Sabtu, 10 September 2011

Is This Love -Chap 8-


Chapter 8




-Kediaman Keluarga Park-

“Tumben tidak latihan Kak!” komentar Seung-mi saat melihat kakaknya, Park Jung-soo sedang duduk termenung di kursi taman di samping rumahnya. “Bukankah kalian akan mengirimkan demo rekaman? Kenapa malam ini kau malah bersantai di sini?” Seung-mi mendekati kakaknya itu dan duduk di sampingnya. Karena tak diacuhkan oleh Jung-soo yang jiwanya seolah sedang berada di tempat lain, Seung-mi memukul lengan kakaknya agak keras. “Kak, kau mendengarku tidak?” katanya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.

“Eh?” seru Jung-soo baru tersadar dari lamunannya sembari mengusap-ngusap lengannya yang terasa sakit setelah dipukul Seung-mi, “Ah...kau mengganggu saja Seung-mi.” Jung-soo bangkit dari duduknya.

“Kau mau kemana sebelum menjawab pertanyaanku?” tahan Seung-mi dengan nada merajuk.

“Astaga! Kalau kau merindukan Hee-chul, kenapa kau tidak pergi temui dia saja,” sergah Jung-soo, “aku sedang tidak ingin diganggu.”

“Hya! Kau bilang aku mengganggu?” protes Seung-mi dengan mata melotot dan berkacak pinggang, “apa kau tak sadar...bahwa kaulah yang bersikap aneh malam ini. Saat Ibu memanggilmu untuk makan malam bersama, kau malah duduk-duduk sendiri di sini seperti orang linglung...dan saat aku menanyakan ada apa, kau cuma berlagak seperti yang sedang berada di dunia lain,” omelnya, “Apa kau habis dicampakkan kekasihmu?”

“Aissh...sudahlah! tutup mulutmu,” gerutu Jung-soo kesal mendengar omelan adiknya, “semakin lama tingkahmu semakin mirip dengan nenek-nenek yang suka ikut campur urusan orang lain...bagaimana Hee-chul bisa menerimamu kalau kau bersikap begini terus?”

“HYA!!!” pekik Seung-mi marah, yang tak didengarkan oleh kakaknya, karena ia buru-buru pergi ke kamarnya.

Begitu sampai di kamar, Jung-soo merebahkan dirinya di matras. Terbayang kembali cerita Ah-ra siang tadi yang tanpa sadar membuatnya meremas bed cover berwarna biru muda yang menutupi tempat tidurnya saat ini. “Ok Taec-yeon...Ok Taec-yeon...” ia menyebut nama itu sembari mengeraskan rahang, “apa keistimewaan pria itu, hingga membuat Ah-ra tak mampu berpaling darinya?” Jung-soo bertanya lebih pada diri sendiri. “Ah...sial!” geramnya kesal.

Ia dan Ah-ra telah memutuskan untuk membiarkan hubungan mereka berjalan alami. Dengan mencoba untuk saling mengenal pribadi masing-masing dan tanpa harus memaksakan pertunangan dan perasaan mereka satu sama lain. Tapi Jung-soo tentu saja masih berharap pada akhirnya Ah-ra dapat menerimanya dengan sepenuh hati. Kini, ia hanya perlu menunjukkan dengan segala cara bahwa ia sangat tulus mencintai Ah-ra dan mengharapkan gadis itu menjadi pendampingnya kelak. “Akan kutunjukkan bahwa aku pantas memilikimu, Ah-ra,” tekad Jung-soo.



-Seoul Medical Centre-

Hyo-hee memandang kakaknya yang sedang termenung di sofa rumah sakit. Ada apa sebenarnya dengannya?, pikirnya bingung. “Kak..” panggil Hyo-hee takut-takut, karena ia tak ingin kena marah lagi.

Hea-in menoleh menghadapnya, “Ya?”

“Kau kenapa?” tanyanya memberanikan diri.

“Kenapa apa?”

“Kenapa kau jadi seperti ini?” ungkap Hyo-hee.

“Begini bagaimana?” Hea-in balik bertanya.

“Kau jadi sering emosi akhir-akhir ini,” tukas Hyo-hee, “kulihat, kau juga bersikap sangat kasar pada Tuan Ok yang sudah berbaik hati membawakan tas-mu yang ketinggalan. Ada apa sebenarnya denganmu? Kenapa kau jadi begini?”

Hea-in menunduk, “Maaf, aku sudah memarahimu,” gumamnya lirih. Aku juga tak mengerti mengapa bisa bersikap begini Hyo-hee, gumam Hea-in dalam hati.



-Kantor OK Group-

Taec-yeon menghampiri meja Hea-in, gadis itu sedang sibuk mengetik sesuatu di komputernya. “Apakah adikmu baik-baik saja?” tanyanya membuat Hea-in menghentikan kegiatannya mengetik dan buru-buru memandang pria di depannya dengan tatapan yang menyiratkan keheranan. “Kenapa kau memandangku begitu? Apa penampilanku terlihat aneh?” tambah Taec-yeon karena tak segera dijawab oleh Hea-in.

“Cih...” dengus Hea-in, “apakah matahari sudah terbit dari barat?” Hea-in mengalihkan perhatiannya ke arah jendela, “kenapa kau tiba-tiba bersikap baik dan perhatian begitu?”

“Hya! Apa kau bermaksud mengatakan bahwa aku tak pernah bersikap baik sebelumnya?” tuntut Taec-yeon, “kalau kau tidak lupa, kemarin malam aku yang merawatmu—“

“Ya, kau merawatku...dan berakhir di Toilet karena mantan kekasihmu datang untuk memintamu kembali ke sisinya,” potong Hea-in ketus.

“Oh...rupanya kau masih marah dengan kejadian kemarin,” gumam Taec-yeon enteng sembari bersedekap. “Apakah kau benar-benar cemburu?” tambahnya sengaja memberi penekanan pada kata cemburu.

Hea-in tersenyum mengejek, “Apa kau berharap begitu?” balas Hea-in sambil menyeringai puas menyaksikan ekspresi Taec-yeon yang berubah kaku.

“Ehm...” dehaman Seung-hun membuat mereka berdua mengalihkan perhatian ke arahnya. “Ada angin apa seorang atasan tiba-tiba menghampiri meja karyawannya?” komentar Seung-hun santai.

Taec-yeon menatap pria itu tajam, “Kurasa kau lupa posisi Nona Hea-in di perusahaan ini Tuan Song, dia bukan hanya sebagai karyawan biasa,” balas Taec-yeon.

“Ouw...” Seung-hun mengangguk-anggukan kepalanya, “ya...aku lupa kalau Nona Hea-in adalah calon istrimu.”

Taec-yeon mengangkat salah satu sudut bibirnya, “Dan itu mengingatkan aku, tentang alasanku datang ke sini,” gumamnya lebih pada diri sendiri lalu berputar menghadap Hea-in yang kini sudah berdiri di mejanya dengan tatapan geram, “sore nanti sepulang kerja, kau ikut denganku...karena kita harus bersiap-siap untuk makan malam keluarga nanti malam,” Taec-yeon sengaja menekankan suara pada makan malam keluarga.

“A-apa maksudmu—“

“Aku pergi dulu, karena masih banyak yang harus kukerjakan,” sela Taec-yeon lalu bergegas pergi meninggalkan bilik Hea-in.

“Ahh...benar-benar...” geram Hea-in kesal, “kemarin dia menyembunyikanku di toilet...dan sekarang ia berlagak seolah-olah ia kekasihku.”

“To...toilet?” Hea-in tersentak karena ia baru menyadari keberadaan Song Seung-hun di sana.



-Taman Kota, Gangnam-

“Es krim?!” Jung-soo menyerahkan salah satu dari dua es krim cone cokelat yang baru saja dibelinya pada Ah-ra lalu ia duduk di kursi batu panjang tanpa sandaran di samping gadis itu.

“Terima kasih,” gumam Ah-ra sembari tersenyum.

Jung-soo dan Ah-ra sepakat untuk memulai semuanya dari awal dan membiarkan semuanya berjalan alami. Dan siang ini, setelah penat menjalankan aktivitas masing-masing, mereka memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar taman kota, sekedar untuk mencari udara segar sekaligus upaya untuk mendekatkan diri dan mengenali pribadi masing-masing seperti yang telah mereka sepakati pada malam sebelumnya.

Seperti kesepakatan mereka berdua, mereka hanya akan membicarakan hal-hal ringan menyenangkan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan masa lalu Ah-ra. Apalagi yang berhubungan dengan Taec-yeon, “Enak?” tanya Jung-soo memaksudkan es krim yang dimakan Ah-ra.

Ah-ra mengangguk mantap, “Dari mana kau tau aku suka rasa cokelat?”

“Hanya menebak-nebak,” gumam Jung-soo enteng.

“Wah...tebakanmu hebat juga,” puji Ah-ra.

“Yeah, aku memang hebat,” Jung-soo berkata sesumbar sambil melirik Ah-ra sekilas, “oleh karena itu, kau harus bangga jika memiliku,” sombongnya membuat Ah-ra tertawa geli.

“Hmmm...apa kau sedang mempromosikan dirimu sendiri?”

“Yah...anggap saja begitu,” sahut Jung-soo, “dan asal kau tau, masih banyak lagi kehebatanku yang lainnya,” tambahnya buru-buru.

Ah-ra tersenyum geli, “Hmm...baiklah, akan kupikirkan.”

“Apa? masih akan kau pikirkan?” Jung-soo pura-pura menunjukkan wajah sebal pada Ah-ra.

Alih-alih marah, Ah-ra justru semakin tertawa geli, “Kau tau?” tanya Ah-ra dengan ekspresi serius sesaat setelah ia berhasil menghentikan tawa-nya.

“Apa?”

“Wajahmu tidak pantas kalau harus berakting marah begitu,” tukas Ah-ra yang dibalas senyum hangat Jung-soo.

“Hah...memang sulit kalau memiliki wajah Innocent bagai malaikat sepertiku,” gumam Jung-soo dengan kebanggaan yang dilebih-lebihkan.

“Yeah...dan satu lagi kelebihanmu yang bisa kukenali hari ini,” kata Ah-ra, “kau memiliki kepercayaan diri yang berlebih hingga menjurus pada kenarsisan.”

Jung-soo meletakkan jari-jarinya di dagu seolah sedang berfikir, “Hmm...kurasa sifat itu tidak terlalu buruk,” gumamnya sembari mengangguk-angguk. Ah-ra hanya tersenyum melihat tingkah Jung-soo itu. “Ah...ya, aku baru ingat,” gumam Jung-soo tiba-tiba membuat Ah-ra mengalihkan perhatiannya dari orang-orang yang berlalu-lalang di hadapan mereka.

“Apa itu?”

“Nanti malam, aku akan perform dengan band-ku di salah satu cafe di kawasan Hongdae, kau mau datang untuk menyaksikannya?”

“Perform?” tanya Ah-ra kaget.

“Ya, kenapa?”

“Ah...tidak apa-apa,” Ah-ra menggeleng.

“Kalau kau tidak—“

“Aku bisa,” potong Ah-ra cepat, “nanti malam, kau hanya perlu meng-sms-ku di mana alamat cafe itu, nanti aku akan menyusulmu ke sana setelah menyelesaikan urusanku di rumah sakit.”

Jung-soo tersenyum lebar, ”Baiklah kalau begitu. Kau yakin tidak ingin dijemput?”

Ah-ra menggeleng, “Tidak perlu, kau pasti membutuhkan waktu untuk mempersiapkan semuanya sebelum tampil bersama temanmu.”



-Mobil Taec-yeon-

Meski kesal dan enggan, Hea-in tak mampu menolak ajakan Taec-yeon untuk mempersiapkan pertemuannya malam nanti dengan keluarga Taec-yeon. “Aku heran kenapa aku masih harus mengikuti keinginanmu setelah apa yang terjadi kemarin,” sindir Hea-in tajam.

Taec-yeon mengalihkan pandangannya dari jalanan ke gadis cantik di sampingnya, “Itu sebagai bayaran atas apa yang telah kau lakukan kemarin,” jawab Taec-yeon enteng.

“Ba-bayaran?” Hea-in memandang Taec-yeon bingung. “Apa maksudmu dengan bayaran? Apa aku masih harus membayar setelah disembunyikan di toilet?” protes Hea-in.

“Kuharap kau tidak lupa, kalau kau juga telah menggagalkan semuanya.”

“Kalau kau memang masih mencintai dr. Yoon, kenapa tak kau katakan saja pada orang tua-mu. Kenapa kau masih melibatkan aku?” gerutunya kesal sembari memalingkan muka menatap jendela di sebelahnya. “Setelah menyembunyikan seorang wanita di toilet, kau masih memiliki muka untuk meminta tolong pada gadis itu,” komentar Hea-in pelan.

Taec-yeon menghentikan mobilnya di tempat parkir dengan kasar hingga membuat tubuh Hea-in terdorong ke depan, “Jadi kau masih tidak terima dengan kejadian kemarin?” ia menatap mata hitam Hea-in lekat-lekat.

“Kau pikir ada seorang gadis yang tidak marah diperlakukan seperti itu?” tantang Hea-in balas menatap Taec-yeon tajam.

“Ada,” gumam Taec-yeon tenang.

Hea-in mendengus, “Kenapa kau tak membayar gadis seperti itu saja,” ia membuka pintu mobil Taec-yeon dan berniat untuk pergi saja dari sana, namun Taec-yeon berhasil menahannya.

“Kau sudah masuk, jadi tak mungkin keluar lagi.”

“Apa maksudmu?”

Tanpa mempedulikan lagi protes dari Hea-in, Taec-yeon menyeretnya masuk ke Mall. “Kita tidak punya banyak waktu untuk berdebat.”





-Infinite Cafe, Hongdae-

Tepat saat Ah-ra tiba di cafe tersebut, band Jung-soo baru saja bersiap di panggung kecil yang tersedia di cafe tersebut hendak memulai aksi panggungnya. Jung-soo melambai pada Ah-ra dan hanya dibalas senyuman olehnya. Ia pun memposisikan dirinya di salah satu meja dan kembali memberikan pandangan menyemangati pada Jung-soo yang memegang posisi sebagai gitaris di band tersebut. Band Jung-soo terdiri dari 4 orang, hanya Kim Hee-chul yang dikenali Ah-ra, ia memegang posisi sebagai bassis. Sedangkan dua lainnya, belum pernah ia temui.


Ingin kuhapus kenanganmu di ingatan
Kenangan indah saat kita bersama
Namun sungguh terasa berat
Kenangan itu melekat erat...


Suara Yesung mengalun dengan merdu, mengawali penampilan mereka hingga menghipnotis perhatian pengunjung di sana tak terkecuali Ah-ra.


Bayanganmu hadir di mimpiku
Bagaikan hantu yang menggerayangi hidupku
Aku masih mencintaimu
Masih sangat mencintaimu
Walau kau kini tak lagi milikku...


Tak terasa satu lagu berhasil diselesaikan band Jung-soo dengan mulus tanpa satu kesalahan pun. Tepuk tangan riuh bergema dari pengunjung yang hadir. Ah-ra mengacungkan jempolnya pada Jung-soo, membuat pria itu tersenyum lebar penuh kebanggaan. Dan lagu kedua yang berirama lebih menghentak pun dimulai dan juga behasil membuat pengunjung cafe terpukau dengan penampilan mereka.

“Kalian hebat sekali,” puji Ah-ra, setelah mereka turun dari panggung.

Jung-soo kembali tersenyum senang, “Terima kasih,” katanya, “Ah...kenalkan, ini Yesung, Shindong, dan kurasa...kau sudah mengenal yang satu ini,” Jung-soo memperkenalkan teman-temannya pada Ah-ra.

“Ya, malam,” sapa Ah-ra.

“Selamat malam Dokter,” balas mereka kompak.

“Penampilan kalian benar-benar memukau, semoga demo rekaman kalian bisa diterima oleh produser yang tepat,” gumam Ah-ra sembari tersenyum.

“Terima kasih Dokter,” sahut Hee-chul bersemangat.

“Ya, semoga doamu dikabulkan,” sambung Yesung, “Ehm...sepertinya, aku permisi dulu,” katanya sembari menunjuk seorang gadis di pojok ruangan yang sedang memanggilnya, “temanku sudah menunggu.”

Ah-ra tersenyum, “Ya, silakan.”

“Kalau begitu, kami juga permisi dulu,” tambah Shindong buru-buru sambil menarik lengan Hee-chul agar menjauh dari mereka berdua.

Dan kini hanya tinggal Jung-soo yang bersamanya, pria itu kemudian duduk di kursi di sebelahnya. “Terima kasih sudah datang,” katanya memulai pembicaraan.

“Aku akan rugi kalau sampai tidak datang,” sahut Ah-ra, “penampilan kalian benar-benar hebat,” untuk kesekian kalinya ia memuji membuat Jung-soo tak dapat menahan senyumnya.

“Kau terlalu memuji Ah-ra,” gumam Jung-soo merendah.

“Aku sungguh-sungguh,” Ah-ra memandang pria itu, “dan sejak kapan kau kehilangan sifat narsismu?” guraunya.

Jung-soo tertawa, “Ya, benar. Harusnya aku bangga pada hasil kerja kerasku.”



-Imperial, Hotel and Resto-

Hea-in mengenakan gaun berbahan sutra lembut berwarna toska yang tampak pas dan anggun di tubuhnya yang ramping. Taec-yeon memilihkan pakaian itu lengkap dengan kalung bertahtakan berlian menghiasi leher jenjang gadis itu. “Malam ini, kau harus menyelesaikan semua kesalahpahaman ini,” gumam Hea-in lirih saat mereka tiba di pintu hotel tersebut, “aku tidak ingin terseret semakin masuk dalam masalah keluargamu.”

“Hmm...kau yakin tak akan menyesalinya?” goda Taec-yeon tanpa sedikit pun menoleh ke arah Hea-in yang kini berada di sampingnya.

“Menyesalinya?” Hea-in menghentikan langkahnya tepat di depan lift, “justru aku akan sangat bersyukur berhasil lepas dari semua ini,” geramnya sembari menatap sebal pada Taec-yeon.

“Berhentilah marah-marah begitu,” komentar Taec-yeon santai sembari merangkul pinggang Hea-in dan mendorongnya masuk dalam lift. “Bukankah kau senang bisa berpakaian indah seperti ini?” tambahnya saat mereka tiba di lift.

Hea-in menepis lengan Taec-yeon yang melingkari pinggangnya, “Bagaimana aku tak akan marah kalau kau selalu membuatku kesal?” balas Hea-in, “dan berhentilah merendahkan orang lain,” tambahnya, “jangan khawatir, aku akan mengembalikan pakaian dan perhiasan ini tanpa cacat sedikit pun padamu.”

“Kau tidak perlu mengembalikannya Nona Hea-in.”

“Kau pikir, kau bisa membeliku dengan semua ini?” Hea-in menunjuk pakaian indah dan kalung berlian yang kini sedang dikenakannya, “Kalau kau memang tak ingin barang-barang ini dikembalikan, potong saja dari gajiku.”

“Hah...kau benar-benar keras kepala,” gumam Taec-yeon.

Mereka berdua pun tiba di Restoran yang terletak di lantai 15 hotel itu. Tampak Tuan Ok Gi-taek beserta istrinya Nyonya Im Young-bin sudah menunggu mereka berdua di salah satu meja. Tuan Ok melayangkan senyuman selamat datang pada mereka berdua. “Selamat malam,” sapa Hea-in sopan.

“Malam,” balas Tuan Ok, “duduklah!”

“Kupikir kalian tidak akan datang,” sindir Nyonya Im pedas, yang mengacu pada keterlambatan mereka. Nyonya Im melayangkan tatapan masam pada Hea-in.

“Young-bin!” seru Tuan Ok, “jangan merusak suasana malam ini dengan amarahmu. Kalian, duduklah!”

“Ya, Ayah,” Taec-yeon menarik lengan Hea-in agar duduk di sampingnya.

Setelah memesan makanan, mereka memulai perbincangan, “Kapan rencananya kalian akan menikah?” mulai Tuan Ok langsung ke inti pembicaraan membuat Taec-yeon tersedak minumannya dan Hea-in buru-buru menghentikan makannya.

“Eee...Tuan, sebenarnya—“

“Adik Hea-in masih sakit Ayah, jadi tidak mungkin kalau kami melaksanakan pernikahan dalam waktu dekat ini,” Taec-yeon menyela pembicaraan Hea-in membuatnya dihadiahi pelototan oleh gadis itu.

“Oh...begitu,” Tuan Ok manggut-manggut tanda mengerti, “jadi adikmu belum sembuh Nona Kang?”

“Belum,” jawab Hea-in. Sialan, makinya dalam hati.



-Infinite Cafe, Hong-dae-

“Apa kau ada rencana lain malam ini?” Jung-soo bertanya pada Ah-ra. Setelah lama berbincang-bincang mengenai band-nya di cafe tersebut, Jung-soo merasa bosan dan berniat mengajak gadis itu keluar menikmati angin segar.

Ah-ra menggeleng, “Tidak ada.”

“Hmm...bagaimana kalau kita keluar saja,” sarannya.

“Kemana?”

“Mencari angin,” gurau Jung-soo.

Ah-ra tersenyum, “Angin tak perlu dicari,” balas Ah-ra, “tapi...apa tidak apa-apa kalau kita pergi sekarang?” Ah-ra menunjuk teman-teman Jung-soo yang saat ini sedang asyik mengobrol bersama beberapa orang gadis dengan dagu-nya.

“Oh...mereka,” gumam jung-soo santai, “tenang saja, mereka sedang sibuk masing-masing.” Ia lalu menggamit lengan Ah-ra untuk mengikutinya. “Ayo!” Jung-soo melambai pada teman-temannya sebelum pergi.

Namun, baru sampai di pintu keluar Jung-soo berpapasan dengan adiknya, Park Seung-mi. “Kak Jung-soo!” sapa gadis itu, “Ah...Dokter,” Seung-mi memandang Ah-ra. Ah-ra hanya menjawab dengan anggukan sopan.

“Ada apa kau ke mari?” tanya Jung-soo, tampak terganggu dengan kehadiran adiknya.

Seung-mi mencibir, “Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggu acara kencanmu,” katanya, “Aku ke mari untuk mencari “Hee-nim”ku tersayang,” ia menyebut panggilan sayangnya untuk Hee-chul.

“Ah...Hee-chul...dia sedang bersenang-senang dengan beberapa orang gadis di sana,” Jung-soo sengaja memanasi sembari menunjuk ke dalam dengan kepalanya, membuat Seung-mi memelototkan matanya.

“Sialan,” geramnya, “dia tak bisa ditinggal sebentar saja!” dengan secepat kilat Seung-mi pun masuk ke dalam cafe diiringi tawa terbahak-bahak Jung-soo.

Ah-ra menyikut pinggang Jung-soo, “Kau ini, kenapa menggoda adikmu seperti itu?”

Masih sambil tertawa, Jung-soo berkata, “Sudahlah! Ayo kita pergi,” ajaknya lalu merangkul pundak Ah-ra.



-Imperial Hotel and Resto-

“Saya permisi ke toilet dulu,” pamit Hea-in sopan. Dan ia pun pergi ke toilet dengan perasaan dongkol. Karena Taec-yeon sama sekali tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan semuanya, justru semakin menjadi dengan menciptakan kebohongan-kebohongan baru. Sial!, maki Hea-in geram.

Sambil mencuci tangannya, ia memperhatikan bayangan dirinya di cermin. Ia berpikir, bagaimana caranya bisa terlepas dari keadaan ini. ia sudah jengah dengan pandangan tak suka yang diperlihatkan Nyonya Im padanya, walaupun Tuan Ok selalu membela dan menghormatinya. Apakah aku sebaiknya kabur saja?, pikir Hea-in, ah...tidak...tidak...pria itu pasti akan menganggapku pengecut kalau aku pergi tanpa sepengetahuannya.

“Kak Hea-in?” Hea-in tersentak kaget dari lamunannya saat melihat kehadiran Dae-jia di belakangnya. Adik sepupunya itu baru saja keluar dari bilik toilet.

“Eh...Dae-jia?!”

“Sedang apa kau di sini?” selidik Dae-jia sembari memperhatikan penampilan Hea-in, “Wah...kau cantik sekali berpenampilan begitu,” komentarnya.

Hea-in tersenyum kaku, “Aku...ada urusan pekerjaan,” dustanya.

“Oh...begitu,” Dae-jia nampak tidak percaya.

“Kau sendiri?”

“Aku sedang menemani Kak Ji-hoon menghadiri acara reuni teman SMA-nya,” jawab Dae-jia.

“Wah...hubungan kalian nampak semakin serius,” komentar Hea-in diiringi senyum.

Dae-jia tersenyum senang, “Tentu saja,” katanya bangga.

Mereka berdua pun melangkah keluar, namun alangkah  terkejutnya Hea-in melihat kehadiran Taec-yeon di depan toilet. “Kau lama sekali, apa kau bermaksud—“ Taec-yeon menghentikan kata-katanya saat melihat kehadiran Dae-jia di sebelah Hea-in, “Eh...malam Nona Park,” sapanya pada Dae-jia.

“Malam,” balas Dae-jia, “Ehm...kalau begitu, aku permisi dulu,” pamitnya, “Kak Ji-hoon pasti sudah menungguku.”

“Sampaikan salamku untuk Kak Ji-hoon,” seru Taec-yeon, sebelum Dae-jia pergi. Dae-jia hanya tersenyum dan melambaikan tangannya lalu pergi.

Hea-in mendesah lega setelah kepergian Dae-jia. Hampir saja, gumamnya dalam hati.

“Ayo, sebaiknya kita segera pergi dari sini!” ajak Taec-yeon, “Ayah dan Ibu akan marah kalau kita tak segera kembali.”

“Apa peduliku?” gumam Hea-in dingin.

Taec-yeon menghentikan langkahnya dan menatap gadis itu, “Jangan bilang kalau kau memang ingin melarikan diri?”

“Kalau iya kenapa?” tantang Hea-in.

“Aku tak menyangka kau sepengecut itu Nona Hea-in?” komentar Taec-yeon.

“Kenapa kau tak menuruti keinginanku untuk menjelaskan semuanya? Kenapa kau malah menciptakan kebohongan-kebohongan baru di hadapan orang tuamu? Apa kau merasa senang mempermainkan seorang wanita yang sama sekali tidak bersalah sepertiku?” cecar Hea-in marah, ia tak mampu lagi menahan amarahnya di dalam hati. Rasanya ia ingin sekali melampiaskan kemarahannya dengan menampar pria di depannya itu.

Taec-yeon hanya diam dan tak dapat berkata apa-apa. Ia tak menyangka Hea-in akan semarah itu padanya. Tapi, entah mengapa ia juga tak ingin mengungkapkan semua kebenaran bahwa ia sebenarnya tak memiliki hubungan apa-apa dengan Hea-in pada Ayah dan Ibunya. Seolah ia tak ingin kehilangan gadis itu, bila ia mengungkap semuanya. Apa yang terjadi padaku?, batin Taec-yeon.

“Kenapa kau tak menjawabku?” seruan Hea-in membuatnya tersadar.

Taec-yeon meremas lengan Hea-in hingga membuat gadis itu meringis kesakitan dan menatapnya dalam-dalam, “Karena aku tak ingin kehilanganmu,” katanya, membuat dirinya sendiri pun terkejut telah mengatakannya.


~To Be Continued.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar