentrasi pada jalanan atau mungkin melamun, putus Sung-min mengamati. Karena bahkan dia tak menyadari ada segerombolan motor yang mengikutinya. Apa aku berlebihan? Tapi sepertinya mereka memang mengikuti Seo-min, pikir Sung-min, terus mengamati keluar jendela.

Kecurigaan Sung-min berlipat ganda ketika melihat gerombolan pemuda bermotor itu ikut berbelok seperti Seo-min.

“Belok!” perintah Sung-min pada Supirnya yang kaget dan heran. “ikuti motor-motor itu!”

“Kau mau apa!?” protes managernya. “kita sudah hampir terlambat untuk acaramu selanjutnya.”

Sung-min tak menghiraukannya. “Cepat ikuti mereka!” perintahnya pada si supir. Sung-min kesal karena sempat kehilangan jejak Seo-min dan para penguntitnya, tetapi ketika ia hampir memutuskan untuk menyudahi pencarian, terlihat olehnya segerombolan pemuda yang membentuk lingkaran di tengah jalan. Walaupun tak melihat sosok Seo-min, tapi entah mengapa Sung-min yakin Seo-min ada di antara mereka.

“Berhenti!” perintah Sung-min.

“Kau mau apa? Sung-min!” panggil managernya geram ketika melihat Sung-min keluar dari mobil.

“Sebentar,” kata Sung-min.

“Setidaknya pakai baju!” seru asistennya, melempar sebuah jaket hijau yang dengan sigap ditangkap oleh Sung-min.

“Hubungi polisi,” perintah Sung-min, kemudian berbalik dan bergegas mendatangi gerombolan itu sembari memakai jaketnya.



Plak. Sebuah tamparan pedas mendarat di pipi kanan Seo-min, melukai sudut bibirnya. Dengan marah ia meludah ke arah pemuda yang menamparnya itu, dan dihadiahi tamparan lain di pipi kirinya.

Seo-min memberontak, tetapi kedua pemuda yang memeganginya amat kuat, belum lagi gerombolannya yang seolah siap menelan gadis itu hidup-hidup, membuatnya tak dapat berbuat banyak untuk meloloskan diri.

“Mengatasi gadis seperti ini saja kalian tidak bisa!?” hina pria yang menampar Seo-min pada ketiga pemuda yang pernah dihajar Seo-min karena mengganggu sung-min dan Ki-bum waktu itu.

“Waktu itu dia membawa pisau!” si pendek membela diri.

“Juga pistol, bos!” timpal si wajah sangar.

“Kalian akan menyesali ini,” desis Seo-min. matanya nyalang oleh amarah. “Aku bersumpah.”

Si pemuda yang tampaknya bos gerombolan ini, juga orang yang telah menampar Seo-min, mencengkram dagu gadis itu.

“Kau yang akan menyesal karena berani berurusan denganku… dan anak buahku.”

“Sebaiknya kau lepaskan dia sekarang,” kata Sung-min dingin.

Serentak semua mata menatap pria yang kedatangannya tak diketahui tersebut.

“Lee Sung-min!” ucap Seo-min terkejut.

“Hei, bukankah dia artis?”

“Memangnya dia orang terkenal?”

“Bodoh! dia member Super Junior!”

Terdengar bisik-bisik diantara pemuda itu, sementara ketiga orang yang pernah berusaha menyerangnya dulu, membisikkan sesuatu pada bos mereka.

“Pinky Boy, pulanglah! Jangan menambah masalahku. Sekarang aku tidak bisa menolongmu,” perintah Seo-min menggerutu.

Nyaris saja Sung-min meninggalkan gadis itu karena mulutnya yang selalu mengucapkan kata-kata menyebalkan, tetapi keselamatan gadis itu tentu saja lebih penting dibanding rasa terhinanya.

Si bos tertawa menghina sembari berjalan menghampiri Sung-min. “Woah, lihat ini… sang member Super Junior yang terkenal,” ejeknya. “Mau ikut bermain bersama kami? Sayangnya kami tak punya Barbie untukmu.”

“Lepaskan dia,” perintah Sung-min tenang.

“Hmmm… bagaimana bila aku tak mau?” tantang si Bos sambil menumpangkan tangannya di pundak Sung-min.

Kejadiannya begitu cepat. Sangat-sangat cepat dan mengejutkan, sehingga Seo-min tak yakin apa yang terjadi. Tiba-tiba saja si Bos gerombolan pemuda itu telah terbaring di jalan, mengerang-erang kesakitan, sementara Sung-min yang dikhawatirkannya berdiri tegap dan amat santai.

Selama beberapa saat para pemuda yang lain hanya ternganga kaget, karena bos mereka dipilih bukan dengan cara sembarangan. Dia yang paling jago berkelahi diantara mereka. bagaimana mungkin bisa dijatuhkan semudah itu!? dalam hitungan detik!? Oleh seorang idola berwajah manis!?

Mengambil kesempatan disaat kedua pemuda yang sedang memeganginya lengah Seo-min memberontak dengan menginjak kaki yang satu dan memukul wajah yang lain, lalu menendang perut kedua pemuda tersebut hingga jatuh terduduk. Suara langkah di belakangnya membuat Seo-min siaga, dan berputar sembari bersiap menyerang, namun ia tak sempat melakukan apa-apa karena Sung-min sudah membereskannya dengan sebuah tendangan berputar yang terlihat amat indah.

Seo-min benar-benar ternganga tak percaya melihat aksi Sung-min yang melawan gerombolan tersebut dengan jurus-jurus yang sepertinya selama ini hanya pernah dilihatnya di film-film silat China. Ini… Lee Sung-min, kan? Si Pinky Boy? batinnya takjub.

Seo-min tersentak kaget ketika tiba-tiba Sung-min berlari ke arahnya, meraih pundaknya, membawanya berputar, yang ternyata untuk menghajar pemuda yang mengenendap-endap ingin memukul seo-min dengan kayu dari belakang.

“Apa yang kau lakukan!? Kenapa melamun di saat seperti ini!?” omel Sung-min.

Seo-min tak bersuara. Dia hanya terdiam dalam rengkuhan Sung-min, dan tak lepas-lepasnya menatap wajah pria itu, seolah mempelajari sebuah spesies langka.

Suara sirine mobil polisi membuat Sung-min menghela napas lega. Dilihatnya bocah-bocah yang bergeletakan di sekelilingnya, berniat kabur dari polisi namun tak cukup kuat untuk melakukan hal tersebut.          

Manager dan asisten Sung-min berlari menghampiri mereka. “Oh astaga, astaga,” ucap si asisten kaget melihat tubuh-tubuh di sekelilingnya.

“Kau tidak apa-apa!?” tanya managernya khawatir. “Oh! Astaga, lihat, ada memar di pipimu!“ katanya panic.

Sung-min menyentuh pipinya dan sedikit meringis. Entah siapa tadi memang berhasil meninjunya. “Tidak parah,” katanya menenangkan.

Manager sung-min mengomeli pernyataan menyepelekan tersebut, tetapi Sung-min tak mendengarkan. Ia kembali menatap Seo-min yang masih diam seribu bahasa. Mungkin shock? Pikir Sung-min.

“Nona Kang? Kau tak apa-apa— sial!“ desis Sung-min karena baru memperhatikan luka di sudut bibir Seo-min dan memar di pipinya. “Maaf, seharusnya aku lebih cepat datang sebelum mereka melukaimu.”

Saat masih tak ada sahutan dari Seo-min, Sung-min mengerutkan kening khawatir. “Sebaiknya kita ke rumah sakit—“ ajak Sung-min, tetapi perkataannya disela seorang polisi.

“Maaf, tuan, bisa kami meminta keterangan dari Anda?”

“Ah tentu,” jawab Sung-min. “Bong,” ia memanggil asistennya. “Tolong kau urus Nona Kang dulu, aku harus bicara dengan polisi.”

“Baik,” sahut asistennya. “Nona Kang, ayo, ikut aku. Astaga… lihat lukamu itu… mereka kejam sekali pada gadis!” omelnya sembari berjalan menuntun Seo-min.

Sementara itu, Seo-min yang masih amat sangat terkejut, membiarkan dirinya dibawa menuju van Sung-min, tapi di tengah jalan ia sempat menoleh ke belakang, menatap Sung-min yang tengah bicara dengan polisi. Itu… benar Lee Sung-min.

“Aku tak tahu dia bisa berkelahi,” tanpa sadar apa yang dipikirkannya terucap.

Bong, asisten Sung-min, yang mendengar gumaman Seo-min tersenyum. “Kau tak tahu kalau Sung-min mempelajari berbagai macam ilmu bela diri?”

“Ilmu bela diri? Lee Sung-min?” ucap Seo-min takjub, sulit untuk percaya. Sekali lagi ia menoleh ke belakang, menatap Sung-min yang tengah tersenyum para polisi. “Benarkah?” gumamnya.



To Be Continued...

By Destira ~Admin Park~


1 komentar:

  1. KYAAAAA......
    suka bgt ama ff yg satu ini
    apalagi couple seo-min ama sung-min
    gregetan gimana gitu
    kekekekekek
    ga sabar dgn kelanjutanya

    BalasHapus