CHAPTER 2
- Rumah keluarga Kang -
“Sudah lama rasanya tak melihat ketiga gadis itu berkumpul di rumah ini seperti sekarang,” kata Bo-jong pada kakaknya.
Kang Ha-jong bersandar santai di kursi kerja kulitnya sembari tersenyum. “Memang. Tanpa terasa putri-putriku sudah tumbuh begitu besar…”
“Kau terlalu sibuk dengan bisnis dan wanita-wanitamu hingga tidak menyadari tumbuh kembang mereka,” kritik Bo-jong.
“aku tak bisa menyangkalnya,” sahut Ha-jong setelah beberapa saat terdiam. “Selain Hyun-in, dua putriku yang lain bersikap bagai orang asing padaku. aku menyesalinya. Seandainya aku tidak mengacaukannya sejak awal, tak akan begini keadaannya…”
“Bukan hanya padamu mereka bersikap bagai orang asing, terhadap satu sama lain pun ketiganya seperti itu. bila orang tak mengenal mereka, pasti tak akan ada yang menyangka ketiganya bersaudara.”
“Karena itulah aku membuat proyek ini. Bila bisa, aku ingin mengusahakan agar terjadi keajaiban yang dapat memperbaiki hubungan keluargaku.”
“Sepertinya sulit, tapi kuharap keajaiban itu benar terjadi,” komentar Bo-jong.
Di ruang keluarga, Hyun-in menaruh rangkaian bunga warna-warni di dalam vas Kristal yang berada di sisi foto mendiang ibunya. Gadis itu tersenyum lembut penuh kasih sayang memandangi wajah cantik nan lembut dalam foto tersebut. Jang Soo-ra meninggal di saat Hyun-in berusia Sembilan tahun, karena penyakit kanker yang lambat diketahui dan tak dapat disembuhkan lagi.
Di dinding di atas foto mendiang ibunya, tergantung foto keluarga Kang. Dirinya yang saat itu berusia tujuh tahun duduk di tengah-tengah di antara ayah dan ibunya, Hea-in di sisi kanan ayahnya, dan Seo-min di sisi kiri ibu Hyun-in.
foto yang diambil ketika liburan musim panas, saat Seo-min berkunjung ke Korea, untuk pertama kalinya mengunjungi ayahnya. dan setahun semenjak kedatangan Hea-in di rumah itu—di usianya yang ke sebelas Hea-in pergi dari rumah yang ditempatinya selama bertahun-tahun bersama ibunya, untuk hidup dengan ayahnya.
Jang Soo-ra adalah istri ke tiga Kang Ha-jong. pria itu menikah di usia muda dengan model cantik yang belum terkenal, Noh Ji-ni, ibu Hea-in. pernikahan tersebut sebenarnya terpaksa, karena saat itu Noh Ji-ni tengah mengandung empat bulan, dan mendesak Kang Ha-jong untuk menikahinya. Tepat setelah lahirnya Hea-in, keluarga Kang yang terhormat mengurus perceraian putra sulung mereka dengan Noh Ji-ni.
Noh Ji-ni bersedia pergi membawa bayinya hidup bersamanya dengan syarat uang bulanan akan terus dikirim ke rekening pribadinya. Bukan hal yang sulit, mengingat kekayaan keluarga Kang, asalkan putra sulung mereka dapat meneruskan hidup dengan baik tanpa bayang-bayang suram pernikahan singkatnya dengan Noh Ji-ni yang matrealistis dan dianggap tak sederajat dengan mereka itu.
Dan memang, Kang Ha-jong melanjutkan hidupnya dengan baik. ia meneruskan kuliahnya di Amerika, dan di sanalah ia bertemu Ahn Na-young, atau yang biasa dipanggil Anna, putri seorang diplomat Korea yang betugas di Amerika. Keduanya jatuh cinta, berpacaran, dan menikah dalam waktu singkat walau hubungan tersebut ditentang keluarga Kang yang menganggap Anna terlalu Amerika, dan tidak lagi memiliki tata karma dan sopan santun orang Korea. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Seo-min. namun rupanya itu hanya cinta sesaat yang memudar dengan cepat seiring berjalannya waktu. Kang Ha-jong pun kembali bercerai untuk ke dua kalinya di usia Seo-min yang hampir satu tahun.
Bertepatan dengan kuliahnya yang selesai, pria itu kembali ke Korea, dan tak lama kemudian keluarga Kang menjodohkannya dengan putri seorang kolega. Jang Soo-ra. Walau awalnya tak menginginkan pernikahan tersebut, Kang Ha-jong akhirnya menerima keputusan keluarganya. Dan lambat laun, pernikahan yang diatur tersebut ternyata menjadi surga baginya. dapat dikatakan, Jang Soo-ra adalah satu-satunya wanita di dunia yang pernah membuat Kang Ha-jong si pecinta wanita benar-benar bertekuk lutut dan setia sepanjang kehidupan rumah tangga mereka. bahkan, dia benar-benar terpuruk ketika kematian istrinya itu. pada akhirnya Kang Ha-jong memang pulih, namun ia melampiaskan kesepian dan kesedihannya dengan menjalani hidup lamanya, bersenang-senang dengan sebanyak mungkin wanita…
“Foto keluarga yang bagus,” gumam Hyun-in datar. “Sayangnya kenyataan tak sebagus foto ini.”
Kehadiran Bibi Han, pelayan wanita yang telah mengabdi pada keluarga Kang semenjak Hyun-in kecil, mengalihkan perhatian gadis itu, terlebih saat melihat amplop putih di tangan wanita paruh baya tersebut. “Surat? Untuk siapa?” tanyanya.
Bibi Han tersenyum lembut pada anak majikan yang telah diasuhnya sejak kecil itu. “Kiriman untuk Nona Seo-min,” jawabnya.
“Untuk kakak? Dari keluarganya di Amerika?”
“Bukan,” jawab Bibi Han. ”Sebenarnya, tidak ada alamat pengirimnya sama sekali, hanya tertera untuk Kang Seo-min,” lanjutnya sembari menunjukkan amplop tersebut.
Memang benar, di amplop putih itu hanya tertera nama Kang Seo-min… tapi sebuah gambar ikan kecil yang dibuat dengan tinta biru di pojok atas amplop menarik perhatian Hyun-in. ikan? Ikan… mungkinkah… tidak, tidak, tapi… Hyun-in menggigit bibir bawahnya selama berdebat dengan dirinya sendiri.
“Nona? Kau tidak apa-apa?” tanya Bibi Han cemas.
Hyun-in berusaha tersenyum. “Tidak apa-apa,” sahutnya cepat. “Ah, biar aku saja yang mengantarkannya pada kak Seo-min.”
“Baiklah, kalau begitu saya akan melanjutkan pekerjaan di dapur lagi,” pamit Bibi Han, yang ditanggapi dengan anggukan dan senyum dari Hyun-in.
Sembari melangkah menaiki sejumlah anak tangga menuju lantai dua rumah mereka, Hyun-in bagai berperang dengan malaikat dan iblis yang berbisik menyuruhnya melakukan hal yang bertentangan. Si iblis menyuruhnya menuruti keingintahuannya dengan membuka amplop tersebut, sedangkan si malaikat memberitahunya betapa tak sopannya hal tersebut, betapa tak pantasnya melanggar privasi orang lain. pada akhirnya, si malaikatlah yang menang.
Naskah drama yang sedang dibuatnya adalah tentang pembunuhan berantai yang terjadi di sebuah sekolah asrama putri. Kini, tiba di bagian penyelidikan polisi atas ditemukannya korban baru, namun Seo-min tiba-tiba kehilangan ide dan mood menulis. Semua buyar begitu saja dari otaknya hanya karena sesaat tanpa diundang ingatan tentang kejadian semalam di lokasi shooting berputar-putar bagai film dalam benaknya.
“Aku akan memberimu peringatan agar kau tak terkejut nantinya,” katanya lembut. “Aku bukan pria yang akan mundur hanya karena satu penolakan semacam itu. sebenarnya, penolakanmu justru membuatku semakin bersemangat dan tertantang,” akunya. “Mulai hari ini, detik ini, aku akan melakukan berbagai cara untuk membuatmu menyukaiku. karena itu, persiapkan hatimu untuk menerimaku.”
“Argh!” Seo-min menggeram sembari mengacak-acak rambutnya gemas. Lupakan, lupakan, lupakan omong kosong itu! omelnya dalam hati.
Mendengar getaran ponselnya yang ditaruh di meja, gadis itu buru-buru meraihnya. Seukir senyum yang jarang terlihat, menghiasi bibirnya. “Halo?” sapanya sambil berdiri dan berjalan menuju jendela kamarnya yang terbuka, menghadap ke halaman samping rumah yang asri.
“Bagaimana kabarmu di sana, Sunshine?” suara berat Jacob, ayah tirinya, terdengar dari seberang telepon, membuat senyum di wajah Seo-min semakin melebar.
“Aku baik-baik saja,” sahutnya dengan nada santai yang tak menunjukkan sedikitpun rasa senang yang sebenarnya saat ini dirasakannya. “Dan berhentilah memanggilku seperti itu, Dad, aku bukan bocah kecil lagi.”
“Benarkah? tapi di mataku kau selalu menjadi gadis kecil lucu dan paling menggemaskan di dunia,” goda Jacob.
Jacob Winspear menikahi Anna di saat Seo-min berusia enam tahun. Dia mencintai putri tirinya seperti anak kandungnya sendiri, dan tak pernah berubah walau telah memiliki dua orang putra kandung. Baginya, Seo-min adalah putrinya.
“Hah… sudahlah,” Seo-min berlagak bosan. “Bagaimana kabar kalian?”
“Kami juga baik-baik saja, tetapi sangat merindukanmu,” jawab Jacob. “Ah, ibumu ingin bicara.”
“Francissca? Oh, Darling, aku sangat merindukanmu. Kapan kau akan pulang?” tanya Anna pada putrinya, menggunakan nama inggris Seo-min.
“Tidak dalam waktu dekat. aku sedang ada proyek bersama Ayah di sini, Mum,” jawab Seo-min. “Bahkan aku juga sedang menggarap proyek drama untuk sebuah production house milik kenalan Ayah, aku harus tetap di sini selama beberapa waktu. tenang saja, aku akan berlibur ke sana dalam waktu dekat.”
“Dia sengaja membuatmu sibuk karena ingin memonopolimu!” gerutu Anna.
“Ayolah, Mum, bagaimana pun dia ayahku,” kata Seo-min menenangkan ibunya. “Lagi pula, apa kau tidak bisa ikut senang melihat permulaan karirku?”
“Tentu saja aku senang, tapi semenjak kau memutuskan pergi ke Korea, entah mengapa aku merasa kau akan pergi selamanya dari rumah ini,” keluh Anna.
Seo-min berusaha menahan tawanya. “Suatu saat aku juga akan menikah dan keluar dari rumah,” komentarnya.
“Yeah, itu berbeda. Kau bersama suamimu, bukan si tua Kang Ha-jong,” gerutu Anna.
Kali ini Seo-min tak dapat menahan tawanya. “Mum dan Ayah seumuran, bila kau menyebutnya si tua, bukankah berarti kau sama saja?”
“siapa yang mengajarimu selancang ini?” Anna berpura-pura marah. “Ah, Jason dan Justin ingin bicara denganmu juga,” katanya, menyebut kedua adik tiri Seo-min, buah hati pernikahannya dengan Jacob yang berusia sebelas tahun.
“Francissca!” terdengar seruan nyaring dua bocah lelaki yang memekakkan telinga. “Kapan kau pulang? mana janjimu!?” Jason dan Justin berteriak berbarengan, hingga sulit untuk Seo-min mengetahui suara siapa yang bertanya apa.
“Nanti aku pasti akan pulang, sekarang aku harus bekerja,” kata Seo-min, tersenyum memandangi foto kedua adik kembarnya yang dipajangnya di meja kerjanya.
“Kau bilang akan menemani kami ke peternakan Paman David dan Bibi Marie!” protes Jason, yang lebih tua sepuluh menit dari saudaranya.
“Kau bilang kita akan berkuda bersama!” timpal Justin.
Seo-min menepuk jidatnya. Ia benar-benar lupa pada janjinya, dan menyesal tak dapat memenuhi janji tersebut pada kedua adik kesayangannya. “Maaf. tapi aku janji kita akan melakukannya di saat aku kembali nanti.”
“Hah… tidak menepati janji,” gerutu Jason.
“kapan kau pulang? memangnya kau tidak rindu pada kami?” tanya Justin.
Tentu saja rindu, dasar bocah bodoh, omel Seo-min dalam hati. “Aku merindukan Mum dan Dad, tapi tidak pada mu dan Jason. Untuk apa merindukan bocah-bocah nakal, kotor, dan bau seperti kalian?”
“Hei! Kami tidak seperti itu!” teriak kedua adiknya berbarengan.
“Sudah, sudah, pergi sana, Mum ingin bicara dengan kakak kalian,” perintah Anna, mengusir kedua putranya dari telepon. “Baiklah, Darling, kita bicara lagi nanti. jangan lupa istirahat dan menjaga kesehatanmu, oke?”
“Yup, Mum. Aku akan menelepon kalian nanti,” janji Seo-min sebelum menutup telepon.
Tok… tok… tok…
“Siapa?” seru Seo-min begitu mendengar ketukan di pintu kamarnya.
“Aku, Hyun-in, boleh masuk?”
“Masuklah,” sahut Seo-min. sebenarnya ia sedikit heran, tak biasanya Hyun-in mendatanginya seperti ini.
“Kiriman untukmu,” kata Hyun-in, menyerahkan amplop yang dibawanya pada Seo-min. “Pengirimnya tidak diketahui,” tambahnya sembari berusaha menahan rasa penasarannya.
Tanpa banyak bicara, Seo-min mengambil amplop tersebut, mengeceknya, sebelum membukanya. Hyun-in sama herannya dengan Seo-min saat melihat sejumlah uang dalam amplop tersebut. tidak dalam jumlah yang banyak, hanya tiga ribu won, dan itu lebih mengherankan lagi. untuk apa orang mengirim uang yang hanya sejumlah itu pada Seo-min?
“Apa-apaan?” ucap Seo-min heran.
Hyun-in membungkuk untuk mengambil sebuah kertas yang terjatuh dari amplop ketika Seo-min mengeluarkan uangnya tadi. Di situ tertulis sebuah alamat dan pesan… tapi Hyun-in tidak membaca pesannya, matanya terpaku pada alamat yang tertera di sana. Itu… lokasi shooting Disaster Love hari ini—dia sudah mencari tahu dari Ayahnya. gambar ikan… lalu alamat lokasi shooting… tidak mungkin kebetulan… ini… memang Lee Dong-hae, putus Hyun-in sedih.
“Apa itu?” tanya Seo-min, mengambil kertas tersebut dari tangan adiknya. “hmm? ‘Gunakan uangnya untuk membeli bahan bakar motormu. Segeralah datang ke alamat yang tertera di atas’,” bacanya. “Apa-apaan ini? dipikirnya aku orang miskin yang tak mampu membeli bahan bakar kendaraanku sendiri!? dan berani-beraninya dia memerintahku!?” omel Seo-min. “Eh, tapi bagaimana dia tahu tentang motorku? Siapa orang ini?” gumamnya sembari membaca ulang pesan tersebut. di ujung bawah kertas tertulis serangkaian nomor. Sebuah nomor telepon.
Gabungan perasaan tersinggung dan penasaran membuat Seo-min menghubungi nomor itu. menurutnya sudah jelas ada yang mempermainkannya. Siapa orang gila yang berani padanya ini? Apa dipikirnya seorang Kang Seo-min kekurangan uang!? Hah, yang benar saja! geramnya dalam hati.
“Halo!” sapa Seo-min kasar. “Kau yang mengirimiku uang, kan!? Siapa kau, apa mak—“
“Halo, Seo-min, senang bisa mendengar suaramu lagi,” sela suara di seberang telepon.
Seketika Seo-min terdiam. Suara ini… ia mengingatnya… bukankah ini… “Ini… kau Lee Dong-hae?” tebak Seo-min langsung.
Hyun-in yang berdiri di belakang Seo-min berjengit. Tusukan kekecewaan dan cemburu mengiris hatinya. Benar. Ternyata benar…
Dong-hae tertawa. “Rupanya kau mengingat suaraku. Aku senang mengetahuinya,” katanya.
Seo-min mendengus. “Apa sebenarnya maksudmu, hah? Kau pikir aku orang miskin? Aku tidak butuh uangmu untuk membeli bahan bakar kendaraanku sendiri!” omelnya.
“kalau begitu kau bisa mengembalikannya padaku,” sahut Dong-hae enteng. “Sebenarnya aku memberikannya karena merasa tak enak hati. aku memintamu datang ke lokasi shooting, tapi tidak punya waktu untuk menjemputmu sendiri, maka paling tidak aku bisa membayarkan biaya bahan bakar motor kesayanganmu itu. tapi bila kau tidak sudi menerimanya, kembalikan padaku lagi saja juga bisa. aku menunggu kedatanganmu,” tambahnya senang, karena memang inilah yang direncanakannya. Ia tahu Seo-min tak mungkin bersedia menggunakan uang itu.
Seo-min berkacak pinggang dan melotot walau Dong-hae tak ada di depannya untuk melihat. “Untuk apa memangnya aku ke sana, hah!?” gertaknya.
“Agar aku dapat melihatmu,” sahut Dong-hae dengan tenang dan lembut.
Seo-min terdiam dan kehilangan kata-kata selama beberapa saat, dan itu diperhatikan oleh Hyun-in. juga bagaimana ekspresi wajah kakaknya itu melembut, sesuatu yang tak pernah dilihat Hyun-in selama ini. tidak mungkin kak Seo-min menyukai kak Dong-hae, kan? batin Hyun-in penuh harap.
Seo-min berdeham. Ia merasa jengah. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ada pria yang merayunya. Para pria segera menjauh darinya begitu Seo-min menunjukkan kekasarannya. Kenapa seorang Lee Dong-hae tidak seperti mereka? “Kau kurang kerjaan, ya!?” bentaknya. “Aku banyak urusan, tak ada waktu bermain-main denganmu. uangnya akan kukirim lagi padamu!”
Dong-hae mendesah. “Yeah, aku kecewa, tapi sebenarnya sudah menyangka kau akan memutuskan seperti ini,” katanya. tiba-tiba dia tertawa kecil. “Tapi setidaknya sekarang aku memiliki nomor ponselmu,” tambahnya puas. “Ah, aku harus shooting. Nanti kutelepon, oke? Bye.”
Klik. Seo-min menjauhkan ponsel dari telinganya dan memandangi benda itu dengan tatapan tak percaya. “Bagaimana bisa ada orang seperti ini?” gerutunya pelan. saat memutar tubuh, Seo-min terkejut melihat adiknya masih berada di kamarnya. “Kau masih di sini?” tegurnya.
Hyun-in segera tersadar. “Itu… tadi Lee Dong-hae?” tanyanya, masih ingin kepastian.
Seo-min melempar ponselnya ke kasur, dan kembali duduk di kursi depan komputernya. “Hmm,” gumamnya menyahuti. Diliriknya Hyun-in yang masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun. “Kenapa?”
“Oh, tidak, aku hanya ingin tahu karena kau menyebut namanya tadi,” jawab Hyun-in lancar, tak memperlihatkan sakit hatinya sama sekali. “Ah, sudah jam segini, aku harus segera pergi latihan. Aku pergi dulu,” katanya, lalu bergegas keluar dari kamar kakaknya.
Kak Dong-hae serius ingin mengejar cinta kak Seo-min? apakah kak Seo-min pada akhirnya akan luluh? Bagaimana ini? tidak, tidak boleh. Aku tidak bisa hanya diam menyaksikan semua ini. paling tidak aku harus berusaha. Aku tidak boleh diam dan hanya menangis saat pria yang kusukai direbut saudariku seperti yang dulu terjadi dengan kak Hea-in. tidak. aku harus melakukan sesuatu, putus Hyun-in tegas.
- Perumahan Jogang - Lokasi Shooting -
Hea-in mendengus dan tertawa sinis pada diri sendiri selama mengamati dan menguping pembicaraan Dong-hae dengan Seo-min. lihat wajah konyolnya itu, batinnya. Menyeringai bagai orang bodoh hanya karena bicara dengan si kasar Seo-min? begitu menyukainya?
Melihat pembicaraan Dong-hae telah selesai, Hea-in melangkah maju mendekati pria itu. “Sedang senang?” tanyanya, sembari memamerkan senyum andalannya untuk menaklukkan hati pria.
Suasana hatinya yang baik membuat Dong-hae tak sedingin biasanya dalam menanggapi Hea-in. bahkan ia menyunggingkan senyum lebar yang tulus pada wanita itu, membuat Hea-in untuk pertama kalinya terpesona pada daya tarik Dong-hae. “Bisa dibilang begitu,” jawab Dong-hae, lalu meminum susu kotaknya sembari mengulang-ulang pembicaraannya dengan Seo-min dalam benaknya. Meminta nomor ponsel langsung dari Seo-min sama saja dengan meminta katak untuk terbang. Setidaknya dengan begini dia mendapatkan nomor ponsel gadis itu dan dapat menghubunginya sesuka hati. Dong-hae tertawa sendiri, membuat Hea-in yang berdiri di depannya bersedekap mengamatinya dengan menyimpan rasa kesal dalam hati. Kesal karena merasa dikalahkan adik yang selama ini dianggapnya tak memiliki daya tarik sama sekali.
“Senang melihatmu tersenyum semanis itu padaku,” ucap Hea-in lagi dengan sengaja. Dengan gerakan santai direbutnya kotak susu di tangan Dong-hae, lalu menyeruput isinya lewat sedotan yang dipakai pria itu.
Dong-hae sempat terperangah melihat kelancangan Hea-in, terlebih saat memperhatikan bagaimana cara Hea-in menghisap sedotan tersebut dengan gaya yang disengaja menggodanya. Dong-hae memalingkan wajahnya yang sedikit memerah, membuat Hea-in tersenyum geli.
“Terima kasih, aku haus sekali,” ucap Hea-in lembut sembari mengembalikan kotak susu itu ke tangan Dong-hae. “Ah… yang tadi itu bisa disebut sebagai ciuman tak langsung, bukan begitu?” goda Hea-in sembari mengedipkan sebelah mata, lalu melenggang pergi.
“Sepertinya Kang Hea-in menyukaimu, he?” ucap Kyu-hyun, mengejutkan Dong-hae yang masih terperangah memandangi Hea-in. “Kau menyukainya?” tanyanya lagi karena tak ada sahutan dari Dong-hae.
Akhirnya Dong-hae menatap si member termuda dalam grupnya itu sembari tersenyum geli. “Kenapa kau bertanya? Kau menyukainya?” ia balik bertanya.
“Kau tak keberatan, kan?” tanya Kyu-hyun lagi.
Dong-hae tersenyum sembari menyerahkan kotak susunya pada pemuda itu. “Yang benar saja,” sahutnya. “Aku hanya butuh seorang gadis Kang, dan itu bukan Hea-in,” tambahnya, lalu berjalan pergi.
- Kantor Majalah InStyle -
Hari ini Hea-in hanya shooting Disaster Love setengah hari, karena harus melakukan pemotretan untuk majalah InStyle, lalu hadir dalam acara talk show.
Ketika memasuki lobi gedung kantor InStyle bersama asisten dan managernya, Hea-in melihat Kim Ki-bum, salah seorang member Super Junior yang juga bermain dalam Disaster Love, baru saja keluar dari sebuah ruangan.
Hea-in menghampiri pemuda itu sembari menyunggingkan senyum. “Tak kusangka akan bertemu denganmu di sini,” katanya ramah. “Kupikir kau shooting di lokasi yang berbeda hari ini.”
Ki-bum membalasnya dengan tersenyum sopan. “Memang, dan sekarang aku harus segera pergi ke lokasi shooting. Aku ijin dari pagi untuk melakukan pemotretan,” sahutnya.
Hea-in mengamati Ki-bum sembari mengingat-ingat informasi yang rasanya dulu pernah didapatnya. Tentang Kim Ki-bum yang merupakan adik favorit Lee Dong-hae dalam grupnya. memang, semua juga tahu persahabatan Dong-hae dan Eun-hyuk, tapi… bila berita tersebut benar, paling tidak Ki-bum cukup dekat dengan Dong-hae, bukan begitu? Dan seharusnya dia bisa memberikan informasi yang berguna untuk Hea-in guna mendekati Dong-hae.
“Bagaimana bila kapan-kapan kita makan siang bersama?” tawar Hea-in sembari mengibas rambut cokelat sebahunya dan menyunggingkan senyumnya yang menawan.
“Yeah, kapan-kapan,” sahut Ki-bum tetap sopan. “kalau begitu, aku permisi dulu,” katanya sembari menganggukkan kepala sopan, lalu segera berlalu dari hadapan Hea-in.
“Dia bersikap sopan tapi dingin padamu,” ucap asistennya dengan nada heran bercampur geli. “dia tak tergoda oleh pesona seorang Kang Hea-in? Benar-benar langka.”
Hea-in mengamati punggung Ki-bum yang terus menjauh. “Sebenarnya, dia pria ke dua yang memperlakukanku seperti itu,” akunya dengan nada datar tanpa emosi. “Sampai-sampai aku mulai berpikir apa mungkin pesonaku sudah pudar?”
Asisten Hea-in tertawa. “Mana mungkin!” komentarnya. “Kau salah satu wanita tercantik yang pernah kujumpai!”
Hea-in memandang wajah asistennya sembari tersenyum kecil sedikit mengejek. “Aku tahu itu,” sahutnya, lalu membalikkan tubuh dan kembali berjalan.
Sesaat sebelum pemotretan dimulai, ponsel Hea-in berbunyi. Nomor asing. Siapa? batinnya bertanya-tanya.
“Halo? Siapa ini—“
“Apa kabarmu, Sayang?”
Seketika tubuh Hea-in menegang. Jarinya memutih karena terlalu kencang mencengkeram lengan bangku yang didudukinya. sudah lama ia tak mendengar suara ini namun ternyata tetap dapat mengenalinya… Tiga tahun? Empat tahun? Lima tahun? Atau lebih? Semenjak ia memutuskan untuk berubah… semenjak ia memutuskan untuk melupakan kenangan buruk itu… semenjak ia ingin membuka lembaran baru dalam kehidupannya. Begitu lama mereka tak bertemu dan bicara satu sama lain.
“Untuk apa meneleponku?” tanya Hea-in dingin. ia tak mengharapkan telepon ini. tidak menginginkannya! Suara itu hanya membangkitkan kenangan lama… kengan menyakitkan dan menjijikan yang ingin dilupakan Hea-in.
Hening sesaat. “Beginikah caramu menyapa Ibumu sendiri?”
“Hea-in, ayo, semua sudah siap,” panggil asistennya.
“ah, ya…” sahut Hea-in ling-lung. “Aku sibuk,” katanya pada Ibunya. “Jangan menghubungiku lagi. aku sudah mengatakannya di saat terakhir pembicaraan kita.”
“Kita harus bertemu dan bicara,” kata Noh Ji-ni tegas.
“Tidak ada yang harus dibicarakan. Selamat tinggal.” Hea-in memutus sambungan telepon, lalu melepas baterai dari ponselnya.
Kepalanya terasa pusing. Tanpa dapat di cegah semua kenangan yang tak diinginkan itu teringat kembali. tidak, tidak, tidak boleh begini! Aku Kang Hea-in. aku tidak lemah dan menderita seperti dulu. Aku mengendalikan segalanya. Aku memiliki segalanya. Aku bahagia sekarang. bahagia. sangat bahagia. tak ada yang bisa menghancurkannya lagi! tidak seorang pun. tidak juga Ibu! tegasnya dalam hati.
- Woo-bi’s Restaurant -
“Nona Kang Hyun-in, kau sungguh seorang malaikat!” puji seorang kru. “Cantik dan baik hati.”
Hyun-in tersenyum kecil. “Jangan berlebihan, aku hanya melakukan ini karena kalian semua sudah bekerja sangat keras demi film ini,” katanya sopan.
Sehabis latihan vokal dan kuliah, Hyun-in mendatangi lokasi shooting Disaster Love di mana Dong-hae berada, dan meneraktir seluruh kru dan pemain Disaster Love untuk makan bersama setelah shooting hari itu usai. Karena sudah sangat malam, mereka hanya makan di restoran terdekat dengan lokasi shooting yang masih buka.
Dong-hae menoleh memandangi wajah manis Hyun-in yang duduk di sebelahnya. “Terima kasih,” ucapnya. “Tapi sudah semalam ini apa orang rumahmu tidak mencari?”
Senang dapat berdekatan seperti ini dengan Dong-hae—tanpa kedua kakaknya yang mengalihkan perhatian pria itu—dan diajak bicara seperti ini membuat Hyun-in tersenyum cerah. ia menggeleng. “Tidak apa-apa, tenang saja,” jawabnya. “Ayah selalu mempercayai aku dapat menjaga diri dengan baik, lagi pula aku tidak sering pulang larut, hanya sesekali seperti ini,” tambahnya.
“Hmm… apakah kakak-kakakmu tidak men—“
“Ah, bagaimana show Super Junior M di Taiwan waktu itu?” tanya Hyun-in cepat, ingin mengalihkan pembicaraan dan pikiran Dong-hae dari kedua kakaknya. “Aku sangat ingin menonton tapi tidak bisa pergi karena ada ujian di kampusku.”
“Sangat ramai dan menyenangkan,” jawab Dong-hae. “Sebenarnya, mulai besok aku tidak dapat mengikuti proses shooting karena harus show di beberapa kota bersama Super Junior M.”
“Benarkah? aku belum mendengar berita itu,” ucap Hyun-in terkejut. “Berapa lama?”
“Sekitar sepuluh hari atau mungkin lebih sedikit,” jawab Dong-hae.
“Sayang sekali saat ini aku sedang sibuk dengan urusan kuliah dan proses rekaman, bila tidak aku pasti akan datang menonton semua show kalian.”
Dong-hae tertawa. “Tidak perlu sampai seperti itu—“
“Tidak repot sama sekali,” bantah Hyun-in. “bagi seorang fan, dapat menonton pertunjukan idolanya adalah sebuah kebahagiaan. Aku seorang ELF,” tambahnya sembari tersenyum lebar.
“Wah? Benarkah? aku berterima kasih sekali,” kata Dong-hae tulus.
Kyu-hyun yang duduk di seberang Hyun-in dan sejak tadi mendengar dan mengamati interaksi di antara kedua orang itu, akhirnya berkomentar. “Kau ELF atau Elfishy?” tanyanya tanpa basa-basi.
Hyun-in melirik Kyu-hyun kesal. Dirasakannya wajahnya memanas. Ia berdeham sebelum menjawab. “Tak ada bedanya. Kak Dong-hae memang member favoritku, tapi aku juga mengidolakan member Super Junior yang lainnya.”
“Eh? aku? benarkah?” ucap Dong-hae terkejut.
“Ya, aku—“
“Kenapa tidak pernah bilang kalau kau mengidolakanku sebelumnya? bila kau bilang lebih awal, aku akan lebih bersemangat menyetujui berduet denganmu,” Kyu-hyun menyela perkataan Hyun-in sembari menyeringai licik.
“Eh? kalian akan berduet?” tanya Dong-hae terkejut.
“Tidak—“
“Ya.”
Hyun-in dan Kyu-hyun menjawab di saat bersamaan. Tak memperdulikan tatapan tak suka Hyun-in, Kyu-hyun melanjutkan. “Aku sudah mendapat demo lagunya dan suka mendengarnya, jadi sekarang Tuan Ho sedang mengurusnya,” kata Kyu-hyun, menyebut nama manager Super Junior dengan santai sembari mengunyah makanan dalam mulutnya.
Kang Bo-jong tak mau mengubah keputusannya memilih Kyu-hyun, dan bahkan telah berhasil meyakinkan kakaknya untuk memilih pemuda itu, dan hal tersebut membuat Hyun-in frustasi. Mendengar perkataan Kyu-hyun ini hanya menambah amarah Hyun-in.
“Wah, itu bagus sekali,” komentar Dong-hae.
Hyun-in menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan sembari menghitung sampai sepuluh dalam hati untuk mengendalikan emosinya. Saat ini yang terpenting adalah melakukan pendekatan dengan kak Dong-hae, bukan memikirkan duet itu. nanti… nanti aku akan mencoba membujuk Paman dan Ayah lagi. saat ini konsentrasi saja pada kak Dong-hae, batin Hyun-in.
“Dua tahun lalu, di sebuah konser Super Junior di Jepang, kurasa itu awal mula aku memfavoritkan dirimu diantara semua member lainnya,” kata Hea-in tenang pada Dong-hae yang sibuk makan.
“Dua tahun lalu? di jepang? Ada apa di sana?”
“Ingat ini?” tanya Hyun-in sembari mengangkat tangan kanannya, menunjukkan gelang karet berwarna biru berinisial D berwarna putih. Hyun-in tersenyum memahami kebingungan Dong-hae. “Kau menghampiri tempatku di pinggir panggung, bersalaman denganku sambil bernyanyi, lalu tanpa disangka-sangka kau melepas gelang yang kau pakai dan memberikannya padaku. ini gelangnya.”
Dong-hae mengamati gelang itu dan mengingat-ingat selama beberapa saat. “Ah! Ya, aku ingat membeli sebuah gelang sebelum konser karena warnanya yang biru safir dan berinisial seperti namaku…” ia kembali terdiam, mengingat-ingat. “Emm, ya… rasanya aku memang memberikan gelang itu sesudahnya pada gadis yang kuanggap terlihat paling bersinar malam itu. rupanya kau,” tambahnya sembari tersenyum manis.
Amat sangat bahagia mungkin kurang cukup untuk menggambarkan apa yang dirasakan Hyun-in saat ini. dong-hae menganggapnya paling bersinar dari begitu banyak gadis yang berada di konser waktu itu. artinya aku special, kan? batinnya girang.
“Takdir memang nyata, he? Siapa yang menyangka aku akan bertemu kembali dengan gadis yang kuberi gelang dua tahun lalu?” kata Dong-hae sembari tertawa.
“Ya… memang takdir,” gumam Hyun-in dengan hati berbunga-bunga. Matanya tak lepas-lepasnya memandangi wajah tampan Dong-hae.
Mengamati binar-binar cinta dari mata Hyun-in yang ditujukan pada Dong-hae membuat Kyu-hyun geli. Dituangkannya soju ke gelas kecil milik Hyun-in. “Pertemuan takdir ini harus dirayakan. Ayo, minum!”
Satu setengah jam kemudian, Dong-hae keluar dari restoran dengan memapah Hyun-in yang mabuk.
“Gara-gara kau!” omel Dong-hae pada Kyu-hyun.
“Kenapa aku?” protes Kyu-hyun.
“Kau terus menuangkan minuman ke gelasnya,” gerutu Dong-hae.
“Mana ku tahu dia tidak kuat minum?” balas Kyu-hyun membela diri.
“Hah… sudahlah. Ah, Bin,” Dong-hae memanggil asistennya. “Aku akan mengantar nona ini dengan mobilnya. Kau dan supir ikuti kami,” perintahnya.
"Baik sekali kau mau mengantarnya,” olok Kyu-hyun.
Dong-hae mendelik kesal pada si member termuda. “Mungkin sebaiknya kau saja, mengingat kau yang telah membuatnya mabuk.”
Kyu-hyun merapatkan jaket yang dikenakannya. “Dingin sekali… terlalu lama menghirup udara malam, sepertinya aku sedikit tidak enak badan…”
“Kau mau membohongiku seperti terakhir kali, ya?” tebak Dong-hae curiga, mengingat tipuan Kyu-hyun yang membuat panic seluruh member Super Junior saat dia berkata tak enak badan, yang ternyata hanya ingin mengerjai para kakaknya Super Juniornya.
“mana mungkin aku membohongi kakakku! Memangnya adik macam apa aku ini?” bantah Kyu-hyun dengan tampang lugu.
“Hah, sudahlah, pulanglah dan istirahat,” kata Dong-hae, lalu kembali meneruskan langkahnya menuju mobil Hyun-in yang di parkir di pinggir jalan.
Kyu-hyun berjalan menuju mobilnya bersama asistennya sembari tersenyum puas. Namun setelah duduk nyaman dalam mobil yang melaju dalam kecepatan sedang menuju rumahnya, pemuda itu memukul pahanya sendiri dengan kepalan tangan kanannya.
“Bodoh! Bila saja tadi aku yang mengantar Kang Hyun-in, di sana aku bisa bertemu Kang Hea-in. hah… sial.”
- Rumah keluarga Kang -
Sampai di depan rumah keluarga Kang, Dong-hae menoleh ke arah Hyun-in yang pulas di kursi penumpang di sebelahnya. Seukir senyum menghiasi bibirnya. Dalam keadaan tidur seperti ini Hyun-in semakin terlihat muda dan polos. Sangat manis.
Dengan memapah Hyun-in, Dong-hae memencet bel.
“Siapa— Hyun-in!?“ terdengar suara Seo-min lewat speaker phone, yang melihat adiknya bersama Dong-hae melalui layar monitor.
Mendengar suara gadis itu membuat Dong-hae bersemangat. “Aku mengantarkan adikmu pulang. dia mabuk.”
“tunggu sebentar!” perintah Seo-min.
Semenit kemudian gadis itu muncul membukakan pintu gerbang bersama dua orang pelayan wanita yang kemudian membawa Hyun-in masuk, sementara Seo-min tetap berdiri di sana, memelototi Dong-hae sembari berkacak pinggang seperti yang dilakukannya di kamar pagi tadi ketika menelepon pria tersebut.
“Selamat malam,” sapa Dong-hae ramah.”Senang bisa bertemu denganmu.”
“Tak usah basa-basi,” sergah Seo-min. “Apa yang kau lakukan pada Hyun-in? kenapa membuatnya mabuk seperti itu?”
Dong-hae berdeham. “Sebenarnya, dia datang ke lokasi shooting dan meneraktir kami semua makan malam. disana dia terlalu banyak minum soju. Maaf, seharusnya aku menghentikannya.”
“Meneraktir kalian? Untuk apa— hah sudahlah, aku memang tak pernah mengerti jalan pikirannya,“ gerutu Seo-min.
“Ini tas dan kunci mobilnya.” Dong-hae menyerahkan barang-barang tersebut pada Seo-min, dengan sengaja menyentuh tangan gadis itu. melihat pelototan Seo-min yang semakin garang membuat Dong-hae tersenyum geli. “Kenapa kau tidak datang sendiri mengembalikan uangku?” tanyanya. Siang tadi seorang supir dari rumah keluarga Kang mendatanginya untuk mengembalikan uang kirimannya.
“Aku tak ada waktu untuk bermain-main denganmu,” sahut Seo-min dingin. “Terima kasih sudah mengantar adikku. Selamat malam.”
“Tunggu!” Dong-hae menangkap lengan Seo-min yang hendak masuk kembali ke dalam rumah. “Mulai besok, selama sepuluh hari aku akan pergi show ke beberapa kota bersama grupku—“
“Tidak tanya,” sela Seo-min sembari melepas pegangan Dong-hae.
“Kuharap aku dapat melihatmu di lokasi shooting saat aku kembali. tidakkah kau ingin mengecek keadaan di sana? Bagaimana bila sutradara, sepupumu, melakukan sesuatu yang tidak sesuai kehendakmu lagi seperti waktu itu?”
“Itu urusanku, bukan urusanmu,” sahut Seo-min ketus. “Bukan hanya kau orang sibuk di dunia ini, tahu?”
“Mengecek sesekali tak ada salahnya, kan?” desak Dong-hae lagi. pria itu dengan sengaja mengeluarkan senyum paling menawan miliknya. “Apa kau terlalu takut untuk datang ke lokasi shooting? Takut bertemu denganku?”
Seo-min mendengus keras. “Takut? Padamu? Kau pikir itu masuk akal?”
Dong-hae melangkah mendekat, tapi Seo-min yang memiliki harga diri tinggi tak sudi melangkah mundur untuk menjauh, walau itulah yang sebenarnya ingin dilakukannya saat ini. “Ya. kau takut. Takut bila terus bertemu denganku, bicara denganku, maka kau akan menyukaiku. kau takut jatuh hati padaku. bukan begitu?”
Hembusan napas Dong-hae membelai wajah Seo-min karena begitu dekatnya jarak di antara mereka. aroma mint dari permen yang dimakan Dong-hae selama perjalanan tercium oleh gadis itu. Seo-min merasa resah dan gelisah. Reaksi yang tidak diinginkannya. Tanpa dapat dicegah pandangan gadis itu terarah pada bibir Dong-hae, namun cepat-cepat ia memalingkan muka dan berdeham.
“Apakah pernah ada yang mengatakan kau terlalu percaya diri?” sindir Seo-min dingin. di dorongnya dong-hae kuat-kuat, lalu masuk ke rumahnya dengan membanting pintu gerbang hingga menimbulkan suara keras memekakkan telinga.
Mendesah, Dong-hae berbalik, lalu masuk ke dalam mobilnya sendiri, di mana asisten dan supirnya tengah menunggu. Dari balik jendela mobil, Dong-hae memandangi rumah keluarga Kang.
“Hanya harapanku, atau dia memang terlihat mulai tergoda?” gumam Dong-hae pelan pada diri sendiri.
To Be Continued....
By Destira ~Admin Park~
By Destira ~Admin Park~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar