CHAPTER 11
- Perumahan Jogang, lokasi shooting - Seoul -
Entah sudah berapa menit Hyun-in duduk diam di dalam mobilnya memandangi rumah yang menjadi lokasi shooting film Disaster Love hari ini. diliriknya kantung kertas yang ditaruhnya di kursi penumpang.
Saat di vila waktu itu, tanpa sengaja Hyun-in telah memutuskan kalung ponsel Kyu-hyun, dan ia amat tak enak hati. Sejak kecil Hyun-in sangat jarang—mungkin dapat dihitung dengan jari—melampiaskan amarah atau kesedihannya dengan melakukan kekasaran, tetapi hari itu ia melakukannya pada Kyu-hyun.
Karena itu, kemarin, saat pulang dari vila, ia pergi ke toko aksesoris untuk membelikan kalung ponsel baru untuk menggantikan milik Kyu-hyun yang rusak. Namun sekarang Hyun-in ragu untuk memberikannya karena malu.
Ketika masih menimbang-nimbang akan memberikannya pada Kyu-hyun atau tidak, pemuda yang sedang menjadi bahan pikiran Hyun-in itu baru saja sampai di lokasi shooting. Kyu-hyun keluar dari van perusahaannya dengan mengenakan kacamata hitam yang membuat penampilannya semakin terlihat keren.
Tanpa pikir panjang lagi Hyun-in bergegas keluar dari mobilnya dan berlari kecil untuk menyusul Kyu-hyun.
“Kak Kyu-hyun!” panggilnya, menghentikan langkah pemuda itu.
“Kenapa?” tanya Kyu-hyun santai sambil berputar untuk menghadap Hyun-in, seolah tidak kaget melihat gadis itu menghampirinya.
Saat tiba di hadapan Kyu-hyun, Hyun-in berubah gugup dan canggung. Hari-hari terakhir mereka di vila keduanya tak bertegur sapa akibat pertengkaran tentang sikap Kyu-hyun yang dianggap Hyun-in kelewatan pada gadis-gadis yang menghinanya.
Karena Hyun-in tak kunjung bicara, Kyu-hyun sedikit tak sabaran. “Kalau mencari kak Dong-hae, sepertinya dia sudah di dalam—“
“Aku kemari bukan untuk mencarinya,” sela Hyun-in.
Kyu-hyun bersedekap mengamati Hyun-in, menunggu gadis itu menjelaskan tanpa perlu ia mengajukan pertanyaan.
“Maaf—“
“Ah, akhirnya kau sadar aku melakukan hal yang benar terhadap si asisten juru rias itu—“
“Bukan!” bantah Hyun-in segera. “Aku tetap menganggap sikapmu itu kelewatan—“
“Hah, yang benar saja,” gumam Kyu-hyun sebal sambil mendengus.
Hyun-in mengingatkan dirinya sendiri bahwa kedatangannya bukan untuk melanjutkan pertengkarannya dengan Kyu-hyun, melainkan untuk mengganti kalung ponsel yang dirusakkannya.
“Ini, terimalah,” kata Hyun-in sambil menyorongkan kantung kertas yang dibawanya pada Kyu-hyun yang heran. “Maaf telah merusak kalung ponselmu waktu itu.”
Kyu-hyun menerima kantung kertas tersebut tanpa berkomentar apapun, lalu mengambil kalung ponsel di dalamnya yang masih terbungkus plastic. Ditatapnya wajah cemas Hyun-in sambil mengacungkan benda tersebut. “Kalung ponsel pemberian kak Ye-sung berwarna merah, kenapa sekarang kau malah memberiku warna ini?”
“Oh, maaf, kau… maksudku, aku, kudengar kau suka warna biru, jadi… baiklah, sini, biar kutukar dengan warna merah,” kata Hyun-in tak enak hati sembari mengambil kalung ponsel itu dari tangan Kyu-hyun.
Kyu-hyun menunduk untuk menyembunyikan senyum jailnya. “Tidak usah,” katanya sambil merebut kembali kalung ponsel tersebut dan sebagai gantinya menyerahkan sampahan kantung kertas serta bungkusan plastic kalung ponselnya yang telah dibuka pada Hyun-in. “Aku memang suka warna biru,” tambahnya.
Seketika Hyun-in merasa lega. “Syukurlah—“
“Apa!? bagaimana bisa!? Di mana!?”
Suara Ahn Bong-soo yang bernada tinggi menghentikan perkataan Hyun-in. bersamaan dengan Kyu-hyun, ia menoleh ke arah Bong-soo berada. Sepupunya itu tengah bicara lewat ponselnya dengan raut wajah yang serius dan cemas.
“Seberapa parah? Dimana?” desak Bong-soo. “Baik, aku akan segera ke sana.”
Penasaran, Hyun-in menghampiri kakak sepupunya itu. “Ada apa?”
Bong-soo menutup ponselnya sambil menatap Hyun-in. “Hah… bencana. Sun-ye dan Ri-yeon mengalami kecelakaan dalam perjalanan ke mari,” jawabnya, menyebut dua artis yang memerankan kakak dan adik Hea-in dalam Disaster Love. “Sepertinya pembuatan film ini terpaksa ditunda,” tambahnya sambil memijat keningnya.
- Seoul Hospital -
Para pemeran dan kru Disaster Love langsung pergi ke rumah sakit di mana Sun-ye dan Ri-yeon dirawat. Kedua artis yang berasal dari satu managemen itu sedang dalam perjalanan menuju lokasi shooting ketika kecelakaan terjadi. Karena merasa terlambat, supir mereka mengemudi kelewat cepat, dan bersenggolan dengan mobil lain yang juga sama lajunya hingga menabrak pagar taman kota.
Bersama Dong-hae, Ki-bum, Kyu-hyun dan Hea-in, Sung-min harus melewati segerombolan wartawan yang berkumpul di luar rumah sakit ingin meliput berita kecelakaan kedua artis tersebut.
Saat berhasil memasuki rumah sakit, mereka melihat Kang Ha-jong dan Kang Seo-min yang sedang bertanya tentang Sun-ye dan Ri-yeon pada perawat. Sung-min melirik Dong-hae yang sedang memandangi sosok Seo-min yang tak sadar sedang diperhatikan. Ia telah berulang kali berusaha menjelaskan keadaan yang sebenarnya, tetapi Dong-hae tak pernah mau mendengarkan, dan terakhir kali ia berusaha menjelaskan, di hari kepulangan mereka ke Seoul, Dong-hae memang tak lagi bersikap dingin dan menjaga jarak darinya, tetapi adiknya itu justru membuat pernyataan yang mengejutkan Sung-min.
“Kita lupakan saja yang telah terjadi,” kata Dong-hae tenang. “Aku sudah memikirkannya dan menyadari, hal sepele seperti ini tak boleh menghancurkan hubungan persahabatan dan persaudaraan kita. Kau sama berhaknya denganku untuk menyukai Seo-min—“
“tapi aku tidak—“ Sung-min berusaha memberitahu tetapi kembali dihentikan Dong-hae.
“aku hanya berharap kau jujur padaku tentang rasa sukamu padanya, tapi sudahlah… tak penting lagi.”
“Bagaimana bisa tak penting? Bukankah kau menyukai Seo-min—“
“Tapi dia menyukaimu,” potong Dong-hae. “Tenang saja, aku tak apa-apa. aku menyukainya, tapi belum seserius yang mungkin kau kira.”
“Dong-hae—“
“Bila sekarang saja aku bisa melupakan Yoo-hee, aku yakin melupakannya lebih mudah lagi, bukan begitu?” kata Dong-hae dengan gaya bercanda.
Sung-min menghela napas. Sorot mata Dong-hae saat ini menunjukkan segalanya. Tentu saja, memang tak mungkin mudah melupakan orang yang disukai. Sayangnya dong-hae tak pernah bersedia diajak membahas masalah itu lagi. Dan dia tak percaya setiap kali Sung-min ngotot mengatakan dirinya tak menyukai Seo-min, karena telah melihat dengan mata kepalanya sendiri Sung-min berciuman dengan Seo-min. Sung-min kalah. Ia dan Seo-min memang berciuman. Ia tak bisa mengelak, dan hal tersebut membuatnya tak dapat meyakinkan dong-hae.
Hea-in yang melihat situasi berbahaya ini, dengan cepat menggandeng tangan Dong-hae dengan mesra.
Dong-hae terkejut, tetapi memutuskan untuk membiarkannya saja karena pada saat itu Seo-min telah menyadari kedatangan mereka dan menatapnya. Lebih baik begini, pikir Dong-hae. aku ingin dia tahu bahwa aku tak akan mengganggunya dengan perasaanku lagi.
Senyum puas tersungging di wajah Hea-in karena Dong-hae tak menolaknya. Dan melihat kecemburuan yang sempat terlintas di wajah Seo-min membuatnya semakin senang.
Awalnya, ketika melihat Dong-hae setelah berhari-hari tak bertemu, Seo-min merasa setitik kegembiraan, tetapi kemudian ia melihat Hea-in menggandeng pria itu mesra, dan langsung membuang muka, yang membuatnya tanpa sengaja bertatapan dengan Sung-min.
Sung-min memberikan tatapan yang seolah berkata; rasakan itu, pada Seo-min, sebelum menyapa Kang Ha-jong.
Pihak rumah sakit mengabarkan bahwa hanya si supir dan juru rias yang duduk di depan yang mengalami luka cukup parah, sementara Sun-ye dan Ri-yeon hanya mengalami luka ringan, walau begitu masih perlu dirawat di rumah sakit, entah berapa lama. Diperkirakan shooting harus ditunda beberapa minggu hingga keduanya benar-benar pulih.
Saat menuju kamar Sun-ye, dengan sengaja Seo-min berjalan di sisi Sung-min, di depan Dong-hae dan Hea-in. selain agar tak perlu memandangi keakraban pasangan itu, ada desakan kekanakan dalam diri Seo-min yang membuatnya ingin membalas Dong-hae dengan membuatnya cemburu.
Melirik Seo-min sekilas, tanpa bicara sepatah katapun Sung-min bergeser menjauh, lebih merapatkan diri pada Ki-bum yang menatapnya sedikit heran. Namun Seo-min memang keras kepala, ia tak peduli isyarat Sung-min yang ingin menghindarinya dan justru kembali mendekati pria itu.
Sung-min melayangkan tatapan tak suka ke arah Seo-min yang hanya membalasnya dengan ekspresi menantang. Mendesah kesal, Sung-min mempercepat langkahnya meninggalkan rombongan agar tak perlu berdekatan dengan gadis itu. tapi seperti yang sudah bisa diduga, Seo-min pun ikut mempercepat langkahnya untuk menjajari Sung-min, bahkan dengan berani menarik tangan pria itu agar tak meninggalkannya.
Sung-min melirik cepat ke arah rombongan di belakangnya, sebelum menatap Seo-min marah. “Apa yang kau inginkan sekarang?” tanyanya dingin.
Seo-min tetap tak melepaskan pegangan tangannya, dan justru menarik pria itu agar meneruskan berjalan bersamanya. “Tak ada,” jawabnya singkat.
“Kau bermaksud memanfaatkanku lagi?” ucap Sung-min sinis. “Maaf, tapi kali ini aku tak ingin berpartisipasi,” katanya sambil berusaha menarik tangannya dari genggaman Seo-min.
Tapi Seo-min menahan tangan pria itu dengan erat. “Bagaimana bila aku memang bermaksud merayumu?” tanyanya tiba-tiba, membuat Sung-min terkejut.
“Kau bercanda,” ucap sung-min pada akhirnya.
Bertepatan dengan itu, mereka telah tiba di depan kamar rawat Sun-ye. Seo-min melayangkan tatapan mengejek ke arah Sung-min. “Tentu saja,” sahutnya. “kau tak mungkin berpikir aku menyukai tipe pinky boy, kan?” tambahnya sambil tertawa, lalu masuk ke kamar rawat Sun-ye, meninggalkan Sung-min yang berusaha menahan emosinya.
Dong-hae melihat interaksi Seo-min dan Sung-min dengan cemburu. Tangannya terkepal erat, dan ekspresinya mengeras. Terlalu larut dalam pikirannya, ia tersentak kaget ketika merasakan sentuhan lembut tangan Hea-in di kepalan tangannya. Dong-hae menoleh, dan bertatapan dengan Hea-in.
“Tersenyum,” perintah Hea-in. “Perlu kucontohkan?” oloknya ketika Dong-hae tetap diam tak mengerti.
Dong-hae merasa geli. “Bayaran untuk satu senyumanku amat mahal,” katanya bercanda.
Tanpa banyak bicara Hea-in mengeluarkan buku cek dari dalam tasnya dan melambaikannya di depan wajah Dong-hae. “Sebutkan saja, berapa hargamu,” katanya santai, membuat Dong-hae tertawa geli.
“Sudahlah, aku akan memberimu senyum gratis,” kata Dong-hae sambil mempraktekkan senyuman lebar ala super starnya.
Ki-bum yang sedari tadi menonton “drama” antara Seo-min-Sung-min dan Dong-hae-Hea-in, terlihat berpikir serius. Hmm… ada apa ini, pikirnya bertanya-tanya.
“Maaf, aku harus pergi sekarang untuk bertemu produser,” kata Seo-min pada Ri-yeon ketika mereka semua menjenguk artis itu setelah sebelumnya menjenguk Sun-ye.
“Oh, ya, tak apa. Terima kasih sudah datang,” kata Ri-yeon dengan suara lemah dari atas ranjang rumah sakit.
Seo-min mengangguk sopan. “Semoga cepat sembuh,” tambahnya, lalu berbalik pergi.
Ketika berjalan keluar, ia harus melewati Dong-hae dan Hea-in yang berdiri di dekat pintu. Seo-min dan Dong-hae sempat bertatapan selama beberapa detik sebelum sama-sama mengalihkan pandangan.
Hea-in mengamati semua itu dan walau enggan mengakuinya, ia merasa cemburu. Dong-hae masih menyukai Seo-min. begitu pula sebaliknya. Bila aku tidak cepat bergerak, Seo-min mungkin akan berubah pikiran dan menyatakan perasaannya pada Dong-hae, pikir Hea-in. itu tak boleh terjadi!
“Karena shooting ditunda, apa rencanamu setelah ini?” tanya Hea-in pada Dong-hae ketika mereka pulang.
Setelah berpikir sesaat, Dong-hae mengangkat bahu. “Entahlah… mungkin aku akan ke kantor, atau pulang—“
“Temani aku saja,” sela Hea-in cepat. “Ayo!” ajaknya, menarik tangan Dong-hae agar mengikutinya.
“Hei, tunggu, kau mau ke mana?” protes Dong-hae.
“Ikut saja,” sahut Hea-in sambil tersenyum menggoda.
Ki-bum mengamati kedua orang itu, lalu melirik Kyu-hyun yang sedang asyik mengamati kalung ponsel barunya. “Kau tak apa-apa?” tanyanya.
Akhirnya Kyu-hyun mengangkat kepala. “Kenapa?” ia balik bertanya.
Dengan gerakan kepalanya Ki-bum menunjuk Dong-hae dan Hea-in. Kyu-hyun mengamati pasangan yang semakin jauh itu sedetik, sebelum kembali menatap Ki-bum.
“Lalu kenapa? Tak ada urusannya denganku,” sahutnya santai.
Ki-bum mengangkat sebelah alisnya. “Bukankah kau menyukai Nona Kang Hea-in?”
Kyu-hyun memakai kacamata hitamnya dengan gaya sambil menyunggingkan senyum andalannya. “Memangnya aku pernah bilang begitu?” sahutnya enteng, lalu melenggang pergi diiringi tatapan kagum para wanita.
Ki-bum berdecak geli sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dasar anak muda,” gumamnya, seolah dirinya lebih tua ratusan tahun dari Kyu-hyun.
Hyun-in memarkir mobilnya pelan, dan selama beberapa menit hanya duduk diam di sana. Pikirannya melayang ke saat dia berada di kampusnya tadi. Setelah mampir ke lokasi shooting dan memberikan kalung ponsel pada Kyu-hyun, ia tak dapat langsung pergi menjenguk dua artis yang kecelakaan itu karena harus buru-buru pergi mengumpulkan tugasnya pada dosen yang menurut info dari temannya akan pergi keluar negeri selama seminggu.
Setelah berhasil menemui dosennya untuk mengumpul tugas, Hyun-in yang ingin buru-buru pergi ke rumah sakit, tanpa disangka-sangka bertemu pria masa lalunya di tempat parkir. Pria yang dulu dicintainya, dan dipikirnya juga memperhatikannya…sebelum pria itu bertemu dan bertekuk lutut pada pesona kakaknya, Hea-in.
Mereka memang tak bertegur sapa. Pria itu juga tak melihatnya, tetapi melihat cinta pertamanya itu membuat Hyun-in murung. Kenangan masa-masa pahit itu, sakit hati dan kecewanya saat itu… memunculkan kembali rasa tak percaya diri Hyun-in. ia merasa sangat jelek, sangat buruk, dibandingkan kakaknya yang cantik dan superior.
Memarahi diri sendiri karena memikirkan hal-hal tersebut, Hyun-in bergegas keluar dari mobilnya. Dan berjalan menuju pintu masuk rumah sakit. Tetapi langkahnya perlahan terhenti ketika melihat pasangan yang baru saja keluar sambil tertawa-tawa. Dong-hae dan Hea-in. Hyun-in juga melihat bagaimana kakaknya itu menggandeng tangan Dong-hae, dan kenyataan pria itu tak menolak membuatnya amat cemburu.
Kak Dong-hae juga? pikirnya muram. Kenapa semua pria lebih memilih kak Hea-in? kenapa mereka begitu menyukainya!? Dan kenapa harus selalu pria yang kusuka!? Jeritnya dalam hati.
Tak ingin mereka melihatnya, terlebih tak ingin membiarkan kakaknya menyombong di hadapannya, Hyun-in segera berbalik kembali menuju mobilnya. Tetapi setelah duduk di balik kemudinya, Hyun-in tak kunjung pergi. Pikirannya masih terpusat pada pria yang pernah dicintainya dulu dan Dong-hae yang amat disukainya sekarang, hingga ia tersentak kaget ketika mendengar dering ponselnya.
“Kak Ki-bum?” ucapnya kaget saat melihat nama penelepon yang tertera di layar ponselnya. “Halo?” sapanya ramah, berusaha melupakan pria masa lalunya dan Dong-hae untuk saat ini.
“Apa kabar?” tanya Ki-bum.
“Hmm… cukup baik,” jawab Hyun-in. “Bagaimana denganmu?”
“Sangat baik,” jawab Ki-bum. “Apa kau sedang sibuk?” tiba-tiba dia bertanya.
“Tidak juga. ada apa?”
“Di mana kau sekarang?”
“Aku—“ Hyun-in terdiam ketika melihat Ki-bum melintas di depan mobilnya. Segera ia memencet klakson dan mengejutkan pemuda itu.
Ki-bum menoleh cepat, dan melihat Hyun-in melambai padanya dari dalam mobil. Sambil tersenyum, ia melangkah menghampiri Hyun-in yang menurunkan kaca mobilnya.
“Kemari untuk menjenguk Sun-ye dan Ri-yeon?” tanya Ki-bum.
“Emm… begitulah,” jawab Hyun-in. “Ah, kenapa kakak menghubungiku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Tak ingin mendesak gadis itu, Ki-bum hanya mengangguk. “shooting terpaksa ditunda hingga kesehatan Sun-ye dan Ri-yeon memungkinkan untuk kembali beraktivitas, dan sekarang aku punya waktu luang. Bila kau tak sibuk, boleh aku berkunjung menjenguk putraku?”
“Oh, tentu saja! Aku akan senang sekali, maksudku, Bum-bum pasti senang bertemu denganmu lagi,” kata Hyun-in lebih ceria. “Kapan?”
“Sekarang?”
“Ayo,” ajak Hyun-in. “Ah, kau ikut denganku, atau…”
“Aku bawa mobil sendiri, biar aku mengikutimu,” kata Ki-bum sembari memamerkan senyum tampannya, yang menulari Hyun-in untuk ikut tersenyum.
- DoReMi, tempat karaoke -
Hea-in bersandar di sofa kulit itu sambil mendesah memandangi Dong-hae yang sedang serius bernyanyi. Tujuannya ke mari adalah untuk bersenang-senang, tetapi sejak datang tadi Dong-hae terus memonopoli pilihan lagu dan menyanyikan lagu-lagu sendu dan sedih. Apa-apaan ini!? dia bahkan tak menyadari pose seksiku sedari tadi!? gerutu Hea-in dalam hati. Untuk apa dia menyanyikan lagu-lagu cengeng ini? karena Seo-min!? cih…
“Bisakah kita ganti lagu lain yang lebih ceria?” tanya Hea-in, tetapi Dong-hae mengacuhkannya. Pria itu terlihat begitu menghayati tiap bait lagu yang dinyanyikannya. “Dong-hae,” panggil Hea-in dengan nada bosan karena pria itu jelas bersenang-senang sendiri—atau mungkin lebih tepat dikatakan bersedih-sedih seorang diri.
“Dong-haeee…” ulang Hea-in lebih keras.
“He,” gumam Dong-hae acuh tak acuh sebelum kembali meneruskan nyanyiannya.
Kesal terus didiamkan seperti itu, Hea-in memilih untuk bertindak. Ditariknya jaket yang dikenakan Dong-hae dan menggunakan tangannya yang lain untuk mengarahkan wajah pria itu kepadanya. Seketika nyanyian Dong-hae berhenti. Mereka bertatapan intens selama beberapa detik dalam diam, sebelum Hea-in beringsut semakin mendekat sambil berbisik; “Aku tidak suka diacuhkan.”
Dong-hae tersenyum canggung. “Maaf, baik, kau ingin menyanyi apa?” katanya, mencoba mencairkan suasana sembari berusaha kembali mengambil jarak dari Hea-in.
Hea-in membiarkan pria itu mengambil jarak, dan sebagai gantinya kembali menampilkan pose dan senyum seksinya. “Aku ingin sesuatu yang ceria dan bersemangat,” jawabnya dengan nada menggoda.
Dong-hae berdeham sambil berusaha menjaga matanya agar tak memandangi Hea-in. “Sesuatu yang ceria… kau ingin apa?”
“Terserah… pilihkan saja yang bagus.”
“Tapi kau yang akan menyanyi—“
Hea-in membelai lengan Dong-hae. “Tapi aku ingin kita bernyanyi bersama.”
Dong-hae kembali berdeham canggung dan beringsut semakin menjauhi Hea-in, membuat wanita itu tertawa geli. “Apa yang kau takuti? Aku tidak akan memakanmu,” oloknya, membuat wajah Dong-hae merona.
Masih sambil tersenyum, Hea-in memilih Bonamana. “Baiklah, agar kau tidak semakin takut padaku, kita nyanyikan ini saja.”
Senyum Dong-hae berubah menjadi lebih natural. “Bagus,” komentarnya singkat.
Hea-in mengambil mic-nya sambil mengibaskan rambut. “Tapi… aku punya satu permintaan,” katanya.
Seketika Dong-hae kembali waspada. “Apa?”
Hea-in tertawa geli. “Hanya ingin kau menarikan Bonamana khusus untukku hari ini,” katanya.
Dong-hae menyeringai malu sesaat sebelum bangkit berdiri. “Kau yakin hanya menari biasa yang kau maksud? Bukan striptease atau semacamnya?” merasa lebih santai, Dong-hae balas bercanda.
“Wah, terima kasih atas idenya. Aku dengan senang hati melihatmu buka-bukaan,” sahut Hea-in.
“Bayaran melihat tubuhku amat mahal,” canda Dong-hae.
“Sudah kubilang, sebutkan saja, berapa hargamu,” balas Hea-in.
Dong-hae tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dasar orang kaya,” ejeknya. “Sudahlah, mulai saja menyanyinya!”
- Apartemen Lee-teuk, Hee-chul & Kang-in -
Besok adalah hari ulangtahun lee-teuk, tetapi dikarenakan acara kantor yang diperkirakan akan berlangsung hingga malam, mereka merayakan ulangtahun leader Super Junior itu malam ini bersama beberapa teman kantor. Bahkan teman-teman sekantor mereka menginap di apartemen yang Lee-teuk, Hee-chul dan Kang-in sewa ini—karena letaknya yang dekat dengan kantor tempat mereka bertugas—karena terlalu mabuk untuk pulang sendiri ke rumah masing-masing.
Ting tong… ting tong…
“Ergh…” dalam tidurnya Hee-chul menggeram terganggu sambil berbalik dan menumpangkan tangannya di tubuh Lee-teuk yang pulas.
Ting tong… ting tong…
Kembali menggeram, Hee-chul yang tak ingin tidurnya terganggu menutup kupingnya dengan bantal.
Buk. Kang-in yang entah bermimpi apa tiba-tiba tertawa sambil menggerakkan kakinya hingga menendang kepala Hee-chul. “Argh!” teriak Hee-chul marah sambil beranjak duduk. Dipukulinya Kang-in dengan emosi, membuat Kang-in terbangun dengan kaget dan marah.
“Apa-apaan ini!?” bentaknya.
“Kau yang memulainya! Kau pikir kepalaku ini bola!?” omel Hee-chul sambil sekali lagi memukul kepala Kang-in dengan bantal.
“jangan menuduh sembarangan!” bantah Kang-in sambil membalas dengan menendang kaki Hee-chul.
Bunyi bel yang tak kunjung berhenti dan keributan yang disebabkan kedua adiknya, membuat Lee-teuk pun akhirnya terbangung. Dengan mengantuk dan malas-malasan sang leader Super Junior itu duduk dan mengamati sekelilingnya. Tiga teman sekantornya yang menginap malam ini terbantai di dekatnya, benar-benar pulas dan tak terganggu sedikitpun oleh keributan yang terjadi karena terlalu mabuk, sedangkan Hee-chul dan Kang-in sekarang sedang terlibat adu gulat.
Lee-teuk mengusap-usap wajahnya sembari mendesah. “Bisakah kalian melanjutkan keributan ini besok saja?” tanyanya, yang tentu saja tak dihiraukan oleh Hee-chul dan Kang-in.
Ting tong… Lee-teuk menatap pintu, lalu jam di dinding. Tepat pukul 12 malam. Siapa yang berkunjung semalam ini? pikirnya heran sambil bangkit berdiri dan berjalan dengan langkah gontai menuju pintu.
Dari layar monitor terlihat seorang pria dengan rambut tersisir rapi, setelan jas hitam dan wajah ramah yang terus tersenyum. Siapa? Pikir Lee-teuk heran sebelum membukakan pintu.
Tamu itu membungkukkan tubuh dengan sopan dan penuh hormat. “Apakah benar ini kediaman Tuan Park Jung-soo?” tanyanya, tanpa berhenti tersenyum sopan.
Lee-teuk mencoba menahan kuapnya saat mengangguk mengiyakan. “Aku Park Jung-soo,” katanya.
Pria itu tersenyum lega, lalu menjentikkan jarinya, dan tiba-tiba seorang perempuan berpakaian pelayan yang lengkap dengan celemek putih berenda muncul untuk menyerahkan sebuah kotak besar pada pria tersebut, yang kemudian disorongkan pada Lee-teuk.
“Saya diberi tugas untuk mengantarkan ini untuk pada Anda, Tuan,” kata pria itu.
“Eh? Apa ini?” tanya Lee-teuk heran bercampur kaget ketika menerima kotak tersebut.
“Dan ini, juga dititipkan untuk Anda,” tambah pria itu sambil memberikan sebuah amplop pink pada Lee-teuk tanpa menjawab pertanyaan diajukan padanya.
“Ha? Dari siapa—“
“Selamat malam. Maaf mengganggu waktu istirahat Anda,” ucap pria itu sambil membungkuk hormat sebelum pergi.
Masih terheran-heran, Lee-teuk menutup pintu dan kembali ke ruang tengah dimana teman-temannya berada. Duduk di karpet, ia membuka tutup kotak tersebut.
“Woah!” serunya senang bercampur terkejut ketika melihat kue ulangtahun cokelat besar bertuliskan “Happy Birthday My Angel”.
Mendengar seruan Lee-teuk membuat pergulatan Hee-chul dan Kang-in terhenti. Mata keduanya langsung melotot melihat kue menggiurkan di hadapan Lee-teuk. Mereka saling melepaskan petengan terhadap satu sama lain lalu merangkak mendekati Lee-teuk.
“Kue ulangtahun!? Siapa yang memberikannya?” tanya Kang-in.
“Kapan kau mendapatkannya!?” tanya Hee-chul.
Tak menghiraukan kedua adiknya, Lee-teuk dengan tak sabar membuka amplop yang diberikan tamunya tadi, lalu membaca isi suratnya.
Kak Lee-teuk, Selamat ulangtahun!!!
Aku selalu mendoakan segala yang terbaik untukmu. Kuharap aku dapat memberikan kue itu sendiri dan merayakannya bersamamu, tetapi sayangnya saat ini hal itu tak memungkinkan, karenanya aku meminta pelayanku mengantarkannya.
Lee-teuk-ku yang special, kuharap tahun ini menjadi tahun yang special untukmu. Semangat!!!
Yang selalu memujamu,
A.J.R
A.J.R lagi? batin Lee-teuk, teringat si pemberi jam tangannya waktu itu. siapa sebenarnya gadis ini? eh, dia pasti gadis, kan? Tak mungkin pria, kan?
Tiba-tiba teringat olehnya sosok si gadis Jepang. Sungguh cantik dengan kulit sehalus porselen. Gadis itu tidak cantik dalam cara tradisional gadis Jepang, karena jelas dia berdarah campuran. Rambut dan matanya sedikit lebih terang dibanding orang Asia, semua itu membuatnya terlihat lebih unik. Selama ini Lee-teuk memang menganggap anak-anak hasil percampuran budaya itu cantik. Gadis itu salah satu contohnya.
Apa memang dia? seriuskah dia ketika memerintahku menikahinya? batin Lee-teuk bertanya-tanya.
“Enak ya?” komentar Kang-in sambil menjilat krim cokelat dari jarinya.
“He-em,” guman Hee-chul yang sibuk mengunyah sembari memotong kue lagi dalam potongan besar.
“Hei! Kalian ini!” seru Lee-teuk kaget, ketika melihat kedua adiknya tengah asyik menyantap kue ulangtahunnya. “Sini, kemarikan! Dasar tidak sopan!”
“Cih… pelit sekali… hanya kue begini aku juga bisa beli sendiri,” gerutu Kang-in, tetapi tangannya kembali terjulur untuk mengambil kue.
Lee-teuk menjauhkan kue ulangtahunnya dari jangkauan adik-adiknya, dan memukul tangan Kang-in. “Ini punyaku!” katanya tegas sambil beranjak berdiri dan menjauhi Kang-in dan Hee-chul yang mengomel atas kepelitannya.
Lee-teuk masuk ke kamarnya dan menyantap kue tersebut sambil memandangi jam tangan Rolex-nya. AJR… aku penasaran… siapa dia? batinnya.
To Be Continued...
By Destira ~Admin Park~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar