Minggu, 31 Juli 2011

You're My Destiny -Oneshot-

Special Appearance : Teresia Dian as Shin Yu-ri



- 1986 -    
- Kim Nam-gil - Rumah Sakit -

“Kau bisa melihatnya, Nam-gil?” tanya Ayah padaku. “Yang ketiga dari kanan itu,” tambahnya bersemangat.

Aku berjinjit dan menempelkan wajahku ke kaca, berusaha untuk melihat lebih jelas sosok adik laki-lakiku yang baru saja lahir. Sulit. Aku hanya bisa melihat box bayi yang ditunjuk oleh Ayah. seandainya saja kami boleh masuk ke ruangan itu untuk melihat lebih dekat, tapi Ayah bilang kami akan dimarahi bila masuk ke sana.

“Tuan Kim!” aku dan Ayah sama-sama menoleh ke arah si pemanggil.

“Oh, Tuan Ma!” seru Ayah sembari berjalan menghampiri paman yang tak kukenal itu. sepertinya dia teman Ayah, karena mereka mengobrol dengan akrab.

Bosan dan penasaran, coba-coba aku berjalan menuju pintu menuju ruangan di mana adikku saat ini berada. Saat membuka pintu, aku melirik Ayah, tapi dia tak memperhatikanku. Tak ada suster atau dokter yang menahanku juga, maka aku buru-buru masuk dan segera menghampiri box adikku.

Wajahnya lucu dan agak aneh. kecil sekali. hah… sudah masuk ke mari, tapi dia tidur. padahal aku mau mengajaknya bicara.   

Suara-suara kecil di sebelah kanan box adikku membuatku menoleh, dan langsung bertatapan dengan mata bulat jernih. Cantik sekali… seperti boneka.

Perlahan aku bergerak mendekati boxnya. Adik kecil itu berselimut kain berwarna pink. kulitnya sangat putih. Pipinya tembam menggemaskan, membuatku ingin mencubitnya, tapi nanti dia akan menangis, lalu aku akan kena marah. Tidak, aku tak boleh mencubitnya.

Aku membaca papan namanya. Bayi perempuan ini bernama Lee… Yoo… hee. “Halo Yoo-hee,” sapaku.

Mungkin dia mengerti perkataanku, karena Yoo-hee kembali mengeluarkan suara-suara kecil tak jelas. Mulutnya yang mungil membulat. Manis sekali. hah… kenapa aku malah punya adik laki-laki, bukannya adik perempuan seperti boneka begini?

Kuulurkan tanganku menyentuh tangannya yang amat sangat mungil. Yoo-hee menyeringai dan tertawa, membuatku ikut tertawa.

“Astaga, kau tidak boleh masuk ke sini!”

Tersentak kaget, aku buru-buru menarik tanganku dan berputar menghadap suster yang sedang memelototiku.

“Maaf, aku—“

“Ayo keluar!” perintahnya tegas.

Aku menurut, tapi terakhir kali sebelum pergi, aku menoleh sekilas untuk melihat Yoo-hee. “Sampai jumpa nanti,” kataku.




- 1996 -  
- Lee Yoo-hee - SMU Han Yeong -      

“Ini sekolah Ayahmu dulu,” kata Ibu, menoleh ke belakang, dari tempatnya duduk di depan mendampingi Ayah yang mengemudi mobil, untuk menatapku.

“Apakah akan lama?” tanyaku.

Ayah memarkir mobil, lalu ikut menoleh ke arahku. “Tenang, hanya sebentar saja,” katanya.

Ini hari ulang tahun SMU Han Yeong, dan ayah yang di undang ke mari oleh pihak sekolahnya membawaku dan Ibu turut serta. Sebenarnya hari ini aku ingin pergi ke rumah teman, tetapi Ibu memaksaku harus ikut.

Acara diadakan di aula sekolah. Telah banyak orang yang hadir saat kami tiba di sana. Aku benar-benar bosan saat Ayah dan Ibu asyik mengobrol bersama para orang dewasa yang mereka kenal. Karena itu aku memutuskan untuk berjalan-jalan, dan masuk ke perpustakaan. Aku suka membaca. Membuatku tahu banyak hal—malah menurut Ibu aku terlalu banyak tahu untuk ukuran anak seusiaku. Kurasa itu artinya aku pintar, jadi aku tak memprotesnya.

Rak-rak tinggi penuh buku yang berjejer membentuk lorong-lorong membuatku bersemangat, tapi di sisi lain juga bingung harus memilih yang mana. Aku mengambil satu buku yang mudah dijangkau. Biologi. Aku mulai membaca halaman pertama, dan kebingungan dengan istilah-istilah asing yang tertulis di sana. Tapi hal yang tak kutahu itu justru membuatku semakin penasaran.

Capek berdiri, aku mencari tempat duduk. Aku berjalan santai ke tempat sepi di belakang. Saat hampir mencapai tempat yang kutuju, aku terhenti saat melihat seorang murid laki-laki yang duduk di meja yang didempetkan ke dinding, dekat dengan jendela. Dia terlihat sangat tekun menulis sesuatu. Cahaya matahari yang masuk lewat jendela menyinarinya. Rasa penasaran membuatku bergerak mendekatinya. Sampai di sebelahnya, aku sedikit berjinjit untuk melihat apa yang di tulisnya.


Hati, Perkataan, dan Perbuatan (Maumgwa, malgwa, haengdong-i)
oleh Kim Nam Gil

Hatiku terpaku padamu
Perkataan dan perbuatan ini membuatmu merasa sedih dan tersakiti
Sekarang tentang perkataan dan perbuatan…
Seperti halnya kau menyukai sesuatu yang manis
perasaan dihatipun berubah
Ketika hari itu tiba
Hatiku terasa hangat dan ingin menyatakan cinta yang melebihi apapun
Dan pastinya aku akan berada disana bersamamu


“Aaa!” tiba-tiba dia menjerit kaget, bahkan hampir jatuh dari kursinya saat melihatku.

Dasar konyol. Memangnya aku hantu? Kenapa sekaget itu? “Untuk pacarmu?” tanyaku sambil menaruh buku biologi yang tadi ku ambil di atas meja. biasanya anak lelaki membuat puisi-puisi cinta seperti ini untuk gadis yang mereka suka. Beberapa teman sekelasku juga pernah membuat puisi-puisi seperti itu.

“Ya Tuhan,” gumamnya sambil memperbaiki posisi duduknya. “Kau mengejutkanku! Bergaun putih dan tiba-tiba muncul di sampingku, kupikir kau hantu,” gerutunya.

Sudah kubilang dia konyol. “Tidak semua gadis suka dirayu dengan puisi, tahu?” kataku. Aku salah satu yang tidak suka, karena menurutku itu norak.

Dia—yang bila dilihat dari tulisan di kertas itu bernama Kim Nam-gil—mendelik kesal sesaat sebelum menyipitkan mata penuh curiga. “Kenapa anak kecil sepertimu bisa masuk sekolah ini?”

Aku bersedekap dan memelototinya. “Aku bukan anak kecil. Aku sudah dewasa,” kataku tegas.

Kim Nam-gil tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba, masih dengan tertawa, dia mencondongkan tubuh ke arahku lalu mencubit pipi kananku dengan gemas. “Kau lucu sekali, adik kecil,” katanya geli. “Manis seperti boneka saat sedang marah seperti ini.”

Aku memukul tangannya, cukup keras hingga dia segera melepas cubitannya sambil mengerucutkan bibir. “Jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Umurku sepuluh tahun,” kataku lebih tegas lagi.

Kim Nam-gil bersedekap sambil bersandar di kursinya. “Wah, yeah… tua sekali, nenekku pun kalah,” oloknya. “Hmm… sepuluh tahun? Berarti kau seumuran dengan adik laki-lakiku.”

“Tidak tanya,” sahutku.

Kim Nam-gil menyeringai. “Dasar nakal,” katanya sambil mengacak-acak rambutku.

Aku menepisnya dengan kesal. “Jangan merusak rambutku!” protesku. Ibu akan marah bila aku terlihat berantakan.

“Maaf. sini kurapikan,” katanya, dan sebelum aku sempat memprotes lagi, dia telah melepas bandoku, merapikan rambutku dengan tangan, lalu kembali memakaikan bando putih tersebut. “Nah, sudah. Wah, benar-benar manis seperti boneka,” pujinya. Tangannya sudah terangkat untuk mencubit pipiku lagi, tapi tidak jadi karena pelototanku.

Suara ribut-ribut dari depan ruangan membuat kami sama-sama melongokkan kepala dari balik rak untuk melihat apa yang terjadi. Beberapa murid berpencar di antara lorong-lorong. Salah satunya menuju kami.

“Nam-gil, apa kau melihat ada gadis kecil berumur sepuluh tahun memakai gaun putih—“ gadis itu terdiam saat akhirnya melihatku.

“Aku yakin dia yang kau cari,” kata Kim Nam-gil sambil menunjuk kepalaku.

“Hah… syukurlah,” desah gadis itu. dia membungkuk ke arahku. “Adik kecil, Ayah dan Ibumu panic mencarimu.”

Mereka berlebihan. “Ayo kita temui mereka,” ajakku, memimpin jalan.

“Hei, tunggu!” aku menghentikan langkahku dan sedikit menoleh ke belakang. “Ini, untukmu,” katanya, memberikan selembar kertas yang bertuliskan puisi buatannya tadi. dia membungkuk ke arahku dan tersenyum lebar. “Semua gadis pasti suka diberi puisi. Asalkan puisi tersebut dibuat dengan tulus dari hati si pengarangnya.”




- 2003 -   
- Kim Nam-gil / Lee Han -  SMU Han Yeong -

Semenjak lulus sudah lama aku tidak ke mari. Sepertinya tak terlalu banyak perubahan. “Ah… aku rindu masa-masa SMU kita dulu,” kataku.

“Aku juga,” kata Dong-wook, salah satu dari dua teman terdekatku semasa SMU. “Ah, bagaimana kabarmu? kudengar kau masuk Star J Entertainment ya? wah… tak menyangka suatu hari kau akan jadi seorang selebritis.”

Aku tertawa. “Aku belum jadi selebritis. Saat ini aku sedang banyak berlatih acting dan mencoba beberapa audisi. Doakan saja aku berhasil mendapatkan peran yang bagus,” kataku sambil menepuk punggungnya.

“Tentu saja, asal kau tidak lupa pada kami setelah jadi orang terkenal nanti,” sahut Yong-gun, teman dekatku yang lain.

“Mana mungkin,” kataku. “Eh,” Perhatianku teralih pada gerombolan murid di dekat tempat parkir.

“Sepertinya perkelahian,” kata Dong-wook.

Tanpa banyak bicara lagi, kami bertiga bergegas menghampiri gerombolan itu. dan benar saja, memang ada dua murid pria yang tengah bergulat. Aku dan Yong-gun berusaha melerai dengan manarik masing-masing anak itu menjauh, tetapi tenaga muda mereka sungguh besar, terlebih karena sedang dikuasai emosi, hingga aku dan Yong-gun kewalahan. Kedua murid itu berhasil melepaskan diri dan kembali berkelahi. Saling memukul, menyikut,dan menendang.

“Hentikan!” perintahku. “Kalian mau dihukum oleh pihak sekolah!?” bentakku sambil kembali berusaha menarik salah seorang dari mereka menjauh.

“Brengsek! Jangan ikut campur!” raung anak itu sambil melepaskan diri dari peganganku untuk kesekian kalinya. Dan kali ini dia berniat melayangkan tinju ke arahku. untungnya aku lebih gesit menghindarinya.

Mengambil kesempatan di saat anak yang menyerangku itu sedang membelakanginya, lawannya menendang punggungnya hingga pemuda itu tersungkur sebentar, hanya untuk kembali bangkit dengan amarah yang lebih membara. Perkelahian menjadi semakin mengganas. Sial. di mana para guru?

Tapi tiba-tiba, secara mengejutkan, kedua pemuda liar itu berhenti berkelahi dan anehnya menghadapku sambil menundukkan kepala penuh sesal atau mungkin takut. Kenapa…

“Min Tae-joo, Kang Ga-won.”

“Ya Tuhan!” aku tersentak kaget hingga melompat mundur saat tiba-tiba mendengar suara dari samping kiriku. seorang gadis tengah menatap tajam kedua pemuda yang tadi berkelahi itu. sejak kapan gadis ini di sini? bagaimana bisa aku tidak menyadari kedatangannya?

Gadis itu hanya melirikku sekilas, lalu kembali mengabaikanku. “Ini perkelahian kedua kalian minggu ini,” katanya tenang pada kedua pemuda yang gelisah itu. “Apakah peringatanku pada saat pertama belum cukup?” masih dengan nada santai tanpa terkesan mengancam sedikitpun, namun anehnya kedua pemuda itu justru semakin gelisah ketakutan.

“Maafkan kami, Kak,” kata keduanya serempak, bahkan membungkukkan tubuh penuh hormat pada gadis muda di sebelahku ini. “Kami tak akan mengulanginya lagi.”

“Terakhir kali aku juga mendengar hal yang sama,” sahut gadis itu.

Kedua pemuda itu menggeleng kuat. “Tidak. tidak. kali ini serius! Kami bersumpah!”

“Aku tak semudah itu percaya bila telah dibohongi satu kali…” aku bersumpah sempat melihatnya menyeringai puas—mungkinkah itu hanya khayalanku?—sebelum dia kembali memasang ekspresi santainya.

Kedua pemuda itu berlutut dan memasang tampang memelas. “Kakak, kami mohon, maafkan kami,” mohon keduanya. “Tak akan terulang lagi. kami benar-benar bersumpah kali ini!”

Setelah beberapa saat—jelas dengan sengaja—diam dan membuat tegang kedua pemuda itu, gadis di sebelahku ini mengangguk acuh tak acuh. “Suasana hatiku sedang bagus saat ini, jadi kalian kuberi kesempatan terakhir,” katanya.

Min Tae-joo dan Kang Ga-won terlihat lega dan tampak sumringah. “Terima kasih, kak! Terima kasih.”

Aku melongo memandangi kedua pemuda kasar itu membungkuk-bungkukkan tubuh dengan cara berlebihan. Apa-apaan mereka? setakut itu pada gadis yang bertubuh kecil seperti ini… eh? Kemana gadis tadi? aku menoleh ke kanan dan kiri, tapi gadis itu bagai menghilang tanpa jejak. 

“Untung saja kak Yoo-hee cepat datang,” kata salah seorang gadis yang menonton perkelahian itu pada temannya.

Aku mendekati mereka. “Maaf, siapa gadis tadi?”

Kedua gadis itu memandangku penuh selidik. “Kau siapa?”

“Aku alumni sekolah ini. aku bukan orang jahat, jangan khawatir,” kataku.

“Hmm… dia Lee Yoo-hee, siswi kelas tiga. Dulu dia sempat menjabat sebagai Ketua OSIS.”

“Mengapa kedua pemuda itu begitu takut padanya?”

“Siapa yang tidak takut padanya?” balas gadis yang kutanya itu. “Kak Yoo-hee itu seperti siluman. Datang dan pergi tanpa terlihat. Dan yang terparah, dia tahu kelemahan dan rahasia semua orang di sekolah ini. bahkan para guru pun segan padanya. karena itu, dua berandal itu,” katanya, menunjuk kedua pemuda tadi. “yang merupakan anggota geng paling ditakuti di sekolah, tak berkutik bila menghadapi kak Yoo-hee.”

“Sehebat itu? apa tidak berlebihan? Bagaimana mungkin dia bisa tahu kelemahan dan rahasia begitu banyak orang?”

Gadis itu mengangkat bahu. “Entahlah. Kami juga tidak tahu pasti, tapi memang begitu kenyataannya,” katanya. tiba-tiba gadis itu tersipu malu. “Dia bahkan tahu siapa yang kusuka dan bahwa aku pernah menyatakan perasaan namun ditolak. Kak Yoo-hee benar-benar hebat.”

Aneh. sungguh aneh. “Nam-gil, ayo!” seru Dong-wook, mengajakku masuk ke gedung sekolah.

Pertama-tama kami pergi ke ruang guru, menemui beberapa guru kami dulu yang masih mengajar hingga sekarang, lalu menjelajah sekolah, tempat-tempat kami dulu sering berkumpul. saat kedua temanku itu pergi ke kantin, aku memilih pergi sendiri ke perpustakaan. Tempatku sering menghabiskan waktu bila ingin ketenangan sembari membaca atau membuat puisi.

Perpustakaan ini juga masih sama. aku tersenyum sembari berjalan di lorong rak-rak buku. Tanpa sadar kakiku melangkah ke rak yang khusus menyimpan buku-buku puisi. Aku tersenyum saat memandangi deretan buku yang berada di rak tersebut. aku masih bisa mengenali beberapa yang dulu sering kubaca.

Tanganku sudah terangkat untuk mengambil salah satunya, buku kumpulan puisi favoritku, ketika tangan lain bergerak lebih cepat mengambilnya. Aku menoleh, dan bertatapan dengan si gadis aneh, si mantan Ketua OSIS, si siluman… siapa tadi namanya? Lee Yoo-hee?

Gadis itu hanya menatapku sekilas sebelum membuang muka dan berjalan pergi. setengah sadar kepalaku ikut berputar, mengiringi kepergiannya. Aku terus mengawasinya hingga gadis itu duduk di salah satu meja. Eh? Itu… dia duduk di meja dan kursi favoritku. Di dekat jendela.

Mengambil buku secara acak, lalu aku berjalan menghampirinya. Aku duduk di kursi di hadapannya, namun tak sedikitpun gadis itu melirikku. Dia begitu focus pada buku puisi itu, lalu menulis sesuatu di bukunya, sebelum dengan sedikit gemas mencoret apa yang telah ditulisnya itu.

“Kau benar-benar tahu kelemahan dan rahasia orang-orang di sekolah ini?” tanyaku penasaran.

Dia tak mengangkat kepala untuk menatapku, ataupun sekedar melirik. Gadis itu justru membuka lembaran baru bukunya. Tapi aku sempat melihat sudut bibirnya melengkung naik. Senyum mengejek?

“Rumor itu hanya dibesar-besarkan, kan?”

Akhirnya dia menatapku. “Kenapa Paman begitu penasaran?”

“Pa… Paman? Aku!? kau menyebutku Paman!?” seruku, sesaat lupa berada di perpustakaan. Aku berdeham sambil mencondongkan tubuhku ke arahnya. “Aku masih sangat muda! Usiaku 22 tahun!” desisku pelan.

Gadis itu kembali tak mengacuhkanku dan serius dengan bukunya. “Jangan ganggu aku,” katanya. “Ada tugas yang harus kukerjakan.”

Aku mengamatinya menulis selama beberapa detik. “Tak sulit membuat puisi,” kataku, saat untuk kesekian kalinya dia mencoret apa yang telah ditulisnya. “Mau kubantu?” tawarku.

Nah, itu rupanya menarik minatnya. Gadis aneh ini, Lee Yoo-hee, menatapku sambil bersedekap. “Tak ada yang gratis di dunia ini,” katanya. “Apa maumu?”

Aku ikut bersedekap dan menyunggingkan senyum. “Ceritakan saja rahasiamu. Bagaimana caranya kau menipu semua orang hingga mereka setakut itu padamu?”

Lee Yoo-hee mencondongkan tubuh ke meja sembari tersenyum mengejek. “Siapa bilang itu tipuan?”

Aku ikut mencondongkan tubuh. “Benarkah?” tanyaku meremehkan, sengaja memperdengarkan ketidak percayaanku.

Lee Yoo-hee menyipitkan mata, menatapku tajam dan serius. Apa ada yang aneh di wajahku? Lalu, tiba-tiba matanya membesar, dan mengucapkan “Ah…” ada apa?

Gadis itu kembali bersandar di kursinya sambil tersenyum misterius. “Baiklah, begini saja, bila aku bisa menebak sesuatu tentangmu dengan tepat, kau akan mengerjakan tugasku. Bagaimana?”

“Hmm… pembuktian ‘kesaktianmu’, begitu?” tanyaku geli. “Boleh juga.”

“Kau alumni sekolah ini,” katanya.

Aku tertawa. “Percobaan bagus. Tapi semua juga bisa menebaknya. Bahkan aku sudah memperkenalkan diri pada beberapa murid tadi.”

“Aku belum selesai,” kata Lee Yoo-hee puas. “Namamu Kim Nam-gil. Dan kurasa… ini tempat duduk favoritmu semasa sekolah di sini dulu?” tanyanya.

Apa!? Bagaimana dia bisa tahu? “Tebakan?” tanyaku, yang hanya dibalas senyum geli darinya.

“Kau suka membuat puisi,” katanya lagi. setelah diam beberapa saat dia berkata, “Di sini, di perpustakaan ini, di meja dan kursi ini, kau pernah membuat sebuah puisi berjudul Hati, Perkataan, dan Perbuatan. Atau mungkin kau sudah lupa telah membuatnya?”

Tanpa sadar mulutku ternganga. Ya, tentu saja aku ingat puisi itu. aku membuatnya karena seorang gadis yang dulu kusuka… tapi… tapi bagaimana mungkin gadis ini bisa tahu? “Bagaimana kau bisa—“

“Ini,” sela Lee Yoo-hee sambil menyodorkan buku dan pulpennya ke arahku. “Terima kasih karena sudah membantu membuatkan tugasku,” katanya sopan dibuat-buat. “membuat puisi tak pernah menjadi keahlianku.”

“Kau—“

“Halo?” Aku terdiam saat dia tak mengacuhkanku dan berbicara pada seseorang lewat telepon. “Ya, Paman, aku akan ke kantor untuk memberikan titipan Ibu. ya, ya…” sahutnya.

Tanganku bergerak mengetukkan ujung pulpen ke meja, sembari melirik gadis aneh di depanku ini yang sedang sibuk mengobrol. aku masih tidak habis pikir. Bagaimana bisa dia tahu semua itu? tak mungkin asal tebak. Dia benar-benar tahu! Gila. Apa dia semacam penyihir atau siluman?


Datang dan pergi tanpa disadari
Sosoknya sungguh suatu misteri
Lirikannya mengandung arti
Senyumannya penuh teka-teki


“Itu aku, kan?”

“Astaga!” aku berseru kaget saat tiba-tiba Lee Yoo-hee telah berdiri di sebelahku, tengah membungkuk melihat tulisanku. “Tak bisakah kau bersikap normal?” aku tak sadar dia telah selesai menelepon.

Lee Yoo-hee menyeringai. Entah dia memang tak berniat berkomentar, atau karena panggilan telepon lain yang menahan komentarnya. “Dong-hae, ada apa? Apa ada masalah dengan Jessica?” Hmm… apa itu kekasihnya? Lalu siapa Jessica? Dan untuk apa aku ingin tahu? “Oh, tidak perlu aku— kau di sini?“ masih sambil berbicara, gadis itu mendekatkan diri ke jendela, memandang ke bawah. Penasaran, aku pun ikut melongokkan kepala, dan melihat seorang pemuda seumuran gadis ini tengah berdiri di depan gerbang. Pemuda itu terlihat mencolok karena seragamnya yang berbeda dari yang lain.

“Tunggu, aku segera turun,” kata Lee Yoo-hee sebelum memutus sambungan dan memasukkan ponselnya ke saku kemejanya. Dengan gerak cepat dia mengambil buku-buku dan peralatan tulisnya. “Paman, terima kasih atas bantuannya. Biar aku lanjutkan sendiri saja,” katanya buru-buru.

“Hei, aku bukan paman—“

“Sampai jumpa kapan-kapan,” selanya seolah tanpa dosa, lalu melenggang pergi dengan langkah cepat namun begitu ringan seolah tanpa jejak dan suara.    



- 2008 -  
- Lee Yoo-hee - Bioskop -  

Hari ini aku dan sahabatku, Shin Yu-ri, pergi ke bioskop untuk menonton film terbaru yang telah dinanti-nantikan—olehnya sebenarnya, bukan aku—Portrait of a Beauty. Saat kami datang untuk membeli tiket, telah banyak orang yang mengantri. Semakin banyak yang antusias ingin melihat film itu hari ini di sini terlebih karena dijanjikan setelah pemutaran perdana film tersebut, akan dilakukan jumpa fans dengan para pemerannya. Karena Yu-ri yang mengajakku, aku bahkan tak tahu siapa saja pemerannya.    

Ternyata ceritanya menarik, dan acting para pemainnya pun meyakinkan… eh? bukankah itu…

“Yang memerankan Kang-moo tampan, ya?” kata Yu-ri. “kalau tidak salah namanya Kim Nam-gil? katanya dulu dia sempat menggunakan nama lain. apa ya… Ah, Lee Han.”

Kim Nam-gil. benar. Aku tak salah ingat kalau begitu. itu benar dia. pria yang pertama kali memberiku puisi—memang bukan dibuat untukku, tapi dia memberikannya padaku.

Kembali teringat olehku perjumpaan kedua kami saat aku duduk di bangku kelas tiga SMU. waktu itu dia datang bersama teman-temannya, tapi sepertinya dia tak ingat sama sekali padaku.

Tanpa sadar aku tertawa geli mengingat bagaimana ekspresi takjub dan tercengangnya saat dikiranya aku benar-benar “sakti”. Rumor tentangku yang mengetahui semua rahasia dan kelemahan orang-orang itu sebenarnya memang terlalu dibesar-besarkan. Aku hanya memiliki ingatan yang kuat, dan kebetulan mengetahui satu dua hal penting tentang orang lain—secara tidak sengaja, bukan karena aku mencari-cari informasi tentang mereka. Orang-orang itu saja yang dengan konyol merasakan takut berlebihan terhadapku.

Aku juga pernah melihat Kim Nam-gil di beberapa film dan drama sebelum ini, dengan nama Lee Han. Kurasa nama Kim Nam-gil jauh lebih bagus. Untung saja sekarang dia sudah kembali menggunakan nama aslinya.

Setelah film selesai, Yu-ri masih sibuk membahas tentang kelebihan film tadi, baik dari segi cerita maupun acting para pemerannya—terutama acting Kim Nam-gil.

“Aku mau ke toilet dulu, baru kita mengantri untuk mendapat tandatangan,” kata Yu-ri. “Kau mau ikut atau menunggu di sini?” tanyanya.

“Aku juga mau ke toilet,” kataku.

“Ah, Maaf,” ucap seorang pria yang ditabrak Yu-ri saat akan berbelok ke toilet wanita. Pria itu baru saja keluar dari toilet pria dengan terburu-buru hingga tidak melihat kehadiran temanku itu. Eh? dia…

“Kim Nam-gil!?” seru Yu-ri, menyuarakan keterkejutanku.

Pria itu tersenyum lebar dan mengangguk sopan. “Apa kabar?” sapanya ramah.

“Baik,” sahut Yu-ri mantap. “Aku sangat menyukai aktingmu di film ini,” katanya antusias. “Sayang sekali Kang-moo harus mati…”

Kim Nam-gil kembali tertawa. “Terima kasih.”

“Maukah kau menandatangani bukuku?” tanya Yu-ri, mengeluarkan buku catatan akuntansinya.

“Siapa namamu?” tanya Kim Nam-gil sembari mengambil buku tersebut.

“Shin Yu-ri,” jawab temanku. “Boleh aku berfoto denganmu juga?” tanyanya, dan dijawab dengan anggukan oleh pria itu sembari mengembalikan buku Yu-ri. “Yoo-hee, tolong potretkan,” pintanya, menyodorkan ponsel berkameranya padaku.

“Sudah,” kataku kemudian, memberikan kembali ponselnya.

Selama Yu-ri sedang mengagumi fotonya bersama Kim Nam-gil, pria itu justru mengamatiku. Matanya menyipit serius. “Rasanya aku pernah melilhatmu sebelumnya,” katanya padaku. “Tapi entah di mana. Apakah kita pernah bertemu?”

“Mungkin,” jawabku sengaja. “Permisi, kalian menghalangi jalanku ke toilet,” kataku sambil menerobos keduanya.

“Eh? kau tidak ingin dipotret dengan Kak Nam-gil juga?” tanya Yu-ri. “Tak apa kan, kalau aku memanggilmu begitu?” tanyanya pada pria itu.

“Tentu saja,” sahut Kim Nam-gil.

“Terima kasih, tapi tidak perlu,” jawabku padaYu-ri sebelum memasuki toilet wanita.

Samar aku mendengar suara Yu-ri berkata pada Kim Nam-gil, “…dia memang seperti itu.”



Seminggu kemudian…



- 2008 -
- Kim Nam-gil - Tempat penampungan korban kebakaran - 

Kemarin terjadi kebakaran hebat di daerah pinggiran kota Seoul. Puluhan bangunan terbakar. Ada dua korban jiwa karena kejadian itu. seorang nenek dan anak kecil. Kasihan sekali.

Menyingsing lengan baju, aku mengangkat karung beras dari atas truk pickup ke dalam gedung penampungan. Hari ini, bersama beberapa orang teman aku memberikan bantuan semampu kami pada korban kebakaran.

Saat menumpuk karung beras itu di pojok ruangan, aku melihat sekelibatan sosok berpakaian serba putih melintas, tapi saat kucari, sosok itu tak ada. Apakah aku salah lihat?

Aku berbalik, menuju pintu keluar untuk mengambil barang lain, dan terlonjak kaget melihat gadis berpakaian serba putih tengah berdiri di hadapanku sambil menggendong sebuah kardus berisi tumpukan pakaian.

“Permisi, aku mau menaruh ini,” katanya, membuatku menyingkir. Tunggu, rasanya aku pernah melihatnya… ah! Gadis yang di bioskop waktu itu!

“Yoo-hee, ini— Ah! Kak Nam-gil?“ aku menoleh ke arah gadis lain yang berdiri di belakangku. Sama seperti gadis berbaju putih ini, dia juga menggendong sebuah kardus. Ini gadis yang berfoto denganku waktu itu. “Aku tak menyangka akan bertemu kakak di sini,” katanya.

Aku tersenyum. “Aku dan beberapa teman memberikan sedikit bantuan kecil di sini,” kataku. “Kalian?”

“aku, Yoo-hee, dan teman-teman kampus mengumpulkan sumbangan untuk diberikan pada korban kebakaran di sini,” jelasnya.

Aku melirik gadis berbaju putih. Namanya Yoo-hee, rupanya. Rasanya aku pernah melihatnya sebelum di bioskop waktu itu… tapi di mana?

“Nam-gil! tolong bantu aku!” seru salah seorang temanku memanggil dari luar gedung.

“Ya!” sahutku. “Permisi,” kataku sopan pada kedua gadis itu.

Aku sibuk dengan tugas-tugasku sendiri, namun sesekali masih sempat mengamati Yoo-hee yang juga sedang sibuk bergerak ke sana ke mari. Aku terus mencoba mengingat-ingat dimana pernah melihatnya sebelumnya.

“Mau ini?” aku berjongkok di hadapan segerombolan anak kecil sambil menyodorkan bungkusan besar berisi permen.

“Mau!” sahut mereka antusias dan langsung merebut bungkus itu dari tanganku.

Aku tertawa geli melihat tingkah mereka. “Jangan berebut. Berbagi dengan anak lain,” kataku, lalu pergi keluar untuk beristirahat sebentar.                       

“Tak kusangka kau tipe yang peduli pada sesama,” Aku terlonjak kaget saat Yoo-hee tiba-tiba berada di sampingku dan berbicara. “Ataupun menyukai anak kecil,” lanjutnya.

“Kau mengejutkanku!” kataku. “Bagaimana bisa aku tidak mendengarmu mendekat?”Dia hanya tersenyum bangga tanpa berkomentar. Aku berputar menghadapnya. “Kenapa? Apa aku terlihat seperti penjahat?” tanyaku, kembali pada pernyataannya sebelumnya.

“Bukan begitu, hanya saja tak semua orang—apalagi actor sepertimu—bersedia meluangkan waktu di sela kesibukan mereka untuk melakukan kegiatan amal semacam ini,” katanya sambil duduk di sebuah bangku tanpa sandaran.

Aku mengikutinya dan duduk di bangku lain. “Kedengarannya seperti kau terpesona pada kebaikan hatiku?” candaku.

Yoo-hee tersenyum mengejek. “Kedengarannya seperti kau berharap itu yang terjadi,” balasnya, membuatku tertawa.

Eh… Yoo-hee… namanya… aku mengamati wajahnya lekat-lekat. Mencermati, mengingat-ingat… sosoknya yang sering muncul secara tiba-tiba… gaya bicaranya… oh! Astaga! Benar! Itu dia!

“Kau si siluman!” kataku sambil menunjuk wajahnya.

Yoo-hee bereaksi dengan hanya mengangkat sebelah alisnya. Aku menurunkan telunjukku dan berdeham canggung. Bodoh sekali. tapi memang julukan itu yang melintas di kepalaku tadi. dia si murid aneh di SMU Han Yeong. aku sempat tak mengingatnya karena lama tak bertemu dan penampilannya yang sedikit berubah dari jaman SMU… tapi ini memang dia.

“Apa kabar, Paman?” sapanya.

aku tertawa. “Ya, aku masih ingat betapa kesalnya aku kau panggil paman,” kataku. “Kenapa saat di bioskop kau tidak mengingatkanku?”

Yoo-hee mengedikkan bahu. “Untuk apa? kalau kau tidak ingat, berarti itu tidak penting,” katanya.

“Oh, aku mengingatmu. Setidaknya aku ingat sosok gadis aneh— maksudku, aku ingat gambaran tentang dirimu semasa SMU, tapi itu sudah lama, dan penampilanmu sedikit berubah, jadi wajar saja aku sempat tak mengenalimu.“

Yoo-hee melirikku sambil tersenyum mengejek. “Dari dulu aku tahu ingatanmu buruk,” katanya.

“Dari dulu? Apa maksudnya?” tanyaku.

“Aku suka aktingmu,” katanya, melenceng jauh dari pembicaraan kami. “Matamu seolah berbicara. Mengekspresikan bagaimana perasaanmu. Senang, sedih, cinta… semua tampak jelas,” tambahnya sambil menatap lurus ke mataku.

Pujiannya tampak tulus, bukan dibuat-buat atau menjilat. Hatiku mengembang dengan rasa bangga dan senang. “Terima kasih. Saat di bioskop, bila melihat sikapmu padaku, aku tak menyangka kau memperhatikan aktingku,” kataku.

“Hanya karena aku tidak meminta tanda tangan dan foto bersamamu bukan berarti aku tidak memperhatikan,” katanya.

“Begitu. Yeah, terima kasih.”

“Lagi pula, aku sudah mendapatkan sesuatu yang lebih dari pada fansmu yang lain,” katanya, mengherankanku.

“Sesuatu? Apa?” tanyaku penasaran.

“Puisi,” jawabnya santai.

Puisi? “Oh! Tugasmu waktu itu! tapi itu belum selesai—“

“Bahkan kau telah dua kali memberiku puisi,” katanya sambil berdiri dan melempar senyum ke arahku. “Kurasa para fansmu akan iri dengan hal tersebut.”

Dua kali? Aku mencoba mengingat, namun tak berhasil. Yang kuingat hanya puisi tak selesai yang kubuat karena terinspirasi dari sosoknya itu. Kapan yang satu lagi?

“Hati, Perkataan, dan Perbuatan,” ucap Yoo-hee sambil berjalan pergi.

Puisi lamaku… yang dulu berhasil ditebaknya juga… aku masih tidak habis pikir bagaimana dia bisa tahu… ah! Gadis kecil yang kuberi puisi itu… aku menatap punggung Yoo-hee. Apa mungkin dia…?

“Yoo-hee!” panggilku, mengejarnya. “Kau… bagaimana bisa dulu kau menebak dengan tepat bahwa aku pernah membuat puisi itu?”

“Aku tidak menebak-nebak,” katanya. “Aku memang tahu.”

“Kau gadis kecil yang kuberi puisi itu?”

Yoo-hee menyeringai. “Bagaimana lagi menurutmu aku bisa tahu mengenai puisi itu?” dia balik bertanya. “Kau tidak benar-benar mengira aku sesakti itu, kan?”

Aku tertawa. Sial. begitu rupanya. Pantas saja. hah… aneh sekali. sebenarnya ini kebetulan atau takdir?

“Yoo-hee! Ayo pulang!” ajak teman-temannya yang telah berdiri di samping sebuah mobil.

“Sampai jumpa nanti, Paman,” kata Yoo-hee sambil melenggang pergi.

Entah dorongan gila dari mana, aku menangkap lengannya. Tapi yang paling mencengangkan diriku sendiri adalah saat bertanya padanya, “Apa kau sibuk sabtu besok?”

Yoo-hee mengamati lengannya yang dipegang olehku, lalu menatap wajahku sambil menaikkan satu alisnya. “Kau mengajakku kencan?” tanyanya.

Berkencan? Apakah maksudku ingin mengajaknya berkencan? Kulepas pegangan tanganku dan bersedekap sambil tersenyum padanya. “Kau mau?” tanyaku.

Yoo-hee ikut bersedekap. “Aku tidak biasa berkencan dengan orang asing,” jawabnya santai.

Aku bergerak selangkah mendekatinya. mataku terpaku pada senyum misterius yang tersungging di wajah manisnya. “Kalau begitu tak ada masalah,” kataku sama santainya. “Bukankah kita sudah saling mengenal sejak usiamu…” aku ragu-ragu, mengingat usianya saat kami pertama kali bertemu. “sepuluh tahun?”

Yoo-hee tertawa. Suara tawanya mengalun ringan. Aku suka suara tawanya. “Kau pintar bicara,” katanya.

“Aku juga tampan, kalau kau belum sadar,” candaku. “Jadi? Kau mau?”

Yoo-hee menyeringai. “Tak ada yang gratis di dunia ini,” katanya. “Bila aku setuju, kau harus membalasnya dengan sesuatu.”

Aku mengerutkan kening. “Apa yang kau mau?”

“Penyelesaian puisi yang kau buat untukku dulu,” katanya.

Aku tertawa. “Hanya itu? baiklah, kita sepakat,” kataku sambil mengulurkan tangan untuk berjabatan.

“Sepakat,” sahutnya dan menjabat tanganku dengan tangannya yang terasa halus dan sangat mungil dalam gengamanku.







Gadis Bergaun Putih
Oleh Kim Nam Gil

Datang dan pergi tanpa disadari
Sosoknya sungguh suatu misteri
Lirikannya mengandung arti
Senyumannya penuh teka-teki

Gadis bergaun putih
Tawanya mengalun merdu
Membuat selalu ingin bertemu

Gadis bergaun putih
Langkahnya bagai tanpa menjejak bumi
Namun meninggalkan bekas di hati



The End

By Destira ~Admin Park~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar