Kamis, 21 Juli 2011

Is This Love? -Chap 5-

Chapter 5




-Kantor OK Group-

“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau mengatakan hal itu?” tuntut Hea-in marah, sesaat setelah mereka berada di ruang direktur.

Taec-yeon mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh, “Memangnya aku berbuat apa? aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”

“Hya! Ini semua kesalahpahaman, dan kau tau itu.”

“Nona Hea-in!” Taec-yeon bersedekap dan bersandar di depan mejanya, “cara bicaramu padaku semakin kurang ajar saja. Apa kau lupa aku ini siapa?”

Hea-in mendengus, “Kalau kau berlaku sebagaimana seorang atasan dan tidak memperlakukan karyawanmu seenaknya, aku pasti akan memperlakukanmu layaknya seorang atasan,” komentar Hea-in pedas.

“Wah...wah...sebegitu marahkah kau padaku karena kejadian tadi. Hingga kau berani berkata begitu,” balas Taec-yeon sambil berjalan mendekat ke arah Hea-in berdiri saat ini, “Apa kau takut Song Seung-hun cemburu karena aku mengatakannya dan kau tidak bisa menjalin hubungan dengannya apabila ia tau kau calon istriku?” katanya tepat di telinga Hea-in, membuat Hea-in mundur beberapa langkah. “Kenapa kau mundur? Apa kau takut padaku?” tantang Taec-yeon membuat Hea-in mendelik marah dan menghentikan langkahnya membiarkan Taec-yeon mendekat, untuk memperlihatkan bahwa dirinya sama sekali tidak takut pada pria itu. Kini mereka hanya berjarak beberapa centi saja dan saling berhadap-hadapan dengan beradu pandangan tajam, seolah-olah dengan hanya beradu pandang mereka dapat mentranfer kekesalan masing-masing.

Cukup lama, mereka saling berpandangan, hingga suara pintu dibuka membuat mereka terkesiap dan sontak saling menjauh dengan memalingkan wajah masing-masing. “Oh...rupanya aku datang di saat yang kurang tepat,” Tuan Ok Gi-taek berkomentar.

“Ayah...jangan salah paham dulu!” sergah Taec-yeon.

“Teruskan saja pembicaraan kalian,” kata Tuan Ok, “Mari Tuan Song, sebaiknya kita langsung ke ruang produksi saja,” Tuan Ok berkata pada Song Seung-hun, yang saat ini masih memandang  penuh curiga ke arah Hea-in dan Taec-yeon.

“Ah...tunggu Tuan Ok!” tahan Hea-in saat Seung-hun mulai membukakan pintu bagi Tuan Ok.

Tuan Ok menghentikan langkahnya dan berputar menghadap Hea-in, “Ada apa Nona Kang?”


“Kalau anda dan Tuan Song akan ke ruang produksi, biarkan saya ikut serta. Karena saya juga akan menuju ke ruang produksi dan bertemu dengan manajer pengembangan produk untuk mencobakan formula baru saya.”

“Oh...jadi pembicaraan kalian sudah selesai, baiklah kalau begitu, ayo kita ke sana sekarang,” ajak Tuan Ok. “Taec-yeon, kau tidak ikut?” tanyanya pada Taec-yeon.

“Tidak Ayah, aku ada urusan di luar,” balas Taec-yeon, masih dengan nada kesal.

“Baiklah kalau begitu,” kata Tuan Ok, “kuharap urusanmu di luar itu bukan urusan sia-sia,” tambahnya membuat Taec-yeon semakin kesal.



-Seoul Medical Centre-

“Tolong sampaikan pada kakakmu, nanti diharap untuk menemuiku di ruangan,” kata Ah-ra pada Hyo-hee setelah ia memeriksa keadaan Hyo-jin. Hari ini adalah hari Sabtu, dan Hyo-hee sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi adiknya di Seoul, karena ia khawatir Hea-in tak punya waktu luang dan kecapean bila harus menjaga Hyo-jin seorang diri di rumah sakit.

“Baik Dok, nanti saya sampaikan pada Kakak,” balas Hyo-hee sopan.

“Dokter, apakah aku sudah bisa pulang?” tanya Hyo-jin pada Ah-ra penuh harap.

Ah-ra tersenyum menenangkan, “Nanti pasti Nona Hyo-jin akan pulang. Tapi, tunggu sampai keadaanmu sehat dan lebih kuat lagi ya,” jawab Ah-ra diplomatis, “apa Nona Hyo-jin sudah bosan di rumah sakit?”

Hyo-jin mengangguk, “Iya Dok, aku benar-benar sudah bosan. Aku ingin segera kembali ke rumah dan bersekolah lagi.”

Ah-ra hanya tersenyum penuh simpati menanggapi perkataan Hyo-jin, “Nona Kang, tolong disampaikan ya,” Ah-ra kembali mengingatkan Hyo-hee.

Hyo-hee mengangguk, “Iya Dokter.”

Saat Ah-ra baru saja akan berputar untuk meninggalkan ruangan itu, ia menangkap pemandangan yang membuatnya terpaku. Sebuah keranjang berisi makanan kecil dan roti berbentuk parcel mini berada di atas lemari di sebelah tempat tidur Hyo-jin. Bukan itu yang membuat dirinya kaget, tulisan dan pesan di parcel itulah yang membuatnya tak percaya.


“Semoga Lekas Sembuh”

-Ok Gi-taek and Family-


Sekali lagi ia membaca tulisan itu, tapi tulisan itu masih tetap saja sama. “Ada apa Dok?” tanya Hyo-hee heran, saat melihat Ah-ra tiba-tiba mematung.

“Oh...tidak ada,” kilah Ah-ra sembari menyembunyikan wajah kagetnya dan buru-buru keluar dari ruangan itu. ia menyandarkan dirinya di pintu setelah menutup pintu kamar Hyo-jin dan menerawang. Ok Gi-taek, adalah nama Ayah Taec-yeon. Ia benar-benar heran mengapa nama itu ada di kartu nama untuk Kang Hyo-jin. Tapi tiba-tiba sesuatu melintas di kepalanya. Jadi benar, memang ada hubungan khusus antara Nona Kang Hea-in dan Taec-yeon, batinnya menerka-nerka. Kembali terlintas di ingatannya, saat malam itu ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri Taec-yeon tengah memeluk Kang Hea-in mesra. Hatinya bergemuruh, sakit dan membuatnya sesak. Tapi ia sadar, dirinya dan Taec-yeon sudah tak memiliki ikatan lagi yang memberinya hak untuk melarang Taec-yeon berhubungan dengan wanita lain. Terlebih wanita itu, sudah direstui oleh kedua orang tua Taec-yeon. Hal yang sangat diinginkan olehnya sejak dulu.

Tanpa ia sadari, air matanya sudah menetes di kedua pipinya. Saat tangannya sudah terangkat untuk menghapus bekas air mata itu, tiba-tiba seseorang datang dengan menyodorkan sebuah tissue bersih padanya. “Kau butuh ini?”

Ah-ra mendongak untuk menatap siapa yang datang. Seorang pria tampan, memakai T-shirt berwarna biru donker yang tengah menyodorkan tissue itu tersenyum penuh simpati. “Tuan Park?” gumam Ah-ra terperangah, “sejak kapan kau berada di sini?”

“Tidak lama, aku baru saja tiba dan melihatmu sedang menunduk sendiri di sini,” kata Jung-soo menjelaskan, “saat kudekati ternyata kau sedang menangis. Apa terjadi sesuatu?” Jung-soo bertanya khawatir.

Ah-ra menggeleng, “Tidak ada,” kilahnya, “Aku hanya lelah.”

Jung-soo jelas tak percaya dengan alasan yang diberikan Ah-ra barusan. Tapi ia memutuskan untuk diam saja dan tak mengungkit masalah itu lagi, karena ia tak ingin Ah-ra menjadi semakin sedih bila harus membicarakan hal yang tak ingin diungkapkannya itu.

Ah-ra berdeham singkat, “Bukankah Tuan Kim Hee-chul sudah pulang?” mulai Ah-ra sedikit canggung, setelah beberapa saat terjadi kesunyian.

“Ah...ya, dia memang tak terlalu suka berada di rumah sakit,” balas Jung-soo sembari tersenyum kikuk.

“Apakah terjadi sesuatu dengan dr. Park?” tanya Ah-ra menanyakan kemungkinan lain Park Jung-soo berkunjung ke rumah sakit ini.

Jung-soo menggeleng, “Tidak,” jawabnya singkat.

“Lalu?” Ah-ra menatap Jung-soo penuh tanya.

“Lalu apa?” Jung-soo pura-pura tak mengerti maksud Ah-ra, padahal sesungguhnya ia hanya ingin menggoda gadis itu.

“Lalu untuk apa anda datang kemari?” Ah-ra berhasil bertanya.

“Apa aku harus meminta ijin padamu untuk datang ke rumah sakit?” Jung-soo balas bertanya. Ia menyembunyikan seringai puas di sudut bibirnya melihat reaksi Ah-ra. Kedua pipinya memerah karena malu dan canggung. Ia sangat suka melihat gadis itu saat sedang malu. Menurutnya, ia semakin tampak manis.

“Errr...bukan begitu,” gumam Ah-ra, bingung. “Maksudku, anda tidak biasanya berkunjung kemari, karena setahuku anda tak suka berada di sini dan sama sekali tak berminat.”

“Wah...tak kusangka, ternyata kau tau banyak tentang aku,” balas Jung-soo senang, ia semakin geli melihat pipi Ah-ra yang semakin memerah.

“M-maksud anda?” protes Ah-ra.

“Rasanya aneh sekali jika mendengarmu bicara dengan kata-kata sopan seperti itu,” komentar Jung-soo santai tanpa menjawab pertanyaan Ah-ra.

“Eh?”

Kali ini Jung-soo tak dapat menyembunyikan seringainya, “Kau memang benar, aku tak suka dan sama sekali tak berminat di bidang ini,” aku Jung-soo jujur, “tapi, aku kemari untuk menemui calon istriku,” tambahnya membuat pipi Ah-ra semakin merah dan terasa panas karena malu.

“Kau?!” balas Ah-ra cemberut. Mendengar kata-kata Jung-soo itu, tentu saja sedikit banyak membuatnya merasa tersanjung. Jadi dia kemari untuk menemuiku?

“Mulai sekarang, tak perlu berkata dengan kata-kata sopan lagi padaku. Karena kurasa, itu seperti membuat jarak di antara kita,” saran Jung-soo sembari tersenyum dengan lesung pipi menghiasi kedua pipinya. Hal itu, mengingatkan Ah-ra pada mantan kekasihnya Taec-yeon. Ah-ra menggeleng, karena lagi-lagi bayangan Taec-yeon yang merasuk di pikirannya. “Ada apa?” tanya Jung-soo heran, saat melihat Ah-ra tiba-tiba menggeleng.

“Oh...tidak ada,” dustanya.

“Kau pasti belum makan siang,” Jung-soo berkata sembari melirik jam tangannya yang kini menunjukkan pukul setengah satu siang, “bagaimana kalau kita makan siang bersama?” tawarnya yang membuat Ah-ra terpaksa menerima tawaran Jung-soo dengan mengangguk setuju. “Kita makan siang dimana?”

“Sebaiknya di kantin rumah sakit saja,” ujar Ah-ra, “karena sore ini aku masih harus bertemu dengan keluarga pasien,” ia beralasan.

Jung-soo mengangguk, “Baiklah,” katanya setuju. Ia tak peduli makan siang dimana pun, yang penting hari ini ia bisa bersama dengan Ah-ra. Hal itu sudah cukup untuk membuatnya senang.

Saat mereka baru saja melangkah untuk menuju ke kantin rumah sakit. Ah-ra terperanjat, saat melihat Ok Taec-yeon sedang berdiri di ujung lorong tengah memperhatikannya dengan Park Jung-soo. Sejenak ia mematung memandang lelaki yang dicintainya itu, sebelum akhirnya Jung-soo mencolek lengannya dan membuatnya tersadar bahwa ia telah berjanji untuk makan siang bersama lelaki itu. Ah-ra berusaha terlihat secuek mungkin dan meneruskan langkahnya semakin dekat ke arah Taec-yeon yang masih berdiri di ujung lorong. Saat ia melewatinya, tiba-tiba Taec-yeon menahannya dengan menangkap pergelangan tangan Ah-ra.

“Tunggu!” tahan Taec-yeon, “Aku ingin bicara denganmu.”



-Ruang Produksi, OK Group-

Setelah memberikan instruksi kepada para koki yang bekerja di bagian pengembangan produk dan menyerahkan desain formula yang dibuatnya, Hea-in membiarkan koki tersebut mencobakan formula roti baru miliknya. Ini adalah hari keduanya mencoba formula tersebut, setelah percobaan pertama kurang begitu berhasil karena roti yang dihasilkannya kurang bertekstur lembut dan renyah. Setelah mengganti beberapa komponen dan menambah komponen lain, hari ini ia kembali mencoba formula itu.

Sembari memperhatikan para koki tersebut mencobakan formula barunya, Hea-in mengingat kembali kejadian di ruang direktur tadi. Ia menyalahkan dirinya sendiri, kenapa berdiri sedekat itu dengan Taec-yeon dan menuruti ego-nya hingga membuat kesalahpahaman Tuan Ok semakin besar. Kini tak mungkin lagi baginya mengelak bahwa tak ada hubungan apa-apa antara dirinya dengan Taec-yeon. Terlebih melihat penerimaan Tuan Ok padanya. Tuan Ok nampak sangat peduli padanya dan menunjukkan persetujuannya atas hubungan yang sebenarnya tak pernah terjadi itu. Hal itu terlihat sekali, dari cara Tuan Ok berbicara padanya ketika tadi mereka bersama-sama menuju ruang produksi. Hea-in benar-benar bingung, ia tak tau harus bagaimana menghadapinya. Di satu sisi ia sangat menghormati Tuan Ok sebagai atasannya, tapi di sisi lain ia tak menyukai sikap Taec-yeon yang suka semena-mena padanya, walaupun ia menyadari ketampanan pria itu.

Aiissh...tidak...tidak...tidak..., Hea-in menggeleng untuk menepiskan bayangan Taec-yeon di otaknya, Seorang pria tidak hanya dilihat dari ketampanannya tapi juga dari perangainya. Jika ia bersikap baik, ketampanannya pasti akan terpancar dari hatinya. Lagi pula, bukankah Tuan Song jauh lebih tampan dan lebih baik dibandingkan Taec-yeon?, begitulah pergolakan hati Hea-in saat mengenang kejadian itu.

“Apakah ada yang salah dengan caranya Nona?” tiba-tiba seorang koki yang berbicara di dekatnya membuatnya terkejut.

“Eh...tidak,” elak Hea-in, “Apakah rotinya sudah matang?” Hea-in mencoba untuk mengalihkan arah pembicaraan.

“Oh...sudah,” jawab salah seorang Koki dan mulai membuka oven di depannya lalu mengeluarkan roti yang berbau wangi dan terlihat sangat lezat itu.

“Semoga kali ini tidak kurang lagi,” harap Hea-in yang disetujui oleh semua koki yang ada di situ.

“Silahkan, Nona bisa mencobanya,” kata koki tersebut menyodorkan salah satu roti yang sudah masak tersebut pada Hea-in.

Sebelum mencobanya, Hea-in mencium aroma roti yang cukup menggugah selera itu, “Kalau dari segi aroma, kurasa sudah cukup baik,” komentar Hea-in, lalu mencuil roti yang terasa lembut di tangannya itu dan menyuapnya.

“Bagaimana?” tanya seorang koki yang berdiri di dekat Hea-in penuh harap.

Hea-in tersenyum puas dan mengunyah habis sisa roti di dalam mulutnya sebelum akhirnya menjawab, “Enak, tekstur lembutnya terasa sekali dan renyahnya juga pas.”

Tentu saja komentar Hea-in itu membuat yang lain juga ikut mencoba dan memiliki komentar yang sama dengannya. “Aku yakin, kalau rasa rotinya seenak ini. Rencana Nona Kang untuk mengembangkan roti yang membuat orang tak cukup hanya memakan satu roti saja sekali makan, akan berhasil,” kata seorang Koki senang dan mengunyah dengan puas roti di mulutnya.

“Benar!” timpal yang lain setuju.

Suasana meriah di ruang itu, tentu saja menarik minat Tuan Ok Gi-taek dan Song Seung-hun yang baru saja melintas. Mereka baru saja selesai berkeliling, melihat-lihat ruang produksi dan menginspeksi jika ada kesalahan yang mungkin terjadi. “Ada apa ini? kenapa ramai sekali di sini?” tanya Song Seung-hun penasaran saat memasuki ruangan itu.

“Oh...Tuan Song, cobalah roti ini!” kata seorang koki yang berdiri di dekat pintu memberikan roti itu pada Seung-hun.

Seung-hun mengangguk-angguk puas dan tersenyum lebar setelah merasakan roti itu dan tersenyum bangga pada Hea-in, “Aku sudah yakin, kalau formulamu akan berhasil,” puji Seung-hun, membuat Hea-in tersenyum senang. “Tuan Ok, anda juga perlu mencobanya,” tambah Seung-hun pada Tuan Ok Gi-taek yang berdiri di sampingnya.



-Seoul Medical Centre-

“Apa yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya Ah-ra, sesaat setelah ia dan Taec-yeon tiba di ruangannya. Ia terpaksa meminta Jung-soo menunggu sebentar di kantin, karena Taec-yeon memaksa untuk berbicara empat mata bersamanya. Ia bersyukur, karena Jung-soo setuju dan tak bertanya apa-apa lagi sebelum pergi ke kantin lebih dulu.

“Kau dan pria itu,” kata Taec-yeon dengan nada dingin dan tegang, “apakah benar kau akan menikahinya?”

“Memangnya apa urusanmu?” gertak Ah-ra.

 “Ah-ra, kau tau aku mencintamu bukan?”, Taec-yeon meremas bahu Ah-ra, “dan aku juga tau, kalau kau masih mencintaiku.” Ya, benar. Tapi kita tak akan pernah bisa bersatu, batin Ah-ra perih. “Ah-ra?”

Ah-ra menepis cengkraman Taec-yeon di bahunya dan berjalan mundur menjauhi pria itu, “Kalau kau memang mencintaiku, kenapa kita harus berpisah?”

“Ah-ra, kau tau Ayahku—“

“Ya, Ayahmu menuduh Ayahku sebagai pembunuh.”

“Ah-ra—“

“Dan kau tak bisa menolak permintaan Ayahmu untuk menjauhiku, karena kau percaya Ayahku seorang pembunuh,” tuding Ah-ra dingin.

“Bukan begitu—“

“Apa?”

“Saat itu aku tak mengerti jalan cerita yang sebenarnya,” kilah Taec-yeon.

“Lalu kenapa kau begitu saja menghakimi Ayahku dan aku seperti itu?” tuntut Ah-ra pilu.

“Ah-ra, kau tau perasaanku saat itu,” seru Taec-yeon, “kakakku meninggal, kau pasti menyadari kalau sedikit banyak aku juga emosi saat mengetahuinya.”

“Ya, dan kau percaya begitu saja apa yang diungkapkan orang-orang di sekitarmu tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dari sisi Ayahku,” tukas Ah-ra dingin.

“Tapi sekarang aku telah mengerti semuanya,” bela Taec-yeon.

“Terlambat!”

“Tidak, tidak ada kata terlambat untuk cinta.”

Ah-ra tersenyum hambar, “Sudahlah Taec-yeon, nasib hubungan kita cukup sampai di sini saja. Kurasa kau pun juga sudah menemukan wanita pilihanmu sendiri. Jadi biarkan aku menjalani hidupku dengan orang lain juga.”

“Apa maksudmu? Wanita pilihan—“ Taec-yeon berhenti karena teringat sesuatu, “Oh...Astaga! jadi kau percaya aku dan Nona Hea-in akan segera menikah?”

“Menikah?” kali ini Ah-ra terperanjat, ia hanya mengira Taec-yeon dan Hea-in menjalin hubungan tapi ia sama sekali tak berpikir kalau mereka akan segera menikah. Pantas saja ada bingkisan dari Tuan Ok Gi-taek untuk Nona Hyo-jin, seru Ah-ra dalam hati.

“Eh...maksudku—“

“Sudahlah Taec-yeon, calon suamiku sudah menunggu lama di kantin,” Ah-ra berkata dengan menekankan pada kata ‘calon suami’ pada Taec-yeon, “Aku tak ingin membuatnya menunggu lebih lama lagi.”

“Calon suami?” geram Taec-yeon.

“Memangnya cuma kau yang bisa punya calon istri, aku juga bisa memiliki calon suami yang mencintaiku dan Ayahku,” ungkap Ah-ra datar lalu berputar untuk membuka pintu ruangannya. Tapi alangkah terkejutnya ia, saat melihat sang Ayah, Tuan Yoon, tengah berdiri di depan pintu. “Ayah?!” seru Ah-ra tercekat.



-Kantor Ok Group-

Setelah berkeliling di ruang produksi dan mencicipi roti baru di dapur pengembangan produk, Tuan Ok Gi-taek mengundang Seung-hun dan Hea-in untuk berbicara di ruang direktur guna membicarakan tentang rencana peluncuran produk baru tersebut. Namun saat membuka pintu ruang direktur, Tuan Ok dikejutkan dengan kehadiran istrinya Nyonya Im young-bin tengah duduk santai di sofa tamu. “Young-bin?”

Nyonya Im pun berdiri menyambut kedatangan suaminya, “Suamiku!”

“Sedang apa kau di sini? Tidak biasanya kau datang ke pabrik?” tanya Tuan Ok heran. Istrinya memang terkesan tidak peduli pada perusahaannya, karena selama ini ia hanya disibukkan dengan teman-teman arisannya, berkumpul dan merawat diri bersama-sama. Jadi, ini benar-benar pemandangan yang sangat mengherankan bagi Tuan Ok.

“Aku ingin memastikan sesuatu,” kata Nyonya Im santai.

“Memastikan apa?”

“Memastikan bahwa gosip yang kudengar tentang wanita pilihan Taec-yeon tidak benar.”

“Apa?” Tuan Ok mengernyitkan kening bingung.

“Suamiku, kau pikir aku tidak mendengar kabar bahwa kau merencanakan pernikahan Taec-yeon seorang diri dengan salah seorang staf wanita dari perusahaan ini,” ungkap Nyonya Im lancar membuat Hea-in tertunduk.

“Oh...jadi tentang itu,” Tuan Ok berputar dan menggamit lengan Hea-in, “benar, aku memang merencanakan pernikahan Taec-yeon, tapi itu bukan atas kehendakku saja. Taec-yeon dan Nona Hea-in memang sudah menjalin hubungan sebelumnya,” kata Tuan Ok tenang, “Dan kenalkan ini Nona Hea-in yang kumaksud itu.”

Nyonya Im memperhatikan Hea-in dengan seksama, seolah-olah Hea-in adalah makhluk dari luar angkasa hingga membuat Hea-in jengah diperhatikan seperti itu, “Apa kabar Nyonya!” sapa Hea-in sembari menghormat sopan.

“Dan, kalau aku tidak salah dengar, gadis ini berasal dari desa dan dari keluarga miskin,” ujar Nyonya Im angkuh membuat Tuan Ok terbelalak marah.

“Istriku!” bentak Tuan Ok.

“Kalau kau sampai marah begitu, jadi itu benar?” ejek Nyonya Im, “Aku tak menyangka Taec-yeon akan menjalin hubungan dengan gadis miskin sepertinya.”

“Young-bin, cukup!” seru Tuan Ok berang.

“Mengapa?” Nyonya Im bersedekap dan memandang Hea-in dengan pandangan merendahkan, “Aku berkata yang sebenarnya,” katanya angkuh dan sombong, “akan lebih baik kalau Taec-yeon menikah dengan Hye-jin yang merupakan anak dari seorang menteri dan Ibunya adalah teman baikku.”

“Cukup Young-bin! Aku tidak mau dengar lagi kau menghina Nona Kang,” bela Tuan Ok, sementara Hea-in hanya bisa menatap lantai dengan pandangan nanar. Ingin sekali ia membantah kata-kata Nyonya Im, tetapi seolah bibirnya terkunci rapat hingga ia tak bisa bersuara, yang ada hanya air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku sudah memutuskan Taec-yeon akan menikahi nona Kang, jadi kau tak bisa membantah keputusanku ini.”

“Tuan Ok!” gumam Hea-in kemudian, ia tak tau memiliki kekuatan dari mana hingga mampu membuatnya bersuara dan mengangkat wajahnya, “aku tidak keberatan dengan apa yang dikatakan Nyonya Im, karena ia benar, aku memang miskin dan tidak pantas menjadi menantu keluarga Anda,” Hea-in berkata datar, “Anda tidak perlu khawatir akan kehilangan kesetiaanku sebagai karyawan di pabrik ini, karena aku akan tetap bekerja di sini walaupun aku dan Taec-yeon tidak menikah,” Hea-in menatap mata Tuan Ok lurus-lurus, “dan aku ingin mengatakan pada Anda, bahwa aku dan Taec-yeon tidak memiliki hubungan apapun sebelumnya,” ungkap Hea-in lirih, “aku permisi dulu Tuan!” Hea-in meninggalkan ruangan direktur itu dengan hati perih namun lega karena telah mengungkapkan semuanya di depan Tuan Ok Gi-taek dan istrinya.

“Kau dengar itu suamiku?” Nyonya Im berkata pada Tuan Ok yang masih berdiri terpaku di tempatnya setelah mendengar penjelasan Hea-in tadi. Sungguh sangat disayangkan menurutnya, karena ia sudah terlanjur menyukai Hea-in secara pribadi, walaupun gadis itu tidak berasal dari keluarga kaya seperti yang diungkapkan istrinya. Tapi gadis itu memiliki aura positif yang menurutnya mampu membuat Taec-yeon berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Ia cukup kecewa, bahwa Taec-yeon dan Hea-in sebenarnya tidak menjalin hubungan. Apa benar ini hanya harapanku saja?, batin Tuan Ok tak memperhatikan kata-kata istrinya yang mulai mengoceh tak karuan.



“Nona Hea-in!” panggil Seung-hun mengejar Hea-in yang melangkah cepat meninggalkan ruang direktur. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir sembari memperhatikan dengan penuh perhatian wajah Hea-in yang kini sembap penuh air mata. Hea-in masih terisak, saat Seung-hun memutar tubuh Hea-in hingga menghadapnya. “Kau baik-baik saja?” ulang Seung-hun. Hea-in tak menjawab dan hanya terisak, hingga membuat Seung-hun tak kuasa untuk tak memeluk gadis itu untuk menenangkannya. Ia mengelus-ngelus punggung Hea-in dan membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya. “Menangislah!” gumamnya lirih. Sudah lama Hea-in tak mendapat sokongan seperti ini, semenjak Ayahnya meninggal. Merasakan perhatian Seung-hun membuatnya tak bisa menolak semua itu dan membiarkan dirinya menumpahkan semua air mata yang sempat tertahan saat di ruang direktur tadi.

“Aku benci orang kaya!” gumam Hea-in, “mereka tak pernah berhenti menghina kami orang miskin.”

“Tidak semua orang kaya seperti itu,” ujar Seung-hun, “tapi perbuatan Nyonya Im tadi memang keterlaluan.”

Cukup lama Hea-in menangis di pelukan Seung-hun, hingga sebuah suara dari arah berlawanan mengagetkan mereka. “Pantaskah seorang calon istri berpelukan dengan pria lain di hadapan calon suaminya?” tukas Taec-yeon dingin.

Sontak Hea-in segera melepaskan pelukan Seung-hun dan bergerak menjauh. Ia menatap Taec-yeon yang berdiri dengan pandangan penuh kemarahan ke arah Seung-hun. “Siapa calon istrimu?” sergah Hea-in kesal.

“Kau masih bertanya siapa calon istriku?” gertak Taec-yeon marah.

“Tuan Ok Taec-yeon, kau tak perlu bersandiwara lagi di depanku,” seru Song Seung-hun puas. “Aku sudah tau semuanya, kalau semua itu hanya kesalahpahaman.”

“Tidak ada kesalahpahaman dalam hal ini,” geram Taec-yeon marah, lalu menggandeng lengan Hea-in dan menariknya menuju ruang direktur yang di sana masih terdapat Tuan Ok dan Nyonya Im. Setelah membuka pintu ruang direktur lebar-lebar, Taec-yeon berseru lantang di hadapan kedua orang tuanya, “Aku akan menikah dengan Nona Hea-in!” hingga membuat Tuan Ok dan Nyonya Im terkesiap begitu pula dengan Hea-in.

Dia pasti sudah gila, gumam Hea-in dalam hati.



~To Be Continued......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar