Sabtu, 10 September 2011

Is This Love -Chap 7-


Chapter 7




-Apartement Taec-yeon-

“Maaf, sepertinya aku mengganggumu,” gumam Ah-ra sembari tertunduk canggung, ia sendiri menyesali keputusannya untuk datang ke tempat itu.

“Ah...tidak, sama sekali tidak mengganggu,” kilah Taec-yeon, rasa senang bercampur takut kalau-kalau Ah-ra menemukan keberadaan Hea-in di apartemennya membuat Taec-yeon bertingkah sedikit aneh. “duduklah!.”

Ah-ra duduk di sofa panjang di sebelah Taec-yeon. “Maaf, aku mencari tau alamat apartemenmu pada salah seorang karyawanmu di kantor pagi tadi,” mulai Ah-ra walau tak ditanya bagaimana ia mengetahui alamat apartemen Taec-yeon saat ini.

“Ada apa sebenarnya, sampai kau datang mencariku? Bahkan kau juga mencariku ke kantor, jelas aku tak mungkin di sana, kau tau ini hari Minggu,” Taec-yeon memandang mantan kekasihnya itu, intens, “Apakah ada hal penting yang ingin kau bicarakan?”

Ah-ra menunduk dalam-dalam, pergolakan batin yang ia alami sejak semalam kembali mengemuka.Mengapa aku ke mari? Apa yang kulakukan dengan datang ke mari? Haruskah aku menyesali keputusanku?, batin Ah-ra. “Emm...aku...”

“Apa kau bermaksud mempertimbangkan pembicaraan kita kemarin?” tukas Taec-yeon secara tiba-tiba membuat Ah-ra mengangkat wajahnya untuk memandang pria itu.

“eh...itu...aku...” sial!, Ah-ra memaki dalam hati. Ia tak menyangka akan sesulit ini untuk mengatakannya.

Taec-yeon menyeringai melihat tingkah gadis itu, sudah lama ia tak melihat tingkah malu-malu dan canggung Ah-ra. Baginya, saat melihat pipi Ah-ra bersemu merah karena malu, membuatnya terlihat sangat manis dan menggemaskan. “Katakanlah, apa itu maksudmu datang kemari? Kau bermaksud mempertimbangkannya?”

Ah-ra terdiam selama beberapa saat dan hanya bisa memandang Taec-yeon di hadapannya. Hatinya bergejolak, apakah benar aku masih mencintainya? Apakah benar keputusanku ini? apakah yang akan terjadi dengan Park Jung-soo jika aku melakukan ini? ayah? Dr. Park Jung-ho? Pihak keluarga Taec-yeon?. Ia kembali teringat akan kata-kata Ayahnya pagi tadi, saat melihatnya bangun dengan cekungan hitam menghiasi bagian bawah matanya yang menandakan bahwa semalaman ia tak bisa tidur memikirkan kejadian kemarin, ‘Kalau kau masih mencintainya, Ayah tak akan melarang kalian untuk kembali menjalin hubungan, asal kau bahagia, Ayah juga akan turut bahagia.’

“Ah-ra?” panggil Taec-yeon, membuyarkan lamunan Ah-ra.

“Emm...begini, aku—“


Sarang in gayo...terdengar suara bunyi ponsel tapi tiba-tiba saja mati dalam satu deringan saja.

“Eh...apa itu suara ponselmu?” gumam Ah-ra, terkejut hingga seketika menghentikan kalimatnya sebelumnya, “tapi kenapa tiba-tiba mati?”

“Oh...itu, mungkin...hanya telepon iseng...ya hanya telepon iseng...” gumam Taec-yeon dengan setengah menggeram sambil sedikit melirik ke arah toilet di samping ruangan itu. Tadi, saat mengetahui kedatangan Ah-ra, ia buru-buru meminta Hea-in untuk bersembunyi di toilet. Sial! Kenapa ia tidak mematikan dering ponselnya?, maki Taec-yeon, untung saja aku menemukan alasan yang tepat, batinnya lega. “Lanjutkan saja apa yang ingin kau bicarakan tadi?”


Sementara itu, di dalam toilet...

“Hyo-hee, ada apa?” Hea-in menyapa adiknya di telepon dengan suara selirih mungkin.

“Kenapa kau berbisik-bisik begitu kak?”

“Ah...sudahlah...cepat katakan ada apa?” desaknya.

“itu...Hyo-jin, tiba-tiba kondisinya memburuk lagi kak...setelah pagi tadi ia meminta jalan-jalan—“

“Apa? kau mengajaknya jalan-jalan di pagi hari?” bentak Hea-in, sejenak lupa bahwa ia sedang bersembunyi dan buru-buru merubah suaranya kembali berbisik, “kau tau kan dia tidak bisa terkena sinar matahari?”

“a...aku...aku tidak tau kak...” balas Hyo-hee penuh sesal.


Ah-ra dan Taec-yeon yang sedang berbicara serius tiba-tiba menghentikan pembicaraan mereka saat mendengar teriakan Hea-in dari arah toilet. “Siapa itu?” selidik Ah-ra meminta penjelasan pada Taec-yeon yang saat ini duduk gelisah di sofa. Sial, kenapa gadis itu berteriak?, geram Taec-yeon mencengkeram lipatan sofa di bawahnya.

“Eh? Siapa? Tidak—“

Cklek! Sebelum Taec-yeon sempat mengelak, Hea-in tiba-tiba keluar dari toilet dan tentu saja hal itu membuat Ah-ra terkejut dan buru-buru beranjak dari duduknya. “No...nona Kang?”

Hea-in memberi salam dengan menundukkan kepalanya, “Apa kabar dokter Yoon?” tanpa mempedulikan tatapan geram Taec-yeon karena ia telah merusak semuanya. Yang ada di pikirannya saat ini adalah keadaan Hyo-jin yang kembali memburuk. Ia tak ingin terjadi sesuatu pada adiknya itu. “Teruskan saja pembicaraan kalian, aku pamit dulu,” tukas Hea-in kaku.

“Tunggu Nona Kang?!” tahan  Ah-ra, “Apa kau akan ke Rumah Sakit?” Ah-ra berkata sembari berusaha menahan kekecewaannya karena telah salah menilai kesungguhan Taec-yeon. Ia sadar, harusnya ia tak pernah mempertimbangkan hal itu. Apalagi ia mengetahui bahwa Taec-yeon sudah memiliki calon tersendiri. Sangat wajar bukan kalau dia bersama dengan calon Istrinya?, batin Ah-ra perih.

Hea-in mengangguk, “Ya, ku dengar keadaan Hyo-jin memburuk.”

“A-apa? Nona Hyo-jin? Memburuk?” seru Ah-ra kaget, “tapi kenapa pihak Rumah Sakit....ah...” Ah-ra menepuk keningnya, ia lupa tak membawa ponselnya yang ia tinggalkan di mobil.

“Kalau tak ada yang perlu dibicarakan lagi, saya permisi dulu!” pamit Hea-in.

“Sebaiknya kita ke Rumah Sakit bersama-sama,” saran Ah-ra sembari mengambil tas tangannya yang ia letakkan di sofa.

“Tunggu! Ah-ra, biar kujelaskan semuanya!” tahan Taec-yeon menangkap pergelangan tangan Ah-ra.

“Kau tidak perlu menjelaskan apapun,” tukas Ah-ra dengan nada dingin, hilang sudah nada bersahabat dan ramah yang diperlihatkannya sejak ia datang tadi. “Aku yang salah karena telah mengganggu hubungan kalian,” gumamnya lalu tanpa menunggu penjelasan Taec-yeon lagi ia menepis genggaman Taec-yeon dan beranjak keluar ruangan dengan hati terluka.



-Seoul Medical Centre-

Atas desakan Ah-ra, akhirnya Hea-in mau pergi bersama ke Rumah Sakit menggunakan mobilnya. Walaupun selama perjalanan, tidak seorang pun di antara mereka yang mampu memecahkan keheningan berbalut situasi menegangkan setelah apa yang sebelumnya terjadi di apartemen Taec-yeon. Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, hingga mereka sampai di tempat parkir Rumah Sakit. “Terima kasih Dokter,” gumam Hea-in sopan, “soal yang terjadi di apartement—“

“Sudahlah Nona Kang, tidak perlu membicarakannya lagi,” potong Ah-ra cepat, “sebaiknya sekarang kita segera ke dalam!”

Hea-in hanya mengangguk pasrah, dan mereka pun bergegas ke dalam untuk melihat keadaan Hyo-jin. “Hyo-hee, bagaimana keadaan Hyo-jin?” tanya Hea-in pada adiknya yang saat ini sedang berdiri di depan pintu kamar rawat inap Hyo-jin dengan resah.

“Dokter sedang memeriksanya di dalam,” gumam Hyo-hee sengaja memperdengarkan nada bersalah dalam suaranya.

Hea-in mendesah panjang, “Kau seharusnya tau ia tak boleh terkena sinar matahari.”

“Maaf Kak,” gumam Hyo-hee sembari menunduk bersalah.

“Permisi!” Ah-ra menghampiri mereka berdua, setelah sebelumnya mengambil jas dokternya di ruangannya.

“Ah...silakan Dokter!”

Tapi Ah-ra segera mengurungkan niatnya saat mengintip dari kaca kecil di pintu ruangan, dokter Park Jung-ho bersama beberapa perawat sedang sibuk memeriksa keadaan Hyo-jin. Ia memalingkan pandangannya pada Hyo-hee dan Hea-in di sebelahnya, “Maaf, aku datang terlambat!” katanya menyesal.

“Tidak apa-apa Dokter, tadi—“

Cklek! Hyo-hee menghentikan kata-katanya saat mendengar pintu kamar dibuka, dan dokter Park segera keluar dari ruangan. “Dokter Yoon?” gumam dr. Park saat melihat kehadiran Ah-ra di situ. Ah-ra menunduk sopan, “Kenapa tidak masuk?”

“Sepertinya tadi dokter sedang sibuk, saya tidak ingin mengganggu,” jawab Ah-ra, “dan...mohon maaf sebelumnya, karena harus merepotkan dokter, seharusnya saya datang lebih awal.”

“Tidak apa-apa, ini sudah kewajiban saya sebagai dokter. Kebetulan saya sedang berada di sini.”

“Emmm...Bagaimana keadaan adik saya Dokter?” Hea-in mencoba bertanya.

“Oh...ya, setelah tadi saya periksa keadaan adik anda menurun drastis. Tapi jangan khawatir, suster sudah memberinya obat untuk mengatasi semuanya, mungkin selama beberapa hari ini kondisi adik anda masih akan lemah, dan kami akan berusaha semampu kami untuk memberikan yang terbaik Nona Kang,” jawab dr. Park diplomatis.

“Terima kasih Dokter,” balas Hea-in.

“Ah...iya, tolong jangan sampai terkena sinar matahari lagi. Kalau tidak, keadaannya akan semakin memburuk,” kata dr. Park mengingatkan sebelum pergi.

“Baik Dokter,” jawab Hea-in dan Hyo-hee bersamaan.

“Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu,” pamit dr. Park, “dr. Yoon, aku ingin bicara denganmu!” katanya pada Ah-ra.



-Studio Musik, Kyeo-wo-

“Hya! Kenapa tak kau temui saja dia?” bentak Hee-chul, “aku muak melihat wajahmu yang ditekuk begitu sejak pagi tadi.”

“Bukankah tadi aku sudah mau pergi dan kau melarangnya,” balas Jung-soo, “lalu kenapa sekarang kau protes, heh?”

“Ahh...sudah...sudah! tingkah kalian seperti anak kecil!” sergah Shindong yang memperhatikan pertikaian mereka.

“Sebenarnya, ada masalah apa sih? Kenapa tak kau ceritakan pada kami saja?” sambung Yesung menengahi.

“Tidak ada yang penting,” elak Jung-soo lalu bangkit berdiri, “aku pergi saja kalau begitu. Sepertinya ada yang tidak menyukai keberadaanku di sini,” ia menyindir sambil melirik Hee-chul yang mencibir sebal.

“Aiissh...kau ini, lihat...dia benar-benar pergi. Kalau begini, kapan kita bisa menyelesaikan lagu baru ini?” gerutu Yesung.

“Kita masih bisa menyelesaikannya tanpa bantuan dia,” sahut Hee-chul diiringi debaman keras pintu studio.



-Mobil Jung-soo-

Haruskah aku menemuinya? Tapi apa alasanku untuk menemuinya sekarang? Bagaimana kalau dia tak mau kutemui?, pikiran Jung-soo bergejolak. “Aaarrghh...sialan!” makinya kesal sembari mengacak-ngacak rambutnya, “aku tak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku penasaran dengan apa yang terjadi padanya kemarin. Kenapa orang jatuh cinta menyakitkan begini?”

Akhirnya ia meraih ponselnya dan mulai mengetik pesan untuk Ah-ra. Namun, baru beberapa kata ia ketik tiba-tiba ada sebuah pesan masuk dari Ah-ra.


To: Jung-soo

Hai, untuk mengganti permintaan maafku kemarin. Hari ini, aku mengundangmu makan siang bersama, sekaligus ada yang ingin kubicarakan denganmu. Apa kau bisa?


Seketika senyum cerah menghiasi wajah Jung-soo saat membaca pesan itu, karena ia tak perlu lagi mencari-cari alasan untuk menemui Ah-ra. Tanpa menunggu lagi, ia pun membalas pesan itu dengan perasaan senang bercampur lega.


To: Ah-ra

Kebetulan sekali, aku baru saja akan memintamu makan siang bersama. Aku akan menjemputmu sebentar lagi. Apa kau di Rumah Sakit sekarang?


To: Jung-soo

Tidak perlu, kau langsung datang saja ke Seoul Restoran. Kita bertemu langsung saja di sana. Kebetulan aku sedang dalam perjalanan saat ini.


-Seoul Medical Centre-

Taec-yeon membuka pintu ruang rawat Hyo-jin dan melihat Hyo-hee sedang duduk di sebelah tempat tidur adiknya. “Oh...permisi!” sapanya yang dibalas sebuah sopan anggukan oleh Hyo-hee.

“Kakak masih mandi, silahkan duduk,” balas Hyo-hee sopan. Hyo-hee menunjuk tas yang dibawa Taec-yeon, “Oh...bukankah itu—“

“Ada urusan apa datang ke mari?” sela Hea-in sesaat setelah ia keluar dari kamar mandi.

“Ini,” Taec-yeon menyerahkan tas tangan Hea-in yang lupa ia bawa karena terburu-buru pergi ke Rumah Sakit.

Hea-in menerima tas itu dengan kasar, “kalau tidak ada keperluan lagi, silahkan pergi! Mungkin kau butuh menemui dr. Yoon untuk menjelaskan semuanya,” sindir Hea-in ketus sembari memalingkan muka.

“Hya! Kenapa justru kau yang marah?” protes Taec-yeon. Hyo-hee yang melihat pertengkaran mereka, memandang Hea-in dan Taec-yeon dengan pandangan curiga. Ada apa sebenarnya dengan mereka berdua? Kenapa kakakku bisa bertingkah sekasar itu?, batin Hyo-hee heran.

“Sebaiknya kita bicara di luar saja,” saran Hea-in sambil melirik sekilas ke arah adiknya Hyo-hee yang masih tetap menatap penuh kecurigaan.

“Kenapa? Kau takut kalau adikmu tau kalau kau berma—“ Hea-in buru-buru menarik lengan Taec-yeon dan menyeretnya keluar ruangan.

“Kau sudah gila ya?” bentak Hea-in marah saat mereka tiba di luar.

Taec-yeon mendengus, “Sepertinya ada seorang kakak yang takut perilakunya yang sempurna menjadi cacat di mata adik-adiknya.”

“Yeah, kau benar. Aku memang harus terlihat sempurna di mata adik-adikku agar menjadi teladan yang baik untuk mereka,” ucap Hea-in ketus, “kenapa kau tidak menemui dr. Yoon saja untuk menjelaskan semuanya?” sindirnya.

“Hya! Apa pantas kau marah padaku atas semua yang kau lakukan tadi, heh?” geram Taec-yeon, “kau sudah menghancurkan semuanya. Harusnya aku yang marah, bukannya kau!”

“Kau mau marah? Silahkan...marahlah!” tantang Hea-in, kesal. Tapi anehnya alih-alih marah, Taec-yeon malah memperhatikan Hea-in dan tersenyum geli sembari menutup bibirnya dengan tangan untuk menahan tawa. “Hya! Kenapa kau tertawa? Apa aku terlihat lucu di matamu saat ini? Apakah aku seperti tokoh kartun yang biasa kau tertawakan?”

Setelah berhasil menghentikan tawanya, Taec-yeon memandang Hea-in serius dan mendekatkan wajahnya pada telinga Hea-in membuat gadis itu mundur beberapa langkah, “Kau cemburu?” bisiknya dengan nada menggoda.

“Apa? cemburu?” Hea-in mencibir, “untuk apa aku cemburu?”

“Lantas...mengapa kau marah-marah padaku?” Taec-yeon bertanya sembari bersedekap memperhatikan wajah Hea-in yang memerah dan bibirnya yang terkatup rapat. “Kau cemburu, iya kan?” godanya lagi.

“Kurasa pembicaraan kita sudah selesai,” Hea-in buru-buru masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan satu hentakan yang cukup keras hingga membuat Hyo-hee kaget dan menoleh.

Hea-in berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba meningkat dengan menarik nafas dalam-dalam. Aku cemburu? Padanya?Benarkah? Tapi...kenapa aku harus cemburu?, gumam Hea-in dalam hati, tidak...tidak mungkin aku cemburu padanya. Hea-in memejamkan mata dan menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Kak? Apa yang kau pikirkan?” Hyo-hee mendekati Hea-in yang masih berdiri di depan pintu dengan memberikan tatapan menyelidik, “sebenarnya ada apa antara kau dan Tuan Ok? Dan kenapa ia bisa membawa tas-mu ke mari?”

“Eh...anu...itu...aku lupa tadi meninggalkannya di meja kerjaku, saat kau tiba-tiba menelepon memberitahukan kabar Hyo-jin yang memburuk,” Hea-in beralasan.

“Hmm...benarkah?” Hyo-hee tampak tidak percaya, “kalau begitu, pasti menyenangkan sekali memiliki seorang atasan seperti itu, karena kalau karyawannya lupa membawa barang-barangnya ia akan mengantarkannya sendiri ke tempat karyawan itu,” tambah Hyo-hee sengaja dengan nada menggoda, “kalau aku yang bekerja di sana, aku pasti akan dengan sengaja meninggalkan barang-barangku setiap hari, agar ia selalu mengunjungiku untuk mengembalikan apa yang kulupakan itu. Apalagi dia pria yang sangat tampan—“

“HYA! Hentikan ocehanmu itu!” bentak Hea-in marah, membuat Hyo-hee tersentak kaget buru-buru membungkam mulutnya rapat-rapat.

“Aissh...kau menjadi pemarah akhir-akhir ini,” gerutu Hyo-hee, “untung Hyo-jin diberi obat tidur, jadi ia tak mendengar bentakanmu.”



-Mobil Taec-yeon-

Taec-yeon kembali tersenyum saat mengingat betapa kesalnya Hea-in padanya. Ia terbayang bagaimana cara gadis itu cemberut dan membentaknya dengan kata-kata kasarnya. Padahal seharusnya ialah yang marah karena pembicaraannya dengan Ah-ra disela begitu saja, dan kesempatannya untuk kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya itu, hilang seketika karena kemunculan Hea-in. Tapi entah mengapa, ia justru merasa terhibur dengan kekesalan Hea-in padanya.

Apa aku sudah gila? Kenapa aku justru senang saat melihatnya cemburu seperti itu? bukankah seharusnya aku marah padanya?, pikir Taec-yeon. “Mungkinkah....” Taec-yeon buru-buru menepuk jidatnya ringan. “Aiissh...tidak, kenapa aku memikirkan hal semacam itu?” Taec-yeon mulai menghidupkan mesin mobilnya, “aku harus menemui Ah-ra sekarang juga,” gumamnya.

Tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi, ia pun buru-buru menyalakan handsfree dan menyapa Ayahnya di telepon, “Ya, Ayah, ada perlu apa?”

“Kemarilah...ada yang ingin Ayah bicarakan denganmu,” perintah Tuan Ok.

“Sekarang?”

“Ya, sekarang juga.”



-Seoul Restoran-

Ah-ra melambai pada Jung-soo yang baru saja tiba di restoran itu, untuk memberitahu keberadaannya. “Kau sudah lama menunggu?” sapa Jung-soo saat ia tiba di meja Ah-ra.

“Tidak, aku baru saja tiba,” sambut Ah-ra, “duduklah!”

Mereka pun memesan makanan dan memulai pembicaraan. “Maaf untuk yang kemarin,” gumam Ah-ra menyesal.

Jung-soo menyunggingkan senyuman berhias lesung pipinya, “Tidak perlu minta maaf, mungkin aku datang di saat tidak tepat. Bukankah sekarang—“

“Aku benar-benar merasa bersalah padamu,” potong Ah-ra serius. “Dan hari ini, aku mengajakmu makan siang bersama untuk menjelaskan semuanya padamu. Kurasa...tidak bijaksana bagiku dan juga bagimu kalau aku menyimpannya sendiri, karena ini juga ada hubungannya denganmu.”

“Begitukah?” Jung-soo memperbaiki letak duduknya, “kalau begitu, ceritakan semuanya padaku.”

Ah-ra pun menceritakan semuanya pada Jung-soo tanpa terlewatkan sedikipun, dimulai dari status Ok Taec-yeon sebagai mantan kekasihnya, bagaimana mereka berpisah, hingga kedatangannya pagi tadi ke apartement Taec-yeon dan pertemuannya dengan Hea-in di sana. Jung-soo hanya mendengarkan dengan cermat dan sesekali meremas taplak meja di depannya, saat ia mengetahui bahwa Ah-ra masih menyukai mantan kekasihnya itu dan bahkan berniat untuk kembali menjalin hubungan dengan pria itu walaupun orang tua si pria jelas-jelas menentang. Pembicaraan mereka berlangsung lama dan hanya disela oleh kehadiran pelayan untuk mengantarkan makanan dan minuman yang telah mereka pesan.


“...walaupun kecewa, tapi aku sadar, seharusnya aku tidak pernah datang ke apartemen itu dan mempertimbangkan kemungkinan untuk kembali menjalin hubungan dengannya,” Ah-ra menunduk, “Aku juga tak mengerti kenapa aku sempat memikirkan hal gila macam itu. Dan sekarang, aku benar-benar menyesalinya,” Ah-ra mengakhiri ceritanya dengan air mata menggenang di sudut matanya. “Itulah sebabnya mengapa aku sangat merasa bersalah padamu, tapi aku lega karena akhirnya aku bisa menceritakan semuanya padamu. Kuharap kau mau mengerti. Dan sekarang, semuanya terserah padamu. Apakah kita akan meneruskan pertunangan ini? atau kau ingin membatalkannya. Aku akan menerima apapun keputusanmu.”

Jung-soo hanya diam sembari menatap Ah-ra lekat-lekat. Ia tak menyangka bahwa masalahnya bisa serumit ini. Setelah mendengarkan cerita Ah-ra, ia tak mengerti lagi harus menjawab apa. Rasanya, hatinya sakit karena cemburu. Tapi di lain pihak, ia juga tak mau melepaskan gadis itu begitu saja. “Apakah kira-kira masih ada tempat yang masih tersisa untukku di hatimu, bila kita memutuskan untuk meneruskan pertunangan ini?” Jung-soo balas bertanya, membuat Ah-ra membisu tanpa kata.



-Kediaman keluarga Ok-

Saat Taec-yeon tiba di rumah Ayah dan Ibunya, rupanya Tuan Ok sudah menunggunya di sofa ruang keluarga. “Ada apa Ayah memanggilku di hari Minggu begini?” Taec-yeon memulai pembicaraan sambil menempatkan dirinya di sofa di depan Ayahnya.

“Ayah ingin membicarakan masalah pernikahanmu dengan Nona Hea-in,” mulai Tuan Ok tenang membuat Taec-yeon membelalakkan matanya.

“M-maksud Ayah? Pernikahan?”

“Bukankah kemarin kau mengatakan akan menikahinya,” Tuan Ok mengingatkan kejadian di kantor saat Taec-yeon dengan lantang menyatakan akan menikahi Hea-in. “Ayah bermaksud, mengundang Nona Hea-in untuk makan malam bersama keluarga kita untuk membicarakan secara resmi masalah pernikahan ini.”

“Ya Tuhan!” Taec-yeon menepuk jidatnya dan seketika merebahkan tubuhnya di sofa seolah menyesali apa yang telah ia katakan kemarin.


~ To Be Continued.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar