Hai...hai...hai....#Lambai2 Author Ababil dateng lagi ekekekek....jangan bosen yaa baca FFku yang sangat aneh bin ajaib ini. maklum saia bukan Novelis seperti Miss Destira aka (Admin Park). Juga bukan Author FF berbakat yang karyanya sudah melanglang buana seperti Mila Aulia (Admin Hea-in), Teresia Dian, Patricia Jessica dan masih banyak lagi yg lainnya. Saia cuma Admin Iseng gak ada kerjaan (?) yang pengen juga bikin FF hahaha #Kebanyakan Bacot nii, keburu Reader ketiduran :p
ya udah deh, aku terbitin FFnya dulu. Miaaaaaann banget kelamaan nunggunya *emang ada yg nunggu?* XD
karena udah kelamaan dan pasti udah jamuran ingatannya tentang FF satu ini, aku sengaja ngasih ringkasan cerita chapter sebelumnya. Maaf yah...*maaf mulu* ekekekek....
oke dah, aku bersih-bersih dulu Note-ku dari sarang laba-laba yang sudah lama bersarang (?) di sini #MakinNgaco
sebelum semakin kemana-mana (?) ama omongan gak jelasku, aku kasih aja deh FFnya (Reader: dari tadi kek Thor!) hahaha XD
cekidottt!!! jangan kecewa ama hasilnyaa!!! ^^
Chapter 5
Ringkasan Chapter sebelumnya:
Yu-ri berhasil menjadi yang terbaik pada audisi Taekwondo di kampusnya, namun di akhir ia harus menelan kekecewaan karena ia tak berhasil melawan Soo-hyun yang ternyata adalah senior dan pemegang sabuk hitam Taekwondo.
Dong-hae mendapati Hae-bin tengah menangis pada saat ia berkunjung ke rumah gadis itu untuk belajar bahasa Inggris, dan ia pun akhirnya menawarkan diri untuk menghibur gadis itu. Hae-bin mulai merasakan sesuatu yang aneh menjalari tubuhnya ketika ia secara tak sengaja bersentuhan dengan kekasih sahabatnya itu.
Ketika Soo-hyun tengah merenung di sebuah cafe, ia tak sengaja bertemu Yu-ri yang saat itu tengah bertengkar dan hendak berkelahi dengan seorang pria paruh baya yang dikatainya telah mengganggu ibunya. Namun Soohyun menggagalkan rencana Yu-ri, dan hal itu sukses membuat Yu-ri geram.
-Han River, Seoul-
Hae-bin menghela nafas dengan tatapan menerawang ke arah aliran sungai Han yang sore itu tampak tenang. Gadis itu menggenggam erat pinggiran bangku besi panjang yang kini didudukinya bersama Dong-hae. “Apa kau sudah merasa lebih tenang?” Dong-hae membuka percakapan setelah terjadi keheningan yang cukup panjang semenjak mereka tiba di tempat itu.
“Sedikit,” balas Hae-bin lirih.
Dong-hae berdeham, ia bingung harus mengatakan apa. ia ingin sekali menawarkan diri menjadi pendengar segala keluh kesah gadis itu, tapi ia juga tak mau memaksa Hae-bin untuk menceritakan sesuatu yang tak ingin diceritakannya. Bukankah dia bukan siapa-siapaku?, pikir Dong-hae.
“Aku minta maaf karena menggagalkan rencanamu—“
“Kau sudah mengatakan itu tadi,” potong Dong-hae.
“Ah...ya,” Hae-bin mengangguk kikuk, “maaf, aku memang gadis membosankan yang—“
“Maaf lagi?!” Dong-hae kembali memotong kalimat Hae-bin, “kata maaf memang bagus untuk meredakan amarah seseorang, tapi mengucapkan kata maaf secara terus menerus membuat kita akan tampak sebagai pribadi yang lemah. Berhenti mengatakan maaf, saat dirimu tidak membuat satu kesalahan pun.”
Hae-bin menunduk, “Lalu aku harus mengatakan apa?”
“Hah...” Dong-hae beranjak dari bangku panjang itu, berjalan lambat-lambat ke arah sungai Han yang memantulkan sinar mentari sore berwarna kemerahan. “Aku membawamu ke mari bukan untuk membuatmu semakin sedih. Bagaimana kalau kita hentikan pembicaraan ini?” ia memutar tubuhnya menghadap gadis itu.
Hae-bin menegang dan merasakan detak jantungnya kembali meningkat ketika melihat senyum tulus yang disunggingkan pria itu. Mata hitam dan jernihnya menatap mata Hae-bin lurus-lurus dan tampak begitu teduh juga menenangkan. Gadis itu tersenyum kaku, “Ya, kau benar.” Ia kembali menunduk. Tak sanggup menatap sinar mata Dong-hae yang membuat jantungnya kembali menghentak-hentak tak kenal kompromi.
“Aduh!” jeritan Dong-hae membuatnya buru-buru mengangkat wajahnya.
“Kak Dong-hae, kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir mendapati pria itu tengah berjongkok sembari memegangi kakinya di pinggir pembatas sungai Han, “Apa kau menginjak pecahan kaca atau semacamnya?” Hae-bin yang sudah tiba di sana ikut berjongkok dan mencoba memeriksa apa yang terjadi pada pria itu.
Minggu, 18 Desember 2011
I’M SORRY I LOVE HIM -Chap 2-
Hulahoyyy Semuaaa!!! sebenernyaa ni lanjutan FF I'm Sorry I Love Him-nya bukan aku yg bikin tapi siFITRIA PRIMI APRILIA cast yg jadi Shin Hyo-rin di FF inih, mungkin gara2 aku kelamaan gak ngelanjutin ni FF *masih bingung ama ITL & SWITCH* jadi dia berinisiatif bikin sendiri chap 2-nya hehe...*Mian Ndul*
Tapi tadi setelah kubaca, ceritanya menarik, walaupun ini karya FF perdana-nya...*Jempol daa*. Awalnya kusuruh dia sendiri yg publishin ni FF, tapi dia gak mau dan ngasih wewenang ke aku buat nge-publish ni FF. Ya udah deh, kebanyakan bacot saia hehe....saia Post ajah yaa....Moga gak pada lupa ya ama ni FF ^^
Chapter 2
-Rumah Keluarga Kim-
Seusai pesta perayaan kelulusan Hyun-joong malam itu, semua anggota keluarga Kim berkumpul di ruang keluarga. Tuan Kim Jae-wook beserta istrinya, Hwang Ji-sun dan putra kedua keluarga itu, Kim Hyung-joon, sedang berbincang-bincang ketika Hyun-joong datang.
“Hyun-joong, apa kau sudah mengantar Hyo-rin pulang?” Tuan Kim bertanya ketika melihat Hyun-joong masuk.
“Ya Ayah, aku baru saja mengantarnya pulang. Dia sudah sangat mengantuk sepertinya, sampai-sampai dia ketiduran saat di mobil tadi. Aku menyuruhnya langsung istirahat saat tiba di rumahnya.”
“Syukurlah. Kesini, duduklah. Ayah ingin berbicara denganmu.”
“Yoebo, apakah tepat membicarakannya sekarang? Hyun-joong pasti kelelahan setelah acara tadi.” Kata Nyonya Hwang. “Lagipula dia juga baru pulang setelah mengantar Hyo-rin pulang.”
Adik Hyun-joong, Hyung-joon pun ikut berbicara. “Ibu benar Ayah, hyung pasti sangat lelah saat ini.”
Tuan Kim hanya diam, dia terus memandang putra sulungnya itu. “Duduklah.” Perintahnya lagi.
Pemuda itu akhirnya duduk dikursi dihadapan ayahnya. “Sepertinya hal yang penting sekali, hingga semuanya berkumpul seperti ini.”
“Ayah akan langsung bicara pokok persoalannya. Kau ingat paman Tae-wook? Adik ayah yang tinggal di Inggris?”
“Ya, tentu saja.” Hyun-joong mulai bertanya-tanya. “Memangnya ada masalah apa?”
Kemudian Tuan Kim menceritakan semuanya . Mengenai adiknya, Kim Tae-wook, yang minggu lalu memberi kabar tentang adanya lowongan pekerjaan di perusahaan Green Peace miliknya di Inggris. Perusahaan itu bergerak dibidang rekayasa genetika tumbuhan yang akan menghasilkan tumbuhan-tumbahan berkualitas tinggi. Ketika mendengar bahwa Hyun-joong sudah lulus dari kuliahnya dari jurusan pertanian, pamannya tersebut langsung menghubungi ayah Hyun-joong untuk menawari Hyun-joong bergabung dengan perusahaannya.
Setelah mendengar itu Hyun-joong hanya terdiam. Ruangan keluarga tersebut terasa sangat sunyi. Akhirnya Tuan Kim angkat bicara.
“Tapi semuanya terserah padamu. Kau boleh tidak menerima tawaran pamanmu ini kalau kau menganggap kesempatan ini tidak cukup baik untukmu.”
Nyonya Hwang juga akhirnya ikut bicara, “Ayahmu benar Sayang.. Pikirkanlah dulu baik-baik. Kami juga tak akan memaksamu pergi ke Inggris kalau kau tak ingin kesana..”
“Aku juga ada sesuatu yang ingin ku sampaikan pada Ayah dan Ibu.” Tiba-tiba saja Hyung-joon menyela. “Aku akan pindah kuliah di Korea. Aku merasa kuliah di luar negeri kurang nyaman. Aku ingin disini saja, dekat dengan rumah, dekat dengan ayah dan ibu juga.”
Semua yang ada diruangan itu merasa terkejut, terutama Nyonya Hwang. “Tapi sayang—“
“Aku sudah memikirkannya baik-baik Bu.. Aku ingin kuliah disini, di Korea.” Hyung-joon berusaha menyakinkan kedua orangtuanya menengai rencana kepindahannya itu. “Lagipula jika hyung menerima tawaran paman Tae-wook dan pergi ke Inggris, rumah besar ini akan menjadi sepi karena hanya ada kalian berdua. Pasti kalian akan merasa kesepian.” Lanjutnya. “Aku ingin menemani kalian disini..”
Tuan Kim telihat berfikir sejenak. “Baiklah, kau sudah dewasa. Kau berhak mengambil keputusan atas apa yang akan kau lakukan.” Tuan Kim akhirnya menyetujui keputusan anak keduanya itu. “Apa kau sudah mengurus semuanya?” Lanjut Tuan Kim.
“Aku akan segera mengurus berkas-berkas kepindahanku minggu ini. Agar minggu depan aku sudah bisa mulai kuliah.”
“Universitas mana yang kau tuju?”
“Seoul University. Sama dengan Universitas hyung.”
“Baiklah.” Ujar Tuan Kim. “Dan kau Hyun-joong, pikirkan baik-baik tawaran paman Tae-wook. Kesempatan seperti ini tidak akan datang untuk kedua kalinya.”
“Ya Ayah, aku akan mempertimbangkannya.” Hyun-joong menjawab dengan lemah. Kepalanya sibuk bekerja. Saat itu banyak sekali pikiran yang mengganggu benaknya. Dan yang paling utama adalah, dia memikirkan bagaimana dengan Hyo-rin apabila dia menerima tawaran itu. Shin Hyo-rin, kekasih yang baru saja dia pacari, gadis yang telah menjadi bagian dari hidupnya akhir-akhir ini.
Tapi tadi setelah kubaca, ceritanya menarik, walaupun ini karya FF perdana-nya...*Jempol daa*. Awalnya kusuruh dia sendiri yg publishin ni FF, tapi dia gak mau dan ngasih wewenang ke aku buat nge-publish ni FF. Ya udah deh, kebanyakan bacot saia hehe....saia Post ajah yaa....Moga gak pada lupa ya ama ni FF ^^
Chapter 2
-Rumah Keluarga Kim-
Seusai pesta perayaan kelulusan Hyun-joong malam itu, semua anggota keluarga Kim berkumpul di ruang keluarga. Tuan Kim Jae-wook beserta istrinya, Hwang Ji-sun dan putra kedua keluarga itu, Kim Hyung-joon, sedang berbincang-bincang ketika Hyun-joong datang.
“Hyun-joong, apa kau sudah mengantar Hyo-rin pulang?” Tuan Kim bertanya ketika melihat Hyun-joong masuk.
“Ya Ayah, aku baru saja mengantarnya pulang. Dia sudah sangat mengantuk sepertinya, sampai-sampai dia ketiduran saat di mobil tadi. Aku menyuruhnya langsung istirahat saat tiba di rumahnya.”
“Syukurlah. Kesini, duduklah. Ayah ingin berbicara denganmu.”
“Yoebo, apakah tepat membicarakannya sekarang? Hyun-joong pasti kelelahan setelah acara tadi.” Kata Nyonya Hwang. “Lagipula dia juga baru pulang setelah mengantar Hyo-rin pulang.”
Adik Hyun-joong, Hyung-joon pun ikut berbicara. “Ibu benar Ayah, hyung pasti sangat lelah saat ini.”
Tuan Kim hanya diam, dia terus memandang putra sulungnya itu. “Duduklah.” Perintahnya lagi.
Pemuda itu akhirnya duduk dikursi dihadapan ayahnya. “Sepertinya hal yang penting sekali, hingga semuanya berkumpul seperti ini.”
“Ayah akan langsung bicara pokok persoalannya. Kau ingat paman Tae-wook? Adik ayah yang tinggal di Inggris?”
“Ya, tentu saja.” Hyun-joong mulai bertanya-tanya. “Memangnya ada masalah apa?”
Kemudian Tuan Kim menceritakan semuanya . Mengenai adiknya, Kim Tae-wook, yang minggu lalu memberi kabar tentang adanya lowongan pekerjaan di perusahaan Green Peace miliknya di Inggris. Perusahaan itu bergerak dibidang rekayasa genetika tumbuhan yang akan menghasilkan tumbuhan-tumbahan berkualitas tinggi. Ketika mendengar bahwa Hyun-joong sudah lulus dari kuliahnya dari jurusan pertanian, pamannya tersebut langsung menghubungi ayah Hyun-joong untuk menawari Hyun-joong bergabung dengan perusahaannya.
Setelah mendengar itu Hyun-joong hanya terdiam. Ruangan keluarga tersebut terasa sangat sunyi. Akhirnya Tuan Kim angkat bicara.
“Tapi semuanya terserah padamu. Kau boleh tidak menerima tawaran pamanmu ini kalau kau menganggap kesempatan ini tidak cukup baik untukmu.”
Nyonya Hwang juga akhirnya ikut bicara, “Ayahmu benar Sayang.. Pikirkanlah dulu baik-baik. Kami juga tak akan memaksamu pergi ke Inggris kalau kau tak ingin kesana..”
“Aku juga ada sesuatu yang ingin ku sampaikan pada Ayah dan Ibu.” Tiba-tiba saja Hyung-joon menyela. “Aku akan pindah kuliah di Korea. Aku merasa kuliah di luar negeri kurang nyaman. Aku ingin disini saja, dekat dengan rumah, dekat dengan ayah dan ibu juga.”
Semua yang ada diruangan itu merasa terkejut, terutama Nyonya Hwang. “Tapi sayang—“
“Aku sudah memikirkannya baik-baik Bu.. Aku ingin kuliah disini, di Korea.” Hyung-joon berusaha menyakinkan kedua orangtuanya menengai rencana kepindahannya itu. “Lagipula jika hyung menerima tawaran paman Tae-wook dan pergi ke Inggris, rumah besar ini akan menjadi sepi karena hanya ada kalian berdua. Pasti kalian akan merasa kesepian.” Lanjutnya. “Aku ingin menemani kalian disini..”
Tuan Kim telihat berfikir sejenak. “Baiklah, kau sudah dewasa. Kau berhak mengambil keputusan atas apa yang akan kau lakukan.” Tuan Kim akhirnya menyetujui keputusan anak keduanya itu. “Apa kau sudah mengurus semuanya?” Lanjut Tuan Kim.
“Aku akan segera mengurus berkas-berkas kepindahanku minggu ini. Agar minggu depan aku sudah bisa mulai kuliah.”
“Universitas mana yang kau tuju?”
“Seoul University. Sama dengan Universitas hyung.”
“Baiklah.” Ujar Tuan Kim. “Dan kau Hyun-joong, pikirkan baik-baik tawaran paman Tae-wook. Kesempatan seperti ini tidak akan datang untuk kedua kalinya.”
“Ya Ayah, aku akan mempertimbangkannya.” Hyun-joong menjawab dengan lemah. Kepalanya sibuk bekerja. Saat itu banyak sekali pikiran yang mengganggu benaknya. Dan yang paling utama adalah, dia memikirkan bagaimana dengan Hyo-rin apabila dia menerima tawaran itu. Shin Hyo-rin, kekasih yang baru saja dia pacari, gadis yang telah menjadi bagian dari hidupnya akhir-akhir ini.
I’m Sorry I Love HIM -PROLOG + Chapter 1-
I'm Sorry I love Him
PROLOG
Kutemukan diriku gugup saat mulai memasuki restoran bergaya eropa klasik bersama Kak Hyun-joong di depanku. Malam ini aku akan bertemu dengan anggota keluarga Kak Hyun-joong di pesta penyambutan kedatangan adiknya dari Amerika. Musik klasik mengalun lembut saat aku memasuki restoran tersebut.
“Tanganmu dingin sekali Hyo-rin,” ujar Kak Hyoon-jong karena dia memang menggandeng tanganku saat ini. “Kau gugup?”
“Gadis mana yang tidak gugup bila harus bertemu dengan orang tua kekasihnya,” akuku.
Kak Hyun-joong tersenyum menenangkan, “Tenanglah! Orang tua-ku konservatif, mereka tak akan menyidangmu.”
“Syukurlah!” jawabku pelan tapi sama sekali tak menghilangkan kegugupanku.
Kami pun sampai di salah satu meja yang saat ini telah ditempati oleh beberapa orang. Diantaranya sepasang pria wanita separuh baya yang kuperkirakan orang tua Kak Hyun-joong dan seorang pemuda tampan. Tak kalah tampan dengan Kak Hyun-joong dan entah mengapa jantungku berdebar saat memandangnya tersenyum padaku.
Pria tampan dan belia itu berdiri menyambut kedatangan kami, dan merangkul Kak Hyun-joong saat kekasihku itu tiba di hadapannya. “Aku merindukanmu Kak!”
“Aku juga!” jawab Kak Hyun-joong tulus.
“Sepertinya tidak begitu?” kata adiknya sembari menatapku. Tampan sekali!!
“Oh...kenalkan, ini Hyo-rin kekasihku,” Kak Hyun-joong memperkenalkan aku padanya, “Dan Hyo-rin, ini adikku Hyung-joon.”
“Hai Hyo-rin,” sapa Hyung-joon sembari menyalamiku dan menyunggingkan senyum menawannya. Dia benar-benar duplikat Kak Hyun-joong, sangat tampan dan manis. “Kau wanita paling beruntung, karena berhasil mendapatkan Kakakku.” Ya tuhan, kenapa jantungku menjadi berdetak lebih keras saat melihat senyumnya yang indah itu.
Tidak, tidak, tidak, Hyo-rin. Kau tidak bermaksud untuk menduakan Kak Hyun-joong kan? Terlebih pria itu adalah adiknya....
(Taken From...My Perfect Prince –Special Edition-)
Chapter 1
-Shin Hyo-rin, Seoul University of Agriculture-
Ku kembalikan perhatianku pada buku yang sedang kubaca, mencoba untuk memaknai kata-kata di buku tersebut, tapi tak berhasil. Aku resah, ya, benar aku resah dan bingung. Pikiranku dipenuhi oleh senyum manis pria itu. aku heran, mengapa aku selalu memikirkannya akhir-akhir ini. sejak pertemuan pertama kami di restoran itu. hah...sungguh aneh! Di satu sisi aku mencintai Kak Hyun-joong kekasihku, tapi kenapa di sisi lain, aku tak bisa melupakan Hyung-joon, adiknya.
“Buku itu bisa robek kalau kau remas terus!” aku terkesiap saat tiba-tiba seseorang menarik buku itu dari tanganku.
“Yoo-hee?!” jeritku kesal.
“Ketika hati berkata,” ia membaca judul buku yang tadi ia rebut dariku.
“Kembalikan!” pintaku tapi tak diacuhkannya. Ia malah membuka buku itu dan membacanya.
“Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu!” komentarnya santai tapi tetap tak mengalihkan perhatiannya dari buku itu.
“Rupanya kau mulai main tebak lagi,” gumamku.
Kini Yoo-hee mendongak untuk menatapku, “Dan kau, kembali menyembunyikan sesuatu dariku.”
“Ah...sudahlah!” sergahku kembali merebut buku itu dan memasukkannya ke dalam tas. “Kau mau kemana?” aku bertanya saat melihatnya mulai beranjak dari kursinya.
“Aku harus kembali ke kantor.” Kantor? Ah...ya, aku ingat. Sejak beberapa bulan yang lalu, ia bekerja membantu Ayahnya di perusahaan Publishingnya, Dong-In Publisher.
“Hya! Yoo-hee?” panggilku berusaha mengejarnya, “Aku heran denganmu, kenapa kau dulu mengambil jurusan pertanian, kalau kau lebih tertarik ke dunia publishing?” tanyaku penasaran.
PROLOG
Kutemukan diriku gugup saat mulai memasuki restoran bergaya eropa klasik bersama Kak Hyun-joong di depanku. Malam ini aku akan bertemu dengan anggota keluarga Kak Hyun-joong di pesta penyambutan kedatangan adiknya dari Amerika. Musik klasik mengalun lembut saat aku memasuki restoran tersebut.
“Tanganmu dingin sekali Hyo-rin,” ujar Kak Hyoon-jong karena dia memang menggandeng tanganku saat ini. “Kau gugup?”
“Gadis mana yang tidak gugup bila harus bertemu dengan orang tua kekasihnya,” akuku.
Kak Hyun-joong tersenyum menenangkan, “Tenanglah! Orang tua-ku konservatif, mereka tak akan menyidangmu.”
“Syukurlah!” jawabku pelan tapi sama sekali tak menghilangkan kegugupanku.
Kami pun sampai di salah satu meja yang saat ini telah ditempati oleh beberapa orang. Diantaranya sepasang pria wanita separuh baya yang kuperkirakan orang tua Kak Hyun-joong dan seorang pemuda tampan. Tak kalah tampan dengan Kak Hyun-joong dan entah mengapa jantungku berdebar saat memandangnya tersenyum padaku.
Pria tampan dan belia itu berdiri menyambut kedatangan kami, dan merangkul Kak Hyun-joong saat kekasihku itu tiba di hadapannya. “Aku merindukanmu Kak!”
“Aku juga!” jawab Kak Hyun-joong tulus.
“Sepertinya tidak begitu?” kata adiknya sembari menatapku. Tampan sekali!!
“Oh...kenalkan, ini Hyo-rin kekasihku,” Kak Hyun-joong memperkenalkan aku padanya, “Dan Hyo-rin, ini adikku Hyung-joon.”
“Hai Hyo-rin,” sapa Hyung-joon sembari menyalamiku dan menyunggingkan senyum menawannya. Dia benar-benar duplikat Kak Hyun-joong, sangat tampan dan manis. “Kau wanita paling beruntung, karena berhasil mendapatkan Kakakku.” Ya tuhan, kenapa jantungku menjadi berdetak lebih keras saat melihat senyumnya yang indah itu.
Tidak, tidak, tidak, Hyo-rin. Kau tidak bermaksud untuk menduakan Kak Hyun-joong kan? Terlebih pria itu adalah adiknya....
(Taken From...My Perfect Prince –Special Edition-)
Chapter 1
-Shin Hyo-rin, Seoul University of Agriculture-
Ku kembalikan perhatianku pada buku yang sedang kubaca, mencoba untuk memaknai kata-kata di buku tersebut, tapi tak berhasil. Aku resah, ya, benar aku resah dan bingung. Pikiranku dipenuhi oleh senyum manis pria itu. aku heran, mengapa aku selalu memikirkannya akhir-akhir ini. sejak pertemuan pertama kami di restoran itu. hah...sungguh aneh! Di satu sisi aku mencintai Kak Hyun-joong kekasihku, tapi kenapa di sisi lain, aku tak bisa melupakan Hyung-joon, adiknya.
“Buku itu bisa robek kalau kau remas terus!” aku terkesiap saat tiba-tiba seseorang menarik buku itu dari tanganku.
“Yoo-hee?!” jeritku kesal.
“Ketika hati berkata,” ia membaca judul buku yang tadi ia rebut dariku.
“Kembalikan!” pintaku tapi tak diacuhkannya. Ia malah membuka buku itu dan membacanya.
“Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu!” komentarnya santai tapi tetap tak mengalihkan perhatiannya dari buku itu.
“Rupanya kau mulai main tebak lagi,” gumamku.
Kini Yoo-hee mendongak untuk menatapku, “Dan kau, kembali menyembunyikan sesuatu dariku.”
“Ah...sudahlah!” sergahku kembali merebut buku itu dan memasukkannya ke dalam tas. “Kau mau kemana?” aku bertanya saat melihatnya mulai beranjak dari kursinya.
“Aku harus kembali ke kantor.” Kantor? Ah...ya, aku ingat. Sejak beberapa bulan yang lalu, ia bekerja membantu Ayahnya di perusahaan Publishingnya, Dong-In Publisher.
“Hya! Yoo-hee?” panggilku berusaha mengejarnya, “Aku heran denganmu, kenapa kau dulu mengambil jurusan pertanian, kalau kau lebih tertarik ke dunia publishing?” tanyaku penasaran.
FF MY LOVE JOURNAL chap. 1 - Meet the Boss, A Bitch or A Devil?
FF MY LOVE JOURNAL - Chap. 1
Subtittle : Meet the Boss, a Bitch? Or a Devil?
Genre : Romance
Cast :
Cho Kyu Hyun Hyun
Shin Min Ki
Kim Jong Woon (Yesung)
Shin Yoon Hee
Rated : PG 17
Language : mixed, pls don’t be confuse.
****
( SHIN MIN KI )
Pernahkah kau merasa terikat dengan sesuatu yang kau rencanakan?, sesuatu yang kau ingin lakukan? Tapi sampai detik ini kau belum dapat memenuhi apa yang menjadi harapanmu….
ini semacam target yang harus kau capai dalam hidupmu, agar jalan hidupmu lurus dan punya motivasi untuk memenuhi target itu.
Maksudku begini….
Setiap orang mempunyai rencana dalam hidupnya atau angan-angan. Begitu juga aku, rencanaku sederhana saja seperti kebanyakan wanita pada umumnya, mempunyai karier bagus, menikah dengan pria kaya nan tampan, mempunyai rumah berkolam renang di halaman belakang, punya sepasang anak yang lucu dan menggemaskan, lalu mempunyai tabungan yang cukup untuk menikmati masa tua bersama suami tercinta dengan berkeliling dunia…
Sederhana bukan? Tapi aku bukanlah orang yang dibesarkan dengan cerita dongeng semacam itu. Ya..siapa sih yang tidak mau mengalamai hal yang kusebut diatas, tapi kenyataan jauh sekali dengan angan-angan.
Oleh karena itu, aku hanya mempunyai target sederhana saja dalam setiap kehidupanku. Aku selalu menulis semua rencana dan targetku dalam jangka pendek di dalam jurnalku. Ini sudah menjadi kebiasaanku semenjak SMP, misalnya target sederhana untuk mendapat nilai minimal 80 pada ujian matematika besok.
Tapi namanya juga target, kadang berhasil kadang gagal---seringnya sih meleset.
Bila kuingat semua itu kadang-kadang aku ingin mempunyai mesin waktu untuk memperbaiki kegagalanku. Dan aku juga suka menulis tentang kegagalanku itu agar aku selalu mengingat kebodohan yang sudah kulakukan. Tapi tidak semuanya kutulis, soalnya aku takut bila adikku yang super ganjen atau kakakku yang extra konyol membacanya, bisa-bisa aku menjadi bahan olokan sepanjang hidupku.
Ok…jam di meja nakasku sudah menunjukkan jam 23.00. Udara Seoul saat ini sedang dingin-dinginnya karena ini bulan November---musim dingin sudah tiba. Aku menelungkupkan badanku di atas kasur single di kamarku yang sempit, kutopang daguku dengan siku seraya menulis di jurnalku…
November Wish, Do and Not to do :
1. I hope my new boss is not a bitch : kinda rude?
Tidak---aku menulisnya dengan mencibirkan bibirku. Besok kantor Allure Magazine tempatku bekerja akan kedatangan seorang editor baru, sementara editor yang lama Nona Jang yang tubuhnya dipenuhi dengan sayatan pisau bedah plastic dikeluarkan oleh direktur karena suatu kasus.
Kedudukanku sebagai asisten chief editor, sangat berharap bahwa boss baruku tidak seperti Nona Jang yang materialistis dan kecentilan.
2. Sisihkan gaji untuk membeli tas Chloe kuning busuk impianku : target akhir bulan November harus kubeli.
3. Stop nongkrong di Handel & Gretel Café hanya untuk secangkir expresso seharga 25.000 won!!! Si Mr. X yang super cute itu tidak akan pernah melirikmu. : sepertinya ini hiburan termahal untukku.
4. Jangan biarkan Yoon Hee meminjam krim malammu lagi, itu harganya sangat mahal.
5. Violet adalah warna bulan novembermu. : artinya besok cari barang-barang bernuansa ungu.
6. Selesaikan baca buku “How to make you a perfect journalist” : buku setebal 365 halaman, baru kubaca sekitar 30 halaman. Kau pemalas, Min Ki.
Aku melamun sebentar untuk memikirkan apa lagi yang akan kutulis, tapi buntu. Akhirnya aku hanya membaca ulang seraya mengingat-ingat. Ini sudah cukup, putusku.
Setelah semua targetku kutulis, lalu akupun merebahkan badanku seraya menatap ke atap kamar apartemenku. Memejamkan mata dan memanjatkan doa agar harapanku terkabul. Kemudian aku bangkit menuju meja riasku, mencopot kacamataku dan meng-roll rambutku dengan roll extra besar agar poni rambutku tidak mengajakku berkelahi besok pagi.
Subtittle : Meet the Boss, a Bitch? Or a Devil?
Genre : Romance
Cast :
Cho Kyu Hyun Hyun
Shin Min Ki
Kim Jong Woon (Yesung)
Shin Yoon Hee
Rated : PG 17
Language : mixed, pls don’t be confuse.
****
( SHIN MIN KI )
Pernahkah kau merasa terikat dengan sesuatu yang kau rencanakan?, sesuatu yang kau ingin lakukan? Tapi sampai detik ini kau belum dapat memenuhi apa yang menjadi harapanmu….
ini semacam target yang harus kau capai dalam hidupmu, agar jalan hidupmu lurus dan punya motivasi untuk memenuhi target itu.
Maksudku begini….
Setiap orang mempunyai rencana dalam hidupnya atau angan-angan. Begitu juga aku, rencanaku sederhana saja seperti kebanyakan wanita pada umumnya, mempunyai karier bagus, menikah dengan pria kaya nan tampan, mempunyai rumah berkolam renang di halaman belakang, punya sepasang anak yang lucu dan menggemaskan, lalu mempunyai tabungan yang cukup untuk menikmati masa tua bersama suami tercinta dengan berkeliling dunia…
Sederhana bukan? Tapi aku bukanlah orang yang dibesarkan dengan cerita dongeng semacam itu. Ya..siapa sih yang tidak mau mengalamai hal yang kusebut diatas, tapi kenyataan jauh sekali dengan angan-angan.
Oleh karena itu, aku hanya mempunyai target sederhana saja dalam setiap kehidupanku. Aku selalu menulis semua rencana dan targetku dalam jangka pendek di dalam jurnalku. Ini sudah menjadi kebiasaanku semenjak SMP, misalnya target sederhana untuk mendapat nilai minimal 80 pada ujian matematika besok.
Tapi namanya juga target, kadang berhasil kadang gagal---seringnya sih meleset.
Bila kuingat semua itu kadang-kadang aku ingin mempunyai mesin waktu untuk memperbaiki kegagalanku. Dan aku juga suka menulis tentang kegagalanku itu agar aku selalu mengingat kebodohan yang sudah kulakukan. Tapi tidak semuanya kutulis, soalnya aku takut bila adikku yang super ganjen atau kakakku yang extra konyol membacanya, bisa-bisa aku menjadi bahan olokan sepanjang hidupku.
Ok…jam di meja nakasku sudah menunjukkan jam 23.00. Udara Seoul saat ini sedang dingin-dinginnya karena ini bulan November---musim dingin sudah tiba. Aku menelungkupkan badanku di atas kasur single di kamarku yang sempit, kutopang daguku dengan siku seraya menulis di jurnalku…
November Wish, Do and Not to do :
1. I hope my new boss is not a bitch : kinda rude?
Tidak---aku menulisnya dengan mencibirkan bibirku. Besok kantor Allure Magazine tempatku bekerja akan kedatangan seorang editor baru, sementara editor yang lama Nona Jang yang tubuhnya dipenuhi dengan sayatan pisau bedah plastic dikeluarkan oleh direktur karena suatu kasus.
Kedudukanku sebagai asisten chief editor, sangat berharap bahwa boss baruku tidak seperti Nona Jang yang materialistis dan kecentilan.
2. Sisihkan gaji untuk membeli tas Chloe kuning busuk impianku : target akhir bulan November harus kubeli.
3. Stop nongkrong di Handel & Gretel Café hanya untuk secangkir expresso seharga 25.000 won!!! Si Mr. X yang super cute itu tidak akan pernah melirikmu. : sepertinya ini hiburan termahal untukku.
4. Jangan biarkan Yoon Hee meminjam krim malammu lagi, itu harganya sangat mahal.
5. Violet adalah warna bulan novembermu. : artinya besok cari barang-barang bernuansa ungu.
6. Selesaikan baca buku “How to make you a perfect journalist” : buku setebal 365 halaman, baru kubaca sekitar 30 halaman. Kau pemalas, Min Ki.
Aku melamun sebentar untuk memikirkan apa lagi yang akan kutulis, tapi buntu. Akhirnya aku hanya membaca ulang seraya mengingat-ingat. Ini sudah cukup, putusku.
Setelah semua targetku kutulis, lalu akupun merebahkan badanku seraya menatap ke atap kamar apartemenku. Memejamkan mata dan memanjatkan doa agar harapanku terkabul. Kemudian aku bangkit menuju meja riasku, mencopot kacamataku dan meng-roll rambutku dengan roll extra besar agar poni rambutku tidak mengajakku berkelahi besok pagi.
Label:
Fanfiction,
Kyuhyun,
TBC,
Yesung
F A T E - Chap 2 - Fanfiction Super Junior -
CHAPTER 2
- Apartemen Ye-sung / Kim Jong-woon -
Ye-sung merenggangkan tubuhnya di atas kasurnya yang empuk sambil mengerang dan menguap. Mengerjap-ngerjapkan mata beberapa detik, perlahan kantuknya hilang sepenuhnya. Beranjak duduk sambil menggaruk-garuk kepalanya, ia menatap ke jendela kamarnya yang tak tertutupi tirai dan membuat sinar matahari pagi menerobos masuk dengan bebas.
Ia berdiri dan menghampiri jendela tersebut untuk membukanya dan membiarkan udara segar masuk. Suasana begitu tenang dan damai pagi ini. Ye-sung menghirup udara pagi yang segar, lalu tersenyum. Tapi tiba-tiba teringat olehnya gadis aneh semalam.
Ye-sung menggeleng-gelengkan kepalanya. Semalam pasti cuma mimpi buruk, pikirnya meyakinkan diri sambil berjalan keluar dari kamarnya. Benar, semua hanya mimpi, batinnya, mengamati keadaan sepi, tenang, dan teratur apartemennya yang seperti biasa. Bahkan Ddangkoma pun terlihat nyaman bermala-malasan dalam kandangnya.
“Selamat pagi, Ddangkoma!” sapanya sebelum berbelok menuju kamar mandi, namun langkahnya terhenti ketika melihat pintu kamar tamunya yang terbuka. Kapan aku membukanya? batinnya dalam hati sembari melangkah mendekati kamar itu. “Astaga!” serunya, terkejut bukan kepalang, melihat gadis yang dipikirnya hanya berasal dari mimpi buruknya, kini tengah duduk santai di depan meja rias kamar tamunya.
Dan yang lebih mencengangkan—membuat Ye-sung berpikir bahwa dirinya sebenarnya masih tidur dan sedang berada dalam dunia mimpi—adalah cara gadis itu berdandan. Ia tidak menggunakan tangannya sendiri untuk menyisir dan mengikat rambutnya dalam tatanan yang rumit tersebut, melainkan benda-benda seperti sisir, pita, jepit rambut, dan semacamnya itu, melayang-layang di udara, bergerak-gerak sendiri untuk menata dan menghias rambut gadis itu, sementara ia sendiri tengah asyik membaca buku!
Ye-sung menampar pipinya sendiri untuk membuktikan bahwa ia hanya sedang bermimpi, namun rasa panas yang menyengat pipinya itu membuatnya mengaduh kesakitan.
Juny yang sedang asyik membaca buku kumpulan mantra, mendongak ketika mendengar suara Ye-sung. Melalui cermin mereka beradu pandang, sebelum dengan cepat Ye-sung melesat ke ruang tengah untuk menelepon satpam agar mengusir Juny keluar. Walau tidak tahu apa yang sebenarnya hendak dilakukan pria itu, tetapi Juny mempunyai firasat Ye-sung akan melakukan sesuatu yang tidak akan disukainya, karena itu ia bergegas mengikuti, dengan diiringi sisir, jepit, dan pita yang masih melayang-layang mengitari kepalanya.
“Halo? Ini Kim Jong-woon, dari apartemen nomor 1313! Tolong usir gadis—“
Dengan segera Juny melambaikan tongkatnya, dan dalam sekejap, gagang telepon tersebut berubah menjadi bayi buaya dengan mulut yang menganga lebar.
Berteriak kanget dan ngeri, kontan saja Ye-sung melempar gagang telepon / bayi buaya tersebut, dan membelalakkan matanya ke arah Juny yang tengah bersedekap santai mengamatinya.
Rasa takut yang mencekam Ye-sung membuatnya berlari menuju pintu untuk kabur keluar. namun kemudian handle pintu yang dipegangnya tiba-tiba berubah menjadi ular cobra yang siap mematuk.
“Aaa…!!! Tolooong!!!” teriak Ye-sung, melepas pegangannya dari handle pintu / ular cobra tersebut, dan melompat sejauh mungkin.
Juny mengamati semua itu dengan senyum tipis. Sebenarnya binatang-binatang itu hanya ilusi yang diciptakan oleh sihir Juny, namun tentu saja ia tak akan memberitahu Ye-sung. Ini jelas menguntungkan baginya. Ia dapat mengendalikan pria itu dengan menakutinya.
Melangkah mendatangi Ye-sung yang terpojok duduk di sudut ruangan, Juny dengan santai memain-mainkan tongkat sihirnya, menyadari mata Ye-sung terus tertuju pada benda tersebut.
“Si… siapa kau sebenarnya…?” tanya Ye-sung gugup.
“Bukankah semalam aku sudah memperkenalkan diri?” Juny balik bertanya dengan nada datar. “Aku Juny Killarney. Jodohmu.”
- Apartemen Ye-sung / Kim Jong-woon -
Ye-sung merenggangkan tubuhnya di atas kasurnya yang empuk sambil mengerang dan menguap. Mengerjap-ngerjapkan mata beberapa detik, perlahan kantuknya hilang sepenuhnya. Beranjak duduk sambil menggaruk-garuk kepalanya, ia menatap ke jendela kamarnya yang tak tertutupi tirai dan membuat sinar matahari pagi menerobos masuk dengan bebas.
Ia berdiri dan menghampiri jendela tersebut untuk membukanya dan membiarkan udara segar masuk. Suasana begitu tenang dan damai pagi ini. Ye-sung menghirup udara pagi yang segar, lalu tersenyum. Tapi tiba-tiba teringat olehnya gadis aneh semalam.
Ye-sung menggeleng-gelengkan kepalanya. Semalam pasti cuma mimpi buruk, pikirnya meyakinkan diri sambil berjalan keluar dari kamarnya. Benar, semua hanya mimpi, batinnya, mengamati keadaan sepi, tenang, dan teratur apartemennya yang seperti biasa. Bahkan Ddangkoma pun terlihat nyaman bermala-malasan dalam kandangnya.
“Selamat pagi, Ddangkoma!” sapanya sebelum berbelok menuju kamar mandi, namun langkahnya terhenti ketika melihat pintu kamar tamunya yang terbuka. Kapan aku membukanya? batinnya dalam hati sembari melangkah mendekati kamar itu. “Astaga!” serunya, terkejut bukan kepalang, melihat gadis yang dipikirnya hanya berasal dari mimpi buruknya, kini tengah duduk santai di depan meja rias kamar tamunya.
Dan yang lebih mencengangkan—membuat Ye-sung berpikir bahwa dirinya sebenarnya masih tidur dan sedang berada dalam dunia mimpi—adalah cara gadis itu berdandan. Ia tidak menggunakan tangannya sendiri untuk menyisir dan mengikat rambutnya dalam tatanan yang rumit tersebut, melainkan benda-benda seperti sisir, pita, jepit rambut, dan semacamnya itu, melayang-layang di udara, bergerak-gerak sendiri untuk menata dan menghias rambut gadis itu, sementara ia sendiri tengah asyik membaca buku!
Ye-sung menampar pipinya sendiri untuk membuktikan bahwa ia hanya sedang bermimpi, namun rasa panas yang menyengat pipinya itu membuatnya mengaduh kesakitan.
Juny yang sedang asyik membaca buku kumpulan mantra, mendongak ketika mendengar suara Ye-sung. Melalui cermin mereka beradu pandang, sebelum dengan cepat Ye-sung melesat ke ruang tengah untuk menelepon satpam agar mengusir Juny keluar. Walau tidak tahu apa yang sebenarnya hendak dilakukan pria itu, tetapi Juny mempunyai firasat Ye-sung akan melakukan sesuatu yang tidak akan disukainya, karena itu ia bergegas mengikuti, dengan diiringi sisir, jepit, dan pita yang masih melayang-layang mengitari kepalanya.
“Halo? Ini Kim Jong-woon, dari apartemen nomor 1313! Tolong usir gadis—“
Dengan segera Juny melambaikan tongkatnya, dan dalam sekejap, gagang telepon tersebut berubah menjadi bayi buaya dengan mulut yang menganga lebar.
Berteriak kanget dan ngeri, kontan saja Ye-sung melempar gagang telepon / bayi buaya tersebut, dan membelalakkan matanya ke arah Juny yang tengah bersedekap santai mengamatinya.
Rasa takut yang mencekam Ye-sung membuatnya berlari menuju pintu untuk kabur keluar. namun kemudian handle pintu yang dipegangnya tiba-tiba berubah menjadi ular cobra yang siap mematuk.
“Aaa…!!! Tolooong!!!” teriak Ye-sung, melepas pegangannya dari handle pintu / ular cobra tersebut, dan melompat sejauh mungkin.
Juny mengamati semua itu dengan senyum tipis. Sebenarnya binatang-binatang itu hanya ilusi yang diciptakan oleh sihir Juny, namun tentu saja ia tak akan memberitahu Ye-sung. Ini jelas menguntungkan baginya. Ia dapat mengendalikan pria itu dengan menakutinya.
Melangkah mendatangi Ye-sung yang terpojok duduk di sudut ruangan, Juny dengan santai memain-mainkan tongkat sihirnya, menyadari mata Ye-sung terus tertuju pada benda tersebut.
“Si… siapa kau sebenarnya…?” tanya Ye-sung gugup.
“Bukankah semalam aku sudah memperkenalkan diri?” Juny balik bertanya dengan nada datar. “Aku Juny Killarney. Jodohmu.”
Label:
Fanfiction,
Super junior,
TBC,
Yesung
Sabtu, 10 Desember 2011
FF Disaster Love - Chap 17 - Fanfiction Super Junior -
CHAPTER 17
- KK Entertainment -
From : Dong-hae
Aku sudah dekat. Sebentar lagi sampai.
Hea-in tersenyum membaca pesan singkat tersebut. Dengan langkah ringan ia melangkah menuruni tangga menuju lobby di lantai dasar. Semenjak kejadian beberapa hari lalu, ketika ia menyatakan perasaannya pada pria itu, mereka menjadi lebih akrab. Memang bukan sebagai kekasih, dan juga tak ada pernyataan cinta dari Dong-hae—sebenarnya dia justru tak mengomentari pernyataan cinta Hea-in—namun persahabatan, dan perhatian pria itu untunya dirasa Hea-in cukup untuk saat ini. ia tak ingin memaksa Dong-hae. perlahan, Hea-in berharap dapat menyusup masuk ke hati pria itu.
Hmm… di restoran mana sebaiknya kami makan malam hari ini? batin Hea-in, menimbang-nimbang pilihannya sambil terus berjalan menuju pintu kaca ganda yang merupakan pintu masuk kantor ayahnya ini.
“Hea-in.”
Senyum diwajah Hea-in menguap, terhapus oleh ketegangan. Suara itu. ia menoleh sedikit, dan melihat ibunya berjalan menghampirinya. Tak ingin hari ini dihancurkan oleh kehadiran wanita yang telah melahirkannya itu, Hea-in memilih pergi.
Hea-in bergegas keluar dari gedung KK Entertainment, menuju tempat dimana mobilnya diparkir. Ia akan menelepon Dong-hae dan menyuruh pria itu menyusulnya saja. Ia tak bisa menunggu pria itu datang, dan terpaksa harus menghadapi ibunya.
“Hea-in, tunggu!” seru Noh Ji-ni, mengejar putrinya.
Sementara itu, Dong-hae, yang baru saja memasuki area parkir KK Entertainment, memarkirkan mobilnya di tempat kosong, di sebelah van perusahaan Tuang Kang.
Baru saja Dong-hae akan mengeluarkan ponsel untuk menelepon Hea-in dan memberitahu keberadaannya, ia melihat wanita itu berjalan cepat menuju ke arah mobilnya.
“Apa dia melihat kedatanganku?” gumam Dong-hae sedikit heran sembari memperhatikan Hea-in. dipencetnya tombol untuk menurunkan kaca jendela mobilnya untuk memanggil wanita itu, namun kemudian diurungkannya niatnya ketika melihat ternyata Hea-in tak sendiri. Seorang wanita lain mengejar dan menangkap lengannya. Eh? Itu… bukankah dia ibu Hea-in? pikir Dong-hae, mengingat-ingat.
“Beginikah ayahmu membesarkanmu? Bersikap tak hormat pada orang yang lebih tua!?” bentak Noh Ji-ni marah. Begitu emosi dan sakit hati melihat sikap putri semata wayangnya itu. “Aku ibumu!”
“Lepaskan aku,” ucpa Hea-in dingin tanpa emosi.
“Aku hanya ingin kita bicara!” sergah Noh Ji-ni, “Jelas sudah terjadi salah paham sampai-sampai kau memperlakukan ibumu sendiri seperti ini! apa ayahmu menyuruhmu membenciku!? Dia menghasutmu, iya kan!?”
Suara tawa Hea-in yang melengking tanpa humor sama sekali. itu tawa yang menjeritkan luka hatinya. “Ayah tak ada hubungannya dengan semua ini. Kaulah yang membuatku membencimu. Kau!”
Walaupun dalam kegelapan malam, dan lampu di sekitar area parkir tersebut remang-remang, namun Dong-hae tetap bisa melihat betapa terpukulnya ibu Hea-in. sebagai anak yang sangat mencintai orangtuanya, Dong-hae mengernyit, seolah ikut merasakan sakit hati yang dirasakan Noh Ji-ni. tak seharusnya Hea-in sekasar itu pada ibunya… tetapi seperti kata Hea-in, Dong-hae tak akan mengerti karena dia tidak pernah menjalani hidup seperti wanita itu.
Tiba-tiba, sesuatu yang bergerak di sebelah kanan mobilnya mengalihkan perhatian Dong-hae. menyipitkan mata agar dapat lebih jelas melihat, akhirnya ia mengenali sosok itu. bukan satu, tetapi dua orang. Seo-min dan Hyun-in, yang rupanya baru keluar dari kantor, dan mungkin ingin mengambil kendaraan mereka, tetapi ketika melihat pertengkaran Hea-in dengan ibunya, kedua gadis itu memilih untuk tidak mengganggu, dengan bersembunyi di antara mobil Dong-hae dan van perusahaan yang terparkir di sebelah kanan mobilnya.
“Apa perkataanku terakhir kali itu belum cukup?” tanya Hea-in dingin, penuh permusuhan, sambil menyentak lepas tangannya dari pegangan ibunya. “Aku tak ingin bertemu denganmu lagi. Aku tak sudi melihatmu—“
Plak. Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Hea-in. Dong-hae tersentak di dalam mobilnya, ia bergerak gelisah, ingin keluar dan melerai, namun akhirnya menahan diri. Ia tak boleh ikut campur. Kecuali memang dibutuhkan…
Dong-hae melirik Seo-min dan Hyun-in, yang sama terkejutnya dengan dirinya melihat kejadian itu. kedua gadis itu begitu focus pada kakak tiri mereka, hingga tak menyadari keberadaan Dong-hae di dalam mobil, apalagi dengan kegelapan malam seperti ini.
Memegangi pipinya yang panas, Hea-in mendengus. Ditatapnya wanita dihadapannya itu penuh kebencian.
“Ma-maafkan ibu… aku tidak—“
“Hanya tamparan,” Hea-in menyela perkataan ibunya dengan sinis. “Tak sebanding dengan rasa sakit dihatiku selama ini atas perbuatanmu.”
Noh Ji-ni amat menyesal karena menampar putrinya. Penderitaan terlihat di ekspresi wajahnya. “Oh, anakku, maafkan—“
- KK Entertainment -
From : Dong-hae
Aku sudah dekat. Sebentar lagi sampai.
Hea-in tersenyum membaca pesan singkat tersebut. Dengan langkah ringan ia melangkah menuruni tangga menuju lobby di lantai dasar. Semenjak kejadian beberapa hari lalu, ketika ia menyatakan perasaannya pada pria itu, mereka menjadi lebih akrab. Memang bukan sebagai kekasih, dan juga tak ada pernyataan cinta dari Dong-hae—sebenarnya dia justru tak mengomentari pernyataan cinta Hea-in—namun persahabatan, dan perhatian pria itu untunya dirasa Hea-in cukup untuk saat ini. ia tak ingin memaksa Dong-hae. perlahan, Hea-in berharap dapat menyusup masuk ke hati pria itu.
Hmm… di restoran mana sebaiknya kami makan malam hari ini? batin Hea-in, menimbang-nimbang pilihannya sambil terus berjalan menuju pintu kaca ganda yang merupakan pintu masuk kantor ayahnya ini.
“Hea-in.”
Senyum diwajah Hea-in menguap, terhapus oleh ketegangan. Suara itu. ia menoleh sedikit, dan melihat ibunya berjalan menghampirinya. Tak ingin hari ini dihancurkan oleh kehadiran wanita yang telah melahirkannya itu, Hea-in memilih pergi.
Hea-in bergegas keluar dari gedung KK Entertainment, menuju tempat dimana mobilnya diparkir. Ia akan menelepon Dong-hae dan menyuruh pria itu menyusulnya saja. Ia tak bisa menunggu pria itu datang, dan terpaksa harus menghadapi ibunya.
“Hea-in, tunggu!” seru Noh Ji-ni, mengejar putrinya.
Sementara itu, Dong-hae, yang baru saja memasuki area parkir KK Entertainment, memarkirkan mobilnya di tempat kosong, di sebelah van perusahaan Tuang Kang.
Baru saja Dong-hae akan mengeluarkan ponsel untuk menelepon Hea-in dan memberitahu keberadaannya, ia melihat wanita itu berjalan cepat menuju ke arah mobilnya.
“Apa dia melihat kedatanganku?” gumam Dong-hae sedikit heran sembari memperhatikan Hea-in. dipencetnya tombol untuk menurunkan kaca jendela mobilnya untuk memanggil wanita itu, namun kemudian diurungkannya niatnya ketika melihat ternyata Hea-in tak sendiri. Seorang wanita lain mengejar dan menangkap lengannya. Eh? Itu… bukankah dia ibu Hea-in? pikir Dong-hae, mengingat-ingat.
“Beginikah ayahmu membesarkanmu? Bersikap tak hormat pada orang yang lebih tua!?” bentak Noh Ji-ni marah. Begitu emosi dan sakit hati melihat sikap putri semata wayangnya itu. “Aku ibumu!”
“Lepaskan aku,” ucpa Hea-in dingin tanpa emosi.
“Aku hanya ingin kita bicara!” sergah Noh Ji-ni, “Jelas sudah terjadi salah paham sampai-sampai kau memperlakukan ibumu sendiri seperti ini! apa ayahmu menyuruhmu membenciku!? Dia menghasutmu, iya kan!?”
Suara tawa Hea-in yang melengking tanpa humor sama sekali. itu tawa yang menjeritkan luka hatinya. “Ayah tak ada hubungannya dengan semua ini. Kaulah yang membuatku membencimu. Kau!”
Walaupun dalam kegelapan malam, dan lampu di sekitar area parkir tersebut remang-remang, namun Dong-hae tetap bisa melihat betapa terpukulnya ibu Hea-in. sebagai anak yang sangat mencintai orangtuanya, Dong-hae mengernyit, seolah ikut merasakan sakit hati yang dirasakan Noh Ji-ni. tak seharusnya Hea-in sekasar itu pada ibunya… tetapi seperti kata Hea-in, Dong-hae tak akan mengerti karena dia tidak pernah menjalani hidup seperti wanita itu.
Tiba-tiba, sesuatu yang bergerak di sebelah kanan mobilnya mengalihkan perhatian Dong-hae. menyipitkan mata agar dapat lebih jelas melihat, akhirnya ia mengenali sosok itu. bukan satu, tetapi dua orang. Seo-min dan Hyun-in, yang rupanya baru keluar dari kantor, dan mungkin ingin mengambil kendaraan mereka, tetapi ketika melihat pertengkaran Hea-in dengan ibunya, kedua gadis itu memilih untuk tidak mengganggu, dengan bersembunyi di antara mobil Dong-hae dan van perusahaan yang terparkir di sebelah kanan mobilnya.
“Apa perkataanku terakhir kali itu belum cukup?” tanya Hea-in dingin, penuh permusuhan, sambil menyentak lepas tangannya dari pegangan ibunya. “Aku tak ingin bertemu denganmu lagi. Aku tak sudi melihatmu—“
Plak. Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Hea-in. Dong-hae tersentak di dalam mobilnya, ia bergerak gelisah, ingin keluar dan melerai, namun akhirnya menahan diri. Ia tak boleh ikut campur. Kecuali memang dibutuhkan…
Dong-hae melirik Seo-min dan Hyun-in, yang sama terkejutnya dengan dirinya melihat kejadian itu. kedua gadis itu begitu focus pada kakak tiri mereka, hingga tak menyadari keberadaan Dong-hae di dalam mobil, apalagi dengan kegelapan malam seperti ini.
Memegangi pipinya yang panas, Hea-in mendengus. Ditatapnya wanita dihadapannya itu penuh kebencian.
“Ma-maafkan ibu… aku tidak—“
“Hanya tamparan,” Hea-in menyela perkataan ibunya dengan sinis. “Tak sebanding dengan rasa sakit dihatiku selama ini atas perbuatanmu.”
Noh Ji-ni amat menyesal karena menampar putrinya. Penderitaan terlihat di ekspresi wajahnya. “Oh, anakku, maafkan—“
Label:
Donghae,
Fanfiction,
Kibum,
Kyuhyun,
Sungmin,
Super junior,
TBC
S W I T C H -Chap 4-
-Chapter 4-
-Universitas Sogang-
Pagi-pagi sekali Yu-ri sudah sampai di kampusnya. Hari ini akan ada audisi masuk klub Taekwondo. Ia benar-benar tak sabar menantikannya hingga kakak dan Ibunya sangat heran melihat Yu-ri serajin itu. “Hey Yu-ri!” kontan gadis itu menoleh ketika mendengar seseorang menyebut namanya.
“Seung-ri?”
“Kau ikut audisi juga rupanya,” gumam pria bernama Seung-ri itu. Pria itu adalah salah satu teman Yu-ri ketika di SMA dulu, dan ia juga merupakan saingannya ketika masih tergabung di klub Taekwondo SMA mereka. “Bagus sekali,” komentar pria itu sembari menyeringai senang. Mereka berdua sama-sama pemegang sabuk biru Taekwondo yang merupakan tingkatan keempat dalam seni bela diri tersebut.
“Hmm...kau berniat melawanku lagi?” ejek Yu-ri, “jangan lupa kalau kau dulu kalah padaku.”
Pria itu tertawa, “Kau tak tau saja kalau kemampuanku sekarang sudah lebih baik,” sombongnya.
“Kalau begitu buktikan!” tantang Yu-ri lalu melangkah masuk ke dalam ruangan audisi yang sudah dipenuhi oleh mahasiswa baru yang berniat mengikutinya.
Setelah menunggu kurang lebih lima belas menit akhirnya acara itu dimulai dengan masing-masing peserta mempertunjukkan kemampuannya di hadapan para Saebum (pelatih) dan beberapa orang pengurus yang merupakan senior mereka. Acara ini diadakan juga sebagai placement test untuk menguji sejauh mana keterampilan para pendaftar agar memudahkan dalam mengklasifikasikan mereka sebagai pemegang sabuk putih (pemula), kuning, hijau, biru, merah atau bahkan tak menutup kemungkinan mereka pemegang sabuk hitam.
Yu-ri sukses pada tahap pertama ini, dengan menampilkan Goley Chagi (tendangan ganda) dan Dwi Hurigi (tendangan berputar melalui belakang) andalannya. Para senior bahkan sang Saebum pun tersenyum puas. “Bagus, kau lolos ke tahap selanjutnya Nona Shin,” komentar Saebum Goo.
“Terima kasih,” Yu-ri mengakhiri dengan sikap hormat. Ketika menuju ke tempat duduknya ia menangkap ekspresi menantang Seung-ri sementara Yu-ri membalasnya dengan senyuman samar.
Ketika seluruh peserta telah mempertunjukkan kemampuannya. Didapatkan sekitar 33 orang yang lolos ke tahap berikutnya, sementara sisa-nya harus menerima sabuk putih Taekwondo. Pertandingan tahap selanjutnya akan dilaksanakan setelah waktu makan siang, yang merupakan pertandingan peserta satu melawan peserta lainnya.
-Kediaman keluarga Lee-
“Astaga! Di mana kunci motorku, seingatku kuletakkan di meja ini,” keluh Dong-hae sembari mengacak-acak meja belajarnya. Hari ini ia sudah berjanji pada kekasihnya untuk hadir di acara audisi sekaligus placement test di klub Taekwondo. Tapi sudah tiga puluh menit ia mengacak-acak meja belajarnya bahkan kamar tidurnya tapi tetap tak menemukan yang ia cari. “Bibi Ma, kau melihat kunci motorku?” tanya Dong-hae pada salah seorang pelayan di rumahnya yang sudah ia anggap sebagai Ibunya sendiri, karena sejak kematian Ibunya, Bibi Ma-lah yang merawat dirinya dan kedua adiknya.
“Tidak Tuan Muda,” jawab Bibi Ma bingung. “Bukankah Tuan Muda yang menyimpannya?”
-Universitas Sogang-
Pagi-pagi sekali Yu-ri sudah sampai di kampusnya. Hari ini akan ada audisi masuk klub Taekwondo. Ia benar-benar tak sabar menantikannya hingga kakak dan Ibunya sangat heran melihat Yu-ri serajin itu. “Hey Yu-ri!” kontan gadis itu menoleh ketika mendengar seseorang menyebut namanya.
“Seung-ri?”
“Kau ikut audisi juga rupanya,” gumam pria bernama Seung-ri itu. Pria itu adalah salah satu teman Yu-ri ketika di SMA dulu, dan ia juga merupakan saingannya ketika masih tergabung di klub Taekwondo SMA mereka. “Bagus sekali,” komentar pria itu sembari menyeringai senang. Mereka berdua sama-sama pemegang sabuk biru Taekwondo yang merupakan tingkatan keempat dalam seni bela diri tersebut.
“Hmm...kau berniat melawanku lagi?” ejek Yu-ri, “jangan lupa kalau kau dulu kalah padaku.”
Pria itu tertawa, “Kau tak tau saja kalau kemampuanku sekarang sudah lebih baik,” sombongnya.
“Kalau begitu buktikan!” tantang Yu-ri lalu melangkah masuk ke dalam ruangan audisi yang sudah dipenuhi oleh mahasiswa baru yang berniat mengikutinya.
Setelah menunggu kurang lebih lima belas menit akhirnya acara itu dimulai dengan masing-masing peserta mempertunjukkan kemampuannya di hadapan para Saebum (pelatih) dan beberapa orang pengurus yang merupakan senior mereka. Acara ini diadakan juga sebagai placement test untuk menguji sejauh mana keterampilan para pendaftar agar memudahkan dalam mengklasifikasikan mereka sebagai pemegang sabuk putih (pemula), kuning, hijau, biru, merah atau bahkan tak menutup kemungkinan mereka pemegang sabuk hitam.
Yu-ri sukses pada tahap pertama ini, dengan menampilkan Goley Chagi (tendangan ganda) dan Dwi Hurigi (tendangan berputar melalui belakang) andalannya. Para senior bahkan sang Saebum pun tersenyum puas. “Bagus, kau lolos ke tahap selanjutnya Nona Shin,” komentar Saebum Goo.
“Terima kasih,” Yu-ri mengakhiri dengan sikap hormat. Ketika menuju ke tempat duduknya ia menangkap ekspresi menantang Seung-ri sementara Yu-ri membalasnya dengan senyuman samar.
Ketika seluruh peserta telah mempertunjukkan kemampuannya. Didapatkan sekitar 33 orang yang lolos ke tahap berikutnya, sementara sisa-nya harus menerima sabuk putih Taekwondo. Pertandingan tahap selanjutnya akan dilaksanakan setelah waktu makan siang, yang merupakan pertandingan peserta satu melawan peserta lainnya.
-Kediaman keluarga Lee-
“Astaga! Di mana kunci motorku, seingatku kuletakkan di meja ini,” keluh Dong-hae sembari mengacak-acak meja belajarnya. Hari ini ia sudah berjanji pada kekasihnya untuk hadir di acara audisi sekaligus placement test di klub Taekwondo. Tapi sudah tiga puluh menit ia mengacak-acak meja belajarnya bahkan kamar tidurnya tapi tetap tak menemukan yang ia cari. “Bibi Ma, kau melihat kunci motorku?” tanya Dong-hae pada salah seorang pelayan di rumahnya yang sudah ia anggap sebagai Ibunya sendiri, karena sejak kematian Ibunya, Bibi Ma-lah yang merawat dirinya dan kedua adiknya.
“Tidak Tuan Muda,” jawab Bibi Ma bingung. “Bukankah Tuan Muda yang menyimpannya?”
S W I T C H -Chap 3-
Chapter 3
-Universitas Sogang-
“KYA!!” Yuri menjerit saat matanya tiba-tiba ditutup oleh sepasang telapak tangan dari belakang, berikutnya suara kikikan geli terdengar begitu familiar di telinganya. “Young-in?!” tebak Yu-ri, “kau pasti Young-in kan?” ulangnya saat si empunya tangan tak juga menarik lepas pegangannnya.
Young-in merengut kesal karena Yu-ri begitu cepat menebak, “Ah...kau tidak asyik!” komentarnya.
Yu-ri menyeringai, “Karena aku benar-benar hafal dengan ulah jahilmu.”
“Hmm...memang penipu tak bisa ditipu,” Young-in mengalihkan pandangannya pada Dong-hae, “rupanya kau ada di sini Kak, tadi sepulang kuliah, aku langsung mencarimu di fakultasmu,” cerocos Young-in tak mempedulikan tatapan kesal Yu-ri.
“Mencariku?” tanya Dong-hae sambil menunjuk dirinya sendiri, “sebenarnya ada apa ini? kenapa kalian berdua mencariku? Apa terjadi sesuatu dengan Ayah?” Dong-hae memandang kedua adiknya bergantian.
Yoo-hee mendengus, “Sudah kuduga kau pasti lupa,” komentarnya.
“Lupa?”
“Ayo Young-in, Ayah akan marah kalau kita terlambat!” tukas Yoo-hee sembari membuka pintu mobilnya.
“Hya! Kau belum menjawab pertanyaanku!” cegah Dong-hae.
Young-in buru-buru mendekati kakaknya, “Apa kau benar-benar lupa Kak?” tanyanya pada Dong-hae, “hari ini kan hari peringatan kematian Ibu.”
“Astaga!” Dong-hae menepuk kepalanya ringan.
“Ayah menunggu kedatanganmu di Daegu,” timpal Yoo-hee, “jangan buat Ayah marah dengan ketidakhadiranmu,” tambahnya.
“Jadi kita tidak pergi bersama?” tanya Dong-hae bingung. Yoo-hee tak menjawab dan hanya melirik motor sport keluaran terbaru berwarna campuran putih dan biru yang tengah terparkir tak jauh dari mereka berada. “Ah...” Dong-hae menggaruk belakang kepalanya, “biar nanti Eun-hyuk yang membantuku membawanya ke rumah,” katanya mengerti apa maksud Yoo-hee, “aku bisa masuk angin kalau mengendarai motor ke Daegu sendirian,” keluh Dong-hae dengan pandangan memelas.
Yoo-hee mencibir, “Ya sudah, kau yang menyetir,” gadis itu menyerahkan kunci mobil ke tangan Dong-hae.
“Tapi—“
“Kita tidak punya banyak waktu,” sela Yoo-hee, “ayo Young-in!” Yoo-hee memanggil adik bungsunya yang sekarang justru asyik mengobrol dengan Yu-ri dan Hae-bin.
“Eh...iya Kak!” Young-in buru-buru berpamitan pada teman-temannya dan masuk ke mobil.
Sementara Dong-hae menghampiri kekasihnya dengan wajah menyesal, “Maaf, aku lupa kalau hari ini aku harus menghadiri peringatan kematian Ibuku di Daegu,” katanya pada Yu-ri.
Yu-ri tersenyum maklum, “Tidak apa, biar nanti aku sendiri yang menemani temanku ke klub tari. Kau tak usah khawatir Kak,” gumam Yu-ri, “Ah...apa perlu aku ikut?” tawarnya.
Dong-hae menggeleng, “Tidak usah, terima kasih sayang,” seru Dong-hae penuh syukur, “kau memang yang terbaik!” tambahnya lalu mencubit pipi Yu-ri membuat gadis itu meringis kesakitan.
“Aissh...bisakah kau tak mencubit pipiku? Aku bukan anak kecil!” gerutu Yu-ri pura-pura kesal.
Dong-hae menyeringai jahil, “Ya sudah, aku pergi dulu. Sampaikan salamku untuk temanmu itu!”
Yu-ri mengangguk, “Ya, pergi sana!” katanya sembari menunjuk mobil di belakang Dong-hae dengan gerakan kepalanya tanda bahwa ia sudah ditunggu.
-Universitas Sogang-
“KYA!!” Yuri menjerit saat matanya tiba-tiba ditutup oleh sepasang telapak tangan dari belakang, berikutnya suara kikikan geli terdengar begitu familiar di telinganya. “Young-in?!” tebak Yu-ri, “kau pasti Young-in kan?” ulangnya saat si empunya tangan tak juga menarik lepas pegangannnya.
Young-in merengut kesal karena Yu-ri begitu cepat menebak, “Ah...kau tidak asyik!” komentarnya.
Yu-ri menyeringai, “Karena aku benar-benar hafal dengan ulah jahilmu.”
“Hmm...memang penipu tak bisa ditipu,” Young-in mengalihkan pandangannya pada Dong-hae, “rupanya kau ada di sini Kak, tadi sepulang kuliah, aku langsung mencarimu di fakultasmu,” cerocos Young-in tak mempedulikan tatapan kesal Yu-ri.
“Mencariku?” tanya Dong-hae sambil menunjuk dirinya sendiri, “sebenarnya ada apa ini? kenapa kalian berdua mencariku? Apa terjadi sesuatu dengan Ayah?” Dong-hae memandang kedua adiknya bergantian.
Yoo-hee mendengus, “Sudah kuduga kau pasti lupa,” komentarnya.
“Lupa?”
“Ayo Young-in, Ayah akan marah kalau kita terlambat!” tukas Yoo-hee sembari membuka pintu mobilnya.
“Hya! Kau belum menjawab pertanyaanku!” cegah Dong-hae.
Young-in buru-buru mendekati kakaknya, “Apa kau benar-benar lupa Kak?” tanyanya pada Dong-hae, “hari ini kan hari peringatan kematian Ibu.”
“Astaga!” Dong-hae menepuk kepalanya ringan.
“Ayah menunggu kedatanganmu di Daegu,” timpal Yoo-hee, “jangan buat Ayah marah dengan ketidakhadiranmu,” tambahnya.
“Jadi kita tidak pergi bersama?” tanya Dong-hae bingung. Yoo-hee tak menjawab dan hanya melirik motor sport keluaran terbaru berwarna campuran putih dan biru yang tengah terparkir tak jauh dari mereka berada. “Ah...” Dong-hae menggaruk belakang kepalanya, “biar nanti Eun-hyuk yang membantuku membawanya ke rumah,” katanya mengerti apa maksud Yoo-hee, “aku bisa masuk angin kalau mengendarai motor ke Daegu sendirian,” keluh Dong-hae dengan pandangan memelas.
Yoo-hee mencibir, “Ya sudah, kau yang menyetir,” gadis itu menyerahkan kunci mobil ke tangan Dong-hae.
“Tapi—“
“Kita tidak punya banyak waktu,” sela Yoo-hee, “ayo Young-in!” Yoo-hee memanggil adik bungsunya yang sekarang justru asyik mengobrol dengan Yu-ri dan Hae-bin.
“Eh...iya Kak!” Young-in buru-buru berpamitan pada teman-temannya dan masuk ke mobil.
Sementara Dong-hae menghampiri kekasihnya dengan wajah menyesal, “Maaf, aku lupa kalau hari ini aku harus menghadiri peringatan kematian Ibuku di Daegu,” katanya pada Yu-ri.
Yu-ri tersenyum maklum, “Tidak apa, biar nanti aku sendiri yang menemani temanku ke klub tari. Kau tak usah khawatir Kak,” gumam Yu-ri, “Ah...apa perlu aku ikut?” tawarnya.
Dong-hae menggeleng, “Tidak usah, terima kasih sayang,” seru Dong-hae penuh syukur, “kau memang yang terbaik!” tambahnya lalu mencubit pipi Yu-ri membuat gadis itu meringis kesakitan.
“Aissh...bisakah kau tak mencubit pipiku? Aku bukan anak kecil!” gerutu Yu-ri pura-pura kesal.
Dong-hae menyeringai jahil, “Ya sudah, aku pergi dulu. Sampaikan salamku untuk temanmu itu!”
Yu-ri mengangguk, “Ya, pergi sana!” katanya sembari menunjuk mobil di belakang Dong-hae dengan gerakan kepalanya tanda bahwa ia sudah ditunggu.
DISASTER LOVE - Chap 16 - Fanfiction Super Junior -
CHAPTER 16
- Kediaman keluarga Kang -
Hea-in sekuat tenaga berusaha untuk tidak lari dari ruangan ini. tidak disaat ayahnya tengah mengucapkan sambutan untuk para tamu dan bercerita singkat mengenai pengalaman hidupnya selama ini.
Dong-hae melirik Hea-in dengan kening berkerut. Sejak menemui Tuan Kang tadi dia jadi aneh. Begitu tegang dan pucat. Apakah dia sakit? batinnya bertanya-tanya.
“Ini,” Dong-hae menyodorkan sapu tangannya pada Hea-in untuk mengelap keringatnya. “Apa kau tak sehat?”
Hea-in hanya menanggapinya dengan menggeleng sambil menerima sapu tangan itu. saat ini bahkan senyum palsu pun tak sanggup ia sunggingkan untuk Dong-hae. memalingkan wajah dari tatapan menyelidik Dong-hae, sialnya Hea-in justru beradu pandang dengan mimpi buruknya. Hong Jin-mo.
Suara pekikan pelan keluar dari tenggorokan Hea-in tanpa dapat dicegah saat melihat seringai licik dan tatapan melecehkan pria itu padanya. Ia bergerak mundur dengan tubuh gemetaran penuh rasa takut.
“Hea-in?” panggil Dong-hae khawatir sembari menopang tubuh lemas wanita itu.
“…aku… merasa tidak sehat…” ucap Hea-in terbata-bata.
Dong-hae melirik Kang Ha-jong yang masih bicara, sebelum membawa Hea-in keluar dari ruangan penuh sesak itu untuk mencari udara segar.
Seo-min menatap kepergian kedua orang itu dalam diam, tak menyadari sama sekali bahwa ia tengah diperhatikan oleh Hyun-in dan Sung-min.
“Apa yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya Ki-bum. setelah Kang Ha-jong secara resmi memulai pesta tersebut, Hyun-in membawa pemuda itu menjauh untuk bicara empat mata.
Dengan gelisah Hyun-in menceritakan apa yang telah diketahuinya tanpa sengaja dari pembicaraan Ki-bum dan Seo-min waktu itu. “Apa yang harus kulakukan? Aku merasa sangat bersalah terhadap kak Seo-min,” keluh Hyun-in resah.
Ki-bum menatap gadis di hadapannya dengan tenang. “Kau yang harus menentukannya sendiri,” jawabnya. “Sanggupkah kau melihat kakakmu bersama kak Dong-hae demi kebahagiaannya?”
Hyun-in menunduk menatap ujung sepatunya. “Perasaan kakak lebih penting dariku—“
“Tidak begitu anggapan kakakmu. Dia mengorbankan perasaannya demi kau. Itu menunjukkan betapa pentingnya perasaanmu baginya,” sela Ki-bum halus.
Hyun-in pun menyadarinya, dan amat menghargai pengorbanan kakaknya itu. ia menatap Ki-bum dengan ekspresi polos dan bingung. “Menurut kakak… apakah sudah terlalu terlambat untukku bicara mengenai hal ini pada kak Seo-min?”
Ki-bum menyunggingkan senyum menghibur dan menepuk pundak Hyun-in. “Tak pernah ada kata terlambat untuk suatu niat yang baik.”
Hyun-in mengangguk. Ya. mungkin belum sepenuhnya terlambat… kakaknya dan Dong-hae masih bisa bersatu. Dan mengenai perasaannya sendiri… Hyun-in yakin dapat mengatasinya.
“Hyun-in?”
Kompak, Hyun-in dan Ki-bum sama-sama menoleh ke arah si pemanggil. Mata Hyun-in membesar melihat sosok tampan yang dulu sempat digilainya. Im Sang-ji. Ayah pria itu memang teman ayahnya, namun tak terpikir olehnya Sang-ji akan hadir juga malam ini.
Sang-ji melangkah mendekat sembari menyunggingkan senyum ramah. “Lama tak melihatmu, Hyun-in,” ucapnya berbasa-basi. “Kau terlihat lebih cantik dibanding yang kuingat selama ini.”
“Terima kasih,” sahut Hyu-in kaku.
Bertepatan dengan sahutan Hyun-in, music pengiring dansa telah dimainkan. Sang-ji mengulurkan tangannya pada Hyun-in. “Maukah kau berdansa denganku?” tawarnya manis. “Aku ingin mengobrol denganmu.”
Ki-bum menatap Hyun-in, menyadari ketegangan dan keenganan gadis itu. baru saja ia akan menengahi dengan mengatakan Hyun-in telah lebih dulu menjanjikan dansa dengannya, ternyata Hyun-in justru menerima ajakan tersebut.
Begerak pelan dan santai di tengah-tengah pasangan lain yang berdansa di sekitar mereka, Sang-ji menatap wajah Hyun-in tajam. sejak tadi gadis itu terus diam dan tak bersedia menatapnya.
“Maafkan aku,” ucapnya, memecah keheningan.
Terkejut mendengar permintaan maaf yang tak disangka-sangka itu, Hyun-in mendongak menatap Sang-ji.
- Kediaman keluarga Kang -
Hea-in sekuat tenaga berusaha untuk tidak lari dari ruangan ini. tidak disaat ayahnya tengah mengucapkan sambutan untuk para tamu dan bercerita singkat mengenai pengalaman hidupnya selama ini.
Dong-hae melirik Hea-in dengan kening berkerut. Sejak menemui Tuan Kang tadi dia jadi aneh. Begitu tegang dan pucat. Apakah dia sakit? batinnya bertanya-tanya.
“Ini,” Dong-hae menyodorkan sapu tangannya pada Hea-in untuk mengelap keringatnya. “Apa kau tak sehat?”
Hea-in hanya menanggapinya dengan menggeleng sambil menerima sapu tangan itu. saat ini bahkan senyum palsu pun tak sanggup ia sunggingkan untuk Dong-hae. memalingkan wajah dari tatapan menyelidik Dong-hae, sialnya Hea-in justru beradu pandang dengan mimpi buruknya. Hong Jin-mo.
Suara pekikan pelan keluar dari tenggorokan Hea-in tanpa dapat dicegah saat melihat seringai licik dan tatapan melecehkan pria itu padanya. Ia bergerak mundur dengan tubuh gemetaran penuh rasa takut.
“Hea-in?” panggil Dong-hae khawatir sembari menopang tubuh lemas wanita itu.
“…aku… merasa tidak sehat…” ucap Hea-in terbata-bata.
Dong-hae melirik Kang Ha-jong yang masih bicara, sebelum membawa Hea-in keluar dari ruangan penuh sesak itu untuk mencari udara segar.
Seo-min menatap kepergian kedua orang itu dalam diam, tak menyadari sama sekali bahwa ia tengah diperhatikan oleh Hyun-in dan Sung-min.
“Apa yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya Ki-bum. setelah Kang Ha-jong secara resmi memulai pesta tersebut, Hyun-in membawa pemuda itu menjauh untuk bicara empat mata.
Dengan gelisah Hyun-in menceritakan apa yang telah diketahuinya tanpa sengaja dari pembicaraan Ki-bum dan Seo-min waktu itu. “Apa yang harus kulakukan? Aku merasa sangat bersalah terhadap kak Seo-min,” keluh Hyun-in resah.
Ki-bum menatap gadis di hadapannya dengan tenang. “Kau yang harus menentukannya sendiri,” jawabnya. “Sanggupkah kau melihat kakakmu bersama kak Dong-hae demi kebahagiaannya?”
Hyun-in menunduk menatap ujung sepatunya. “Perasaan kakak lebih penting dariku—“
“Tidak begitu anggapan kakakmu. Dia mengorbankan perasaannya demi kau. Itu menunjukkan betapa pentingnya perasaanmu baginya,” sela Ki-bum halus.
Hyun-in pun menyadarinya, dan amat menghargai pengorbanan kakaknya itu. ia menatap Ki-bum dengan ekspresi polos dan bingung. “Menurut kakak… apakah sudah terlalu terlambat untukku bicara mengenai hal ini pada kak Seo-min?”
Ki-bum menyunggingkan senyum menghibur dan menepuk pundak Hyun-in. “Tak pernah ada kata terlambat untuk suatu niat yang baik.”
Hyun-in mengangguk. Ya. mungkin belum sepenuhnya terlambat… kakaknya dan Dong-hae masih bisa bersatu. Dan mengenai perasaannya sendiri… Hyun-in yakin dapat mengatasinya.
“Hyun-in?”
Kompak, Hyun-in dan Ki-bum sama-sama menoleh ke arah si pemanggil. Mata Hyun-in membesar melihat sosok tampan yang dulu sempat digilainya. Im Sang-ji. Ayah pria itu memang teman ayahnya, namun tak terpikir olehnya Sang-ji akan hadir juga malam ini.
Sang-ji melangkah mendekat sembari menyunggingkan senyum ramah. “Lama tak melihatmu, Hyun-in,” ucapnya berbasa-basi. “Kau terlihat lebih cantik dibanding yang kuingat selama ini.”
“Terima kasih,” sahut Hyu-in kaku.
Bertepatan dengan sahutan Hyun-in, music pengiring dansa telah dimainkan. Sang-ji mengulurkan tangannya pada Hyun-in. “Maukah kau berdansa denganku?” tawarnya manis. “Aku ingin mengobrol denganmu.”
Ki-bum menatap Hyun-in, menyadari ketegangan dan keenganan gadis itu. baru saja ia akan menengahi dengan mengatakan Hyun-in telah lebih dulu menjanjikan dansa dengannya, ternyata Hyun-in justru menerima ajakan tersebut.
Begerak pelan dan santai di tengah-tengah pasangan lain yang berdansa di sekitar mereka, Sang-ji menatap wajah Hyun-in tajam. sejak tadi gadis itu terus diam dan tak bersedia menatapnya.
“Maafkan aku,” ucapnya, memecah keheningan.
Terkejut mendengar permintaan maaf yang tak disangka-sangka itu, Hyun-in mendongak menatap Sang-ji.
Label:
Donghae,
Fanfiction,
Kibum,
Kyuhyun,
Sungmin,
Super junior,
TBC
F A T E - Prolog + Chap 1 - Fanfiction Super Junior -
PROLOG
- 22 Juni -
- Juny Killarney - Sloir School - Clonmel, Irlandia -
“Selamat ulangtahun, Juny!” ucap teman-teman dan orang-orang yang mengetahui ini hari ulangtahunku.
Dan, “Selamat atas kelulusanmu,” ucap para guru dan adik-adik kelasku, karena ini juga bertepatan dengan hari kelulusanku dari Sloir School. Sekolah sihir khusus wanita.
“Ya, terima kasih,” sahutku sopan seadanya pada mereka sambil terus berjalan cepat menuju aula. Tiga orang teman seangkatanku, yang juga telah menjadi sahabatku selama bertahun-tahun, ikut mempercepat langkah mereka mengiringiku.
Nyonya Fitzpatrick dan semua gadis yang lulus hari ini telah berada di sana.
Aku, Heather, Ellen, dan Angelia mengambil tempat di deret terdepan, menggusur keempat gadis lain yang telah lebih dulu duduk di sana. Senyum sinis tersungging di bibirku saat melihat mereka menurut walau dengan menggerutu pelan. tak ada satu pun murid yang berani melawan keinginanku dan ketiga temanku. Aku dan Heather adalah penyihir terbaik Sloir School tahun ini—aku di urutan pertama, dan dia di urutan ke dua. Para pembenci kami harus berpikir ratusan kali sebelum berani melawan gengku.
Nyonya Fitzpatrick memperbaiki letak kacamata berujung runcingnya sambil mengamati ruangan. “Yak, semua sudah berkumpul. Sebaiknya kita mulai sekarang,” katanya, lalu melambaikan tongkat sihirnya yang mengkilap sempurna ke dinding berlapis tirai beledu merah darah di belakangnya. Tirai tersebut tersibak membuka dan memperlihatkan sebuah cermin antic berukir emas berukuran raksasa.
Aku, Heather, Ellen, dan Angelia saling bertukar senyum. Rasa tak sabar dan penasaran menyelubungi kami saat ini. seperti yang mungkin juga dialami murid-murid lain setelah dua belas tahun menuntut ilmu di sekolah ini. sekaranglah saatnya.
“Selamat untuk kalian para siswi Sloir yang lulus tahun ini,” kata Nyonya Fitzpatrick lantang dari atas panggung. Dengan gerakan anggun wanita setengah baya yang mengajar ilmu ramalan itu duduk di sebuah bangku di sisi cermin. “kelulusan ini membuktikan kualitas kalian sebagai penyihir dewasa. Tapi seperti yang semua penyihir tahu, untuk mendapat kekuatan lebih, kaum kita harus bersatu dengan pasangan takdirnya—“
Benar. Saat bersatu dan menerima cinta dari pasangan yang telah ditakdirkan, seorang penyihir akan mendapat energi lebih yang memungkinkannya untuk lebih maksimal dalam melakukan segala kegiatan sihir. Konon katanya, semakin besar dan mendalam cinta yang diberikan pasangan takdir, semakin besar pula energy sihir yang didapat si penyihir.
Aku tersenyum membayangkannya. Ya, dengan cinta pasangan takdirku, aku akan lebih kuat dari sekarang. tentu saja, untuk penyihir berbakat sepertiku, pasangan takdirku pastilah bukan orang sembarangan. Dia pastilah seseorang yang kuat dan hebat. Sepertiku.
“…sudah menjadi tradisi Sloir untuk menggunakan Cermin Jodoh demi melihat siapa pasangan takdir para siswi yang telah lulus dan menginjak usia dewasa,” kata Nyonya Fitzpatrick. “baiklah, tak usah bertele-tele, kita mulai saja. aku yakin kalian pun sudah tak sabar,” lanjutnya sambil tersenyum.
Dengan ketidaksabaran yang membumbung semakin tinggi, aku menunggu giliran sembari menonton teman-teman seangkatanku satu per satu menghadap Cermin Jodoh yang menampilkan sosok pasangan takdir mereka. 99% ramalan Cermin Jodoh selalu tepat.
Aku tertawa geli sedikit mencemooh ketika Ellen ternyata berjodoh dengan Maximilan O’connor, si penyihir bertubuh besar dan bertampang garang namun dungu dari sekolah sihir khusus pria. dan tersenyum kasihan pada Angelia yang berjodoh dengan guru Ramuan kami, seorang duda tanpa anak yang penggugup.
“Apa kau tidak cemas memikirkan siapa pasangan takdirmu?” tanya Heather.
“Tidak juga,” sahutku angkuh. “Karena aku yakin pasangan takdirku adalah seseorang yang sehebat aku.”
Heather tersenyum sinis. “Bila bukan karena aku sedang sakit ketika ujian Ilmu Pertahanan Sihir, dan melakukan sedikit kekacauan ketika pelajaran Ramuan, kurasa akulah yang akan menempati posisi pertama—“
“Tapi kau memang sakit, dan kau memang mengacaukan ramuan buatanmu sendiri,” selaku merendahkan. Kami memang bersahabat, tapi kami juga saingan. “Terima sajalah bahwa aku memang lebih hebat darimu.”
“Heather Dunnlam!” panggil Nyonya Fitzpatrick.
Sambil melayangkan tatapan kesal padaku, Heather berjalan menuju panggung, menghadap Cermin Jodoh.
“Kira-kira siapa menurutmu pasangan takdir Heather?” tanya Ellen.
Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Entahlah. Seseorang sepertinya mungkin? Yang cukup hebat namun bukan yang terhebat.”
Karena yang terhebat, penyihir idolaku, Trevor Donovan—yang menjadi legenda sekolah sihir pria karena kehebatannya dapat terus mempertahankan gelar juaranya dalam pertandingan sihir tingkat dunia—pasti akan menjadi pasangan takdirku...
“Ya Tuhan! Trevor Donovan!”
Seruan histeris para gadis di sekelilingku menyadarkanku dari lamunan. Mereka menyebut Trevor? Ada apa… mataku menatap ke depan. Ke cermin besar di atas panggung. Di sana, di cermin itu… terlihat Trevor-ku yang berambut pirang, bermata biru, dan bertubuh tinggi besar layaknya pejuang tangguh, tengah berolahraga kecil menaklukkan naga liar bersisik hitam yang bertubuh luar biasa besar. Deretan gigi putih bersih rapinya terlihat ketika pria itu tersenyum puas dan bangga atas keberhasilannya. Trevor melambai-lambaikan tangan ke arah para penonton sambil terbang di atas punggung si naga hitam.
Tidak… tidak mungkin… penyihir pria perkasa dan terhebat itu seharusnya milikku! Untukku! kenapa justru Heather yang…
Darahku seolah mendidih ketika Heather membalikkan tubuhnya untuk menatapku penuh kesombongan. Ini tidak benar… tidak mungkin….
“Masih ada pria lain yang sama hebatnya dengan Trevor,” kata Angelia menenangkan.
Aku mencoba menenangkan diri. Benar. Pasti ada pria yang sama hebatnya dengan Trevor yang ditakdirkan untukku. mungkin yang lebih hebat!?
“Juny Killarney!”
- 22 Juni -
- Juny Killarney - Sloir School - Clonmel, Irlandia -
“Selamat ulangtahun, Juny!” ucap teman-teman dan orang-orang yang mengetahui ini hari ulangtahunku.
Dan, “Selamat atas kelulusanmu,” ucap para guru dan adik-adik kelasku, karena ini juga bertepatan dengan hari kelulusanku dari Sloir School. Sekolah sihir khusus wanita.
“Ya, terima kasih,” sahutku sopan seadanya pada mereka sambil terus berjalan cepat menuju aula. Tiga orang teman seangkatanku, yang juga telah menjadi sahabatku selama bertahun-tahun, ikut mempercepat langkah mereka mengiringiku.
Nyonya Fitzpatrick dan semua gadis yang lulus hari ini telah berada di sana.
Aku, Heather, Ellen, dan Angelia mengambil tempat di deret terdepan, menggusur keempat gadis lain yang telah lebih dulu duduk di sana. Senyum sinis tersungging di bibirku saat melihat mereka menurut walau dengan menggerutu pelan. tak ada satu pun murid yang berani melawan keinginanku dan ketiga temanku. Aku dan Heather adalah penyihir terbaik Sloir School tahun ini—aku di urutan pertama, dan dia di urutan ke dua. Para pembenci kami harus berpikir ratusan kali sebelum berani melawan gengku.
Nyonya Fitzpatrick memperbaiki letak kacamata berujung runcingnya sambil mengamati ruangan. “Yak, semua sudah berkumpul. Sebaiknya kita mulai sekarang,” katanya, lalu melambaikan tongkat sihirnya yang mengkilap sempurna ke dinding berlapis tirai beledu merah darah di belakangnya. Tirai tersebut tersibak membuka dan memperlihatkan sebuah cermin antic berukir emas berukuran raksasa.
Aku, Heather, Ellen, dan Angelia saling bertukar senyum. Rasa tak sabar dan penasaran menyelubungi kami saat ini. seperti yang mungkin juga dialami murid-murid lain setelah dua belas tahun menuntut ilmu di sekolah ini. sekaranglah saatnya.
“Selamat untuk kalian para siswi Sloir yang lulus tahun ini,” kata Nyonya Fitzpatrick lantang dari atas panggung. Dengan gerakan anggun wanita setengah baya yang mengajar ilmu ramalan itu duduk di sebuah bangku di sisi cermin. “kelulusan ini membuktikan kualitas kalian sebagai penyihir dewasa. Tapi seperti yang semua penyihir tahu, untuk mendapat kekuatan lebih, kaum kita harus bersatu dengan pasangan takdirnya—“
Benar. Saat bersatu dan menerima cinta dari pasangan yang telah ditakdirkan, seorang penyihir akan mendapat energi lebih yang memungkinkannya untuk lebih maksimal dalam melakukan segala kegiatan sihir. Konon katanya, semakin besar dan mendalam cinta yang diberikan pasangan takdir, semakin besar pula energy sihir yang didapat si penyihir.
Aku tersenyum membayangkannya. Ya, dengan cinta pasangan takdirku, aku akan lebih kuat dari sekarang. tentu saja, untuk penyihir berbakat sepertiku, pasangan takdirku pastilah bukan orang sembarangan. Dia pastilah seseorang yang kuat dan hebat. Sepertiku.
“…sudah menjadi tradisi Sloir untuk menggunakan Cermin Jodoh demi melihat siapa pasangan takdir para siswi yang telah lulus dan menginjak usia dewasa,” kata Nyonya Fitzpatrick. “baiklah, tak usah bertele-tele, kita mulai saja. aku yakin kalian pun sudah tak sabar,” lanjutnya sambil tersenyum.
Dengan ketidaksabaran yang membumbung semakin tinggi, aku menunggu giliran sembari menonton teman-teman seangkatanku satu per satu menghadap Cermin Jodoh yang menampilkan sosok pasangan takdir mereka. 99% ramalan Cermin Jodoh selalu tepat.
Aku tertawa geli sedikit mencemooh ketika Ellen ternyata berjodoh dengan Maximilan O’connor, si penyihir bertubuh besar dan bertampang garang namun dungu dari sekolah sihir khusus pria. dan tersenyum kasihan pada Angelia yang berjodoh dengan guru Ramuan kami, seorang duda tanpa anak yang penggugup.
“Apa kau tidak cemas memikirkan siapa pasangan takdirmu?” tanya Heather.
“Tidak juga,” sahutku angkuh. “Karena aku yakin pasangan takdirku adalah seseorang yang sehebat aku.”
Heather tersenyum sinis. “Bila bukan karena aku sedang sakit ketika ujian Ilmu Pertahanan Sihir, dan melakukan sedikit kekacauan ketika pelajaran Ramuan, kurasa akulah yang akan menempati posisi pertama—“
“Tapi kau memang sakit, dan kau memang mengacaukan ramuan buatanmu sendiri,” selaku merendahkan. Kami memang bersahabat, tapi kami juga saingan. “Terima sajalah bahwa aku memang lebih hebat darimu.”
“Heather Dunnlam!” panggil Nyonya Fitzpatrick.
Sambil melayangkan tatapan kesal padaku, Heather berjalan menuju panggung, menghadap Cermin Jodoh.
“Kira-kira siapa menurutmu pasangan takdir Heather?” tanya Ellen.
Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Entahlah. Seseorang sepertinya mungkin? Yang cukup hebat namun bukan yang terhebat.”
Karena yang terhebat, penyihir idolaku, Trevor Donovan—yang menjadi legenda sekolah sihir pria karena kehebatannya dapat terus mempertahankan gelar juaranya dalam pertandingan sihir tingkat dunia—pasti akan menjadi pasangan takdirku...
“Ya Tuhan! Trevor Donovan!”
Seruan histeris para gadis di sekelilingku menyadarkanku dari lamunan. Mereka menyebut Trevor? Ada apa… mataku menatap ke depan. Ke cermin besar di atas panggung. Di sana, di cermin itu… terlihat Trevor-ku yang berambut pirang, bermata biru, dan bertubuh tinggi besar layaknya pejuang tangguh, tengah berolahraga kecil menaklukkan naga liar bersisik hitam yang bertubuh luar biasa besar. Deretan gigi putih bersih rapinya terlihat ketika pria itu tersenyum puas dan bangga atas keberhasilannya. Trevor melambai-lambaikan tangan ke arah para penonton sambil terbang di atas punggung si naga hitam.
Tidak… tidak mungkin… penyihir pria perkasa dan terhebat itu seharusnya milikku! Untukku! kenapa justru Heather yang…
Darahku seolah mendidih ketika Heather membalikkan tubuhnya untuk menatapku penuh kesombongan. Ini tidak benar… tidak mungkin….
“Masih ada pria lain yang sama hebatnya dengan Trevor,” kata Angelia menenangkan.
Aku mencoba menenangkan diri. Benar. Pasti ada pria yang sama hebatnya dengan Trevor yang ditakdirkan untukku. mungkin yang lebih hebat!?
“Juny Killarney!”
Label:
Fanfiction,
Super junior,
TBC,
Yesung
Selasa, 06 Desember 2011
S W I T C H -Chap 2-
Chapter 2
-Kediaman keluarga Park-
Hae-bin baru saja turun dari kamarnya di lantai dua. Hari Minggu ini, ia sudah berjanji akan berkunjung ke rumah sahabatnya, Shin Yu-ri. Sudah lama sekali ia tak berkunjung ke sana, tepatnya sejak ia pindah ke rumah barunya. Saat tiba di teras, ia melihat Pak Han—supir keluarga Park—tengah berdiri di sebelah mobil Ford hitam yang sudah bersih mengkilat dan sedang menunggunya turun. “Pagi Pak Han,” sapa Hae-bin sopan.
Pak Han segera membalas dengan membungkukkan badannya, “Apa Nona sudah siap?”
Hae-bin mengangguk, “Ya, tolong antar aku—“
“Antar aku ke tempat ini Pak Han!” potong Dae-jia yang secara tiba-tiba sudah muncul di belakang Hae-bin dengan menyodorkan secarik kertas berisi alamat sebuah publisher ternama ke arah supir mereka.
“Tapi Nona....” Pak Han tak dapat meneruskan kata-kata saat melihat ekspresi kesal di wajah Dae-jia.
“Kenapa? Apa sekarang aku sudah bukan Nona-mu lagi?” tuntut Dae-jia.
“Bukan begitu,” sergah Pak Han, bingung, “Bukankah Nona Dae-jia lebih suka bepergian sendiri selama ini? dan saya juga sudah menyiapkan—“
“Aku sedang malas menyetir,” potong Dae-jia dengan keangkuhan dibuat-buat. Lalu tanpa menunggu persetujuan lagi, ia langsung masuk ke mobil yang rencananya akan digunakan untuk mengantar Hae-bin itu.
“Nona, tapi Nona Hae-bin tak bisa menyetir,” tukas Pak Han mencoba untuk memberanikan diri karena merasa prihatin pada Hae-bin yang hanya bisa diam menyaksikan semua itu tanpa berkomentar apa-apa.
Dae-jia menurunkan kaca mobilnya lebar-lebar, “Apa peduliku? Bukankah selama ini dia biasa naik taksi, bus, atau semacamnya?” gumamnya cuek lalu menepuk jok supir yang berada di depannya, “Ayo cepat nanti aku terlambat ke publisher!”
Pak Han menatap Hae-bin yang tampak kecewa, tapi gadis itu mencoba untuk tersenyum, “Tidak apa Pak Han, Kak Dae-jia benar, aku bisa naik taksi,” katanya.
“Tuh, benar kan?” Dae-jia mengeluarkan dompetnya dari dalam tas lalu menengadah menatap Hae-bin, “apa kau butuh uang?” katanya sembari mengeluarkan beberapa ribu won dari dompetnya.
Hae-bin menggeleng, “Tidak, tidak perlu. Aku masih punya uang,” tolaknya halus tapi ia tak bisa menyembunyikan ekspresi tersinggung dari wajahnya.
“Baguslah kalau begitu,” Dae-jia mengembalikan lagi uang itu ke dalam dompetnya dan memasukkan dompetnya kembali ke dalam tas-nya. “Ayo Pak!” tambahnya saat Pak Han tak juga masuk ke dalam mobil.
“Ada apa ini?” tanya Tuan Park yang kebetulan saat itu akan pergi menemui kolega bisnisnya. “Kulihat kalian bertengkar.”
“Ayah,” Hae-bin bergumam, “tidak ada apa-apa, kok,” elaknya.
“Dae-jia, kenapa kau tak naik mobilmu sendiri?” Tuan Park menunjuk mobil mercedes benz SL65 berwarna pink milik Dae-jia yang memang sudah disiapkan oleh Pak Han tadi. “Kau kan tau adikmu tak bisa menyetir.”
Dae-jia yang merasa risih karena Ayahnya lebih membela Hae-bin daripada dirinya, keluar lagi dari mobil, “Aku tidak merasa memiliki adik!” gertak Dae-jia tegas.
“Dae-jia!” bentak Tuan Park, “jangan bertingkah seperti anak kecil.”
-Kediaman keluarga Park-
Hae-bin baru saja turun dari kamarnya di lantai dua. Hari Minggu ini, ia sudah berjanji akan berkunjung ke rumah sahabatnya, Shin Yu-ri. Sudah lama sekali ia tak berkunjung ke sana, tepatnya sejak ia pindah ke rumah barunya. Saat tiba di teras, ia melihat Pak Han—supir keluarga Park—tengah berdiri di sebelah mobil Ford hitam yang sudah bersih mengkilat dan sedang menunggunya turun. “Pagi Pak Han,” sapa Hae-bin sopan.
Pak Han segera membalas dengan membungkukkan badannya, “Apa Nona sudah siap?”
Hae-bin mengangguk, “Ya, tolong antar aku—“
“Antar aku ke tempat ini Pak Han!” potong Dae-jia yang secara tiba-tiba sudah muncul di belakang Hae-bin dengan menyodorkan secarik kertas berisi alamat sebuah publisher ternama ke arah supir mereka.
“Tapi Nona....” Pak Han tak dapat meneruskan kata-kata saat melihat ekspresi kesal di wajah Dae-jia.
“Kenapa? Apa sekarang aku sudah bukan Nona-mu lagi?” tuntut Dae-jia.
“Bukan begitu,” sergah Pak Han, bingung, “Bukankah Nona Dae-jia lebih suka bepergian sendiri selama ini? dan saya juga sudah menyiapkan—“
“Aku sedang malas menyetir,” potong Dae-jia dengan keangkuhan dibuat-buat. Lalu tanpa menunggu persetujuan lagi, ia langsung masuk ke mobil yang rencananya akan digunakan untuk mengantar Hae-bin itu.
“Nona, tapi Nona Hae-bin tak bisa menyetir,” tukas Pak Han mencoba untuk memberanikan diri karena merasa prihatin pada Hae-bin yang hanya bisa diam menyaksikan semua itu tanpa berkomentar apa-apa.
Dae-jia menurunkan kaca mobilnya lebar-lebar, “Apa peduliku? Bukankah selama ini dia biasa naik taksi, bus, atau semacamnya?” gumamnya cuek lalu menepuk jok supir yang berada di depannya, “Ayo cepat nanti aku terlambat ke publisher!”
Pak Han menatap Hae-bin yang tampak kecewa, tapi gadis itu mencoba untuk tersenyum, “Tidak apa Pak Han, Kak Dae-jia benar, aku bisa naik taksi,” katanya.
“Tuh, benar kan?” Dae-jia mengeluarkan dompetnya dari dalam tas lalu menengadah menatap Hae-bin, “apa kau butuh uang?” katanya sembari mengeluarkan beberapa ribu won dari dompetnya.
Hae-bin menggeleng, “Tidak, tidak perlu. Aku masih punya uang,” tolaknya halus tapi ia tak bisa menyembunyikan ekspresi tersinggung dari wajahnya.
“Baguslah kalau begitu,” Dae-jia mengembalikan lagi uang itu ke dalam dompetnya dan memasukkan dompetnya kembali ke dalam tas-nya. “Ayo Pak!” tambahnya saat Pak Han tak juga masuk ke dalam mobil.
“Ada apa ini?” tanya Tuan Park yang kebetulan saat itu akan pergi menemui kolega bisnisnya. “Kulihat kalian bertengkar.”
“Ayah,” Hae-bin bergumam, “tidak ada apa-apa, kok,” elaknya.
“Dae-jia, kenapa kau tak naik mobilmu sendiri?” Tuan Park menunjuk mobil mercedes benz SL65 berwarna pink milik Dae-jia yang memang sudah disiapkan oleh Pak Han tadi. “Kau kan tau adikmu tak bisa menyetir.”
Dae-jia yang merasa risih karena Ayahnya lebih membela Hae-bin daripada dirinya, keluar lagi dari mobil, “Aku tidak merasa memiliki adik!” gertak Dae-jia tegas.
“Dae-jia!” bentak Tuan Park, “jangan bertingkah seperti anak kecil.”
DISASTER LOVE - Chap 15 - Fanfiction Super Junior -
CHAPTER 15
- Kediaman keluarga Kang -
“Kau pikir usiamu baru 17 tahun? Untuk apa merayakan acara tak penting seperti ini!?” Kang Bo-jong mengejek kakaknya.
Kang Ha-jong tertawa gembira, tak terganggu sama sekali dengan ejekan adiknya. “44 tahun terdengar seperti 17 tahun untukku,” balasnya.
Bo-jong hanya geleng-geleng kepala mendengar komentar tersebut. “Dimana para gadis kesayanganku?”
Ha-jong mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, di mana sudah banyak tamu berkeliaran dalam ruang-ruang rumahnya yang luas, namun ketiga putrinya tak terlihat di mana pun.
“Sepertinya mereka belum turun—“
“Itu mereka!” ucap Bo-jong tiba-tiba, menunjuk ke arah tangga. Ha-jong berputar untuk melihat, dan tersenyum memandangi ketiga putrinya yang tengah menuruni tangga.
Malam ini Hea-in tampak spektakuler seperti biasa, mengenakan gaun putih panjang bermotif bunga berwarna hitam, dipadu dengan mantel hitam tipis dan perhiasan mewah. Dibelakangnya kedua adiknya berjalan berdampingan. Seo-min yang tak memiliki gaun—bukan karena tak mampu membeli, namun tak berselera mengenakan rok—hanya mengenakan blus putih yang walau sederhana namun tetap terlihat elegan, dipadu celana panjang kain berwarna abu-abu muda yang membungkus kaki jenjangnya dengan sempurna, dan sekedar mencepol rambut pirang panjangnya dengan rapi tanpa perhiasan apapun. Sedangkan Hyun-in terlihat cantik dengan mini dress merah muda, dan sedikit perhiasan untuk melengkapi penampilannya.
“Selamat ulangtahun, Ayah,” ucap Hyun-in ceria sembari memeluk Kang Ha-jong, sementara kedua kakaknya hanya menggumamkan ucapan selamat seadanya di belakang mereka.
“Terima kasih, Tuan Putri,” sahut Ha-jong gembira. “Ah, Hea-in, managermu sudah memberikan skrip drama komedi romantis yang kuusulkan untukmu?” tanyanya tiba-tiba.
Hea-in mengangguk. “Sepertinya memang menarik,” jawabnya mengomentari. “Apalagi karena aku akan menjadi pemeran utamanya kali ini. tapi tetap saja aku harus memikirkannya dulu.”
Ha-jong mengangguk. “Tentu saja. Pikirkanlah. Hari ini orang yang akan menjadi investor dalam pembuatan drama itu akan datang, kau harus menemaniku menyambutnya.”
“Baiklah,” gumam Hea-in tak berminat.
“Selamat malam,” sapa Sung-min, Dong-hae, Ki-bum, dan Kyu-hyun yang tanpa disadari telah menghampiri sang tuan rumah.
“Ah, kalian datang juga rupanya,” ucap Ha-jong ramah.
“Tentu saja. Suatu kehormatan mendapat undangan dari Anda,” jawab Sung-min, selaku yang tertua, mewakili grupnya.
Tanpa berusaha menahan diri, Seo-min mendengus meremehkan perkataan Sung-min yang dianggapnya berlebihan, dan mendapat delikan dari pria tersebut. Dengan sengaja Seo-min membuang muka dan tanpa sengaja bertatapan dengan Dong-hae sesaat sebelum keduanya bersama-sama mengalihkan pandangan.
Hyun-in yang memperhatikan hal tersebut merasa tak nyaman. Hatinya terasa tak tenang. Ia menyalahkan dirinya sendiri yang tak juga berani bicara mengenai hal tersebut pada kakaknya.
“Pink— maksudku, Sung-min,“ panggil Seo-min tiba-tiba. “Ayo, kuantar kau berkeliling,” ajaknya, dengan sengaja ingin menjauh dari Dong-hae sekaligus memamerkan keakrabannya dengan Sung-min.
Sung-min pun memahami hal tersebut. Ia melirik Dong-hae, lalu menatap Seo-min kesal. “Terima kasih, tapi tidak perlu,” katanya berusaha sopan demi menghormati Kang Ha-jong.
“Oh, kurasa itu ide bagus,” komentar Ha-jong sembari tersenyum ramah. “Benar, biar putri-putriku mengajak kalian berkeliling. Bersenang-senanglah.”
Seo-min melayangkan senyum kemenangan pada Sung-min sembari menarik tangan pria itu untuk mengikutinya. gerakannya tersebut tak luput dari perhatian Dong-hae, yang kemudian berusaha melihat ke arah lain.
Hea-in mengamati reaksi kecemburuan Dong-hae selama beberapa detik sebelum melangkah maju dan menggandeng pria itu. Dong-hae yang terkejut, menunduk memandang Hea-in yang tengah tersenyum padanya.
“Ayo pergi,” ajak Hea-in. “Ada banyak tempat menarik di rumah ini, dan aku bukan menyombong, hanya mengungkapkan fakta.”
Dong-hae tersenyum tipis. “Baiklah,” komentarnya setuju.
- Kediaman keluarga Kang -
“Kau pikir usiamu baru 17 tahun? Untuk apa merayakan acara tak penting seperti ini!?” Kang Bo-jong mengejek kakaknya.
Kang Ha-jong tertawa gembira, tak terganggu sama sekali dengan ejekan adiknya. “44 tahun terdengar seperti 17 tahun untukku,” balasnya.
Bo-jong hanya geleng-geleng kepala mendengar komentar tersebut. “Dimana para gadis kesayanganku?”
Ha-jong mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, di mana sudah banyak tamu berkeliaran dalam ruang-ruang rumahnya yang luas, namun ketiga putrinya tak terlihat di mana pun.
“Sepertinya mereka belum turun—“
“Itu mereka!” ucap Bo-jong tiba-tiba, menunjuk ke arah tangga. Ha-jong berputar untuk melihat, dan tersenyum memandangi ketiga putrinya yang tengah menuruni tangga.
Malam ini Hea-in tampak spektakuler seperti biasa, mengenakan gaun putih panjang bermotif bunga berwarna hitam, dipadu dengan mantel hitam tipis dan perhiasan mewah. Dibelakangnya kedua adiknya berjalan berdampingan. Seo-min yang tak memiliki gaun—bukan karena tak mampu membeli, namun tak berselera mengenakan rok—hanya mengenakan blus putih yang walau sederhana namun tetap terlihat elegan, dipadu celana panjang kain berwarna abu-abu muda yang membungkus kaki jenjangnya dengan sempurna, dan sekedar mencepol rambut pirang panjangnya dengan rapi tanpa perhiasan apapun. Sedangkan Hyun-in terlihat cantik dengan mini dress merah muda, dan sedikit perhiasan untuk melengkapi penampilannya.
“Selamat ulangtahun, Ayah,” ucap Hyun-in ceria sembari memeluk Kang Ha-jong, sementara kedua kakaknya hanya menggumamkan ucapan selamat seadanya di belakang mereka.
“Terima kasih, Tuan Putri,” sahut Ha-jong gembira. “Ah, Hea-in, managermu sudah memberikan skrip drama komedi romantis yang kuusulkan untukmu?” tanyanya tiba-tiba.
Hea-in mengangguk. “Sepertinya memang menarik,” jawabnya mengomentari. “Apalagi karena aku akan menjadi pemeran utamanya kali ini. tapi tetap saja aku harus memikirkannya dulu.”
Ha-jong mengangguk. “Tentu saja. Pikirkanlah. Hari ini orang yang akan menjadi investor dalam pembuatan drama itu akan datang, kau harus menemaniku menyambutnya.”
“Baiklah,” gumam Hea-in tak berminat.
“Selamat malam,” sapa Sung-min, Dong-hae, Ki-bum, dan Kyu-hyun yang tanpa disadari telah menghampiri sang tuan rumah.
“Ah, kalian datang juga rupanya,” ucap Ha-jong ramah.
“Tentu saja. Suatu kehormatan mendapat undangan dari Anda,” jawab Sung-min, selaku yang tertua, mewakili grupnya.
Tanpa berusaha menahan diri, Seo-min mendengus meremehkan perkataan Sung-min yang dianggapnya berlebihan, dan mendapat delikan dari pria tersebut. Dengan sengaja Seo-min membuang muka dan tanpa sengaja bertatapan dengan Dong-hae sesaat sebelum keduanya bersama-sama mengalihkan pandangan.
Hyun-in yang memperhatikan hal tersebut merasa tak nyaman. Hatinya terasa tak tenang. Ia menyalahkan dirinya sendiri yang tak juga berani bicara mengenai hal tersebut pada kakaknya.
“Pink— maksudku, Sung-min,“ panggil Seo-min tiba-tiba. “Ayo, kuantar kau berkeliling,” ajaknya, dengan sengaja ingin menjauh dari Dong-hae sekaligus memamerkan keakrabannya dengan Sung-min.
Sung-min pun memahami hal tersebut. Ia melirik Dong-hae, lalu menatap Seo-min kesal. “Terima kasih, tapi tidak perlu,” katanya berusaha sopan demi menghormati Kang Ha-jong.
“Oh, kurasa itu ide bagus,” komentar Ha-jong sembari tersenyum ramah. “Benar, biar putri-putriku mengajak kalian berkeliling. Bersenang-senanglah.”
Seo-min melayangkan senyum kemenangan pada Sung-min sembari menarik tangan pria itu untuk mengikutinya. gerakannya tersebut tak luput dari perhatian Dong-hae, yang kemudian berusaha melihat ke arah lain.
Hea-in mengamati reaksi kecemburuan Dong-hae selama beberapa detik sebelum melangkah maju dan menggandeng pria itu. Dong-hae yang terkejut, menunduk memandang Hea-in yang tengah tersenyum padanya.
“Ayo pergi,” ajak Hea-in. “Ada banyak tempat menarik di rumah ini, dan aku bukan menyombong, hanya mengungkapkan fakta.”
Dong-hae tersenyum tipis. “Baiklah,” komentarnya setuju.
S W I T C H -Prolog + Chapter 1-
S W I T C H
Prolog
Park Hae-bin yang kini sudah berada di kamarnya di lantai dua, merasa sedih. Sudah tiga bulan lebih ia tinggal di rumah besar itu, tapi ia tetap merasa kesepian. Ayahnya, Tuan Park selalu sibuk dengan pekerjaannya di kantor, sedangkan istrinya tentu saja masih belum bisa menerimanya. Seorang kakak yang ia harap bisa menjadi teman baginya, justru tak mau menerimanya dan selalu bersikap seolah-olah ia adalah sesuatu yang tak diinginkan di rumah itu. Ia meraih sebuah pigura kecil di nakas yang berisi foto seorang wanita cantik tengah tersenyum. “Ibu,” gumamnya, air mata mengalir membasahi kedua pipinya, “apa aku salah karena terlahir sebagai putrimu?” isaknya.
Dering ponsel Hae-bin membuatnya mengalihkan perhatian dari foto ibunya, ia meraih ponsel dan menghapus air mata yang menggenang di pipinya dengan punggung tangannya lalu memencet tombol jawab, “Halo!” sapanya pada sahabatnya Shin Yu-ri, “benarkah? Oh...Tuhan, syukurlah!” serunya senang ketika mendengar kabar yang disampaikan Yu-ri, “Ya, aku akan mengeceknya lagi, tentu.”
Taken From ITL Chap 10
Chapter 1
-Pelataran Universitas Sogang-
Seorang gadis berambut pendek ala lelaki mengayuh sepedanya kuat-kuat. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kuliah. Tapi karena terlambat bangun, ia harus terburu-buru berangkat ke kampus barunya.
“Hoy! Kau,” panggil seorang pria menghentikan kakinya mengayuh, gadis itu menoleh pada asal suara. Pria tinggi memakai jas cokelat—jas almamater kampusnya—memperhatikannya lekat-lekat dan menghampirinya, “kau mahasiswa baru?” tanya pria itu.
Ia mengangguk, “Ya,” jawabnya tegas seraya balas memperhatikan pria itu, ia merasa pernah mengenalnya, tapi ia lupa pernah bertemu di mana.
“Nama!”
“Shin Yu-ri,” pria itu mencatat sesuatu di sebuah map yang ia bawa.
Setelah berpikir sekian lama, gadis bernama Yu-ri itu akhirnya mengingat sesuatu, “Ah...bukankah kau—“
“Ikut aku!” potong pria itu tegas.
“Hya! Aku sedang—“ Yu-ri buru-buru menutup mulutnya saat ia melihat tatapan marah pria itu dan dengan terpaksa ia menggiring sepedanya dan mengikuti pria itu dari belakang. Sial!, makinya.
Prolog
Park Hae-bin yang kini sudah berada di kamarnya di lantai dua, merasa sedih. Sudah tiga bulan lebih ia tinggal di rumah besar itu, tapi ia tetap merasa kesepian. Ayahnya, Tuan Park selalu sibuk dengan pekerjaannya di kantor, sedangkan istrinya tentu saja masih belum bisa menerimanya. Seorang kakak yang ia harap bisa menjadi teman baginya, justru tak mau menerimanya dan selalu bersikap seolah-olah ia adalah sesuatu yang tak diinginkan di rumah itu. Ia meraih sebuah pigura kecil di nakas yang berisi foto seorang wanita cantik tengah tersenyum. “Ibu,” gumamnya, air mata mengalir membasahi kedua pipinya, “apa aku salah karena terlahir sebagai putrimu?” isaknya.
Dering ponsel Hae-bin membuatnya mengalihkan perhatian dari foto ibunya, ia meraih ponsel dan menghapus air mata yang menggenang di pipinya dengan punggung tangannya lalu memencet tombol jawab, “Halo!” sapanya pada sahabatnya Shin Yu-ri, “benarkah? Oh...Tuhan, syukurlah!” serunya senang ketika mendengar kabar yang disampaikan Yu-ri, “Ya, aku akan mengeceknya lagi, tentu.”
Taken From ITL Chap 10
Chapter 1
-Pelataran Universitas Sogang-
Seorang gadis berambut pendek ala lelaki mengayuh sepedanya kuat-kuat. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kuliah. Tapi karena terlambat bangun, ia harus terburu-buru berangkat ke kampus barunya.
“Hoy! Kau,” panggil seorang pria menghentikan kakinya mengayuh, gadis itu menoleh pada asal suara. Pria tinggi memakai jas cokelat—jas almamater kampusnya—memperhatikannya lekat-lekat dan menghampirinya, “kau mahasiswa baru?” tanya pria itu.
Ia mengangguk, “Ya,” jawabnya tegas seraya balas memperhatikan pria itu, ia merasa pernah mengenalnya, tapi ia lupa pernah bertemu di mana.
“Nama!”
“Shin Yu-ri,” pria itu mencatat sesuatu di sebuah map yang ia bawa.
Setelah berpikir sekian lama, gadis bernama Yu-ri itu akhirnya mengingat sesuatu, “Ah...bukankah kau—“
“Ikut aku!” potong pria itu tegas.
“Hya! Aku sedang—“ Yu-ri buru-buru menutup mulutnya saat ia melihat tatapan marah pria itu dan dengan terpaksa ia menggiring sepedanya dan mengikuti pria itu dari belakang. Sial!, makinya.
DISASTER LOVE - Chap 14 - Fanfiction Super Junior -
CHAPTER 14
- Perumahan Jogang, lokasi shooting -
Noh Ji-ni, ibu Hea-in, mengalihkan perhatiannya sejenak dari putri semata wayangnya itu, dan tersenyum ramah pada Seo-min, Kyu-hyun, dan Hyun-in.
“Kalian teman-teman Hea-in?” tanyanya ramah.
Seo-min dan Hyun-in tak dapat menjawab. Mereka terlalu terkejut karena akhirnya bertemu dengan istri pertama ayah mereka.
Mengambil kesempatan dalam keheningan canggung tersebut, Kyu-hyu melangkah maju dan membungkuk hormat pada Noh Ji-ni. “Cho Kyu-hyun, senang berkenalan dengan Anda,” katanya memperkenalkan diri dengan sopan, lalu dengan sengaja menyunggingkan senyum paling menawan yang dimilikinya untuk memikat ibu Hea-in.
Noh Ji-ni tersenyum senang. “Tentu saja aku mengenalmu,” katanya dengan suara seksi. “Bahkan alien pun pasti pernah mendengar tentang Super Junior.”
Kyu-hyun tertawa. “Anda pintar memuji.”
Noh Ji-ni tersenyum menggoda. “Karena itu banyak pria yang terpikat olehku,” sombongnya bercanda. tiba-tiba sorot matanya berubah menyelidik. “Kau berteman akrab dengan putriku?”
Senyum tipis tersungging di bibir Kyu-hyun. Ia melirik Hea-in yang masih mematung dan pucat, tak dapat dipungkiri Kyu-hyun penasaran dengan alasan dibalik reaksi Hea-in ini, tetapi dia lebih memilih focus menarik perhatian ibu dari gadis incarannya tersebut. “Aku dan Hea-in bisa dibilang lebih dekat dari sekedar teman,” jawabnya.
Mata Noh Ji-ni membesar terkejut. “Benarkah?” gumamnya senang.
Jawaban Kyu-hyun menyadarkan Hyun-in dari keterdiamannya. Ia langsung menatap pemuda itu. Kyu-hyun yang merasa seseorang tengah memandanginya, menoleh, dan heran melihat tatapan “aneh” yang dilayangkan Hyun-in padanya sebelum gadis itu lagi-lagi membuang muka dengan sengaja.
Seo-min berdeham canggung sebelum membungkuk. “Maafkan reaksi kami,” katanya berusaha sopan. “kami hanya terlalu terkejut… ini pertama kalinya kami melihat ibu dari Hea-in. Ah, namaku Kang Seo-min,”
Hyun-in buru-buru membungkuk hormat. “Namaku Kang Hyun-in.”
Noh Ji-ni tersenyum kecil. “Tak apa, Sayang,” katanya menengangkan. “Jadi, sudah berapa lama kalian berteman dengan Hea-in?”
Seo-min dan Hyun-in bertukar pandang. “Kami… adik-adiknya,” jawab Hyun-in pada akhirnya, menyebabkan keterkejutan di pihak Noh Ji-ni.
“Adik-adik…? Oh! Kau… kalian…” ucap Noh Ji-ni tercengang. Kang Seo-min dan Kang Hyun-in. pantas saja, rupanya mereka bersaudara. Putri-putri dari pernikahan Kang Ha-jong yang lain? pikirnya menebak-nebak.
“Pergi,” perintah Hea-in tiba-tiba—ketika sudah dapat mengendalikan dirinya—dengan suara yang terdengar aneh, bahkan untuk di telinganya sendiri.
“Apa—“ Kyu-hyun, memulai, namun dipotong oleh bentakan Hea-in.
- Perumahan Jogang, lokasi shooting -
Noh Ji-ni, ibu Hea-in, mengalihkan perhatiannya sejenak dari putri semata wayangnya itu, dan tersenyum ramah pada Seo-min, Kyu-hyun, dan Hyun-in.
“Kalian teman-teman Hea-in?” tanyanya ramah.
Seo-min dan Hyun-in tak dapat menjawab. Mereka terlalu terkejut karena akhirnya bertemu dengan istri pertama ayah mereka.
Mengambil kesempatan dalam keheningan canggung tersebut, Kyu-hyu melangkah maju dan membungkuk hormat pada Noh Ji-ni. “Cho Kyu-hyun, senang berkenalan dengan Anda,” katanya memperkenalkan diri dengan sopan, lalu dengan sengaja menyunggingkan senyum paling menawan yang dimilikinya untuk memikat ibu Hea-in.
Noh Ji-ni tersenyum senang. “Tentu saja aku mengenalmu,” katanya dengan suara seksi. “Bahkan alien pun pasti pernah mendengar tentang Super Junior.”
Kyu-hyun tertawa. “Anda pintar memuji.”
Noh Ji-ni tersenyum menggoda. “Karena itu banyak pria yang terpikat olehku,” sombongnya bercanda. tiba-tiba sorot matanya berubah menyelidik. “Kau berteman akrab dengan putriku?”
Senyum tipis tersungging di bibir Kyu-hyun. Ia melirik Hea-in yang masih mematung dan pucat, tak dapat dipungkiri Kyu-hyun penasaran dengan alasan dibalik reaksi Hea-in ini, tetapi dia lebih memilih focus menarik perhatian ibu dari gadis incarannya tersebut. “Aku dan Hea-in bisa dibilang lebih dekat dari sekedar teman,” jawabnya.
Mata Noh Ji-ni membesar terkejut. “Benarkah?” gumamnya senang.
Jawaban Kyu-hyun menyadarkan Hyun-in dari keterdiamannya. Ia langsung menatap pemuda itu. Kyu-hyun yang merasa seseorang tengah memandanginya, menoleh, dan heran melihat tatapan “aneh” yang dilayangkan Hyun-in padanya sebelum gadis itu lagi-lagi membuang muka dengan sengaja.
Seo-min berdeham canggung sebelum membungkuk. “Maafkan reaksi kami,” katanya berusaha sopan. “kami hanya terlalu terkejut… ini pertama kalinya kami melihat ibu dari Hea-in. Ah, namaku Kang Seo-min,”
Hyun-in buru-buru membungkuk hormat. “Namaku Kang Hyun-in.”
Noh Ji-ni tersenyum kecil. “Tak apa, Sayang,” katanya menengangkan. “Jadi, sudah berapa lama kalian berteman dengan Hea-in?”
Seo-min dan Hyun-in bertukar pandang. “Kami… adik-adiknya,” jawab Hyun-in pada akhirnya, menyebabkan keterkejutan di pihak Noh Ji-ni.
“Adik-adik…? Oh! Kau… kalian…” ucap Noh Ji-ni tercengang. Kang Seo-min dan Kang Hyun-in. pantas saja, rupanya mereka bersaudara. Putri-putri dari pernikahan Kang Ha-jong yang lain? pikirnya menebak-nebak.
“Pergi,” perintah Hea-in tiba-tiba—ketika sudah dapat mengendalikan dirinya—dengan suara yang terdengar aneh, bahkan untuk di telinganya sendiri.
“Apa—“ Kyu-hyun, memulai, namun dipotong oleh bentakan Hea-in.
Is This Love -Chap 10 & Epilog- (ENDING)
Chapter 10
-Mobil Taec-yeon-
Taec-yeon mencengkeram kuat kemudi mobilnya ketika terbayang kembali apa yang baru saja terjadi.
“Aku mencintaimu Hea-in!”
Selama beberapa detik gadis itu tampak tercengang, namun setelah membisu beberapa saat Hea-in berhasil mengembalikan ekspresi marah dan kesal di wajahnya. “Apa ini bagian dari perma—“
“Ya sudah kalau kau tak percaya!” bentak Taec-yeon membuat Hea-in tersentak kaget. Pria itu tampak benar-benar berang. Butuh keberanian besar bagi Taec-yeon untuk mengungkap isi hatinya, hingga ketidakpercayaan Hea-in membuatnya tak bisa menahan amarah. Ia pun pergi meninggalkan Hea-in yang hanya bisa membisu menatap punggung Taec-yeon hingga menghilang di balik tembok rumah sakit.
“Baiklah, aku akan melakukan apa yang kau inginkan,” gumam Taec-yeon setelah tersadar dari lamunannya. Ia menghidupkan mesin mobilnya dan melaju cepat menuju kediaman orang tuanya.
-Seoul Medical Centre-
Menyesal. Kata itu yang kini terukir dalam benak Hea-in. Ia tak menyangka Taec-yeon akan semarah itu. Ia hanya ingin memastikan bahwa apa yang dikatakan pria itu adalah yang sebenarnya, bukan lagi permainan seperti yang ia katakan dulu. Tapi karena perbuatannya, kini kesempatan untuk bisa bersama dengan pria itu menjadi lebih kecil. Taec-yeon marah padanya dan mungkin pria itu tak akan pernah peduli lagi pada dirinya. Kenapa ia pergi begitu saja, tanpa memberi kesempatan padaku untuk menjelaskan, pikir Hea-in pilu.
“Nona Kang, Dokter Yoon ingin bertemu dengan anda,” lapor seorang perawat menyadarkan Hea-in dari lamunannya.
“Ah...iya,” sambut Hea-in sembari mengangguk.
-Mobil Taec-yeon-
Taec-yeon mencengkeram kuat kemudi mobilnya ketika terbayang kembali apa yang baru saja terjadi.
“Aku mencintaimu Hea-in!”
Selama beberapa detik gadis itu tampak tercengang, namun setelah membisu beberapa saat Hea-in berhasil mengembalikan ekspresi marah dan kesal di wajahnya. “Apa ini bagian dari perma—“
“Ya sudah kalau kau tak percaya!” bentak Taec-yeon membuat Hea-in tersentak kaget. Pria itu tampak benar-benar berang. Butuh keberanian besar bagi Taec-yeon untuk mengungkap isi hatinya, hingga ketidakpercayaan Hea-in membuatnya tak bisa menahan amarah. Ia pun pergi meninggalkan Hea-in yang hanya bisa membisu menatap punggung Taec-yeon hingga menghilang di balik tembok rumah sakit.
“Baiklah, aku akan melakukan apa yang kau inginkan,” gumam Taec-yeon setelah tersadar dari lamunannya. Ia menghidupkan mesin mobilnya dan melaju cepat menuju kediaman orang tuanya.
-Seoul Medical Centre-
Menyesal. Kata itu yang kini terukir dalam benak Hea-in. Ia tak menyangka Taec-yeon akan semarah itu. Ia hanya ingin memastikan bahwa apa yang dikatakan pria itu adalah yang sebenarnya, bukan lagi permainan seperti yang ia katakan dulu. Tapi karena perbuatannya, kini kesempatan untuk bisa bersama dengan pria itu menjadi lebih kecil. Taec-yeon marah padanya dan mungkin pria itu tak akan pernah peduli lagi pada dirinya. Kenapa ia pergi begitu saja, tanpa memberi kesempatan padaku untuk menjelaskan, pikir Hea-in pilu.
“Nona Kang, Dokter Yoon ingin bertemu dengan anda,” lapor seorang perawat menyadarkan Hea-in dari lamunannya.
“Ah...iya,” sambut Hea-in sembari mengangguk.
DISASTER LOVE - Chap 13 - Fanfiction Super Junior -
CHAPTER 13
- Kediaman keluarga Kang -
Kang Ha-jong dan putri bungsunya, Hyun-in, tengah menyantap sarapan berdua. Hea-in sejak pagi-pagi sekali telah berangkat ke lokasi shooting—kedua artis yang sebelumnya terluka karena kecelakaan kini telah dapat kembali beraktivitas, maka proses shooting pun dilanjutkan—sedangkan Seo-min masih di kamarnya.
“…ya, lakukan itu,” kata Ha-jong tegas pada pengacaranya lewat ponsel. “Buat sesulit mungkin. Aku ingin bajingan-bajingan cilik itu terus mengingat ini, dan menyesal telah berurusan dengan keluarga Kang,” tambahnya dingin. “Hmm. Itu bagus. Kabari aku begitu ada perkembangan.”
Hyun-in melirik ayahnya dalam diam. Semalam, kakaknya, Seo-min, mengejutkan seisi rumah karena datang dengan diantar oleh Lee Sung-min, dan dalam kondisi wajah yang memar dan terluka. Ha-jong sangat khawatir pada Seo-min, dan amat murka pada para pemuda yang mengeroyok putrinya tersebut. Karena itu tak mengherankan bila sekarang dia menyuruh pengacara keluarga untuk menuntut pemuda-pemuda tersebut.
baru saja mengangkat gelas susunya, Hyun-in terpaksa menaruhnya kembali ke meja karena ponselnya berbunyi. SMS dari managernya.
From : Kak Pil-Sook
Hyun-in, ingat untuk datang ke kantor redaksi majalah MINE jam 1 siang nanti. Oh ya, aku mengurus banyak hal kemarin hingga lupa menanyakan, sebenarnya ada keperluan apa Cho Kyu-hyun denganmu? Kemarin dia meminta nomor ponselmu padaku karena katanya ada urusan penting. Apakah masalah pekerjaan? Bila memang penting, beritahu aku.
Jadi kak Pil-sook yang memberikan nomorku pada kak Kyu-hyun… pantas saja, pikir Hyun-in. ia sedang sibuk mengetik SMS balasan untuk managernya itu, ketika tiba-tiba mendengar suara Seo-min.
“Di mana kunci motorku?” tanya Seo-min. “motorku sudah datang, kan?”
“Semalam orangku sudah membawanya kemari, kau tenang saja,” sahut Ha-jong. “Untuk apa kau menginginkan kuncinya? Kau tak boleh ke mana-mana dalam kondisi seperti itu. istirahatlah di rumah—“
“Hanya karena wajahku sedikit terluka, bukan berarti aku menjadi lumpuh,” protes Seo-min keras kepala. “Berikan kunciku!” desaknya memaksa.
Namun kekeraskepalaan Seo-min merupakan turunan dari Ha-jong, karena itu pria itu pun berkeras dengan keputusannya. “Tidak,” ucapnya tegas.
Seo-min memutar bola matanya sambil menggeram. “Aku ada urusan penting. Bila Ayah tak mau memberikan kuncinya padaku, terserah, aku pergi dengan taksi—“
“Kakak mau ke mana?” sela Hyun-in cepat. “Bila memang penting, aku bisa mengantarmu. Kebetulan pagi ini aku tidak ada kegiatan,” tawarnya.
Ha-jong mengamati putri kedua dan bungsunya itu bergantian. Ia memang lebih suka Seo-min beristirahat di rumah, tetapi ini kejadian langka. Tidak setiap hari dia bisa melihat kedua putrinya pergi bersama seperti ini.
“Kau?” tanya Seo-min terkejut, menatap adiknya.
Hyun-in mengangguk. “Bila kau mau,” katanya.
Seo-min diam sejenak untuk memikirkannya sebelum mengangguk. “Bagaimana?” tanyanya pada ayahnya.
Ha-jong berusaha menahan senyumnya. “Baiklah, kau boleh pergi.”
- Kediaman keluarga Kang -
Kang Ha-jong dan putri bungsunya, Hyun-in, tengah menyantap sarapan berdua. Hea-in sejak pagi-pagi sekali telah berangkat ke lokasi shooting—kedua artis yang sebelumnya terluka karena kecelakaan kini telah dapat kembali beraktivitas, maka proses shooting pun dilanjutkan—sedangkan Seo-min masih di kamarnya.
“…ya, lakukan itu,” kata Ha-jong tegas pada pengacaranya lewat ponsel. “Buat sesulit mungkin. Aku ingin bajingan-bajingan cilik itu terus mengingat ini, dan menyesal telah berurusan dengan keluarga Kang,” tambahnya dingin. “Hmm. Itu bagus. Kabari aku begitu ada perkembangan.”
Hyun-in melirik ayahnya dalam diam. Semalam, kakaknya, Seo-min, mengejutkan seisi rumah karena datang dengan diantar oleh Lee Sung-min, dan dalam kondisi wajah yang memar dan terluka. Ha-jong sangat khawatir pada Seo-min, dan amat murka pada para pemuda yang mengeroyok putrinya tersebut. Karena itu tak mengherankan bila sekarang dia menyuruh pengacara keluarga untuk menuntut pemuda-pemuda tersebut.
baru saja mengangkat gelas susunya, Hyun-in terpaksa menaruhnya kembali ke meja karena ponselnya berbunyi. SMS dari managernya.
From : Kak Pil-Sook
Hyun-in, ingat untuk datang ke kantor redaksi majalah MINE jam 1 siang nanti. Oh ya, aku mengurus banyak hal kemarin hingga lupa menanyakan, sebenarnya ada keperluan apa Cho Kyu-hyun denganmu? Kemarin dia meminta nomor ponselmu padaku karena katanya ada urusan penting. Apakah masalah pekerjaan? Bila memang penting, beritahu aku.
Jadi kak Pil-sook yang memberikan nomorku pada kak Kyu-hyun… pantas saja, pikir Hyun-in. ia sedang sibuk mengetik SMS balasan untuk managernya itu, ketika tiba-tiba mendengar suara Seo-min.
“Di mana kunci motorku?” tanya Seo-min. “motorku sudah datang, kan?”
“Semalam orangku sudah membawanya kemari, kau tenang saja,” sahut Ha-jong. “Untuk apa kau menginginkan kuncinya? Kau tak boleh ke mana-mana dalam kondisi seperti itu. istirahatlah di rumah—“
“Hanya karena wajahku sedikit terluka, bukan berarti aku menjadi lumpuh,” protes Seo-min keras kepala. “Berikan kunciku!” desaknya memaksa.
Namun kekeraskepalaan Seo-min merupakan turunan dari Ha-jong, karena itu pria itu pun berkeras dengan keputusannya. “Tidak,” ucapnya tegas.
Seo-min memutar bola matanya sambil menggeram. “Aku ada urusan penting. Bila Ayah tak mau memberikan kuncinya padaku, terserah, aku pergi dengan taksi—“
“Kakak mau ke mana?” sela Hyun-in cepat. “Bila memang penting, aku bisa mengantarmu. Kebetulan pagi ini aku tidak ada kegiatan,” tawarnya.
Ha-jong mengamati putri kedua dan bungsunya itu bergantian. Ia memang lebih suka Seo-min beristirahat di rumah, tetapi ini kejadian langka. Tidak setiap hari dia bisa melihat kedua putrinya pergi bersama seperti ini.
“Kau?” tanya Seo-min terkejut, menatap adiknya.
Hyun-in mengangguk. “Bila kau mau,” katanya.
Seo-min diam sejenak untuk memikirkannya sebelum mengangguk. “Bagaimana?” tanyanya pada ayahnya.
Ha-jong berusaha menahan senyumnya. “Baiklah, kau boleh pergi.”
Langganan:
Postingan (Atom)