Minggu, 31 Juli 2011

DISASTER LOVE - Chap 4 - Fanfiction Super Junior -

CHAPTER 4



- KK Entertainment -   

Hyun-in melangkah keluar dari lift yang mengantarkannya ke lantai empat, di mana ruangan ayahnya berada. Pikirannya melayang-layang, memikirkan Dong-hae. ia benar-benar malu mengingat kejadian semalam. Bagaimana bisa aku mabuk di depannya? keluh Hyun-in dalam hati.

Pagi ini, walaupun semalam Dong-hae berkata akan pergi show ke beberapa kota bersama Super Junior M, namun Hyun-in masih menyimpan harapan akan melihat pria itu di lokasi shooting. Sayangnya harapannya tak terwujud. Dong-hae memang sudah pergi. padahal ia ingin sekali mengucapkan terima kasih karena Dong-hae telah mengantarnya dan mobilnya dengan selamat sampai di rumah.

“Selamat siang, Nona Kang.”

Hyun-in segera tersadar dan menangguk serta menyunggingkan senyum sopan pada kedua karyawan wanita ayahnya yang menyapanya. “Selamat siang,” balasnya.

Kedua wanita itu tersenyum ramah sambil berjalan melaluinya. namun setelah beberapa langkah jauhnya dari Hyun-in, mereka berbisik-bisik membicarakan gadis itu. “Hidup tuan Putri satu itu nyaman sekali,” ucap salah seorang dari mereka, tak cukup pelan seperti yang dikiranya, hingga terdengar oleh Hyun-in. “dimanjakan dengan harta Tuan Kang dan mendapat kesempatan debut menjadi penyanyi. Membuat orang iri saja. eh, kudengar seluruh tubuhnya itu hasil operasi plastic!”

Hyun-in menghentikan langkahnya. Perlahan, ia menoleh ke belakang, memperhatikan punggung kedua wanita yang semakin menjauh itu.

“Benarkah? Pantas saja cantik seperti itu. yeah, tak heran dengan uang sebanyak itu dia bisa operasi bagian tubuhnya yang manapun dan kapanpun—“

Wajah Hyun-in sedikit memucat. Tak ingin mendengar lebih jauh lagi pembicaraan kedua wanita itu, ia mempercepat langkahnya menuju ruangan ayahnya.

Hal seperti ini bukan kejadian baru. Hyun-in sedih dan tak mengerti mengapa banyak sekali orang yang berbicara semanis madu bila di depannya namun menjelek-jelekkannya di belakang. Kebanyakan orang tak tulus padanya. semua bersikap baik padanya karena ia putri keluarga Kang yang terhormat, bukan karena pribadinya. dan bahkan disaat seperti itu pun mereka yang iri dengan apa yang dimilikinya terus menggunjingkan segala macam omong kosong yang sebenarnya tak pernah dilakukan Hyun-in—seperti kedua wanita tadi.

“Ah, Putriku tersayang,” kata Kang Ha-jong begitu putri bungsunya memasuki ruangannya. “Apa yang membuatmu datang ke mari?”

Hyun-in duduk di salah satu bangku. “Ada yang ingin kubicarakan,” jawab Hyun-in.

Mengerutkan kening, Ha-jong mengamati dengan khawatir wajah keruh putrinya itu. “Apakah terjadi sesuatu?”

Hyun-in cepat-cepat menggeleng. “Tidak apa-apa,” katanya. “Yang ingin kubicarakan denganmu adalah tentang Dong-hae—“

“Hahhh… sudahlah, Hyun-in. aku percaya pada penilaian pamanmu. Bila dia bilang suara Cho Kyu-hyun lah yang cocok untuk menyanyikan lagu itu, maka aku pun setuju dengannya. lagi pula kontrak sudah dibuat. Maaf, Sayang, tapi ini bisnis. aku tidak bisa menuruti kemauanmu untuk yang satu ini.”

Hyun-in sangat kecewa, namun tahu tak ada lagi yang bisa dikatakannya untuk mengubah pikiran ayahnya.

Kang Ha-jong berdiri lalu menghampiri putrinya. Dirangkulnya pundak Hyun-in penuh sayang. “Jangan sesedih ini,” pintanya. “Apa kau begitu menyukainya?”

Wajah Hyun-in langsung merona. “A… Ayah! aku hanya mengidolakannya!”


Kang Ha-jong tertawa. “Bila suka pun tak apa-apa,” katanya santai. “Mengapa kau tidak menawarinya untuk menjadi model video klip lagumu? Bisa saja menawarinya untuk berduet denganmu dalam lagumu yang lain, tapi lagu-lagu itu lebih cocok untuk dinyanyikan perempuan. Jadi…kurasa bila kau memang ingin mendekatinya, jadikan dia model video klipmu.”

Wajah Hyun-in langsung bersinar cerah. “Ya, itu ide yang bagus!” katanya senang, namun juga kesal pada diri sendiri mengapa hal itu tak terpikir olehnya sebelumnya. “Terima kasih, Ayah!” ucapnya sambil memeluk Kang Ha-jong.



Sepuluh hari kemudian…



- Lapangan basket - Ulsan, Korea -   

“Yak!” seru Dong-hae girang saat berhasil melempar bolanya memasuki ring dan mencetak tiga angka yang mebuat timnya—ia, Eun-hyuk, dan Si-won—menang, mengalahkan tim Han-geng, Zhou Mi, dan Henry dalam pertandingan three on three. Para fans yang menontoni mereka dari luar pagar kawat yang mengelilingi lapangan pun menjerit senang mendukung idola mereka. Dong-hae pun menghadiahkan senyumnya yang paling menawan pada para ELF itu.

Bersama teman-temannya, ia melangkahkan kakinya menuju kursi panjang di pinggir lapangan untuk beristirahat sejenak sebelum kembali ke hotel. Belakangan ini setiap malam, setelah seharian bekerja, para member Super Junior memang sering meluangkan waktu untuk berolahraga basket di lapangan terdekat dengan hotel mereka menginap.

“Bagaimana masalahmu dengan Nona Shin Yu-ri?” tanya Henry pada Zhou Mi.

“Sudah diselesaikan. Aku menulis surat penyesalan atas ‘pelecehan’ yang kulakukan padanya dan kyu-hyun membayar sejumlah uang ganti rugi ketidaknyamanannya yang dirasakan Nona Shin,” gerutu Zhou Mi, kesal mengingat hal itu.

“Baik sekali Kyu-hyun mau membayarkan,” olok Si-won, walaupun sudah tahu bahwa memang member termuda Super Junior itulah yang menyebabkan masalah antara Zhou Mi dan Yuri.

Semua, kecuali Zhou Mi—sang korban—tertawa geli, sementara si biang kerok tak ada bersama mereka—Kyu-hyun dan Ryeo-wook memilih tetap tinggal di hotel.

“Tapi masa begitu saja minta bayaran?” komentar Eun-hyuk.

“Yeah, kalau masalah ‘pelecehan’ ini dilaporkan ke kantor polisi, juga akan menguras banyak biaya, ditambah rusaknya image Zhou Mi,” kata Han-geng. “Perdamaian dengan Nona Shin ini kurasa memang lebih baik.”

“Eh, tapi kudengar Shin Yu-ri memang agak matrealistis,” kata Sung-min.

“Benarkah?” tanya yang lain.

“Dengar-dengar dari orang kantor sih begitu,” jawab Sung-min.

“Kudenger juga, semenjak dimanageri oleh Shin Yu-ri, Dae-chi menjadi salah satu artis termahal Korea. Benarkah?” tanya Eun-hyuk.

“Ya, aku pernah melihat sebuah infotainment yang menyebutkan daftar selebritis dengan bayaran termahal, dan Uhm Dae-chi masuk sepuluh besar,” kata Si-won.

Sambil meminum air mineralnya, dan samar mendengarkan pembicaraan Zhou Mi dan yang lainnya, Dong-hae mengecek ponselnya penuh harap, namun tetap tak ada SMS balasan dari Seo-min yang ditunggu-tunggunya. Sebaliknya, yang tak disangka-sangka, justru ada sebuah SMS dari Yoo-hee yang mengucapkan selamat atas suksesnya show Super Junior M di Ulsan yang rupanya dilihat gadis itu melalui TV. Dong-hae tersenyum. Kekecewaannya atas ketidakpedulian Seo-min sedikit terobati.

“Senyum yang mencurigakan,” gumam Eun-hyuk pada Si-won, sambil menunjuk Dong-hae. “Siapa? Seo-min-mu itu?” tanyanya penasaran.

Dong-hae menoleh menatap Eun-hyuk, dan kembali cemberut. “Bukan,” jawabnya. “Tak sekalipun dia membalas SMS atau mengangkat teleponku.”

Sung-min, yang tadi tak ikut bermain dan hanya menonton di pinggir lapangan bersama para asisten member Super Junior M, berdecak. “Aku heran kenapa kau justru suka pada gadis seperti itu,” katanya. “Tidak begitu cantik, kurus, kasar, dan yang terpenting, dia tak peduli padamu. Kenapa tidak melirik gadis-gadis lain yang menaruh minat padamu?”

Dong-hae hanya mendelik ke arah “kakaknya” itu tanpa berkomentar dan kembali meminum air mineralnya sambil mengetik SMS balasan untuk Yoo-hee.

“Kang Hea-in, kakaknya, sangat cantik dan seksi. Dia mengincarmu, tahu. Kenapa tidak mencoba berhubungan dengannya? ah, atau pilihan paling sempurna, Kang Hyun-in, adiknya!” kata Sung-min bersemangat. “Gadis itu sangat manis, imut, baik hati, dan—“

“Kau saja yang memacarinya,” sela Dong-hae.

“Dia tidak tertarik padaku,” sahut Sung-min.

“He? Yoo-hee?” ucap Han-geng terkejut, saat mengintip dari balik bahu Dong-hae, melihat isi teks yang di ketik Dong-hae. “Kau masih berhubungan dengannya?”

“Sebelum aku mengacau dengan jatuh hati padanya, kami bersahabat. Sekarang hubungan kami kembali normal seperti dulu. Itu saja,”kata Dong-hae tenang. tiba-tiba ia mendesah. “Bahkan secuek apapun Yoo-hee dulu pada pendekatanku, sesekali dia masih membalas SMS-ku. Tapi kenapa Seo-min sama sekali tidak peduli?” gerutunya.

Henry tertawa. “Kenapa membandingkan mereka seperti ini? apa mungkin karena pertemuan dengan Nona Lee di Suwon kemarin memunculkan kembali rasa lama?” godanya.

“Jangan aneh-aneh. aku sudah tidak menyukai Yoo-hee dengan cara seperti itu,” bantah Dong-hae.

“Mungkin Kang Seo-min punya kekasih,” ucap Sung-min tiba-tiba.

“Apa!?” ucap Dong-hae terkejut. “Apa kau tahu sesuatu—“

“Hanya menebak,” sela Sung-min tenang. “Karena, alasan apalagi yang membuatnya mengacuhkan pria sepertimu? Mengingat kejadian dengan Yoo-hee, bisa saja dia juga sudah memiliki kekasih, kan?”

Dong-hae terdiam. Entah kenapa kemungkinan itu tak pernah terpikir olehnya sebelumnya.

“Sebelum terlibat terlalu jauh, sebaiknya kau tanyakan dulu apakah dia single atau telah memiliki kekasih,” nasehat Zhou Mi.

Han-geng duduk di kursi panjang sambil mengelap wajahnya dengan handuk kecil. “Sepertinya tak akan membuat perbedaan,” komentarnya santai. “Yoo-hee pun telah memiliki Kim Nam-gil saat Dong-hae menyukainya. kecuali Kang Seo-min telah bersuami, Lee Dong-hae tak akan mundur,” tambahnya geli.



- Rumah keluarga Kang - Seoul, Korea -   

Hea-in duduk sendirian di ruang keluarga yang remang-remang, memandangi foto keluarga di atas perapian sambil menikmati vodka.

Beberapa hari ini ia kembali berkonsultasi dengan psikiater karena tak tahan lagi dengan segala kenangan buruk itu. kenangan-kenangan buruk serta rasa takutnya memang tak mungkin hilang semudah membalikkan telapak tangan, namun setelah menjalani beberapa sesi pertemuan dengan psikiater, kini ia menjadi lebih tenang.

Hea-in kembali menyesap vodka-nya sambil menatap foto wajah ibu tirinya. Ibu Hyun-in. wanita yang baik. Hea-in pun mengakuinya, karena wanita itu sudah mencoba sebaik mungkin menjadi ibu baginya. Hea-in bukan tak menghargainya, hanya saja ia tak dapat membuka diri pada wanita itu. Di saat kematian Ibu tirinya, Hea-in pun turut bersedih dan kehilangan.  

Ibu tirinyalah yang pertama kali berinisiatif membawanya ke psikiater, setelah mengamati ada keanehan dalam ketertutupan Hea-in kecil saat itu. Ayahnya tak tahu menahu sama sekali mengenai hal tersebut. Mungkin tak peduli, pikir Hea-in sinis.

Kang Ha-jong memang membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk para putrinya, termasuk Hea-in, namun saat itu ia begitu bahagia dengan rumah tangga dan karirnya yang semakin melejit. perhatiannya seolah hanya terfokus pada pekerjaan, istri, dan putri bungsu yang paling dimanjanya. Mungkin saat itu baginya Hea-in cukup diberi pendidikan yang baik dan dipenuhi semua kebutuhan materinya, tanpa perlu perhatian yang berlebih darinya. Istrinyalah yang berusaha memberikan kasih sayang itu pada Hea-in kecil, walau gadis itu sendiri terus menolak berbagai pendekatan istri ayahnya.

Ibu tirinya jugalah yang akhirnya tahu rahasia Hea-in. dan wanita itu bersumpah tak akan pernah memberitahu siapapun, bahkan suaminya mengenai hal itu. dan memang rahasia itu dibawanya hingga mati.

Mungkin, bila ibu tirinya masih hidup, Hea-in dapat membicarakan hantu masa lalunya ini padanya. namun kini dia sendiri. tak ada sahabat atau teman yang dapat dipercaya, dan juga tak ada keluarga yang peduli padanya. ia sendirian…

“Kenapa belum tidur? bukankah pagi-pagi sekali kau harus datang ke lokasi shooting?”

Hea-in tersentak saat mendengar suara ayahnya. duduknya menjadi tegak. “Tidak bisa tidur,”gumam Hea-in.

Kang Ha-jong duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa tempat putri sulungnya itu tengah duduk. Ketegangan dan kemuraman yang dilihatnya pada diri putrinya itu memunculkan kekhawatiran dalam hatinya.

“Apakah kau memiliki masalah?” tanyanya. “Kulihat belakangan ini kau bersikap sedikit aneh.”

“Aku baik-baik saja,” jawab Hea-in acuh tak acuh—atau kesan itulah yang ia harap didengar ayahnya.

Hening sesaat. “Kau bisa menceritakan masalahmu padaku. mungkin aku bisa membereskan—“

“Tidak.” kelewat tajam, Hea-in menyesalinya. ia tak ingin menimbulkan kecurigaan pada ayahnya. “Aku bisa mengatasinya sendiri,” katanya. “Ayah benar, sebaiknya aku berusaha tidur lagi,” tambahnya, buru-buru ingin melarikan diri dari penyelidikan ayahnya.

“Hea-in,” panggil Ha-jong lembut sembari berdiri dan menangkap pergelanan tangan putrinya. “Aku tahu… mungkin sikapku selama ini tak mencerminkan seorang ayah yang baik… tapi kau tetap putriku, dan aku ayahmu. Apapun yang mengganggumu juga menggangguku. Berjanjilah kau akan datang padaku bila menemui masalah sulit.”

Tubuh Hea-in sekaku batu. Pegangan lembut tangan ayahnya yang besar di pergelangan tangannya menguarkan kehangatan… sesuatu yang sudah lama tak diterimanya. Dan nada bicaranya… begitu lembut dan tulus. Seolah bersungguh-sungguh. Mungkinkah…? batin Hea-in bertanya-tanya ragu.

Perlahan Hea-in berputar menghadap Ayahnya. “Terima kasih,” ucapnya kaku. “Tapi tak ada masalah yang terlalu sulit untuk kuatasi sendiri.” Bohong. Hatinya menjeritkan kata itu, namun ia memang harus bisa mengatasinya. Ia harus kuat. Walau tanpa bantuan siapapun, ia harus bisa menjaga diri sendiri.

Seukir senyum bangga menghiasi wajah Kang Ha-jong saat ia melepas pegangannya. Pria itu mengangguk. “Ya, pasti begitu,” ucapnya memuji. “karena kau Kang Hea-in. tak ada satupun anggota keluarga Kang yang lemah. aku yakin kau pasti bisa mengatasi segala masalahmu sendiri. namun aku hanya ingin kau ingat, bahwa ayahmu selalu siap membantu.”                                                                                                                            

Hea-in mengangguk singkat. “Selamat malam,” ucapnya, lalu melanjutkan langkahnya menuju kamarnya di lantai dua. Ya, aku kuat. Selama ini aku pun sendirian dan bisa mengatasi segalanya sendiri. Aku kuat. Aku tak akan hancur hanya karena satu telepon dari masa lalu… ucapnya dalam hati, meneguhkan tekad.



- Studio 7 - Lokasi shooting -   

“Akhirnya kau datang juga,” sapa Dong-hae begitu melihat Seo-min muncul di lokasi shooting. Pagi ini ia sudah mulai shooting seperti biasa, dan telah mengirimi SMS pada Seo-min untuk memintanya datang, namun tak juga mendapat balasan.

Seo-min yang berpakaian serba kulit hitam seperti biasa, berdeham canggung sambil duduk di kursi sutradara, selagi sepupunya sang sutradara tak ada di tempat. “Aku datang karena memang ingin, bukan karena kau yang seenaknya memerintahku,” katanya ketus.

Dong-hae berjongkok di hadapan Seo-min dan menatap gadis itu lekat-lekat, membuat Seo-min jengah dan sedikit gelisah. “Katakan padaku,” kata Dong-hae serius.

“Katakan apa!?”

“Apa kau memiliki kekasih?”

Sesaat Seo-min terdiam tak mengerti. “Tentu saja tidak, tapi—“

“Bagus!” seru Dong-hae girang, lalu tiba-tiba, tanpa diduga meraih tangan kanan Seo-min dan mengecup punggung tangan gadis itu. “Kalau begitu aku tak perlu melepasmu.”

Seo-min benar-benar tercengang. Tak pernah ada pria yang melakukan ini padanya sebelumnya. semanis ini… seperti tokoh-tokoh pria yang hanya ada di film dan novel…

Segera tersadar dari keterkejutan dan keterpesonaannya, Seo-min cepat-cepat menarik tangannya dan mendorong Dong-hae hingga jatuh terduduk. “Jangan seenaknya menyentuhku!” bentak Seo-min sambil berdiri dan berderap menjauh dari Dong-hae yang tertawa.

“Hei! Seo-min! kang Seo-min! tunggu!” panggil Dong-hae sebelum bergerak menyusul gadis yang diincarnya itu.

Di sekitar mereka, beberapa kru dan pemain yang melihat kejadian itu berseru menggoda keduanya. Hyun-in yang baru datang, khusus untuk menemui Dong-hae, terdiam di ambang pintu. senyuman yang sebelumnya merekah di bibirnya menghilang seketika.

Hea-in yang mengamati semua itu dari seberang ruangan; baik Seo-min dan Dong-hae, juga Hyun-in, tertawa tanpa rasa humor. Satu pria, dengan dua wanita… tidak, tiga, karena dirinya pun dihitung. Tapi hanya satu yang akan berakhir bersama pria itu. aku, batin Hea-in percaya diri.

Mae-ri, asisten Hea-in bergerak mendekatinya. “Aku sudah mengatur pertemuanmu lagi dengan  Nyonya Bong jam dua nanti,” katanya melapor. Nyonya Bong adalah psikiater yang menangani Hea-in.

Melihat anggukan artis itu, Mae-ri tersenyum sambil membungkukkan tubuh berbisik pada Hea-in. “Cek akun twitter-mu,” katanya. “Ada kejutan.”

“He? Apa?” tanpa menjawab, asisten Hea-in segera membukakan laptopnya dan memasang modem.


GaemGyu ChoKyuHyun
Sabun wajah **** sangat bagus! Wajahku langsung berkilau karena memakainya. Hei, para gadis, kusarankan kalian juga memakainya bila ingin terlihat secantik @LadyK01

LadyK01 adalah akun twitter Hea-in. Tanpa sadar wanita itu tertawa. Tawa tulus pertamanya setelah berhari-hari.

“Kata-katanya langsung menciptakan kehebohan, terutama di kalangan para ELF,” kata Mae-ri geli. “Mereka bertanya-tanya apakah terjadi cinta lokasi diantara kalian.”

“Ada-ada saja,” komentarku, masih geli. Merek sabun wajah yang disebut Kyu-hyun adalah produk terbaru yang memakaiku sebagai bintang iklannya.

“Yang tadi itu dia buat semalam. Pagi tadi, mungkin karena melihat banyaknya tanggapan, dia menulis yang baru lagi.


GaemGyu ChoKyuHyun
@LadyK01 memang sangat cantik. siapa yang bisa tidak suka padanya?


“Nah, ini sama saja menyiram minyak ke dalam api,” komentar Hea-in, menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Selamat pagi.”

Hea-in tersentak kaget saat tiba-tiba Kyu-hyun muncul di sebelahnya, membungkukkan tubuh agar dapat ikut melihat layar laptop.

Kyu-hyun menoleh memandangi wajah cantik Hea-in sambil menyunggingkan senyum nakalnya. “Oh sudah lihat?”

“Hmm,” gumamnya acuh tak acuh. “Terima kasih karena sudah membantu mempromosikan produk yang kubintangi, tapi sebaiknya jangan diulangi lagi. aku tidak mau digosipkan dengan anak kecil,” tambahnya santai dan sempat memberikan senyum manis sebelum beranjak pergi dari tempat itu.

Kyu-hyun mendengus kesal. “Dia mengataiku anak kecil!?” umpatnya kesal.


- KK Entertainment - Ruang latihan -

“Suaramu terlalu pelan dan rendah,” kritik Kyu-hyun, sekali lagi berhenti di tengah latihan menyanyinya dan Hyun-in yang dimulai hari ini.

Kecemburuannya pada pemandangan mesra Dong-hae dan Seo-min yang dilihatnya pagi tadi, dan ditambah kritikan bertubi Kyu-hyun sejak awal latihan terhadap caranya bernyanyi, membuat emosi Hyun-in tak terkendali lagi.

“Kau pikir kau yang terbaik!? Jangan berlagak serba tahu! Urusi saja urusanmu sendiri! pelatih pun tidak mengoreksiku!”

Kyu-hyun bersedekap. “Aku memang tahu,” katanya percaya diri. “Ini juga urusanku karena kita akan berduet, yang berarti menjadi satu tim. Kesalahan yang kau buat akan membuat jelek bagianku juga—“

“Diam!”

“Hei, apa kau selalu kekanakan seperti ini!?” emosi Kyu-hyun ikut terpancing. “Aku hanya ingin—“

“Baiklah, baiklah, ada apa ini?” sela Kang Bo-jong santai, sembari berjalan memasuki ruang latihan.

“Sudah kubilang dia bukan penyanyi yang tepat untuk berduet denganku!” kata Hyun-in tajam, lalu berderap keluar ruangan.

“Hyun-in, tunggu sebentar… Hyun-in!” panggil Bo-jong.

“Ada apa dengannya sebenarnya?” tanya Kyu-hyun, lebih pada diri sendiri. sedetik kemudian pria muda itu memutuskan untuk menyusul Hyun-in.

“Hah… anak muda,” desah Bo-jong, yang ditanggapi dengan ringisan sang pelatih yang sejak tadi hanya bisa terdiam menyaksikan perdebatan di depannya.



Semuanya salah! jerit Hyun-in dalam hati. Semuanya kacau! Seharusnya kak Dong-hae tidak bertemu kak Seo-min! seharusnya dia tidak menyukai kak Seo-min! seharusnya kak Dong-haelah yang berduet denganku! Seharusnya Paman memilih kak Dong-hae, bukan Kyu-hyun! seharusnya…

“Hei! Aku bicara denganmu! hei!” panggil Kyu-hyun kesal. Akhirnya berhasil ditangkapnya pundak gadis itu.

“Aku tak mau bicara denganmu!”

“Berhentilah bersikap kekanakan!” bentak Kyu-hyun.

Hyun-in tersentak kaget. Matanya membesar. Tak pernah ada yang membentaknya sebelumnya. tidak orang-orang bermuka dua itu, kedua kakaknya, apalagi orangtuanya. Seo-min memang sering bicara dengan nada kasar yang tinggi, tapi tak pernah dimaksudkan untuk membentaknya. Hea-in mungkin sering mengganggunya, namun tak pernah meneriakinya.

“Aku tidak tahu apa masalah yang sedang menggangu pikiranmu, tapi bila kau memang ingin menekuni bidang ini, maka seriuslah! Professional!” tegas Kyu-hyun. “jangan biarkan masalah apapun mengganggu konsentrasimu. Aku mengkritikmu bukan tanpa alasan, dan kau pun sebenarnya tahu itu, kan!?”

Hyun-in terdiam, terpaku memandangi keseriusan yang langka dilihatnya di pemuda di hadapannya itu.

Kyu-hyun mengacungkan tangannya, menunjuk ruang latihan. “Pelatih itu mungkin kasihan melihat wajahmu yang seperti akan menangis, atau mungkin terlalu takut menegur anak bosnya hingga tidak memberitahumu kesalahanmu. Tapi aku tidak mau seperti itu. kau boleh mengatakan aku jahat, aku tak peduli, tapi tadi kau memang melakukan banyak kesalahan.” Setelah selesai memuntahkan ceramahnya, Kyu-hyun berbalik pergi, meninggalkan Hyun-in.

Hyun-in menunduk menatap kedua tangannya yang saling meremas. Ya, sebenarnya, di lubuk hatinya Hyun-in mengakui banyaknya kesalahan yang dibuatnya semasa latihan tadi. Kyu-hyun juga benar tentang bagaimana ia harus bersikap professional bila menginginkan profesi ini. dia memang tahu, seperti katanya. dia memang benar. Tapi dia, Cho kyu-hyun, tidak tahu bagaimana sakit hatiku sekarang! pikir Hyun-in marah.

Mengangkat kepala, Hyun-in menatap ke depan, ke punggung Kyu-hyun. “Kau menyukai kakakku?” tanyanya dengan suara selantang mungkin.

Seketika langkah Kyu-hyun terhenti. Perlahan, ia memutar tubuhnya untuk kembali menghadap Hyun-in.

“Aku juga melihat mention-mu untuk kak Hea-in,” ucapnya, dengan ketenangan yang mengagumkan setelah ledakan emosinya sebelumnya.

“Hmm. Lalu?” tanya Kyu-hyun acuh tak acuh.

“Sayang sekali, kau tak mungkin mendapatkannya,” kata Hyun-in dengan sengaja membuat nada suaranya terdengar misterius, lalu berputar dan berjalan pergi, ganti meninggalkan Kyu-hyun terdiam di tempatnya.

“Kenapa?” tanya Kyu-hyun pada akhirnya dengan suara lantang. “Kau tak mungkin bisa seyakin itu—“

“Oh, aku sangat yakin. karena aku mengenalnya,” sela Hyun-in lembut. Gadis itu kembali menghentikan langkahnya dan setengah berputar menghadap Kyu-hyun. “Dia tak akan pernah menyukaimu, karena kau bukan pria yang kusuka.”



- Rumah Dong-hae -    

Keluar dari mobilnya, Hea-in melangkah menuju rumah bergaya minimalis di hadapannya.  Ia mendorong pagar kayu yang terbuka, dan mengarah ke pintu. dilepasnya kacamata cokelat besarnya sambil memencet bel, lalu mengamati sekelilingnya. ada sebuah mobil lain di belakang mobil Dong-hae yang terparkir di halaman. Apa dia punya dua mobil? Pikir Hea-in.

Selama seminggu ini ia begitu sibuk sehingga hampir-hampir tak punya waktu untuk merayu Dong-hae. dan setiap kali Seo-min datang ke lokasi shooting, sepertinya kedua orang itu semakin dekat saja. ini berbahaya. Ia lah yang harus mendapatkan Dong-hae, bukan saudarinya.

Karena ini hari libur, Hea-in memutuskan untuk melancarkan segala jurus rayuannya. bahkan dengan sengaja ia telah berdandan secantik mungkin hari ini dengan blus putih yang melekat ketat di tubuhnya, yang dua kancing teratasnya sengaja dibukanya untuk memperlihatkan belahan dada, dan celana panjang cokelat muda serta sepatu sandal putih yang memperlihatkan kuku-kukunya yang diberi kuteks berwarna oranye. Rambut cokelat sebahunya dibiarkannya tergerai bebas.

“Hea-in!?” ucap Dong-hae terkejut saat membuka pintu rumahnya.

“Selamat siang,” sapa Hea-in menggoda. “Boleh aku masuk?”

“Eh? ya, ya, tentu saja,” kata Dong-hae, masih sedikit kaget. “Masuklah. Apa yang membawamu kemari? Ah, bagaimana kau bisa tahu alamatku?”

Hea-in masuk, melepas sepatu sandalnya, dan memiringkan kepalanya sembari menyunggingkan senyum. “aku mencari tahu alamatmu dari kantor ayahku.”

“Hmm.begitu,” komentar Dong-hae sedikit canggung.

“Aku hanya ingin bertemu denganmu. apa tidak boleh?” ia balik bertanya, tapi belum sempat Dong-hae menjawab, Hea-in keburu bicara lagi. “Aku mencium aroma masakan. Kau sedang memasak sesuatu?”

“Eh, itu—“

“Akhirnya datang juga!—“ Dae-jia yang menghambur ke ruang tamu segera menghentikan seruannya saat akhirnya melihat bahwa yang datang bukanlah tamunya. “Eh, kukira kak Si-won dan yang lain sudah datang,” ucapnya. Ditatapnya Hea-in penasaran. “temanmu?”

Hea-in balik mengamati Dae-jia. ia kenal gadis itu. salah satu member Aquamarine, grup duo yang namanya hampir selalu menjadi buah bibir sepanjang tahun lalu. dimulai dari skandal Cha Shin-woo—member Aquamarine yang lain—dengan Lee-teuk dan Eun-hyuk, sampai, yang paling mengejutkan, pernikahan Park Dae-jia dan Choi Si-won beberapa bulan lalu—padahal masa pacaran mereka tak diketahui public sama sekali.

“Hmm,” gumam Dong-hae menjawab tak jelas, karena sebenarnya ia pun tak yakin apa sebutan yang tepat untuk hubungannya dengan Hea-in. “Hea-in, perkenalkan ini—“

“Aku mengenalnya,” sela Hea-in luwes. Wanita itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Dae-jia. “Kang Hea-in, lawan main Dong-hae.”

“Park Dae-jia,” sambut Dae-jia ramah. “Ah, aku ingat sekarang! Aku pernah melihatmu dan adikmu dulu di acara ulangtahun KK Entertainment. Aku juga sering melihat iklanmu di TV,” katanya.

Hea-in menanggapinya dengan tersenyum. “Apa kalian sedang mengadakan pesta? Apakah aku mengganggu?”

“Bukan pesta seperti itu, hanya acara kumpul-kumpul biasa,” kata Dae-jia, sebelum Dong-hae sempat menjawab. “Kehadiranmu akan menambah seru pertemuan kali ini, jadi tak perlu khawatir akan mengganggu. ayo, masuk,” ajaknya.

“Park Dae-jia, kalau boleh kuingatkan, ini rumahku,” kata Dong-hae semanis madu.

Dae-jia tersenyum lebar sambil menggelayuti lengan Dong-hae manja. “Tentu saja. begitu saja ngambek.”

“Aku tidak ngambek,” protes Dong-hae. “Memangnya aku anak kecil?” gerutunya.

“Sudahlah, ayo! Nona Lee akan marah kalau kita tidak segera melanjutkan membantunya memasak,” kata Dae-jia sambil menarik Dong-hae yang pasrah masuk ke dalam. “Kak Hea-in, ayo!”

Ada rasa tidak senang dalam hati Hea-in mengamati keakraban Dae-jia dan Dong-hae. ya, mereka berteman, dan Dae-jia istri Si-won, sahabat Dong-hae. tapi apa lantas membuat keduanya sedekat itu? bila tak tahu Dae-jia sudah bersuami semua juga pasti akan mengira ada sesuatu diantara keduanya, batin Hea-in kesal.

Memasuki dapur, yang berdekatan dengan ruang makan, terlihat Dong-hae sibuk mengatur peralatan makan di meja, sementara Dae-jia dan seorang gadis lain yang tadi disebut Dae-jia sebagai “Nona Lee” sedang mengolah bahan masakan di counter dapur.

Menaruh tas tangannya di kursi, Hea-in melangkah semakin masuk ke dapur. “Ada yang bisa kubantu?” tanyanya.

“Ah, tak perlu. Duduklah di ruang tengah. Santai saja,” tolak Dong-hae halus. Sebenarnya, ia tak yakin Nona Besar seperti Hea-in bisa memasak. Mungkin malah akan menggerecoki Yoo-hee dan Dae-jia, pikirnya.

Hea-in mendengus pelan. ia menyadari Dong-hae meragukan kemampuannya, namun hal itu justru membuatnya semakin ingin membuktikan diri. Ia telah belajar memasak semenjak usia enam tahun, dari yang termudah untuk dimasak hingga akhirnya semakin pandai membuat beragam masakan. Semua itu karena ibunya yang hampir tak pernah ada di rumah untuk membuatkannya masakan. Ibunya memakai jasa catering, dan berpikir tak ada gunanya memasak sendiri. Saat tinggal dengan Ayahnya, memang ada koki khusus yang bertugas memasak, namun Hea-in sering mendatangi koki itu agar dibiarkan memasak bersamanya.

Beberapa menit kemudian—setelah Hea-in berkenalan dengan Lee Yoo-hee, manager Aqumarine—Dong-hae memang dibuat terkejut oleh keahlian Hea-in di dapur. wanita itu mencincang bawang putih dan bawang Bombay dengan kecepatan dan kelihaian bagai seorang Chef ahli.

Hea-in menyembunyikan senyumnya saat memasukkan minyak cabe, cabe bubuk, juga bawang putih dan bawang Bombay yang dicincangnya tadi ke dalam wajan. Ia sadar Dong-hae terus memperhatikannya. Bagus. Lihat aku, dan bertekuk lututlah padaku, batin Hea-in.

“Dong-hae, coba cicipi ini,” kata Yoo-hee. “apakah menurutmu ada yang kurang?”

Hea-in yang sedang menumis, segera menoleh, dan melihat pria incarannya mendekati wanita berpakaian serba putih dan berambut hitam panjang itu.

“Ahh… panas!” keluh Dong-hae saat baru mencoba sedikit dari sesendok samgyetang yang disendok Yoo-hee.

Yoo-hee meniupkan sup ayam ginseng di sendok itu dengan telaten, dan menyuapkannya pada Dong-hae yang telah menunggu dengan wajah penuh harap. “Bagaimana?”

“Hmm… enak! Enak sekali! kau memang yang terbaik!” puji Dong-hae sambil mengacungkan kedua jempolnya pada Yoo-hee. “Sering-seringlah datang ke mari dan memasak untukku.”

“Kau pikir aku pelayanmu?” sindir Yoo-hee sambil melanjutkan acara memasaknya.

Satu lagi pemandangan mencurigakan, batin Hea-in sambil mengerutkan kening. Tak pernah dilihatnya Dong-hae seperti ini sebelumnya. begitu bebas dan santai. Nyaris kekanakan. Dong-hae yang selama ini dilihatnya adalah Dong-hae yang tampan dan seorang idola. Yang ramah, sopan, menjaga jarak—padanya—dan perayu—bila bersangkutan dengan Seo-min. kenapa dia bisa sesantai ini di dekat Lee Yoo-hee? Apakah ada sesuatu di antara mereka? tapi bukankah Dong-hae menyukai Seo-min?

Dae-jia yang mengamati cara pandang Hea-in pada Dong-hae dan  Yoo-hee, mendekati wanita itu dan berbisik. “Kau menyukai kak Dong-hae, ya?” tebaknya, sedikit mengejutkan Hea-in. Dae-jia tersenyum lebar. “Tenang saja, tak perlu cemburu. Kak Dong-hae dan Nona Lee itu masa lalu. mereka hanya sahabat biasa sekarang.”

Perkataan Dae-jia yang dimaksudkan untuk menenangkannya justru menimbulkan reaksi sebaliknya dalam diri Hea-in. Masa lalu terkadang belum benar-benar berlalu… kini di matanya, Lee Yoo-hee juga seorang saingan yang harus disingkirkan. Hea-in akan memastikan rasa apapun yang masih tersimpan di dalam hati Dong-hae untuk Lee Yoo-hee akan hilang tanpa bekas. Tapi bagaimana caranya, sedangkan pria itu mengacuhkanmu? bisik hatinya.

Hea-in nyaris mengerang. Sial. memang tidak mudah, tapi aku pasti bisa. Lee Dong-hae juga pria biasa. Sama seperti yang lain, dia juga akan terpesona padaku. nanti… yakinnya pada diri sendiri

Sekitar sejam kemudian, teman-teman Lee Dong-hae berdatangan. Shin-dong, Ye-sung Ryeo-wook, dan Kyu-hyun. Pasangan Eun-hyuk dan Shin-woo tidak jadi datang dengan alasan ada keperluan mendadak, entah apa. dan Dae-jia kelihatan kecewa karena suaminya tidak bisa hadir sesuai rencana karena pekerjaannya.

“Wah, senang bisa melihatmu di sini, Hea-in,” sapa kyu-hyun begitu melihat wanita incarannya.

“Panggil aku kakak,” kata Hea-in tegas. Cepat-cepat wanita itu mengambil tempat duduk di sebelah Dong-hae, membuat Yoo-hee yang tadinya berencana duduk disitu mengerutkan kening heran sembari mengambil tempat duduk lain. tapi sialnya bagi Hea-in, Kyu-hyun juga buru-buru mengambil tempat di sisi kanannya.

“Selamat makan!” kata Dong-hae dan teman-temannya.

“Cobalah dulu sundubu jjigae buatanku,” bujuk Hea-in ketika melihat Dong-hae mau menyuap Samgyetang buatan Yoo-hee tadi.

Dong-hae menatap wajah Hea-in, dan sesaat silau oleh kilauan senyum wanita itu. “Baiklah,” setujunya.

“Biar kusiapkan,” kata Hea-in, lalu dengan cepat menyendokkan seporsi sundubu jjigae ke mangkuk Dong-hae. “Silakan,” katanya

“Aku juga,” pinta Kyu-hyun, menyodorkan mangkuknya pada Hea-in.

Tersenyum dingin pada pemuda itu, Hea-in mendorong mangkuk tersebut kembali pada Kyu-hyun. “Kau bisa mengambil sendiri, kan?”

“Enak,” gumam Dong-hae, sedikit terkejut. segera saja Hea-in menoleh kembali  pada pria incarannya itu. senyum tulus yang sarat kepuasan dan rasa bangga tersungging di bibirnya.

“Benarkah? kau suka?” tanya Hea-in.

Dong-hae tersenyum. “Sangat suka.”                                      

Deg deg deg… senyumnya… entah kenapa tiba-tiba jantung Hea-in berdebar hanya dengan melihatnya tersenyum semanis dan setampan itu. kau hanya akan menaklukkannya, bukan jatuh cinta padanya, Hea-in mengingatkan diri sendiri.

“Baguslah,” komentar Hea-in riang. “Makan sebanyak-banyaknya. Aku bisa membuatkannya lagi bila kau ingin.”

“Terima kasih, Hea-in.”

“Bagaimana kalau aku minta dibuatkan juga?” tanya Kyu-hyun, pantang menyerah.

Senyum Hea-in berganti menjadi ringisan kesal saat ia mendelik ke arah pemuda di sebelahnya itu. “Masih perlu menanyakan jawabannya?” tanyanya dengan kemanisan menipu, membuat Kyu-hyun merengut kesal.



- KLUTCH -     

Berjalan memasuki club dengan langkah bagai pragawati, Hea-in tersenyum ke arah teman-temannya yang telah menunggu.

Malam ini salah seorang temannya sesama artis mengadakan ulangtahun ke dua puluh tujuh, dan Hea-in yang masih dalam suasana hati yang bagus karena cukup suksesnya rencana pendekatannya pada Dong-hae siang tadi di rumah pria itu—walau terganggu dengan kehadiran teman-temannya—memutuskan untuk berbaik hati datang ke acara tersebut.

Saat sedang duduk di bar, menunggu bartender memberikan margarita pesanannya, Hea-in mengecek ponselnya. Wajah cerianya berubah muram saat melihat panggilan dari nomor yang telah dikenalnya. Nomor Ibunya. Cepat-cepat dilepasnya baterai ponselnya dan melemparnya sembarangan ke dalam tas.

Hea-in menghembuskan napas lelah sambil menyesap pesanan minumannya yang telah jadi. Rasa asin garam yang disajikan di bibir gelas tercecap olehnya sebelum tercampur dengan rasa minumannya. Aku baik-baik saja, katanya pada diri sendiri dalam hati. hari ini aku amat senang. telepon tadi tidak mempengaruhiku.

Seorang pria mengambil tempat duduk di sebelah kiri Hea-in, membuat wanita itu meliriknya, dan tersentak kaget saat mengenali siapa orang tersebut.

“Kau…”



To Be Continued...


By Destira ~Admin Park~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar