PROLOG
- Lee Dong-hae - KK Entertainment -
Di gedung bertingkat bergaya modern milik Tuan Kang ini, kami melakukan jumpa pers, mengumumkan pembuatan film terbaru yang akan diproduseri Tuan Kang. Disaster Love, yang ceritanya dibuat oleh putri keduanya, Kang Seo-min, yang masih berada di Amerika mengunjungi ibunya yang tinggal di sana.
Aku berperan menjadi pemeran utama pria. seorang playboy yang memacari tiga gadis yang bersaudara. Salah satu gadis tersebut diperankan oleh Kang Hea-in, putri pertama Tuan Kang.
Ya, sepertinya bisa dibilang film ini merupakan proyek keluarga. Kang Hea-in sebagai salah satu pemeran wanita, Kang Seo-min sebagai pembuat naskah, dan si bungsu Kang Hyun-in memulai debutnya sebagai penyanyi dengan menyanyikan soundtrack untuk film ini.
Bersama Kak Sung-min, Ki-bum, dan Kyu-hyun yang juga bermain dalam film ini, aku menjawab sejumlah pertanyaan dari wartawan mengenai peran kami dalam film tersebut. Setelah jumpa pers usai, kami berempat berbasa-basi dulu dengan yang lain, walau sebenarnya harus segera pergi ke lokasi pemotretan sebuah majalah.
“Kuharap nanti kita bisa berduet dalam menyanyikan soundtrack Disaster Love,” kata Kang Hyun-in manis dan sopan. Gadis itu menghampiriku sambil tersenyum ramah.
Aku membalas senyumnya. “Pasti akan menarik,” sahutku.
“Suaraku lebih bagus dibanding kak Dong-hae,” sombong Kyu-hyun tiba-tiba, membuatku, kak Sung-min, dan Ki-bum memutar bola mata.
Kang Hyun-in tak mengacuhkan Kyu-hyun. Meliriknya pun tidak. “Aku sudah menonton drama It’s Okay Daddy Daughter. Aktingmu sangat bagus. Memilihmu sebagai pemeran utama merupakan pilihan paling tepat yang pernah dilakukan ayahku,” katanya, melanjutkan pembicaraan denganku, seolah tak mendengar perkataan Kyu-hyun.
“Eh… terima kasih,” sahutku, sedikit jengah dengan pujiannya.
“Apakah—“
Pertanyaan Kang Hyun-in tak terselesaikan karena kemunculan kakaknya yang spektakuler dalam balutan gaun seksi seperti biasa. “Di sini rupanya pemeran utama kita yang tampan,” katanya dengan nada serak menggoda. Kang Hea-in menyunggingkan senyum mautnya sambil mendekat ke arahku. dia menumpangkan tangannya di dadaku. “Demi kesuksesan film ini, jelas kita harus bergaul lebih akrab,” katanya.
Sejujurnya, tipe gadis seperti Kang Hea-in adalah tipe yang paling tidak kusuka. Gadis-gadis penggoda dan penuh tipu daya sepertinya tak pernah menarik perhatianku. Karena itu, aku menurunkan tangannya dengan lembut dan bergerak mundur. Tak lupa aku menyunggingkan senyum sopanku agar dia tak tersinggung. “Tentu saja kita harus berhubungan baik sebagai rekan kerja,” kataku.
Kang Hea-in mengerling sembari mengibas rambut sebahunya. “kalau begitu nanti kita harus mengatur waktu untuk bertemu,” katanya penuh percaya diri.
“Dengan senang hati kami akan mengatur waktu agar kita semua dapat berkumpul,” kata kak Sung-min ramah.
Kang Hea-in sedikit cemberut, namun tak berkomentar lagi. atau mungkin tak jadi berkomentar karena perhatiannya teralih pada suara deruman motor besar. Kami semua ikut menoleh ke arah luar gedung KK Entertainment, dan melihat seorang pengendara Harley Davidson memarkir motor tersebut tepat di depan pintu. yang mencengangkan, dari bentuk tubuhnya yang tercetak jelas dalam balutan jaket dan celana kulit hitam itu, pengemudi motor besar itu adalah seorang wanita.
Aku sudah tertarik saat melihat seorang wanita mengendarai motor besar seperti itu, namun aku benar-benar terpesona saat dia melepas helmnya sambil mengibaskan rambut panjangnya yang berkilau terkena siraman cahaya matahari.
Kusadari tubuhku menegang. Mataku tak bisa lepas dari sosoknya yang kini melangkah memasuki gedung KK Entertainment sambil memeluk helmn di pinggangnya. Gadis itu berjalan dengan langkah tegas, kakinya yang ramping dan panjang tertutupi sepatu boot hitam.
Dia tak terlalu cantik. Tak secantik Kang Hea-in atau semanis Kang Hyun-in, tetapi ada sesuatu dalam diri gadis ini yang membuatnya terlihat menarik—setidaknya di mataku. Matanya yang bulat besar menyorot tajam saat memandangiku dan yang lain.
“Siapa dia?” tanya Ki-bum sebelum gadis itu semakin dekat.
Hening sesaat, lalu… “Seo-min…” gumam Kang Hea-in dan Kang Hyun-in bersamaan.
Kang Seo-min? si putri kedua yang katanya masih di Amerika!? Saat aku kembali menoleh untuk menatap gadis itu, ternyata dia telah berada tepat di hadapanku.
“Sudah selesai?” tanyanya tanpa basa-basi pada kedua saudarinya. “Sial. aku sudah mengebut secepat yang kubisa dari bandara,” katanya.
Kang Hyun-in tersenyum sopan namun hambar pada kakak keduanya. “Lama tak bertemu. apa kabarmu?”
“Hmm,” gumam Kang Seo-min cuek. Dia menatap Kang Hea-in. “Apakah pemeran lain seburuk dirimu?” tanyanya tak sopan.
Kang Hea-in tersenyum dingin. “Manis. selembut serudukan banteng seperti biasa,” sindirnya. Dia menggerakkan tangannya menunjukku, kak Sung-min, Ki-bum, dan Kyu-hyun. “Mereka pemeran prianya. Dua pemeran wanita yang lain berada di sana, mengobrol dengan Ayah,” katanya, menunjuk sisi lain ruangan, dimana dua artis cantik tengah bicara akrab dengan Tuang Kang Ha-jong.
Kang Seo-min mendengus. “Sepertinya salah satu dari mereka akan jadi ibu baru kita,” ejeknya.
Kang Hyun-in menegang. Ekspresinya mengeras. “Mereka pantas menjadi putrinya. Tak mungkin ayah—“
“Jangan naïf. Umur tak pernah menghalangi Kang Ha-jong untuk mendapatkan wanita incarannya,” sela Kang Seo-min kasar.
Kang Hea-in bersedekap sambil melirik ayahnya. “Terserah saja, asalkan ayah tidak berbuat bodoh hingga mengurangi jumlah warisanku nanti,” katanya.
Aku berdeham. Apakah mereka bertiga tidak sadar kami berempat masih ada di sini mendengarkan pembicaraan pribadi keluarga mereka?
Kyu-hyun bersiul. “Menarik sekali,” komentarnya. Dia mengulurkan tangan pada Kang Seo-min. “Kita belum berkenalan. Kyu-hyun. Cho Kyu-hyun,” katanya memperkenalkan diri.
Kang Seo-min tak membalas uluran tangan tersebut. gadis itu justru meneliti penampilan Kyu-hyun, Ki-bum, aku dan kak Sung-min dengan kritis. Terlebih saat mengamati kak Sung-min. tatapannya terhenti lama di kaus pink yang dipakai pria itu dibalik jaketnya.
Kemudian Kang Seo-min mendengus keras. “Ya Tuhan… Ayah memilih pria-pria cantik macam mereka untuk film pertamaku!?” serunya marah.
------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------
Chapter 1
- Rumah keluarga Kang -
“Selamat pagi semua,” sapa Hea-in sembari menuruni anak tangga teras belakang rumahnya, menuju halaman di mana kedua adiknya berada saat ini.
“Selamat pagi,” sahut Hyun-in sopan dari tempatnya duduk di kursi malas di pinggir kolam renang, sementara Seo-min yang masih asyik berenang, tak mengacuhkan sapaan tersebut.
“Kalian begitu bersemangat di pagi hari seperti ini,” komentar Hea-in sembari duduk di kursi malas yang bersebelahan dengan adik bungsunya. “Hahhh… tapi udaranya memang segar.”
Diam-diam Hyun-in mengawasi Hea-in dari balik majalah yang tengah dibacanya. Rasa tak nyaman itu melandanya, seperti biasa setiap kali berdekatan dengan kakak sulungnya itu.
“Kurasa sebentar lagi aku akan merindukan suasana tenang di pagi hari seperti ini,” kata Hea-in lagi setelah menghirup kopi dari mug yang dibawanya. “mengingat jadwal shooting yang akan menyita waktuku nanti. Tapi aku juga sangat tak sabar ingin segera memulainya.”
Shooting perdana akan dilakukan hari Kamis, yaitu besok lusa. Senyum mengembang di bibir merah alami Hea-in. mendalami peran, menjadi sosok yang lain dari dirinya yang asli, merupakan kesukaannya. Namun bukan hanya itu yang membuat shooting kali ini amat dinantikan olehnya. Ada permainan yang tak sabar ingin dimulainya. Permainan yang akan melibatkan sang pemeran utama pria…
Hyun-in tak bisa tidak merasa iri. Kakak sulungnya itu akan beradu acting dengan idolanya, pria yang sangat dikaguminya, Lee Dong-hae, salah seorang member Super Junior yang digilai banyak gadis seantero dunia. Sayangnya aktingnya sungguh buruk, sehingga dia tidak dapat membujuk Ayahnya untuk membiarkannya bermain dalam film tersebut. Padahal ini kesempatan bagus untuk dapat lebih dekat dengan Dong-hae.
Hanya tinggal satu jalan untuk dapat mendekati pria pujaannya itu. bakat yang dimilikinya, dan juga salah satu profesi Dong-hae sendiri. menyanyi. Hyun-in hingga sekarang masih sangat gencar memohon pada Ayahnya untuk memberi jalan baginya berduet dengan pria itu dalam menyanyikan ost Disaster Love.
“Ayah memilihkan pemain-pemain yang bagus, bukan begitu? Terutama Lee Dong-hae. Dia sangat manis, ya?” kata Hea-in dengan sengaja, dan tersenyum puas saat melihat kegelisahan yang nampak jelas pada adik bungsunya. hari itu, ketika jumpa pers, Hyun-in menunjukkan perhatian lebih pada Dong-hae. Kang Hyun-in yang biasanya bersikap sopan namun dingin pada pria, terlihat begitu ramah pada pria tersebut. tak ada alasan lain lagi selain fakta bahwa Kang Hyun-in menyukai Lee Dong-hae.
Dalam hati Hyun-in mengutuki kecerobohannya. Hari itu, dia begitu senang dapat dekat dengan pria pujaannya, lupa bahwa kakak sulungnya berada di sana, menonton pertunjukan keramahannya pada Dong-hae. Sesuatu yang hampir-hampir tak pernah dilakukannya pada lawan jenis. Semenjak itu Hyun-in selalu cemas. Takut kakaknya yang luar biasa cantik dan menggoda itu akan menjadikan Lee Dong-hae miliknya. Seperti yang pernah dilakukan wanita itu pada cinta pertama Hyun-in.
“Sebagus bisul di pantat!” sembur Seo-min pedas sembari melangkah keluar dari kolam renang, menyahuti perkataan kakaknya.
Hea-in tersenyum masam. “Cobalah gunakan kata-kata indah yang enak didengar untuk membangun aura positif dalam dirimu,” ia pura-pura menasehati. “Mungkin ini salah satu sebab mengapa naskahmu begitu suram—“
“Artis kelas tiga sepertimu tahu apa tentang naskah yang baik?” balas Seo-min sambil berjalan menghampiri Hea-in dengan gaya menantang.
Rahang Hea-in menegang. Bibirnya mengerucut marah. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu berdiri cepat, dan berjalan dua langkah ke depan untuk berhadap-hadapan dengan adiknya. “Coba ulangi perkataanmu,” desisnya pada adik yang usianya dua tahun lebih muda darinya itu.
Seo-min bersedekap sembari tersenyum semanis madu dengan niat untuk membuat kakaknya itu semakin kesal. “Bagian yang mana yang ingin kau dengar? Artis kelas tiga?” tantangnya.
Hea-in tersenyum sinis. Dengan telunjuk kanannya ditekannya dada Seo-min keras. “Kau pikir dirimu sangat hebat? Sangat berbakat?” sindirnya. “Bila bukan Ayah, tak akan ada yang bersedia menjadikan naskah sampah seperti itu menjadi film!”
“Kalian berdua, sudahlah, hentikan,” lerai Hyun-in tenang. gadis berusia dua puluh tahun itu bangkit berdiri, mencoba menjauhkan kedua kakaknya.
Kemarahan berkilat di mata Seo-min. didorongnya Hyun-in agar tak menghalangi jalannya, dan mendesis tepat di depan wajah Hea-in. “Artis yang hanya memiliki kemampuan memamerkan tubuh sepertimulah yang pantas disebut sebagai sampah!”
“Kau—!”
“Wah,wah, wah, coba lihat, tak kusangka putri-putriku sudah seakrab ini di pagi hari,” kata Kang Ha-jong dengan suara nyaring dari ambang pintu perancis, mengamati ke bawah, ke tiga putrinya yang berdiri di tepi kolam renang.
Menggeram, Hea-in menurunkan tangannya yang tadi telah terangkat untuk menampar Seo-min, lalu berbalik, kembali masuk ke rumah dengan langkah cepat.
Sementara Seo-min yang juga masih amat marah, memilih mendinginkan emosinya dengan kembali melompat ke kolam renang.
Hyun-in hanya bisa menghembuskan napas lelah melihat tingkah kedua kakaknya. Seingatnya, semenjak mereka kecil, setiap kali berkumpul—yang seringnya hanya terjadi di musim liburan, karena Seo-min tinggal bersama ibunya di Amerika—Hea-in dan Seo-min selalu mempunyai bahan untuk dipertengkarkan.
Tersenyum sambil menghisap cerutu Kubanya, Kang Ha-jong menghampiri putri bungsunya, anak yang paling dekat dengannya, dan merangkul pundak gadis itu. “Aku punya kabar bagus untukmu, Sayang,” katanya.
Hyun-in mendongak menatap ayahnya. “Ya?”
“Aku sudah meminta Bo-jong untuk membuatkan lagu duet yang bagus untuk Disaster Love,” jawabnya, menyebutkan nama adik bungsunya.
“Benarkah?” tanya Hyun-in senang. “Duetku bersama Lee Dong-hae?”
“Hmm… soal itu harus kau urus dengan Pamanmu. Kau tahu sendiri bagaimana dia. sangat cerewet mengenai siapa yang akan menyanyikan lagu ciptaannya. Bila dia telah setuju Lee Dong-hae yang menyanyikan lagu itu, maka aku akan segera menghubungi managernya.”
Senyum Hyun-in semakin lebar. “Aku akan meyakinkannya,” ucapnya.
- Gangnam-gu -
“Lihat ini, si pengantin baru bisa juga pergi keluar kamar,” Hee-chul mengolok Si-won, yang hanya tersenyum menanggapi olokan tersebut. belum lama ini pria tampan tersebut memang telah mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Park Dae-jia, member Aquamarine.
“Karena ada kesibukan tak terduga, kami terpaksa mengundur rencana berkunjung ke mari,” kata Ye-sung. “Kebetulan hari ini Si-won dan Eun-hyuk sudah kembali ke Seoul.”
“Jadi?” desak Eun-hyuk tak sabaran. “Bagaimana cerita tentang gadis jepang itu? benarkah kau dilamar seorang gadis!?” tanyanya pada Lee-teuk.
Yang ditanya hanya bisa meringis. “Begitulah…” sahutnya.
“Woaaa…!” seru Eun-hyuk tercengang. “Kau memang yang paling hebat, kak! Hanya kau yang pernah menerima lamaran seperti itu dari seorang wanita!”
Lee-teuk berdecak. “Gadis aneh,” katanya. “Dia bahkan tak mengenalku, tapi memintaku, salah, memerintahku menikahinya. Bayangkan itu.”
“Dia tak mengenalmu?” tanya Si-won heran. “Lalu apa jawabanmu?”
“Aku tidak sempat berkata-kata sama sekali,” jawab Lee-teuk pasrah. “Dia bahkan sudah pergi sebelum benar-benar kami bertiga sadari,” katanya, memaksudkan dirinya, Hee-chul, dan Kang-in yang berada di tempat kejadian saat itu.
Eun-hyuk bersandar di kursinya dengan pikiran melayang-layang. Seringai lebar yang membuatnya terlihat bodoh, tersungging di bibirnya. “Bayangkan bila Shin-woo memerintahku menikahinya seperti itu,” gumamnya, mengkhayalkan kekasihnya, Cha Shin-woo, yang juga merupakan member Aquamarine.
Terlihat perubahan ekspresi di wajah Lee-teuk. senyumnya sedikit memudar, namun tak ada yang memperhatikan hal tersebut karena yang lain sibuk mengolok Eun-hyuk. Tanpa sepengetahuan yang lain—bahkan Eun-hyuk sekalipun—Lee-teuk menyimpan perasaan pada Cha Shin-woo. Lee-teuk bahkan pernah menyatakan cinta, walaupun pada akhirnya dia memilih mundur dan membiarkan gadis itu bersama Eun-hyuk yang lebih dicintainya.
“Kau pikir mungkin gadis seperti Shin-woo melamarmu seperti itu!?” ejek Sung-min sembari mendorong kepala Eun-hyuk dengan jari telunjuknya.
“Hei, tak ada yang tak mungkin di dunia ini!” gerutu Eun-hyuk sembari menepis tangan Sung-min.
“Siapa nama gadis Jepang itu?” tanya Han-geng, kembali pada topic semula.
“Tidak tahu. Kami tidak sempat bertukar nama,” jawab Lee-teuk.
“Sepertinya dia putri orang penting,” kata Kang-in, mengingat-ingat peristiwa itu. “Bahkan, sepertinya… dia putri seorang yakuza,” tambahnya dengan suara berbisik.
Para member Super Junior—kecuali Lee-teuk dan Hee-chul—terkejut mendengar hal itu. mereka sibuk membahasnya dengan suara berbisik seperti yang dilakukan Kang-in.
Shin-dong menggenggam tangan leadernya dan memperlihatkan ekspresi cemas. “Apa mungkin nyawamu dalam bahaya, Kak?” tanyanya polos.
Lee-teuk tertawa terbahak-bahak. “Mana mungkin. Khayalanmu berlebihan. Jangan dengarkan Kang-in.”
“Aku bicara berdasarkan dari apa yang terlihat,” protes Kang-in. “Gadis itu dikawal begitu banyak bodyguard berpakaian serba hitam!”
“Bisa saja dia anak konglomerat Jepang,” sahut Hee-chul santai, asyik membersihkan debu tak terlihat dari seragam yang dikenakannya. “Kau terlalu banyak menonton drama, Young-choon,” oloknya, menggunakan nama julukannya pada Kang-in. Kim Young-woon, itulah nama asli Kang-in, namun seorang Kim Hee-chul dengan percaya diri menyatakan bahwa nama asli Kang-in yang sebenarnya adalah Kim Young-choon.
“Sudahlah, siapapun dia tidak penting,” kata Lee-teuk. “Kupikir itu hanya omong kosong. Mungkin dia sedang berlibur di Korea, lalu ingin mengerjaiku?”
“Apakah tidak ada hal lain yang dikatakannya tentang pernikahan kalian?” tanya Rye-wook, penasaran.
Lee-teuk mengingat-ingat. “Tidak ada—“
“Ada,” potong Kang-in cepat. “Kau tak mendengarnya? Dia bilang ‘sampai jumpa saat wajib militermu selesai’.”
Lee-teuk terperangah. “Dia ada mengatakan hal seperti itu?”
Kang-in mengangguk mantap. “Saat itu kau sedang ternganga lebar karena perintahnya, mungkin kau terlalu terkejut untuk mendengar perkataan selanjutnya.”
Lee-teuk mencondongkan tubuh ke arah Kang-in. “Kau pikir dia serius?” ada setitik kecemasan dalam suaranya.
Kang-in memasang tampang serius sembari mengangguk tegas. “Sangat sangat yakin.”
Kyu-hyun yang sejak tadi hanya mendengarkan pembicaraan kakak-kakaknya, tertawa nyaring. “Aku akan datang menjemputmu di hari wajib militermu selesai,” katanya pada Lee-teuk. “Sayang sekali bila melewatkan peristiwa penting seperti itu,” tambahnya, sambil menyunggingkan senyum jail.
Hee-chul menepuk-nepuk punggung Lee-teuk menenangkan. “Tolak saja dengan sopan bila dia benar-benar akan memaksamu menikahinya nanti,” katanya. “Bila tidak berhasil, kau masih punya Eun-hyuk.”
“Aku!?” seru Eun-hyuk terkejut sambil menunjuk wajahnya sendiri. “Kenapa aku!?”
“Pura-pura saja kalian pasangan gay, wanita itu pasti kabur,” lanjut Hee-chul santai seolah tanpa dosa.
“Kenapa harus aku!?” teriak Eun-hyuk kesal. “Tidak, tidak, tidak! aku tidak mau lagi dikira memiliki kelainan seperti dulu! Tidak!”
Lee-teuk mendelik kesal pada Hee-chul atas sarannya yang konyol dan Eun-hyuk yang menolak dengan begitu menggebu. “Kau pikir aku mau!?” omelnya.
“Kau saja!” kata Eun-hyuk, menunjuk Hee-chul. “Kau kan cantik!”
Hee-chul tersenyum menyeramkan. “Kau memerintahku, Monkey?”
Eun-hyuk berjengit. “Tidak, tentu saja tidak.”
Dong-hae menertawakan saudara-saudaranya. “Ngomong-ngomong tentang pria cantik, aku jadi teringat pada si gadis motor itu,” ucapnya. Senyum merekah di wajah tampannya, mengingat sosok Kang Seo-min yang mengendarai motor Harley Davidson.
“Siapa?” tanya Kang-in penasaran.
“penulis naskah film kami,” jawab Dong-hae. “gadis yang menarik.”
“Menarik? Dia menghina kita sebagai pria cantik,” protes Sung-min.
“Kalian disebut pria cantik?” tanya Hee-chul, mengamati Sung-min, Dong-hae, Ki-bum, dan Kyu-hyun. “Dia pasti tak pernah melihatku,” lanjutnya penuh percaya diri.
Dong-hae hanya tersenyum dan tak menanggapi perkataan mereka. pikirannya masih terfokus pada sosok gadis itu. caranya mengendarai motor, caranya berjalan, caranya menatap, dan caranya berbicara dengan pedas dan sinis.
Kyu-hyun menatap Sung-min. “Apa masih perlu heran? Lee Dong-hae memang selalu jatuh cinta pada gadis yang sulit.”
- Hotel Seoul - Lokasi shooting -
Hea-in memasuki lobi hotel, di mana para kru telah berkumpul untuk shooting perdana hari ini. matanya mulai menjelajah ke setiap penjuru, mencari sosok pria yang diincarnya. Ketika dilihatnya ketiga actor lain dalam film ini, yang juga merupakan sahabat pria tersebut tengah berdiri di dekat meja resepsionis, Hea-in menghampiri mereka.
“Selamat pagi,” sapa Hea-in ramah.
“Selamat pagi,” sahut Sung-min dan Ki-bum kompak.
Dengan gerakan lambat bagai slow motion di film-film, Kyu-hyun berbalik menghadap Hea-in yang semula dipunggunginya, dan segera memakai kacamata hitamnya.
“Mengapa tiba-tiba memakai kacamata saat berhadapan denganku?” tanya Hea-in geli.
“Menyilaukan,” jawab Kyu-hyun.
“Apa?”
“Sosok Nona Kang begitu menyilaukan,” jelas Kyu-hyun sembari memamerkan senyum andalannya. “aku takut menjadi buta hanya dengan menatapmu.”
Hea-in tak dapat menahan tawanya. Dasar gombal, batinnya. “Terkadang memiliki mulut manis itu berbahaya,” ucap Hea-in. “Ah, di mana pemeran utama pria kita?” tanyanya, seolah pertanyaan tersebut baru terpikir olehnya, dan bukan tujuannya menghampiri ketiga pria tersebut sebagaimana kenyataannya.
“Dong-hae sedang dalam perjalanan,” jawab Sung-min. “Eh, itu dia,” katanya tiba-tiba, menunjuk sesuatu di belakang Hea-in.
Wanita itu berputar, dan melihat Lee Dong-hae yang baru saja memasuki lobi hotel. Mengenakan celana jins putih, kaus putih bergaris hitam, dan kemeja biru muda, serta sepatu kets hitam putih, pria itu terlihat tampan dan manis di saat bersamaan, Hea-in mengakuinya. Namun bukan ketampanannya yang membuat Hea-in akan menaklukkan serta menjadikan pria itu miliknya. Hea-in tak tergoda sama sekali pada penampilan Lee Dong-hae. Banyak pria lain yang setampan Dong-hae, bahkan tak sedikit yang jauh lebih tampan, berkeliaran di sekitar Hea-in. tetapi dari sekian banyak pria, Dong-hae-lah yang dipilih Hyun-in setelah sekian tahun. Dong-hae-lah pria yang disukai Hyun-in. maka Dong-hae harus bertekuk lutut padanya… pada Kang Hea-in.
Mengibaskan rambut cokelat sebahunya, Hea-in menyunggingkan senyum penggodanya pada Dong-hae, yang sialnya hanya ditanggapi dengan senyum sopan dan anggukan sekilas.
“Kupikir aku terlambat,” katanya pada teman-temannya, tak menyapa Hea-in sama sekali, seperti yang diperkirakan wanita itu.
“Terkena macet?” tanya Ki-bum.
“Tidak juga, aku kesiangan karena semalam bergadang dengan Hyuk yang menginap dirumahku,” jawab Dong-hae.
Sung-min menyeringai. “Pasti bertengkar dengan Shin-woo lagi,” tebaknya.
Dong-hae menghembuskan napas kesal. Sahabatnya itu selalu lari padanya setiap kali bermasalah dengan kekasihnya. “Dan setelah membuatku tak bisa tidur semalaman dengan segala omelan dan keluh kesahnya tentang kekeraskepalaan perempuan, pagi ini dengan entengnya mereka berbaikan, bahkan Shin-woo menjemputnya ke rumahku. Sial.”
“Orang dengan segudang kesibukan sepertimu harus banyak istirahat untuk menjaga kesehatan,” nasehat Hea-in sambil tersenyum selembut mungkin untuk meluluhkan hati Dong-hae.
Dong-hae memandang wanita cantik di sebelahnya dan tersenyum sopan. “Yeah, memang,” komentarnya seadanya.
Teringat pada vitamin C yang selalu dibawanya, Hea-in mengeluarkan botol kecil tersebut dari tas tangannya. “Ini,” katanya, menyodorkan botol vitamin tersebut pada Dong-hae. “Rajin minum vitamin C juga baik untuk kesehatan,” katanya.
“Eh, terima kasih, Nona Kang,” ucap Dong-hae, sedikit tak nyaman.
“Kenapa begitu formal? Bukankah kita seumuran? Cukup Hea-in saja.”
Dong-hae mengangguk. “Terima kasih, Hea-in, tapi sebenarnya tak perlu—“
“Tak boleh menolak hadiah dari teman,” sela Hea-in lancar dan sekali lagi menyunggingkan senyum penggodanya.
Bahkan Dong-hae pun tak dapat benar-benar kebal dari senyuman itu, walau ia tak menyukai tipe gadis seperti Hea-in.
“Mana untukku, Hea-in?” tanya Kyu-hyun, menyorongkan tangannya.
“Aku lebih tua darimu, panggil aku kakak,” perintah Hea-in sedikit kesal walau tetap terus tersenyum. “Sayangnya aku hanya punya satu. Kau belilah sendiri,” tambahnya sambil menepuk-nepuk pundak pria muda itu, lalu berjalan menghampiri sang sutradara, Ahn Bong-soo, yang merupakan sepupunya sendiri.
“Sang pemburu telah memilih rusa buruannya,” ucap Ki-bum tenang sembari tersenyum kecil. “seekor kelinci tak akan mengalihkannya,” tambahnya sebelum berjalan pergi mencari tempat duduk.
“Dia bicara apa?” tanya Dong-hae pada Sung-min yang hanya mengangkat bahu.
Kyu-hyun melepas kacamatanya dan menatap punggung Hea-in sembari tersenyum licik. “Kalau begitu si kelinci hanya perlu berusaha sedikit lebih keras untuk menarik perhatian si pemburu,” katanya percaya diri.
- Studio 7 - Lokasi Shooting -
Hea-in bersedekap sembari menaikkan sebelah alisnya mengamati dua orang di hadapannya. “Paman Bo-jong? Hyun-in? sedang apa kalian di tempat ini?” tanyanya.
“Tak ingin menyapa Pamanmu dengan benar?” tanya Kang Bo-jong, merentangkan kedua tangannya untuk menerima pelukan keponakannya.
Hea-in tersenyum. “Tidak,” jawabnya manis. “Apakah sebelum ke mari Paman sempat mandi?” tanyanya, memperhatikan penampilan lusuh adik ayahnya itu sambil megernyitkan kening. Kang Bo-jong hanya mengenakan kaus abu-abu yang tipis karena terlalu sering dicuci, celana jins pendek bolong-bolong yang sebelumnya adalah celana panjang, dan sepatu sandal kulit. Rambutnya acak-acakan dan lepek, sementara rahangnya ditumbuhi bakal janggut.
Bo-jong tertawa. “Aku baru saja sampai sejam lalu, dan bertemu adikmu di kantor ayah kalian, lalu langsung ke mari,” katanya. “Aku tak sempat berdandan untuk bertemu denganmu, Cantik,” godanya.
Sebenarnya, Kang Bo-jong memang tak pernah memperhatikan penampilannya. Walau memiliki harta warisan yang lebih dari cukup, pria itu lebih menyukai kehidupan sederhana di Mokpo. Hanya menjalani hari dengan bermain alat music, menciptakan lagu, dan memasak. Seorang bujangan abadi.
“Apa yang membuat Paman datang ke Seoul?” tanya Hea-in. ditatapnya adik bungsunya yang tengah mengamati lokasi shooting. Pasti mencari Lee Dong-hae, batinnya geli. “Dan apa yang kalian lakukan di sini?”
“Ayahmu memintaku untuk membuatkan beberapa lagu bagi album pertama Hyun-in kita tersayang,” jawab Bo-jong sembari tersenyum lebar. “Salah satunya adalah lagu duet, yang juga akan menjadi soundtrack film ini.”
Hea-in mengerti apa yang sedang direncanakan adiknya. Duet itu, pasti bersama Dong-hae. “Begitu,” ucapnya. “Tapi lalu kenapa harus ke mari?” pancingnya.
“Menilai calon penyanyi yang dipilih ayahmu untuk berduet dengan Hyun-in, tentu saja,” jawab Bo-jong. “Aku tidak sembarangan memperbolehkan orang lain menyanyikan laguku.”
“Nona Kang,” panggil seorang wanita, yang merupakan asisten sutradara. “Silakan berganti kostum sekarang,” katanya pada Hea-in.
“Baik,” sahut Hea-in. wanita cantik itu tersenyum pada paman dan adiknya. “Aku harus meninggalkan kalian. Selamat menyeleksi,” tambahnya, lalu melenggang pergi dengan gerakan pinggul yang berayun menggoda.
“Tidak pernah berubah,” gumam Bo-jong geli. “Baiklah, di mana si anak boyband itu?” tanyanya.
“Jangan bicara merendahkan seperti itu, Paman,” protes Hyun-in. “Apa salahnya bila dia tergabung dalam suatu boyband? Dia memiliki suara yang bagus—“
“Idola-idola seperti itu biasanya hanya mengandalkan tampang dan tarian, tidak benar-benar memiliki suara bagus,” sela Bo-jong.
“Tapi dia tidak begitu. Suaranya memang bagus,” protes Hyun-in lagi.
“Kau begitu mengidolakannya? Baiklah, ayo, kita lihat apakah dia bisa mengubah pendapatku.”
“Ah, itu dia,” kata Hyun-in, menunjuk Dong-hae yang sedang duduk di sebuah kursi dan tekun membaca naskahnya. “Permisi, Kak Dong-hae,” sapa Hyun-in sopan pada pria muda tersebut.
Dong-hae menengadahkan kepalanya untuk menatap Hyun-in. “Eh? Nona Kang Hyun-in?” sapanya ramah. “Ada apa?”
“Apakah kau sangat sibuk?” tanya Hyun-in ragu. “Bisakah kau meluangkan waktu sebentar untuk bicara denganku?”
Dong-hae mengerutkan kening. “Apa ada persoalan penting?” ia balik bertanya. “sekarang bukan giliranku. Kita bisa bicara di luar,” tawarnya.
Hyun-in tersenyum senang. “Ya, boleh juga,” sahutnya. “Paman… Eh, Paman…? Paman?” gadis itu berputar mencari Pamannya yang menghilang, dan akhirnya menemukan pria itu sedang bersandar di dinding, mengamati Cho Kyu-hyun yang tengah asik memainkan PSP-nya sambil mendengarkan lagu dari iPod dan menyanyi. “Maaf, sebentar, aku harus memanggil Pamanku,” katanya pada Dong-hae yang menanggapinya dengan mengangguk.
“Neoui ttatteuthan geu soni chagapge, chagapge shikeo isseul ttae (Your two warm hands gets cold when I’m cold). Neoui ganghaetdeon geu ma eumi nal karopge sangcheo badasseul ttae (Your heart that used to be strong becomes sensitive when I’m hurt
). Naega jaba julge anajulge salmyeoshi, geugeoseuro jakeun iroman dwendamyeon johgesseo (Take my hands silently, hold me silently, I’m only wishing for such little comforts). Eonjena deo maneun geol haejugo shipeun nae mam neon da mollado dwae (You don’t know my heart that wanted to do more just for you)…”
“Aku menyukaimu!” ucap Bo-jong tiba-tiba, sembari menepuk bahu Kyu-hyun keras hingga pria itu sedikit mengernyit dan menghentikan nyanyiannya, terlebih mendengar perkataan yang diucapkan Bo-jong, membuatnya berpikiran yang tidak-tidak.
“Paman,” panggil Hyun-in menghampiri pria itu. “Ayo, bukankah kau ingin mengetes—“
“Suaramu cocok dengan lagu yang baru kubuat,” kata Bo-jong bersemangat. “Siapa namamu? Kau actor? Sayang sekali bakatmu disia-siakan. Jadiah penyanyi untuk laguku,” ajaknya.
Hyun-in menghela napas. Pamannya tidak menonton TV dan tak mengikuti perkembangan dunia entertain sehingga tak mengenali penyanyi seterkenal Cho Kyu-hyun dan boybandnya, Super Junior.
“Aku penyanyi, Paman,” kata Kyu-hyun. “Kau tak mengenal Super Junior?”
Semula Bo-jong bingung, sebelum teringat pada si anak boyband yang ingin diperkenalkan Hyun-in padanya. bocah yang digilai keponakannya itu salah seorang member Super Junior yang katanya ketenarannya telah mendunia.
“Paman, ayo, orang yang ingin kuperkenalkan padamu ada di sana,” Hyun-in mencoba menarik perhatian pamannya dan menunjuk Dong-hae yang berada di seberang ruangan.
Bo-jong hanya melirik pria yang dipilih keponakannya itu sekilas. Ia tak tertarik. Pria muda di depannya inilah yang disukainya. “Aku mau dia,” kata Bo-jong tegas, menunjuk Kyu-hyun.
Hyun-in melirik Kyu-hyun yang masih terus asyik memainkan PSP-nya, lalu kembali menatap pamannya. “Tapi bukan dia yang ingin kuperkenalkan padamu untuk kau tes,” protesnya, berusaha tetap tenang.
“Hah… aku yakin dia tak akan sebagus bocah ini,” sahut Bo-jong keras kepala. “Suaranya benar-benar sempurna untuk lagu itu, Hyun-in.”
Kyu-hyun yang tak ingin ikut campur dalam perdebatan keluarga yang tak dimengerti maupun ingin diketahuinya ini, memilih tak mengacuhkan mereka.
“Tapi kau bahkan belum mendengarkannya—“
Tak mengacuhkan keponakannya, Bo-jong duduk di kursi di sebelah Kyu-hyun. Diintipnya apa yang sedang dimainkan pemuda itu. “Apakah mengasyikkan?” tanyanya berbasa-basi.
“Uh-ah…” gumam Kyu-hyun tanpa teralihkan sedikitpun perhatiannya dari pertarungan yang sedang dilakukannya lewat PSP tersebut.
“Suaramu sangat bagus,” puji Bo-jong.
Kyu-hyun mengangguk. “Aku tahu,” sahutnya enteng. “Argh! sial!” ia berteriak marah saat musuh berhasil menyerangnya dan mengurangi banyak darah.
“Suaramu akan sangat sempurna dipadukan dengan suara keponakanku tersayang. Laguku akan menjadi lebih hidup bila kau yang menyanyikannya. Kau mau?” tawar Bo-jong.
“Paman!” ketenangan dan kesabaran Hyun-in perlahan mulai menguap. “Lee Dong-hae lah yang kuajukan padamu, bukan dia.”
Mendengar nama Dong-hae disebut-sebut menarik perhatian Kyu-hyun. Diliriknya gadis di hadapannya dan pria di sebelahnya.
“Bagaimana? Maukah kau menyanyikan laguku?” desak Bo-jong.
Tatapan Kyu-hyun kembali terarah pada layar PSP-nya. “Aku harus mendengar dulu seperti apa lagu itu,” sahutnya sambil lalu.
“Tentu saja, aku akan memberikan demo lagunya padamu.”
Kyu-hyun menyeringai senang saat berhasil memojokkan musuhnya, dan suasana hatinya yang bagus membuatnya mengangguk. “Hmm. Urus saja dengan managerku,” komentarnya acuh tak acuh.
“Bagus! Apakah dia ada di sini?” tanya Bo-jong lagi.
Tanpa suara ataupun menoleh, Kyu-hyun menunjuk suatu tempat, di mana managernya tengah bicara dengan sutradara.
“Eh? yang bicara dengan Bong-soo?” tanya Bo-jong, kaget melihat putra kakak perempuannya berada di tempat ini.
“Kak Bong-soo sutradaranya,” jawab Hyun-in. “Paman, tolong dengarkan aku sebentar— Paman!“ panggil Hyun-in kesal saat pamannya itu langsung pergi menghampiri manager Kyu-hyun.
“Yeaaaa!!!” tiba-tiba Kyu-hyun berseru nyaring dan melompat berdiri dari kursinya. Amat sangat senang atas kemenangannya. Tapi tawa dan senyumnya pudar saat menyadari tatapan tak senang Hyun-in yang diarahkan padanya.
“Seharusnya kau menolaknya,” kata Hyun-in dingin.
Kyu-hyun kembali duduk dan menyunggingkan senyum menyebalkan. “Kenapa harus?” ia balik bertanya cuek.
Geram namun tak ingin menunjukkan kemarahannya, Hyun-in berderap pergi menyusul Pamannya. Tidak, tidak boleh. Tidak boleh Cho Kyu-hyun! Harus Lee Dong-hae! katanya dalam hati.
- Perumahan Jogang - Lokasi Shooting -
Seo-min memarkir motornya tepat di depan rumah yang dijadikan lokasi shooting di hari kelima pembuatan film ini. selama beberapa hari ini dia sibuk menulis sebuah naskah baru, tapi hari ini idenya seolah berhenti mengalir. Membutuhkan refreshing, Seo-min memutuskan pergi keluar rumah, namun tak memiliki satu pun tempat tujuan membuatnya memilih mendatangi lokasi shooting.
“Kang Seo-min?” Mendengar seseorang memanggil namanya, Seo-min menaruh helmnya di atas jok motor, dan menoleh. Dua orang pria berjalan menghampirinya. Lee Sung-min dan Lee Dong-hae.
Seo-min mengernyit jijik melihat penampilan Sung-min yang saat itu mengenakan kemeja pink pucat, dan tengah memegang ponsel berwarna pink—dan tentunya tak ketinggalan gantungan ponsel berbulu berwarna pink. Ya Tuhan, pinky boy sejati! Bahkan aku pun yang wanita tidak menyukai warna pink! batinnya.
“Lama tak melihatmu,” kata Dong-hae, senang dapat bertemu gadis itu lagi. “Mengapa kau tidak datang berkunjung melihat proses shooting selama ini?”
“Kenapa aku harus?” balas Seo-min tak ramah. Dia berbalik ke arah Sung-min yang tengah asyik membalas SMS. “Jangan katakan itu pakaian yang akan dipakai dalam proses shooting,” katanya.
Sung-min yang baru saja selesai mengirimkan SMS balasan pada Sunny, salah seorang member SNSD, menengadah menatap Seo-min. mendengar nada mengkritik dalam suara Seo-min atas warna pakaiannya, membuat Sung-min sedikit sebal. “Sayangnya memang begitu kenyataannya,” jawabnya santai, tak lupa menyunggingkan senyum kelewat manis yang membuat Seo-min mual.
“Peranmu Hwang Lee-jung, kan?” tanya Seo-min mencoba menahan kekesalannya. “Pria pengusaha muda yang dewasa. Pakailah warna-warna gelap!” tak tahan, akhirnya suaranya tetap meninggi.
Masih terus tersenyum manis, Sung-min menjawab ramah. “Tapi bukan aku yang memilih bajunya,” sahutnya apa adanya.
“Ahn Bong-soo,” geram Seo-min, menyebut nama sepupunya, yang menyutradarai film ini. “di mana bocah itu!?” tanyanya pada Dong-hae.
Melihat semangat menggebu gadis ini, juga kekesalannya, anehnya Dong-hae malah merasakan desakan untuk tersenyum. “Biar kuantarkan,” tawarnya, lalu memimpin jalan. “Tak perlu semarah ini. hanya persoalan kecil—“
“ini bukan hal sepele,” bantahnya. “kostum berpengaruh terhadap citra diri si tokoh!”
Dong-hae berdeham, memutuskan untuk tak berkomentar, yang diperkirakannya hanya akan menambah emosi gadis itu. “Ah, itu dia—“ belum sempat Dong-hae menyelesaikan perkataannya, Kang Seo-mi telah melesat secepat kilat menghampiri kakak sepupunya.
“Ahn Bong-soo!” seru Seo-min, mengumumkan kedatangannya.
Dong-hae tertawa saat melihat ekspresi terkejut bercampur takut di wajah si sutradara ketika melihat kedatangan adik sepupunya. “Gadis yang lucu,” gumamnya di sela kekehan tawa.
Puas mengomeli kakak sepupunya dan menyegarkan diri dengan menonton pembuatan film, tanpa terasa hari sudah malam. Seo-min sedang memakai helmnya ketika melihat mobil Audi TT 3.2 Quattro merah milik adiknya menepi. Untuk apa dia datang di saat shooting hampir selesai seperti ini? Seo-min bertanya-tanya dalam hati.
“Seo-min,” panggil Dong-hae sambil menepuk pundak gadis itu. tadi, selama beberapa kali mengobrol, mereka sudah melepaskan sapaan formal terhadap satu sama lain.
“Ada perlu apa?” tanya Seo-min.
Dong-hae mengeluarkan senyum mautnya, yang membuatnya bertambah tampan ratusan kali lipat. “Bolehkan aku pulang bersamamu?”
“Naik motorku? Bukankah kau bawa mobil?”
“Mogok, sedang dicoba perbaiki supir dan asistenku,” jawab Dong-hae, berbohong.
“kalau begitu ikut dengan mobil temanmu saja,” komentar Seo-min enteng.
“Tidak bisa. arahnya berlainan dan mereka belum selesai shooting. Aku harus pulang cepat karena besok jadwal shootingku pagi-pagi sekali,” alasan Dong-hae.
“Arah rumahku pun bisa jadi berlainan denganmu—“
“Tidak, kita searah,” sela Dong-hae. “Aku tahu alamatmu. Tuan Kang pernah mengundangku ke rumahnya beberapa bulan lalu.”
Seo-min menyipitkan mata curiga. “Tidur saja di sini selama menunggu mobilmu selesai diperbaiki atau ketika temanmu pulang,” sarannya. “Aku tidak mau membonceng orang yang tidak memakai helm. Keselamatan nomor satu, kau tahu,” tambahnya, lalu berbalik, berniat menaiki motornya.
“tunggu!” Dong-hae menarik lengan Seo-min, dan menyeringai sembari memamerkan helmnya. “Aku meminjam dari seorang kru,” katanya puas diri.
Seo-min mendengus. Bertepatan dengan itu dilihatnya adiknya telah keluar dari mobil, tengah memandanginya dan Dong-hae dengan ekspresi serius bercampur penasaran.
“Entah hanya perasaanku saja, atau kau memang sedang berusaha mendekatiku?” sindir Seo-min.
Bukannya malu, Dong-hae justru tertawa. “Sejelas itu?” dia balik bertanya.
Sebenarnya ia hanya asal bicara, karena itu Seo-min sedikit terkejut mendengar komentar Dong-hae. “Pulanglah dengan temanmu. Aku buru-buru,” kata Seo-min.
Hea-in keluar dari rumah, dan mencari-cari Dong-hae. hari ini begitu sibuk hingga ia hampir-hampir tidak sempat melancarkan rayuannya. Melihat punggung pria itu di dekat pagar, buru-buru Hea-in menghampiri. Wanita itu sedikit terkejut melihat Dong-hae tengah bicara dengan Seo-min. beberapa kali tadi memang dilihatnya mereka mengobrol, tetapi apa sebenarnya bahan pembicaraan yang membuat Lee Dong-hae yang bersikap acuh tak acuh padanya justru begitu akrab pada Seo-min? Seo-min yang kasar dan menyebalkan itu, ia bertanya-tanya dalam hati.
setelah sibuk rekaman dan latihan seharian, Hyun-in baru dapat pergi ke mari sekarang, khusus untuk bertemu Dong-hae. gadis itu ingin melangkah maju, menghampiri Dong-hae dan kakaknya, tetapi entah mengapa kakinya bagai dipaku di tempat, padahal hanya tinggal tiga langkah lagi. apa aku salah dengar? Kak Dong-hae berusaha mendekati kak Seo-min? batinnya terkejut.
“Tunggu,” tahan Dong-hae lagi. “Berhubung kau sudah tahu niatku mendekatimu, sebaiknya sekalian saja aku menyatakannya,” katanya.
“Aku tidak menerima pernyataan yang aneh-aneh,” tolak Seo-min.
Dong-hae menyeringai. “Tidak aneh,” sahutnya. “Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku tertarik padamu,” katanya santai. “Aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu, Kang Seo-min.”
Hea-in yang berada di belakang Dong-hae dan berniat menyentuh pundak pria itu, menghentikan gerakan tangannya di udara. Matanya terbelalak dan mulutnya sedikit terbuka. Ia beradu pandang sekejap dengan Seo-min, sebelum adiknya itu kembali menatap Dong-hae.
Tidak… mana mungkin… bila dia tertarik pada Hyun-in, itu masih mungkin, tapi ini… Seo-min? bagaimana bisa? padahal ada gadis sepertiku di sekitarnya!? batin Hea-in tercengang.
Hyun-in berpegangan pada badan mobilnya. Tak mempercayai pendengarannya. Kak Dong-hae menyukai kak Seo-min? sejak pertama kali bertemu? di acara jumpa pers waktu itu? batinnya terkejut. Padahal selama ini ia begitu mengkhawatirkan kakak pertamanya, tapi siapa yang menyangka justru kakak keduanya lah yang merebut hati pria pujaannya?
“Lalu?” tantang Seo-min. “Itu urusanmu. Aku tidak suka padamu,” sahutnya dingin.
Bukannya kecewa atau sedih seperti reaksi yang normalnya akan diperlihatkan orang setelah mengalami penolakan, Dong-hae justru tersenyum lebar. Dicengkeramnya erat lengan Seo-min agar tak bisa kabur darinya, dan mencondongkan tubuh untuk berbisik di telinga gadis itu. “Aku akan memberimu peringatan agar kau tak terkejut nantinya,” katanya lembut. “Aku bukan pria yang akan mundur hanya karena satu penolakan semacam itu. sebenarnya, penolakanmu justru membuatku semakin bersemangat dan tertantang,” akunya. “Mulai hari ini, detik ini, aku akan melakukan berbagai cara untuk membuatmu menyukaiku. karena itu, persiapkan hatimu untuk menerimaku.”
To Be Continued
By Destira ~Admin Park~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar